Komitmen Seorang Ayah

Di luar sana, ada keruntuhan hebat yang sedang terjadi. Gerakan baru menyeruak keluar, membabat habis norma-norma tradisional yang dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Hebat dalam penampilan, lezat dalam penawaran, cepat dalam gerakan. Melindas makna pernikahan, keluhuran moral dan kerendahan hati, juga nilai-nilai agama. Dan karenanya, banyak di antara kita kehilangan arah, bahkan tujuan hidup!

51 % remaja putri tidak lagi perawan, bukanlah angka yang bisa diremehkan. Belum jumlah aborsi yang bisa diatas 2,5 juta pertahun, penggunaan narkoba yang kian menjangkau kota-kota kecil, atau aneka bentuk geng dan kenakalan yang makin memprihatinkan. Semuanya dengan jumlah riil yang kita yakini jauh melampaui angka-angka yang dilaporkan.

Budaya populer yang tidak sejalan dengan akal sehat dan kebutuhan batin menjadi panutan, bahkan agama baru. Memunculkan kebingungan, kebebasan tanpa batas, sinis terhadap agama, hingga kesendirian akut tanpa kepedulian akan perasaan dan keinginan orang lain.“Aku tidak hidup untuk menjadi polisi bagi orang lain,” begitu kata mereka. Hingga kemudian, banyak di antara mereka yang kehilangan nyaman dan hangatnya hubungan emosionaldengan orang lain. Dan itu sangat merusak mental.

Dalam perjalanan waktu yang panjang, pada akhirnya, kita akan menyadari bahwa kehangatan, kebahagiaan, penerimaan, dan kenyamanan batin adalah kebutuhan asasi. Dan di sanalah keluarga mengambil peran pentingnya. Tempat ideal yang menyenangkan untuk saling terhubung secara emosional, memperoleh kasih sayang tak terputus, berbicara satu dengan yang lain, saling menghargai, menikmati keberadaan, juga dukungan penuh saat datang masalah.

Karena itulah, kualitas hidup berkeluarga berpengaruh besar pada kesejahteraan emosional, kesehatan mental, dan kebahagiaan anggotanya. Pun sebaliknya, keluarga amburadul, menyumbang saham yang signifikan terhadap berbagai masalah sosial di masyarakat.

Keluarga yang sehat, adalah tempat di mana kita memasukinya untuk memperolah kenyamanan, pengembangan diri, dan regenerasi, serta dari mana kita merasa diperbaharui dan diberi energi untuk bangkit secara positif, kala terpuruk. Pelabuhan yang akan melindungi anggota keluarga dari berbagai perusak mental; ketakutan, kekhawatiran, penolakan, dan kesepian.Benteng pertahanan dari amukan kerusakan moral yang makin merapat ke batas-batas teritorial keluarga.

Karena itu, keluarga idaman bukan sekedar menyatukan dua jenis kelamin yang membutuhkan penyaluran biologis. Ia juga bukan ikatan sesaat untuk hari ini atau besuk pagi saja,tanpa kegembiraan, tanpa keamanan, penerimaan, dan tanpa arti. Karenanya ia harus bermula dari visi yang jelas; beribadah kepada Allah, bertujuan jelas; meraih sakinah mawaddah wa rahmah, serta berkomitmen tinggi akan keberhasilannya sebagai keluarga bahagia dengan anak-anak yang shalih yang mendoakan orangtuanya.

Komitmen inilah yang kini mulai memudar, bahkan hilang. Begitu mudah kita menemukan pasangan, mengucap janji pernikahan, kemudian bercerai ketika merasa tidak ada lagi kecocokan. Atau bahkan ada yang sekedar mencari teman tidur, memasrahkan tubuh kepada lawan jenis tanpa jaminan ikatan pernikahan, pada pertemuan pertama di sebuah pesta, bahkan meski kita tidak tahu alamat dan nama lengkapnya. Sedih, sebab fakta ini begitu transparan terbaca dari gaya hidup dancara berfikir mereka.

Membangun keluarga yang sehat dan bahagia adalah sebuah pekerjaan besar, pondasi dari peradaban bermartabat dan bernilai tinggi. Dengan pekerjaan kecilnya berupa pengurangan sumber masalah di dalam keluarga, juga di masyarakat. Dan ia akan sulit berhasil jika tidak disertai komitmen yang tinggi untuk berbagi sumber daya, kehangatan dan perhatian.

Komitmen terhadap pernikahan bermula dari kesadaran akan sebuah pilihan bertanggung jawab. Bahwa kita mengambil penghalalan persetubuhan itu dengan sejumlah konsekuensi kepemimpinan yang akan dipertanggungjawabkan. Sebuah ikatan yang kuat, mitsaaqan ghaliizhan, medan perjuangan mewujudkan surga dunia yang sangat peduli terhadap pikiran, perasaan, dan keberadaan setiap anggota keluarga. Seringkali, hal itu merubah prioritas hidup, pengorbanan yang besar, juga kedewasaan yang cukup.

Komitmen terhadap keluarga adalah tekad untuk senantiasa hadir dan memberi dukungan saat diperlukan, kapan pun itu terjadi, kecuali ada udzur syar’i yang bisa dibenarkan. Berjanji untuk menerima, mendengarkan, merasakan, dan memberi dukungan, hingga setiap anggota merasa diterima sebagai bagiannya, dimiliki, dan dihargai. Karena setiap komponennya adalah manusia yang berperasaan dan setiapnya adalah penting adanya.

Kalau perlu, komitmen ini mewujud pada sejumlah tradisi yang bisa mewadahi makna kesetiaan dan kehadiran itu, serupa makan bersama, waktu khusus untuk keluarga, atau apalah namanya. Semua merasa terlibat untuk saling berbicara membagi visi dan mendengarkan. Dan tidak ada yang boleh mengabaikan dan mengalahkannya kecuali untuk kepentingan yang lebih besar.

Percayalah, anak-anak akan merasa aman, modal penting dalam tumbuh kembang mereka,  jika melihat kedua orangtua mereka saling mendukung dan mencintai.

Tapi kenapa kita sulit menempatkan urusan keluarga di tempat yang layak? Berpura-pura melakukan kegiatan lain yang, kita anggap, penting. Zaman berganti, waktu berputar, pekerjaan bisa berubah, lalu kita bertanya kepada diri sendiri, “Apa yang telah terjadi terhadap keluargaku?” Semua boleh pergi dan berganti, tetapi aku akan tetap menjadi suami dan ayah. Aku tetap pemimpin keluarga yang akan ditanya!

Komitmen Seumur Hidup

Keputusan memilih Islam sebagai ‘way of  life’, meski banyak di antara kita terlahir sebagai orang Islam, sebab nenek buyut kita juga adalah orang-orang Islam, tentu bukanlah sikap main-main. Ia harus berasal dari kesadaran sepenuh keyakinan karena pilihan ini akan membawa perubahan besar dalam hidup kita. Kualitasnya di dunia, serta hasil akhirnya di akhirat. Pilihan yang mengejawantah dalam bentuk ubudiyah dalam puncak kecintaan dan ketundukan kepada Allah yang Mahaagung dan Maha Pencipta segala yang wujud di mayapada.

Pilihan ber-islam, adalah pilihan cerdas yang tidak pantas untuk dipermainkan, apalagi disia-siakan. Tidak sepatutnya kita bersantai-santai, bermalas-malas, hingga melakukan diskriminasi atas  tuntutan pengamalannya. Karena, ia bukanlah pilihan bingung yang tidak membawa kepada keyakinan dan kesiapan berkorban untuk mengambil risiko karena telah memilihnya. Ia adalah pertaruhan hidup mati, selamat tersesat, serta bahagia celakanya kita.

Kita tidak bisa berkomitmen kepadanya hanya saat lapang, memiliki waktu luang, kondisi jiwa tenang, serta saat memberikan keuntungan dan kemenangan. Atau hanya ketika kita sakit, terhimpit, serta hidup terasa sulit. Tergopoh-gopoh kita memasrahkan diri kepada Allah pada saat merasa butuh, sedang pada banyak kesempatan yang lain kita bersikap acuh. Tidak! Keislaman kita terlalu agung dan mulia dibanding perlakuan seperti itu.

Karena Islam bukanlah ibarat sebuah klub dimana kita bisa datang dan pergi semaunya bila telah membayar iurannya. Atau semisal panti sosial yang kita kunjungi saat membutuhkannya. Atau seperti rumah sakit yang kita hampiri saat sakit. Yang setelah semuanya normal dan baik-baik saja, kita bergelimang kenikrnatan, kelezatan, dan naungan yang nyaman, boleh meninggalkan dan mengabaikannya.

Seringkali, penyebab lemahnya kita berkomitmen bukanlah karena kurangnya ilmu dan kesadaran akan datangnya kematian. Namun, ia muncul sebagai buah lemahnya iman dan cinta akan dunia yang berlebihan. Sebuah kerusakan di dalam kalbu, bukan di akal belaka! Maka terapinya adalah memperhatikan kebersihan kalbu dari berbagai kotoran dan mengobati berbagai penyakitnya itu.

Kita tidak ingin mendahulukan kelezatan sesaat dan kesenangan semusim di dunia, serta mencari kegembiraan sementara, dengan membayar kesedihan sepanjang masa di akhirat sana. Menceburkan diri ke dalam sumur maksiat dan keinginan rendah lagi hina, dengan berpaling dari ketaatan dan cita-cita mulia. Kita tidak ingin berada di bawah tawanan setan, di lembah kebingungan, dan terbelenggu di dalam penjara hawa nafsu.

Maka, memilih menjadi seorang muslim adalah ujian di atas ujian. Ia butuh mujahadah yang serius dan keteguhan yang utuh untuk menghadapi semua konsekwensinya. Ialah sebenar-benar sarana kita mengabdi kepada Allah, yang kita tidak akan pernah melepaskan pegangannya kecuali bersamaan dengan nafas terakhir yang keluar dari diri kita. Ya, hingga kematian datang menjemput kita!

Sebuah komitmen seumur hidup!