Tak Shalat Berjamaah Karena Sibuk Bekerja

Pertanyaan:

Bapakku seorang kuli bangunan. Terkadang ia tidak pergi ke masjid untuk shalat berjamaah karena pekerjaannya. Apakah hal tersebut dibolehkan?

 

 

Jawaban

Seorang muslim hendaknya menjaga shalat berjamaah di masjid dalam semua waktunya. Jangan sampai kesibukan dunia menghalangi dirinya dari shalat berjamaah.

Allah berfirman,

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ 

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9)

Cobalah memberi nasihat kepada Ayah Anda dengan cara yang bijak dan mengingatkannya dengan dalil-dalil yang sahih.

Seorang muslim tidak boleh bersusah payah bekerja untuk dunia namun mengorbankan ibadah dan shalatnya. Salah satu ciri orang beriman telah disebutkan oleh Allah yaitu tidak terbuai oleh perdagangan mereka dan jual beli mereka sehingga lupa berzikir kepada Allah dan menegakkan shalat. Sebagaimana firman-Nya,

 

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالآَصَالِ . رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأَبْصَارُ . لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ  

“(Mereka) bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.  (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan Balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (QS. an-Nur: 36-38)

Dan kumpulan ayat-ayat tersebut ditutup dengan firman Allah Ta’ala,

 

وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”

Hal ini sebagai isyarat bahwa hendaknya bagi orang yang sibuk berdagang dan bekerja dengan mengabaikan ketaatan kepada Rabbnya menyadari bahwa rezeki itu ada di tangan Allah, Dia yang memberi rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki tanpa batas.

Kita memang dianjurkan untuk menjemput rezeki dengan bekerja, akan tetapi seorang muslim tak boleh berlebihan dalam bekerja sehingga menghabiskan seluruh waktunya dengan mengorbankan ketaatan, kesehatan, dan pendidikan anak-anaknya. Hendaknya dia bersungguh-sungguh dan selalu mendekat kepada Allah.

Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua dan memberikan rezeki yang baik dan barokah. Wallahua’lam.

 

Oleh: Redaksi/Konsultasi

 

Baca Konsultasi Yang Ini Juga: 

 

Temanku Telah Menggunjingku

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Ustadz, mohon pencerahannya; suatu kali seseorang datang kepada saya mengabarkan bahwa ada seorang teman saya menjelek-jelekkan saya di hadapan teman-teman saya yang lain. Terus terang ketika itu saya merasa sangat terganggu dan tidak nyaman. Rasa hormat saya kepada teman tersebut seketika berubah menjadi kebencian, dan itu seperti reflek begitu saja. Saya khawatir saya berdosa karenanya. Sebenarnya, bagaimana seharusnya saya menyikapi teman saya itu? Semoga Allah memberkahi Ustadz

 Binti Abdillah, Jawa Tengah

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Pertama yang harus dipahami bahwa keberadaan tiap-tiap manusia adalah sebagai ujian satu bagi yang lain. Sebagimana Anda diuji dengan keberadaan dan sikap orang lain, begitupun Anda juga menjadi ujian bagi orang lain. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Dan kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain, maukah kamu bersabar?” (QS. al-Furqan: 20)

Maka yang paling penting adalah bagaimana kita merespon setiap ujian yang datang kepada kita dengan kesabaran. Selain berusaha menempuh usaha yang solutif, jangan sampai pahala luput dari kita sekecil apapun ujian datang menghampiri kita.

Terkait dengan kabar gunjingan yang disampaikan kepada Anda, berarti ada tiga pihak yang terlibat; orang yang menggunjing, pembawa kabar dan Anda sendiri. Untuk masing-masing pihak Anda bisa bersikap dengan sesuatu yang bermanfaat.

Baca Juga: Kencan di Dunia Maya

Bagi Anda sendiri, hadirkan bahwa gunjingan orang itu adalah terkuranginya dosa Anda atau berkurangnya dosa Anda. Maka hal ini menjadikan Anda lega, bahkan bisa saja Anda menyikapi sebagaimana Imam Hasan al-Bahsri berkata di saat menerima kabar yang semisal, “marhaban bil ajr, selamat datang pahala, tanpa berusaha ataupun beramal.” Yah, hanya diam otomatis dosa berkurang atau pahala bertambah, siapa yang tidak lega dengan kabar gembira ini?

Terhadap pelaku ghibah atau orang yang menjelek-jelekkan, Anda bisa mendoakan ia dan juga Anda, sebagaimana sikap Ali bin Husein rahimahullah saat diberi kabar serupa, “Jika memang apa yang ia katakan itu benar, semoga Allah memaafkan saya, dan jika apa yang dikatakannya salah, semoga Allah memaafkan ia.” Yah, memang butuh latihan dan mujahadah utuk bisa menata hati sedemikian rupa.

Adapun terhadap pembawa berita, maka Anda bisa memberi pelajaran kepadanya sebagaimana Imam asy-Syafi’i berkata kepada pembawa berita ghibah, “Apakah setan tidak mendapatkan perantara selain Anda?” Ini merupakan pelajaran beliau supaya pembawa berita sadar, apa yang dilakukannya itu justru akan menanamkan dendam, permusuhan atau setidaknya kegundahan bagi yang mendengar. Semestinya ia menegur pelaku ghibah dan bukan dengan menyampaikan gunjingan yang membuat si korban bersedih.

Semoga Allah memudahkan kita meraih setiap keutamaan, aamiin. (Abu Umar Abdillah/Jarhah/Konsultasi)

 

Tema Terkait: Pertemanan, Ghibah, Konsultasi

Bila Wanita Melamar Pria

Menawarkan diri pada lelaki yang pasti; pasti agamanya, pasti kualitas akhlaknya. Walau yang tak pasti cuma satu, diterima atau tidak. Dan andai ditolak pun sebenarnya bukanlah kehinaan, hanya ladang kesabaran yang niscaya menumbuhkan pahala. Daripada menunggu yang tak pasti; tak pasti agamanya, tak pasti akhlaknya. Bahkan juga tak pasti pula datangnya.

Apakah salah bila seorang wanita muslimah menawarkan dirinya pada seorang lelaki shalih? Padahal menikah merupakan ibadah setengah dien.

Contoh yang Telah Berlalu

Sebenarnya kejadian seperti ini juga pernah terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana  hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Telah datang seorang wanita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menawarkan diri kepadanya, dan berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau berhajat kepadaku?” Lalu ketika menceritakan hadits ini maka anak perempuan Anas radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Sungguh sedikit malu perempuan itu dan buruk akhlaknya.” Lalu dijawab oleh Anas radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya dia itu (perempuan yang menawar diri) lebih mulia dan baik darimu karena dia mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menawar dirinya demi kebaikan.” (HR. Bukhari)

  Baca Juga: 3 Manfaat Menikah Muda

Dalam riwayat lain, Sahal bin Sa’ad mengatakan bahwa seorang wanita datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menyerahkan diriku kepadamu.” Tatkala wanita itu melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memutuskan sesuatu terhadap tawarannya itu, lantas dia duduk. (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadit di atas tidak dikhususkan kepada Rasul saja, bahkan bisa menjadi contoh teladan kepada semua wanita muslimah dan mereka diperbolehkan menawarkan diri kepada lelaki shalih agar menikahinya, tentunya selama tidak akan menimbulkan fitnah tersendiri dan dengan cara-cara yang terpuji. Dan apa yang terjadi kepada Rasul, selama tidak dikhususkan, maka menjadi perbuatan sunnah yang umum. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Al-Bukhari mengemukakan hadits ini dalam bab seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang laki-laki yang shalih. Sementara dalam Kitab Fathul Baari disebutkan, “Ibnul Munir berkata dalam kitab Al-Hasyiah, “Di antara kehebatan Bukhari bahwa ketika dia tahu ada kekhususan dalam kisah seorang wanita yang menyerahkan dirinya ini, dia mencoba menyimpulkan hadits tersebut untuk perkara yang bukan kekhususan. Artinya, bahwa seorang wanita diperbolehkan menawarkan dirinya kepada seorang laki-laki yang shalih karena tertarik oleh keshalehannya. Maka hal itu diperbolehkan.”

Sementara Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Dari hadits mengenai seorang wanita yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu dapat diambil kesimpulan, bahwa seorang wanita yang ingin menikah dengan laki-laki yang lebih tinggi kedudukannya daripadanya bukanlah merupakan aib sama sekali. Apalagi kalau tujuannya baik dan maksudnya benar. Boleh jadi karena kelebihan agama laki-laki yang mau dilamar atau karena keinginan dan hawa nafsu yang apabila didiamkan saja dikhawatirkan dia bisa terjebak ke dalam sesuatu yang dilarang agama.”

Kemudian Ibnu Daqiq Al-‘Id berkata juga, “Hadits tersebut bisa dijadikan dalil mengenai bolehnya seorang wanita menawarkan dirinya kepada seseorang yang diharapkan keberkahannya.”

Berkata Ibn Hisyam dalam mengisahkan teladan Ibunda Khadijah dalam menawarkan dirinya kepada Rasulullah dengan mengutus perantara (orang tengah) untuk menyampaikan hajatnya kepada Rasulullah dengan menyampaikan pesanan Khadijah, “Wahai anak saudara pamanku, sesungguhnya aku telah tertarik kepadamu dalam kekeluargaanmu, sikap amanahmu, kebaikan akhlakmu dan benarnya kata-katamu.” (Tarikh Ibn Hisyam: 1/122)

Adapun menjawab ayat Al-Qur’an yang menyebut kekhususan hanya untuk Nabi, sebagaimana firman Allah, “Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau menikahinya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.” (QS. Al-Ahzab: 50)

Pengkhususan di sini dimaksudkan dalam masalah maskawin, yaitu dikhususkan untuk Rasulullah nikah dengan perempuan yang menghadiahkan dirinya kepada baginda Nabi tanpa perlu beliau membayar maskawin, sedangkan bagi umat Islam yang lain diwajibkan membayar maskawin, namun untuk nabi diberi pengecualian. (Ibnu Katsir: 3/124)

Bisa Juga Oleh Walinya

Memang bisa juga dengan perantara walinya, mungkin saudaranya yang laki-laki atau perempuan, juga bisa orang tuanya yang langsung menawarkan. Sebagaimana cerita tentang nabi Shalih yang ditawari Syu’aib akan anak-anaknya yang perempuan, “Berkatalah dia (Syu’aib), “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun.” (QS. Al-Qhasas: 27)

Dalam sebuah hadits shahih disebutkan, “Bahwa Umar bin Khattab ketika melihat Hafsah –putrinya dari Khunais bin Khudzafah As-Sahmi– belum bersuami, beliau menawarkannya kepada Utsman bin Affan, lalu kepada Abu Bakar, dan terakhir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengkhitbahnya.” (HR. Bukhari)

  Baca Juga: Orangtua Belum Mengijinkan Menikah

Demikian hadits yang bersumber dari Ali bin Abi Thalib, beliau berkata, “Wahai Rasulullah, apa ada yang engkau pilih dari Quraisy sehingga engkau memanggilku?” Rasulullah menjawab, “Apakah engkau ada pandangan?” Aku katakan, “Ya, putri Hamzah.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Sesungguhnya dia tidak halal bagiku, karena dia putri dari saudaraku sesusuan.” (HR. Muslim)

Melecut Nyali Para Pria

Sebenarnya, bukan karena ketidaktahuan yang membuat para ikhwan melambatkan pernikahan. Tapi seringkali karena tidak pede terutama masalah mahar dan ma’isyah. Nah, akhwat yang semestinya juga ikut meyakinkan mereka, bahwa dia berani untuk menanggung bersama. Berani menjalani proses kehidupan apapun bentuknya, lapang dan sempitnya, susah maupun gembiranya. Terkadang para ikhwan itu perlu dipecut agar tidak lagi menjadi pengecut, agar bertambah kuat imannya tentang rizki Rabbnya, dan bertambah pula kreativitas usahanya. Pernikahan terbukti menjadi sebuah bentuk sarana percepatan diri yang sangat efektif. Lalu hanya kepada Allah kita semua bertawakkal. (Mustaqim/Redaksi/Wanita)

 

  Tema Terkait: Wanita, Nikah, Motivasi 

 

 

 

Suami Suka Iri

Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Ustadz, saya seorang istri dengan 2 orang anak. Begini Ustadz, saya mohon nasihat dari Ustadz tentang bagaimana cara menghadapi suami yang egois dan suka iri dengan keberhasilan orang lain, sementara dia sendiri kurang bekerja keras. Jazakumullah atas nasihatnya.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Hamba Allah di Pwrj

Wa’alaikum salam warahmatullahi wa barakatuh
Hamba Allah yang budiman, sikap egois adalah tanda ketidakdewasaan seseorang karena tidak memikirkan orang lain. Orang seperti ini hanya melihat persoalan dari sisi menguntungkan dirinya atau tidak. Dia kurang bisa menenggang perasaan dan kepentingan orang lain dan cenderung tidak peduli. Sedang sifat iri biasanya datang dari rasa takut tidak bisa menyamai apa yang dicapai oleh orang lain dalam hal yang kita inginkan. Hal yang bukan saja menunjukkan rasa tidak percaya diri, namun juga pikiran yang negatif dan bahwa kita sebenarnya tidak cukup baik.

Fudhail bin Iyadh rahimahullah mengatakan, “Tidaklah seseorang mencintai kekuasaan, melainkan pasti ia merasa iri dan dengki terhadap lawannya, suka mencari-cari aib orang lain, dan tidak suka bila kebaikan lawannya disebut-sebut.”
Menghadapi orang seperti ini jelas bukan perkara mudah, apalagi status beliau sebagai suami. Untuk itu, yang pertama adalah menyediakan waktu yang cukup guna melakukan sharing secara berkesinambungan dengan suami. Ajaklah bicara tentang takdir bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri, sehingga tidak perlu untuk iri dengan apa yang dimiliki oleh orang lain. Katakan kepada beliau bahwa kita tidak bisa menjadi orang lain karena kita berbeda dengannya, dan pasti setiap kita memiliki kelebihan yang bisa kita gali dan kembangkan. Tunjukkan dengan bahasa yang santun tentang kekurangan suami agar beliau lebih sibuk mencari aib diri sendiri alih-alih sibuk mencari kejelekan dan kekurangan orang lain. Lakukan semuanya dengan hati-hati dan sabar. Sebab kalau tidak, malah bisa memicu konflik baru.

Ajaklah suami untuk mensyukuri nikmat yang ada agar tidak selalu merasa kurang. Sebab, “Barangsiapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka dia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad). Ajak beliau untuk melihat mereka yang di bawah kita agar bisa lebih bersyukur dan ridha. Jangan lupa untuk berdoa agar terbebas dari rasa iri dengki yang menyiksa, sebagaimana para shahabat dahulu melakukannya.

Ibu bisa juga mengajak suami untuk datang di berbagai kajian keislaman agar mendapat ilmu yang bermanfaat dan tidak melulu memikirkan urusan dunia. Sebab, rasa iri selain buah dari iman yang lemah, juga tumbuh dari persaingan duniawi belaka. Bekal ilmu ini perlu agar suami menjadi lebih dewasa, mau berbagi, tumbuh rasa percaya diri, berfikir positif dan memiliki etos kerja yang tinggi. Yakinkan kepada beliau bahwa kesuksesan adalah hasil kerja keras dan beliau, insyaallah bisa melakukannya.
Demikian semoga bermanfaat.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh