Bila Mengaku Islam, Buktikan!

Bukti seseorang merasa memiliki Islam, meyakini kebenaran Islam, dan bahwa Islam menjadi darah dagingnya adalah ketika ia memiliki kepedulian terhadapnya, ada pembelaan terhadapnya, ada pengorbanan untuknya, dan ada upaya untuk memperjuangkannya. Tidak mungkin dirinya rela menjadi “muslim pasif”.

 

Bukti Islammu

Kepedulian dibuktikan dengan keseriusannya untuk mendalami Islam dan cabang-cabang ilmunya. Lembaran sejarah dipenuhi oleh kisah kegigihan para ulama dalam mencari ilmu, sejak pertama terkena sentuhan Islam. Seperti Jabir bin Abdillah yang rela menempuh satu bulan perjalanan untuk mengecek keakuratan satu hadits.

Sedangkan pembelaan terhadap Islam dibuktikan dengan ghirahnya (semangatnya). Ia tidak rela Islam dicela, tidak akan membiarkan orang-orang yang mencela Allah dan Rasul-Nya. Meskipun ia harus berhadapan dengan keluarga terdekatnya. Seperti Abdullah bin Abdullah bin Ubay, ketika mendengar ayahnya telah mencela Nabi sebagai orang yang hina, sedangkan dirinya orang yang mulia, maka ia cegat ayahnya saat masuk Madinah. Beliau berkata kepada ayahnya, “Aku tidak akan membiarkanmu memasuki Madinah, sebelum bapak mengatakan bahwa Nabilah yang mulia, dan bapaklah yang hina.” (Tafsir Ibnu Katsier 4/473)

Baca Juga: Memanah, Hiburan yang Mengantarkan Ke Jannah

Tentang pengorbanan dan perjuangan untuk Islam, sahabat Mush’ab bin Umeir Radhiyallahu ‘anhu menjadi teladan yang luar biasa. Sejak masuk Islam penampilannya berubah drastis, tadinya seorang pemuda yang glamour, suka bermewah-mewah, mendadak harus mengenakan pakaian paling kasar, karena orangtuanya yang kaya raya tak sudi lagi menganggapnya sebagai anak. Beliau juga menyanggupkan diri membuka lahan dakwah di Madinah, hingga Allah memberkahi dakwah tersebut. Dalam waktu yang tak begitu lama, Islam telah menjadi warna dominan di Madinah. Kisah tentang hal ini terlalu masyhur untuk diulas di sini.

Ada lagi Umair bin Wahab, jagoan Quraisy yang tadinya paling getol memusuhi Islam dan penganutnya. Setelah masuk Islam, beliau bertekad mendakwahi ke seluruh wilayah yang beliau pernah injak dalam kekafiran, hingga dengan sebab dakwah beliau, akhirnya banyak orang-orang yang masuk Islam.

Di kalangan wanita, ada Ummu Syarik. Keyakinannya yang dalam akan kebenaran Islam, membuat beliau tak mampu tinggal diam. Ia ingin, hidayah itu juga dirasakan pula oleh keluarganya, tetangga dan juga sebanyak mungkin manusia. Beliau berdakwah dengan sembunyi-sembunyi, hingga akhirnya beliau ditangkap dan disiksa. Pun, hal itu tidak membuat beliau menyesal atau jera. Beliau dipanggang di tengah terik matahari selma tiga hari. Namun akhirnya, Allah memberikan pertolongan. Buah dari ketegaran beliaupun nyata. Kaumnya berbondong-bondong masuk Islam ketika menyaksikan karamah yang Allah berikan kepadanya. Mereka berkata, “Kami bersaksi bahwa Rabbmu adalah Rabb kami, dan kami bersaksi bahwa yang telah memberikan rejeki kepadamu setelah kami menyiksamu adalah Rabb yang telah mensyariatkan Islam.” Maka merekapun masuk Islam dan semuanya turut berhijah bersama Rasulullah saw. (al-Ishabah fie Tamyiizish Shahabah 8/248)

 

Di mana Peranmu?

Memang, semakin seseorang memiliki ilmu yang luas, kepiawaian dalam banyak bidang, semakin banyak pula peran yang bisa disumbangkan untuk Islam. Hanya saja, untuk turut berperan andil untuk memperjuangkan Islam tak harus menunggu semua serba sempurna. Kita bisa memulai dari apa yang kita punya dan apa yang kita miliki, meskipun kelihatannya kecil dan sepele. Sebab tak ada yang sepele di sisi Allah. Selebihnya, menjadi tugas kita untuk selalu belajar, mengembangkan potensi serta memperbaiki diri agar apa yang kita sumbangkan untuk Islam lebih berarti.

Andil itu tak harus berupa mubaligh kondang, jago pidato, pakar nulis atau yang semisalnya. Mengajak orang untuk mengikuti majlis ilmu, menyebarkan tulisan dan sarana kebaikan, mendidik keluarga dengan warna Islam, mendoakan untuk kewibawaan islam dan kaum muslimin, dan masih banyak lagi peran yang bisa kita lakukan.

Baca Juga: Jadilah yang Pertama dalam Kebaikan

Penulis lumayan terhenyak dengan karya yang ditulis oleh Syaikh Mahmud Mahdi al Istambuli dan Musthafa asy Syalabi yang berjudul Nisa’ Haula ar-Rasuul. Bukan hanya tentang tokoh-tokoh wanita yang gemerlapan keahlian dan peran besarnya. Tapi juga seorang wanita tua yang lemah, yang nyaris tak memiliki keistimewaan apa-apa di sisi manusia, tapi ternyata Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat memperhatikannya. Yang menarik juga, penulis memberi sub judul “Darsun Laa yunsa“, pelajaran tak terlupakan.

Namanya Ummu Mahjan. Seorang wanita tua yang lemah, hitam kulitnya. Ia bukan termasuk kalangan cerdas cendekia, bukan pula masuk golongan kaya raya. Pun begitu, ia tetap ingin berkhidmat untuk Islam sebisanya. Dengan tekun ia membersihkan masjid tiap harinya, tempat ibadah dan berkumpulnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Sehingga mereka merasa nyaman di tempat yang mulia itu. Ketika wanita itu meninggal di malam hari, para sahabat langsung menguburkannya di malam itu, tanpa membangunkan dan memberitahukan peristiwa itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mungkin karena mereka anggap bahwa meninggalnya wanita itu bukan hal yang begitu penting.

Pagi harinya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam merasa kehilangan, setelah mendapat informasi, beliau menegur para sahabat yang tidak memberitahukan kejadian yang menurut Nabi penting itu. Beliau bersabda, “Kenapa kalian tidak memberitahukan hal itu kepadaku?” (HR. An-Nasa’i, al-Muwatha’)

Ternyata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan perhatian besar atas usaha wanita tersebut dalam berkhidmat untuk Islam.

Masihkah ada di antara kita yang layak menyatakan udzur dari berkhidmat untuk Islam, dengan alasan tidak memiliki potensi? Tidak memiliki kemampuan apa-apa? Atau bahkan tidak memiliki cukup waktu? Buktikan Islammu!

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Motivasi

 


Jangan terlewat untuk membaca motivasi islami lainnya hanya di Majalah islam ar-risalah. Belum memiliki majalahnya? Hubungi Keagenan Majalah ar-risalah terdekat di kota Anda, atau hubungi kami di nomer: 0852 2950 8085

Imannya Samar, Kemudian Pudar

Tampaknya masih musyrik padahal sudah bersyahadat dan masuk Islam, itulah keadaan sebagian sahabat di awal periode Makkah. Menyembunyikan keislaman di awal dakwah perlu dilakukan untuk menyelamatkan jiwa dan bahkan sebagai taktik untuk mengendus makar-makar musuh Islam, sehingga bisa menyelamatkan muslim yang lain. Salah satu contohnya adalah keislaman Nu’aim bin Abdillah.

Ketika cahaya hidayah Islam belum masuk dalam kalbu Umar, ia pernah keluar dengan menghunus pedangnya bermaksud membunuh Rasulullah. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan Nu`aim bin Abdullah al ‘Adawi, seorang laki-laki dari Bani Zuhrah (yang menyembunyikan keislamannya).

Setelah mengkorek informasi dari Umar, maka sahabat Nu’aim memberitakan suatu kabar yang mengakibatkan Umar membatalkan niatnya untuk membunuh Rasulullah. Bahkan kisahnya berakhir dengan masuk Islamnya Umar bin Khattab radhiallahu’anhu.

Di Madinah keadaan berubah tidak seperti di Makkah, setelah perang Badar ada sebagian yang menampakkan Islam, namun sejatinya mereka masih dalam kekafiran, mereka menyembunyikan kekafirannya di hadapan kaum muslimin supaya mendapatkan keamanan dan keuntungan dunia semata. Ketika bertemu dengan teman kafirnya maka mereka menerangkan jati diri mereka yang sebenarnya, dan bekerjasama dengan orang-orang kafir untuk melawan Islam. Itulah kemunafikan.

Yang Takut Terjangkiti Kemunafikan Itulah Mukmin

Ibnu Abi Malikah pernah mengatakan, “Aku telah menjumpai tiga puluh sahabat Nabi, seluruhnya takut akan nifak. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengatakan, bahwa dirinya memiliki iman seperti imannya Jibril dan Mikail.”

Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, “Tidak ada orang merasa aman dari sifat nifak kecuali orang munafik dan tidak ada orang yang merasa khawatir terhadapnya kecuali orang mukmin.”

Ketika seorang mukmin takut dari sifat-sifat kemunafikan maka ia akan menjauh dari perbuatan tersebut, sebaliknya orang yang tidak khawatir menjadi munafik akan mudah untuk mengamalkan perbuatan kemunafikan, sehingga ketika nifak amal itu terus dilakukan menghantarkannya kepada nifak i’tiqadi (nifak akbar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam).

Muslim berusaha untuk tidak dusta dengan perkataannya, tidak menyebarkan hoax. Bila diberi amanah maka berupaya menunaikannya dan tidak mengkhianati amanah tersebut, beramar ma’aruf nahi mungkar serta tidak membuat makar, menunaikan janji dan bila ada perselisihan maka tidak berlaku curang dan tidak menempuh segala cara untuk menang.

Terang Terangan Beramal Kemunafikan Dekat Dengan Kekafiran

lihatlah Hari ini, ada yang mengaku Islam namun fasih menolak Syari’at Islam berlaku di bumi Nusantara, bahkan dengan lancangnya ia mengatakan kalimat kekafiran yang sangat jelas “diatas hukum agama dan adat ada konstitusi negara.”

Ada yang sangat dekat dengan orang kafir bahkan menjadikan mereka sebagai pemimpin dan meninggalkan orang Islam, padahal sudah sangat jelas, hanya orang munafiklah yang mengangkat pemimpin kafir dan meninggalkan orang-orang Mukmin.

Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (An Nisa: 138-139)

Ada pula diantara mereka yang dekat dengan orang orang atheis komunis, musyrik dan ahlu kitab (yahudi dan nasrani) menjalin hubungan kerjasama, dengan dalih kemaslahatan umat dan meninggalkan bekerjasama dengan pemimpin yang muslim, padahal kita sudah tahu sesatnya aqidah orang musyrik dan ahlul kitab dan ketidak ridhaan mereka terhadap keimanan serta liciknya mereka menguasai sumber daya alam Nusantara.

Memang begitulah arwah diciptakan oleh Allah, yang setipe akan berkumpul dan bersama sama, yang tidak memiliki kesamaan sifat akan bepisah dan menjauh serta tidak mau besatu. Orang mukmin tidak mungkin bersatu dengan orang kafir, dan orang munafik sukanya bersama dengan orang kafir, baik di dunia maupun di akhirat.

Orang-orang munafik beramar mungkar dan bernahi ma’ruf, kemaksiatan dan kebatilan dibela sedangkan amal shaleh dan al haq di benci dan ditentang. Ulama yang berdakwah dengan haq dikriminalkan, sedang orang kafir nyata melakukan kesalahan dan senantiasa meruntukan bangunan keimanan malah dibela. Allah Ta’ala berfirman yang artinya :

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh kepada yang munkar dan melarang berbuat yang ma´ruf dan mereka menggenggamkan tangannya (tidak suka berinfak fisabilillah dan tidak berlaku ihsan). Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 67)

Meski sisi kesesatannya berbeda, yang satu liberal yang satu syi’ah, mereka sepakat untuk memilih pemimpin kafir dan menentang penafsiran yang benar dengan tafsir batil mereka.

Orang kafir jelas menjadi musuh bagi Islam secara terang terangan, namun orang munafik juga musuh (yang sebenarnya ), waspadalah terhadap mereka (QS. Al Munafikun: 4). Allah memerintahkan kepada Nabi untuk berjihad melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik, bersikap keras terhadap mereka (At Taubah: 73), dan berjihad melawan orang munafik adalah dengan hujjah, mengekang dan menghukum mereka serta bersikap keras dan tegas. Qotalahumullah anna yu’fakun, semoga Allah membinasakan mereka, bagaimanakah mungkin mereka berpaling dari petunjuk kepada kesesatan. Nasalullahal aafiyah was salaamah minan nifaaq.