Cinta Kekuasaan, Lelah Berujung Penderitaan

Tak perlu heran bila melihat para penguasa saling bongkar dan sebar aib lawannya. Perang aib ini akan menjadi adegan wajib dalam setiap perseteruan antar penguasa atau penguasa dengan musuhnya. Jika tak temukan aib yang nyata, bikin aib rekayasa. Di jaman yang serba manipulatif seperti jaman ini, apa yang tidak bisa? Bukti aib seseorang dapat dibuat semirip dan senyata mungkin. Jangankan sekadar foto, gambar bergerak pun dapat diedit sedemikian rupa hingga mampu memastikan, ketokan palu hakim berpihak padanya.

Mengapa perang aib? Karena dalam kekuasaan, citra adalah tiang penopang utama selain dukungan. Rusaknya citra akan merusak dukungan. Dan itu berarti alarm darurat runtuhnya kekuasaan. Penguasa yang lihai membangun citra diri, mampu merebut hati dan dukungan. Dan yang paling licik dalam menjatuhkan citra lawannya, berpotensi panjang umur kuasanya.inilah salah petaka cinta kekuasaan.

Fudhail bin Iyadh berkata, “Para pecinta kekuasaan akan mudah iri, bersikap berlebihan, suka bongkar dan sebar aib orang, dan dan tidak suka kebaikan orang lain disebut.”

Kekuasaan, seharusnya tidak menjadi sesuatu yang diburu dan dicintai. Kekuasaan ada karena keniscayaan. Ia ada dan dibutuhkan seperti dua saudara fitnahnya; harta dan wanita, namun bukan untuk menjadi obsesi. Kekuasaan adalah amanah, jika dibebankan harus dijalankan dengan kejujuran dan keadilan dan jika dijauhkan tak perlu dikejar mati-matian.

Mencintai kekuasaan dan memburunya ibarat mengoleksi anjing-anjing penjaga. Satu anjing akan memberikan manfaat. Tapi jika terlalu banyak dan tak adil dalam memberi makan dan merawat, anjing-anjing itu bisa berbalik menyerang.

Kapan seseorang dikatakan cinta kekuasaan dan bukan sekadar melaksanakan beban kewajiban?

Pertama,

manakala ia  ngotot mempertahankannya padahal sebenarnya sudah tak layak menjabatnya. Hal yang akan terjadi seperti yang kita saksikan hari ini. Apapun konsekuensinya, segala cara akan ditempuh demi mempertahankan kekuasaan. Siapapun yang berani merongrongnya, ia akan merasakan akibatnya.

Kedua,

sebagaimana disebutkan Syaikh Shalih al-Munajid dalam kitabnya, Mafsadatu Hubbur Ri’asah, pecinta kekuasaan adalah orang yang akan dengan mudah menentang Allah demi kekuasaanya. Seperti Firaun atau Iblis. Ia ingin tetap di atas dan sulit tunduk di bawah aturan Allah. Ukurannya adalah mendukung dan melanggengkan kuasanya, soal itu aturan Allah atau manusia, tak ada bedanya. Jika memang dengan sedikit membiarkan manusia mengikuti syariat mampu mendukung kekuasaannya, akan ia turuti. Tapi jika tidak, ia tak akan bersusah payah berusaha menegakkanya.

Ketiga,

seseorang dikatakan cinta kekuasaan manakala ia tak lagi mampu berbuat ikhlas dalam beramal. Semua kebaikan yang dilakukan hanyalah modus untuk menarik perhatian dan pencitraan. Buah yang ingin dipetik dari setiap kebaikan yang ditanam hanyalah buah yang bermanfaat untuk kuasanya, bukan yang bermanfaat di lam baka.

Ia selalu mengejar dan memburu pujian. Bahkan meski terhadap sesuatu yang sebenarnya bukan dia yang melakukan. Sangat berbeda sikapnya dengan penguasa tapi hatinya tak mecintai kekuasaan, seperti Umar bin Abdul Aziz. Usai mengentaskan penduduk Muassam dari kezhaliman dan memerintahkan rakyat agar berbuat baik kepada mereka, Beliau menulis surat yang dibacakan kepada seluruh penduduk. “Kalian tak perlu memuji semua itu kecuali kepada Allah. Karena sesungguhnya, andai saja Allah membiarkan hal itu terjadi dari diriku saja tanpa pertolongan-Nya, niscaya aku tak akan ada bedanya dengan yang lain.”

Kempat,

seperti yang dikatakan al-Fudhail di atas, saat seseorang mencintai kekuasaan, ia akan dengan mudah menelisik lalu mengumbar aib orang lain. Aib seseorang, apalagi lawannya, adalah kartu AS yang akan selalu ia cari atau rekayasa untuk menjatuhkan lawan atau digunakan saat terdesak.

Kelima,

meletakkan harga dirinya dalam kekuasaanya. Menurutnya, ia layak dihormati dengan kuasanya. Ia pun menjadi sombong dan sering bersikap arogan.

Tentu kita tak asing dengan arogansi oknum-oknum pejabat saat berhadapan dengan publik. Ada yang marah-marah karena dilarang main handphone saat di pesawat, ada yang main pukul dan damprat saat tak sabar dengan suatu pelayanan, dan sebagainya. Saat mobil pejabat lewat, semua pengguna jalan harus menyingkir. Ketergesaan kendaraan-kendaraan itu, bahkan kadang cenderung ngawur, melebihi ambulan pembawa pasien sakit jantung yang sekarat. Padahal belum tentu urusan mereka benar-benar penting dan tak bisa ditunda.

Kelima hal di atas, selain merupakan indikasi dari cinta yang berlebihan kepada kekuasaan, juga merupakan petaka cinta jabatan. kekuasaan memang menjanjikan kenikmatan, harta, kehormatan, dan kemasyhuran. Namun dibaliknya ada bahaya, lelah, takut, derita dan sesal di akhirat.

Dari Auf bin Malik bahwasanya Rasulullah bersabda,

“Kalau kalian mau, akan aku beritahukan sesuatu tentang apa itu kekuasaan” Aku (Auf) pun berseru, “Apa itu kekuasaan wahai Rasulullah” Beliau menjawab,

أَوَّلُهَا مَلاَمَةٌ وَثَانِيْهَا نَدَامَةٌ وَثَالِثُهَا عَذَابٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ عَدِلَ فَكَيْفَ يَعْدِلُ مَعَ أَقاَرِبِيْهِ

“Kekuasaan itu, permulaannya adalah celaan, pertengahannya adalah penyesalan dan akhirnya adalah azab di hari kiamat kecuali yang bersikap adil. Tapi bagaimana dia akan adil terhadap kerabatnya?” (HR. al-Bzzar dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani).

Berat. Saat berkuasa, selain pujian, anda juga bakal panen celaan dan hujan kritik. Rakyat atau masyarakat akan mengawasi dan mengomentari semua anda lakukan. Sebagian mungkin memuji, tapi akan lebih banyak yang mencela sesuka hati.

Dan di akhirat, cinta pada kuasa hanya akan berujung pada penderitaan. Hidup yang seharusnya digunakan mengumpulkan bekal di hari kiamat, habis untuk berpikir bagaimana caranya mempertahankan kekuasaan.

Wallahulmusta’an. Jika kita diuji dengan kekuasaan, hendaknya jalankan dengan penuh keadilan dan hanya mengharap ridha Allah. Jadikan kekuasan untuk mengakkan syariat-Nya, bukan menggantinya dengan aturan buatan manusia. Biarkan kekuasaan ada di tangan, bukan di hati.

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Muhasabah

Pejabat Bermartabat Karena Pemimpin Hebat

Memilih kriteria pemimpin dan orang yang diberi amanah jabatan memang tidak mudah. Tidak seperti kebanyakan manusia hari ini yang menggunakan sistem voting, mana yang mendapat suara terbanyak ialah yang akan menang. Entah ia orang yang amanat, bijaksana lagi wibawa atau justru ia orang yang hanya bermodalkan OMDO (omong doang) sangat bisa terpilih menjadi pejabat.

Lain ceritanya dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, ia meniru jejak kakek buyutnya Umar bin Khattab dalam memilih seseorang yang pantas untuk dijadikan pejabatnya. Ia mengangkat orang-orang yang tidak menginginkan kekuasaan dan kekayaan dari jabatannya, tidak pula ingin sambutan yang wah dalam pelantikannya. Tapi Ia lebih memilih pengemban jabatan yang santun, rendah hati, bersosial dengan sesame manusia dan tidak memiliki keistimewaan diantara manusia kecuali amalannya.

Baca Juga: Apa Enaknya Jadi Pejabat? 

Dari sekian orang yang akan dipilih Umar bin Abdul Aziz tersebutlah nama Bilal bin Abu Burdah. Umar bin Abdul Aziz melihat dirinya sebagai orang yang selalu dekat dengan masjid tiap waktu shalat dan senantiasa membaca al-Quran di siang dan malam harinya. 

Umar bin Abdul Aziz ingin mengangkatnya sebagai gubernur Iraq,ia berkata pada al-A’la bin Mughirah sebagai pejabat yang diserahi tugas ini, “Jika yang ada di batinnya sebagaimana yang Nampak pada lahirnya, ia adalah orang yang patut mengemban amanah, karena tidak menginginkan keutamaan.”

Pejabat tersebut pergi menjalankan tugasnya guna mendatangi Bilal, adapun Bilal saat itu sedang menunaikan Shalat antara waktu Magrib dan Isya’. Usai shalat Al’-A’la bin Mughirah berkata kepadanya, “Kamu mengetahui kedudukan dan kedekatanku dengan Amirul Mukminin. Jika aku mengusulkan kepadanya untuk mengangkatmu menjadi gubernur Iraq, Apa yang kamu sampaikan padaku?” “Gajiku setahun” jawab Bilal bin Abu Burdah. “Maksudmu 120 ribu dirham?” Tanya al’A’la. “Ya” Jawab bilal. Lalu al’A’la berkata, “Catat itu untukku diatas kertas sebagai bukti.”

Bilal bin Abu burdah bergegas menulisnya. Al-A’la pun membawa tulisan tersebut kepada Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz. Setelah membacanya Ia menulis surat kepada gubernur Kufah  yang intinya bahwa Bilal mengelabuhi kaum muslimin dengan ibadahnya, dan hampir kita semua terperdaya olehnya. Setelah dilakukan penyelidikan ternyata ada penyakit dalam dirinya, ia tidak layak untuk menjabat.

Akhirnya Umar bin Abdul Aziz mengasingkan Bilal bin Abu Burdah dan mengusirnya dari Iraq. Ia berkata,” Wahai penduduk Iraq, pemuka kalian ini hanya mengobral kata-kata bukan fakta yang dapat diterima, dan memang kefasihannya dalam bicara bertambah,namun kezuhudan dalam dirinya berkurang.”

Baca Juga: Pemerintah Sumber Fitnah? 

Demikian proses pengangkatan pejabat dan pemegang amanat dari seorang tokoh pemimpin terbaik sepanjang masa. Hendaknya bila kita memang menghendaki kebaikan, utamakan Iman dan ketawadhu’an dalam memilih pemimpin atau pejabat lainnya, bukan karena banyaknya suara, bukan lantaran hartanya, bukan juga karena bualan-bualan palsu lainnya. Semoga bermanfaat (Nurdin/Motifasi/Pejabat

 

Tema Terkait: Pemerintah, Khilafah, Pemimpin