Khutbah Jumat: Mulia Saat Miskin Maupun Kaya

KHUTBAH JUMAT

Mulia Saat Miskin Maupun Kaya

Oleh: Majalah ar-risalah

Versi PDF: Di Sini

 

الْحَمْدُ للهِ الكَرِيمِ المَنَّانِ، صَاحِبِ الفَضلِ وَالجُودِ وَالإِحْسَانِ، يَمُنُّ وَلا يُمَنُّ عَلَيْهِ، سُبْحَانَهُ لا مَلْجَأَ مِنْهُ إِلاَّ إِلَيْهِ، أَحْمَدُهُ بِمَا هُوَ لَهُ أَهلٌ مِنَ الْحَمْدِ وَأُثْنِي عَلَيْهِ، وَأُومِنُ بِهِ وَأَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، حَثَّ عِبَادَهُ عَلَى الإِخْلاصِ فِي العَطَاءِ، وَنَهَاهُمْ عَنِ المَنِّ وَالرِّيَاءِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، قَدَّرَ نِعَمَ اللهِ حَقَّ قَدْرِهَا، وَأَجْهَدَ نَفْسَهُ بِالقِيَامِ بِشُكْرِهَا، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ، وَرَضِيَ اللهُ عَنِ التَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا المُؤْمِنُونَ

أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ تَعاَلَى ، وَصِيَّةُ اللهِ لَكُمْ وَلِلأَوَّلِيْنَ. قَالَ تَعَالَى: ( وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُواْ اللَّهَ وَإِن تَكْفُرُواْ فَإِنَّ للَّهِ مَا فِى السَّمَاواتِ وَمَا فِى الأرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيّاً حَمِيداً) (النساء:131)

 

Jamaah Jumat yang dimuliakan oleh Allah,

Tiada kata henti untuk bersyukur, karena banyaknya nikmat Allah tak terukur. Adalah keliru jika seseorang itu memandang nikmat sebatas pada makanan, minuman, tempat tinggal maupun kemewahan. Betapa seseorang akan sulit merasakan kebahagiaan jika tak mengenali nikmat selain pada kelezatan ragawi dan kenikmatan materi. Imam Hasan al-Bashri berkata, ”Barangsiapa yang tidak mengenali nikmat Allah selain pada makanan, minuman dan pakaian, maka sungguh dangkal ilmunya, dan amat berat penderitaannya.” Tentu saja ia menderita, karena ketika seseorang tidak mengenali nikmat, ia pun tidak mampu merasakan kelezatannya.

Maka jaminan kebahagiaan bukan dari sisi kekayaannya, begitu juga derajat kemuliaan seorang hamba di sisi Allah. Hanya saja, budaya materialistis telah mendorong manusia memandang kemuliaan melulu berdasarkan harta dan kelebihan secara fisik.

 

Jamaah jumat rahimakumullah

Sapaan pertama yang paling jamak diungkapkan untuk teman lama yang tak lama ketemu adalah “wah…sekarang sudah makmur”, “sekarang sudah jadi orang”, “sekarang sudah bahagia”, atau “sekarang hidupmu sudah mulia.” Itu jika yang didapatkan adalah teman berbadan gemuk, kaya raya, atau kelihatan berpakaian parlente. Memang begitulah rata-rata orang mengukur kemuliaan dan kehormatan, yakni dari sudut harta, tampilan maupun jabatan. Tapi, ayat yang kita bahas ini meluruskan asumsi itu salah tersebut.

Harta tak selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi pemiliknya. Pikiran tegang saat memburunya, memeras keringat ketika mendapatkannya, dan kekhawatiran akan lenyapnya harta yang berada dalam genggamannya adalah indikiasi yang bertentangan dengan kebahagiaan. Bahkan, ujung dari siksa itu adalah penyesalan mendalam saat perpisahan antara dirinya dengan hartanya benar-benar terjadi. Mungkin karena hartanya harus berpindah tangan, lenyap oleh bencana, atau lantaran ajal yang memisahkan ia dengan hartanya. Pintu yang terakhir ini hanya tinggal menunggu waktu, tak satupun manusia yang mampu mengelak darinya.

Kalaupun mereka mampu merasakan manisnya hasil jerih payah yang diupayakannya, toh tak akan bertahan lama. Karena muara harta dari tangan pemburu dunia dan lalai dari agamanya tak akan jauh dari kesenangan yang berbau maksiat. Dan pasti, kesenangan itu akan berbuntut penderitaan di dunia, kesengsaraan di akhirat, kecuali yang bertaubat.

Pergi ke klub malam, menenggak miras, menghisap narkoba, mencari wanita, membanjiri hiburan pemuas syahwat dan aktivitas lain yang berkenaan dengan kenikmatan perut dan bawah perut. Sudah bisa ditebak ‘ending’ dari semua itu. Perselingkuhan, cekcok suami istri yang berujung kepada perceraian dan anak yang terganggu psikisnya. Atau kecanduan narkoba yang dampak paling ringannya masuk bui. Kalaupun tidak, penderitaan karena kecanduan itu sudah merupakan siksa luar biasa.

Belum lagi jika ia tidak bisa menebus barang haram yang meracuninya. Hadirnya penyakit berbahaya akibat maksiat-maksiat itu juga telah mengintainya.

Semua alasan di atas menjadikan kita tidak kesulitan dalam memahami maksud firman Allah,

فَلاَ تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَلاَ أَوْلاَدُهُمْ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّـهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ

“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia…” (QS. at-Taubah: 55)

 

Jamaah jumat rahimakumullah

Harta yang Allah tumpahkan atas mereka itu aalah untuk menyiksa mereka, bukan untuk memuliakan mereka.
Tidak selalunya pula orang kaya itu terhormat dalam pandangan orang di sekitarnya. Karakter pemburu nafsu adalah bakhil, tidak akan mengeluarkan sesuatu dari hartanya, kecuali jika dengannya mereka mendapatkan kepuasan syahwatnya. Padahal, jika diukur dengan parameter syahwat, tak ada yang nikmat dalam menunaikan zakat dan sedekah. Kenikmatan adalah jika ia bisa memuaskan diri sendiri.

Sikap bakhil ini menjadi bibit munculnya rasa benci orang-orang miskin sekitar kepadanya. Imej orang terhadap merekapun buruk. Doa keburukan akan teralamatkan untuknya, dan tidak menutup kemungkinan, perlakuan jahat akan ia dapatkan dari orang-orang yang nekat ingin mendapatkan sebagian kekayaannya.

Semua kehinaan dan penderitaan yang demikian pahit itu masih belum seberapa dibandingkan kehinaan dan kesengsaraan yang kelak mereka rasakan di akhirat.

إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (QS. al-Mukmin 60)

 

Jamaah jumat rahimakumullah

Kaya atau miskin bukan ukuran mulia atau hina. Kekayaan bisa berarti siksa, sedangkan kemiskinan boleh jadi menjadi karunia. Keduanya tak lebih sebagai ujian, mana yang mulia, mana yang hina tergantung bagaimana masing-masing menyikapi ujian yang mereka hadapi.
Nabi bersabda,

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالِ

“Sesungguhnya setiap umat itu menghadapi cobaan, cobaan umatku adalah berupa harta.” (HR Tirmidzi)

Ibnul Qayyim dalam Tafsir al-Qayyim-nya menjelaskan Surat al-Fajr ayat ke 15-17 di atas berkata, «Allah mengabarkan bahwa Dia menguji hambanya dengan memberikan kenikmatan dan melimpahkan rezki atasnya. Allah juga menguji manusia dengan sempitnya rezki. Keduanya adalah ujian dan cobaan. Kemudian Allah menyanggah atas anggapan orang bahwa terbukanya pintu rezki dan melimpahnya harta adalah bukti Allah memuliakan dirinya, dan bahwa sempitnya rezki adalah pertanda Allah menghinakannya.

Allah menyanggah anggapan itu “Sekali-kali tidak demikian!”, yakni, anggapan orang-orang itu tidaklah benar, terkadang Aku menyiksa dengan nikmat-Ku dan memberikan nikmat dengan cobaan-Ku.

 

Jamaah jumat rahimakumullah

Nilai kemuliaan orang kaya adalah dengan syukurnya. Ia mengakui bahwa semua nikmat itu dari Allah. Ia juga memuji Allah dengan lisannya. Dan yang tak kalah penting, ia menggunakan nikmat Allah sesuai dengan kehendak Sang Maha Pemberi Karunia. Dengannya, dia mampu meraih derajat tinggi di sisi Allah sebagai hamba yang beryukur.

Namun jika ia kufur, maka kekayaannya menjadi sebab kehinaan dirinya, sekaligus ‘modal’ untuk menuai penderitaan dan kesengsaraan.

Sedangkan kemuliaan orang miskin adalah dengan bersabar, tetap berbaik sangka kepada Allah. Kemiskinan tidak membuatnya marah kepada Allah, berputus asa dari rahmat-Nya, ataupun terjun ke dalam dosa untuk mengentaskan diri dari kemiskinan.

Roda terus berputar, namun di manapun posisi kita, semoga kita tetap bisa meraih kemuliaan. Syukur di saat kaya, sabar di saat miskin.

أقُولُ قَوْلي هَذَا وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لي وَلَكُمْ، فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ.

 

Khutbah Kedua

الْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ، تَفَضَّلَ وَأَكْرَمَ، وَأَعْطَى وَأَنْعَمَ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، عَطَاؤُهُ مَمْدُودٌ، وَنِعَمُهُ عَلَى عِبَادِهِ بِلا حُدُودٍ، وَكُلُّ شَيْءٍ مِنْهُ وَإِلَيْهِ، لا مِنَّةَ لأَحَدٍ مِنْ خَلْقِهِ عَلَيْهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ البَشِيرُ النَّذِيرُ، أَعْطَاهُ رَبُّهُ مِنَ الخَيْرِ الكَثِيرَ، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَأصَحْابِهِ أَجْمَعِينَ، وَالتَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.

هَذَا وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا عَلَى إِمَامِ الْمُرْسَلِيْن، فَقَدْ أَمَرَكُمُ اللهُ تَعَالَى بِالصَّلاَةِ وَالسَّلاَمِ عَلَيْهِ فِي مُحْكَمِ كِتَابِهِ حَيْثُ قَالَ عَزَّ قَائِلاً عَلِيْمًا
(( إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا))

اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وسَلّمْتَ عَلَى سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ

رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ

اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ

رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

عِبَادَ اللهِ :(( إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ )).وَ أَقِمِ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَ الْمُنْكَرِ وَ لَذِكْرَ اللهِ أَكْبَرُ وَ اللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.

Download versi PDF nya: Di Sini

Khutbah Jumat: Minder Taat Akhirnya Maksiat

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ

,أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ

اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ

ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ

وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Alhamdulillah…! Alhamdulillahi Rabbil alamiin…! Segala puji bagi Allah atas segala nikmat, anugerah dan hidayahnya kepada kita. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabiyullah Muhammad, kepada keluarga, shahabat dan orang-orang yang senantiasa mengikuti sunahnya.

               

Jamaah Jumat rahimakumullah

Islam adalah agama yang luhur, agung, dan mulia. Tak ada aturan apa pun di dunia ini yang mengungguli Islam. Nilai-nilai Islam tidak pernah berubah, kapan pun, dalam kondisi apa pun, dan di mana pun. Hanya saja, sikap manusia terhadap Islam selalu mengalami pasang surut, dari sisi dukungan dan penentangan terhadapnya. Ibarat roda berputar, kadang di atas kadang di bawah.

Di awal kehadirannya, Islam dianggap aneh, asing, sesat dan dimusuhi oleh para penentangnya. Orang yang menentang Islam jumlahnya lebih banyak dari pendukungnya. Selang beberapa tahun kemudian, seiring dakwah dan jihad yang dilakukan Nabi dan para sahabatnya, Islam berjaya. Islam menjadi agama yang dibanggakan oleh penganutnya, dan berwibawa di mata musuh-musuhnya.

Namun, roda sejarah terus berputar. Generasi demi generasi datang pergi silih berganti. Kewibawaan Islam di mata manusia pun tidak selalu pasti. Adakalanya menurun, naik, turun kembali, meningkat, jatuh lagi, begitu seterusnya. Hingga yang kita alami sekarang ini, Islam berada dalam kondisi yang jauh berbeda dengan kondisi pada zaman keemasannya. Islam kembali menjadi asing seperti saat mula datangnya.

Kondisi ini persis seperti hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

 

إِنَّ الإِسْلاَمَ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ

“Sesungguhnya Islam itu bermula dalam keadaan asing, dan akan kembali asing sebagaimana awalnya.” (HR. Muslim)

Allah menghendaki semua itu terjadi, bukan karena Allah tidak kuasa menjadikan Islam senantiasa berjaya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas itu. Tapi Allah hendak menguji orang-orang beriman, sehingga terbukti siapa yang tetap iman dan taat dalam segala kondisi dan situasi.

“…Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir)..” (QS. Ali Imran: 140)

Begitu pun dengan keterasingan Islam, juga menjadi ujian. Adakah mereka tetap beredar bersama Islam dimana pun posisinya, ataukah lepas dari peredarannya saat Islam dan syariatnya dicampakkan oleh manusia.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Keterasingan Islam bukan pada sisi sedikitnya penganut, bukan pula karena sulitnya mendapatkan Kitab Suci, atau tak adanya guru mengaji. Keterasingan Islam terjadi akibat runtuhnya kekuasaan, hilangnya hukum dan syariatnya, juga lenyapnya tradisi dan akhlak-akhlaknya. Kita semua tahu, hukum apa yang mendominasi dunia saat ini. Tradisi mana pula yang menjadi budaya masyarakat dunia, juga masyarakat kita hari ini. Selain adat, tradisi Barat begitu kentara mewarnai setiap celah kehidupan, hingga menjadi pola hidup masyarakat kebanyakan.

Akibatnya, orang yang konsisten dengan ciri khas keislamannya menjadi aneh. Begitu pun orang-orang yang tidak mau melebur dengan tradisi kebanyakan. Maka, hanya ada dua pilihan, setia dengan Islam tapi menanggung risiko celaan dan keterasingan, ataukah larut dengan arus kebanyakan yang didominasi oleh hawa nafsu sebagai unsur terkuatnya.

Pada saat posisi Islam sedang dipinggirkan seperti ini, tak sedikit yang merasa gamang untuk tetap berputar bersama Islam. Tidak sedikit orang Islam yang lantas mencari wilayah ‘aman’ dengan mencelupkan dirinya dengan ‘sibghah’ hawa nafsu yang menjadi warna kebanyakan.

Mereka minder untuk menunjukkan jati dirinya sebagai seorang muslim atau muslimah. Yang muslimah, tidak pede tampil dengan jilbab syar’inya, kurang gaul jika tak hafal lagu-lagu barat, dan merasa rendah diri jika belum bisa berjoged dan berdansa. Mereka lebih pede dengan pakaian ketat, berlenggak-lenggok, kepalanya miring ke sana kemari, persis seperti kaum yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai penghuni neraka yang perlakuannya belum pernah beliau saksikan di zamannya, yaitu:

“Wanita yang berpakaian tapi telanjang, menyimpang dari ketaatan, berjalan melenggak-lenggok (berjoged), kepalanya seperti punuk onta, mereka tidak masuk jannah, bahkan tidak mencium baunya, padahal baunya bisa dapat dirasakan dari jarak perjalanan sekian-sekian (yakni sangat jauh).” (HR. Muslim)

Yang laki-laki merasa minder untuk melazimi shalat jamaah di masjid dengan meninggalkan teman ngobrolnya. Atau menampakkan sunnah Nabi seperti memanjangkan jenggot dan mengenakan celana di atas mata kaki. Mereka juga minder jika hendak membaca al-Qur’an, atau berargumen dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Lebih merasa terangkat wibawanya jika bisa menukil petuah-petuah orang Barat.

Belum lagi kelompok muda-mudi yang merasa rendah diri jika belum pernah berpacaran. Takut dikatakan tidak laku, kurang gaul atau culun.

Munculnya rasa minder untuk taat tersebut disebabkan karena menganggap nilai ketaatan itu rendah, Islam dan iman tak begitu berarti. Pada saat yang sama, muncullah kekaguman terhadap tradisi dan kebiasaan di luar Islam. Maka mereka pun lebih memilih untuk mengikuti tradisi orang kafir, meskipun sesuatu yang diikuti itu jelas-jelas buruk dan kotor. Fenomena ini sebenarnya sudah pernah dikabarkan oleh Nabi,

 

لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ   قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ  فَمَنْ

“Sungguh (sebagian) kalian nanti akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sedepa demi sedepa, sehasta demi sehasta, hingga seandainya mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kalian akan mengikuti juga.” Kami (para sahabat bertanya), “Wahai Rasulullah, apakah yang Anda maksud adalah (mengikuti) Yahudi dan Nasrani?” Beliau bersabda, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Bukhari)

Dan hari ini, tradisi orang-orang kafir sudah mulai menjadi tradisi masyarakat kita. Dari tradisi ulang tahun, valentine day, kumpul kebo, pergaulan bebas, dan berlomba-lomba membuka aurat.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Tidak selayaknya seorang muslim mengekor dan membebek tradisi orang kafir. Karena umat Islam adalah ‘ummatan wasatha’, yang diartikan oleh sebagian ahli tafsir sebagai, “kaum yang tingkatannya berada di bawah para nabi, namun di atas semua umat yang ada.” Maka tidak selayaknya kita yang seharusnya menjadi contoh, malah mencontoh. Allah berfirman:

 

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Janganlah kalian merasa hina dan bersedih, kalian lebih tinggi derajatnya jika kalian beriman.” (QS. Ali Imran: 139)

Ya, orang beriman itu tinggi dan mulia, meskipun sedikit sekali orang yang sepaham dengan mereka. Walaupun mereka minoritas, sekalipun mereka ditindas. Karena kemulian itu melekat pada Islam, iman dan takwanya. Bukan pada rupa, harta, status sosial atau banyak sedikitnya teman yang mendukungnya. Dengan ukuran inilah Islam menilai, dengan takaran ini pula para pendahulu kita di kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in menimbang.

Karena keimanannya, Bilal bin Rabah, seorang budak hitam dari Habsyi, kurus dan berambut keriting, justru diberi gelar oleh Umar bin Khattab dengan ‘sayyidina’, sebagaimana disebutkan dalah hadits:

“Abu Bakar pemimpin kita telah memerdekakan pemimpin kita juga (yakni Bilal).” (HR Bukhari).

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mendengar suara terompah Bilal di jannah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Begitulah, dengan ketaatannya, Bilal dimuliakan oleh orang-orang shalih di dunia, dan diangkat derajatnya oleh Allah di akhirat.

Ada juga Abdullah bin Mas’ud, sahabat nabi yang berperawakan kecil, kurus, miskin, dan bukan keturunan bangsawan. Tapi beliau memiliki kedudukan yang istimewa dan dipercaya Rasulullah dalam hal yang sifatnya privasi. Sehingga beliau dujuluki dengan shahibu sawaadi (sirri) Rasulillah. Abdullah bin Mas’ud juga dibercaya Umar untuk menjadi gubernur di Kufhah pada masa pemerintahannya. Adapun kemuliaannya di sisi Allah, Nabi saw bersabda, “Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh kedua betisnya (pada Hari Kiamat) lebih berat timbangannya daripada gunung Uhud.” (HR Ahmad, Thabarani)

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Orang-orang yang melampiaskan hawa nafsu maupun kafir yang dianggap terhormat dan diikuti, sebenarnya berkebalikan dengan hakikatnya. Jangan disangka kehidupan mereka serba menyenangkan. Semua manusia pernah memiliki masalah, baik mukmin maupun kafir. Jika kita pernah merasakan sakit dan menderita, mereka pun sama. Bedanya, jika kita beriman, maka kita masih berharap pahala di sisi Allah, ganti yang jauh lebih baik dan lebih kekal di akhirat, sedangkan mereka tidak.

“Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (QS. an-Nisa’: 104)

Jikalau mereka mengklaim sedang mengenyam kesenangan, maka itu tak lebih sebagai istidraj, tipu daya yang membiarkan mereka berada dalam kesenangan, padahal siksa akhirat telah menanti. Allah berfirman:

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. al-An’am: 44)

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Akhirnya, kita bisa simpulkan bahwa kemuliaan sejati itu ukurannya adalah iman. Orang  yang memiliki iman, dialah yang menyandang gelar hamba mulia. Adapun seberapa tinggi derajat kemuliaanya, tergantung seberapa tinggi kualitas imannya. Semoga iman di hati kita senantiasa terjaga dan tumbuh subur hingga ajal tiba. amin.

وَالْعَصْرِ . إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ 

 

Khutbah Kedua

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْن، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا

عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِمَامُ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى

إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Khutbah Jumat

 

Materi Khutbah Lainnya: 

Pejabat, Orang yang Paling Butuh Nasihat

Takwa, Pondasi Paling Paripurna

Mendulang Manfaat Kala Sakit dan Sehat