Membangun Tanpa Rancangan

Sejarah peradaban manusia dipenuhi dengan kisah pertarungan untuk mempertahankan eksistensi. Tidak jarang kelompok manusia jahat yang terpimpin dan terorganisasi eksis keberadaannya mengalahkan kelompok manusia baik yang tidak terpimpin, tidak terorganisasi sehingga lemah. Tidak jarang sekelompok manusia yang jahat dikalahkan oleh kelompok lain yang lebih jahat atau sebaliknya. Allah mengabadikan sunnah kauniyah tersebut dalam firman-Nya, “…Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nashrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah”. [Al-Hajj 40].

Kadang sebuah bangsa tersungkur dalam perbudakan bangsa lain karena secara kekuatan dan jumlah dalam ‘hukum besi’ peperangan mentakdirkan mereka kalah, bukan karena lengah tidak mempersiapkan diri menghadapi pertarungan eksistensi. Ada juga bangsa yang hilang eksistensinya terkena ‘pembersihan etnis’ lantaran kelengahan dalam menghadapi pertarungan eksistensi. Ada yang ditakdirkan terusir dan terlunta-lunta karena berbagai sebab, baik sebab itu berupa kelengahan maupun semata-mata faktor kekalahan.

 

BACA JUGA: CITRA PERIBUMI DIMATA PORTUGIS

 

Sering pula terjadi sebuah bangsa terhapus dari muka bumi bukan karena dihabisi oleh bangsa lain, tetapi karena bencana alam yang menimpa. Dalam bahasa ‘kausalitas transenden’ kehancuran disebabkan karena kekafiran mereka dan perbuatan fasad di muka bumi.

Dalam hal persaingan mempertahankan eksistensi dengan bangsa yang lain, dapat pula terjadi sebuah entitas bangsa kehilangan kedaulatannya disebabkan beban-beban riel sebagai sebuah komunitas yang tidak mampu mereka tanggung tanpa bantuan pihak luar. Bantuan itu dapat berupa pinjaman finansial, teknologi, alutsista militer, dll. Apa yang dinamakan ‘bantuan’ dalam kamus pergaulan antar bangsa dewasa ini, pada dasarnya tidak ada yang ‘gratis’, selalu ada kepentingan di balik ‘pemberian bantuan’ itu.

Sektor Pangan

Indonesia merupakan wilayah geografis yang kaya sumber alam untuk kecukupan hidup penduduknya; pangan, sumber energi maupun tambang mineral. Hanya saja sebaran penduduk yang tidak merata, ada beberapa pulau yang sangat padat penduduk, ada yang dengan kerapatan sedang dan ada pula yang sepi penduduk sehingga sumber alam yang ada belum terkelola secara maksimal. Juga bentuknya yang kepulauan merupakan tantangan tersendiri karena prasarana transportasi akan sangat menentukan lancar tidaknya pengangkutan hasil sumber alam tersebut ke berbagai tempat.

Di sisi lain jumlah penduduk yang meningkat cepat, menjadi tantangan bagi siapapun yang memerintah. Ledakan penduduk yang mengikuti ‘deret ukur’ jika hanya dibarengi dengan penyediaan sarana kehidupan dengan kecepatan deret hitung, dapat dipastikan dalam bayang-bayang bahaya. Pertambahan penduduk yang cepat, diperlukan penyediaan bahan pangan yang seimbang. Diperlukan kebijakan yang memastikan ketersediaan luas lahan produktif untuk menyediakan bahan pangan bagi jumlah tersebut secara seimbang, memastikan ketersediaan tenaga kerja yang menjamin aktivitas penyediaan bahan pangan tersebut terjaga kontinuitasnya, terus melakukan perluasan lahan demi menjamin ketersediaan pada setiap asumsi pertambahan penduduk, termasuk mencari pangan alternatif sehingga tidak sama sekali tergantung dengan satu komoditas pangan tunggal.

Jika kebijakan dalam masalah tersebut gagal, maka pilihannya import bahan pangan, sebab pangan termasuk kebutuhan primer yang tidak dapat ditunda pemenuhannya. Hanya saja, pilihan import berarti menguras simpanan devisa, ibarat seorang ibu rumah tangga yang harus membeli kebutuhan mendesak tak dapat ditunda, tabungan yang dimiliki harus digunakan, sedihnya jika ‘tabungan’ devisa itu tak terlalu banyak karena produktivitas penduduk yang rendah, atau tidak memiliki komoditas unggulan yang ketika dijual keuntungannya signifikan.

Import bahan pangan, masih menghantui negara dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta ini. Negera agraris tersebut tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan penduduknya. Sedihnya tak hanya beras yang tergantung pemenuhannya dari import, bahkan kebutuhan bibit pun ternyata tergantung kapada pihak luar. Inovasi dalam perbaikan kualitas bibit dan penyediaannya, padi maupun jagung, tergantung pihak luar. Lahan pertanian terus menyempit lantaran didesak oleh pemukiman dan pabrik-pabrik, ketertarikan generasi muda kepada pertanian semakin merosot karena ketiadaan perlindungan bagi masa depan petani, dan masalah-masalah lain yang kompleks.

Tidak hanya beras, masyarakat agraris ini pada tahun 2012 terkena hantaman kelangkaan kedelai. Ketergantungan terhadap komsumsi kedelai baik sebagai bahan tahu atau tempe atau produk-produk olahan kedelai yang lain cukup tinggi. Kebutuhan tersebut tidak dapat dicukupi dari dalam negeri karena terus menurunnya produksi kedelai akibat semakin merosotnya lahan. Produksi kedelai nasional hanya sekitar 800.000 ton berbanding kebutuhan konsumsi pertahun yang mencapai 3.000.000 ton. [Kelangkaan Kedelai, Senin 7 Oktober 2013, http://lauradevy.blogspot.com]. Karena kebutuhan kedelai tidak dicukupi dari dalam negeri, kegagalan panen kedelai di AS berimbas kepada ketersediaan barang tersebut dan tingginya harga disini.

Yang paling akhir terjadi adalah kelangkaan daging sapi. Kelangkaan daging sapi, telah menyingkap arah kebijakan yang salah di sektor tsb. Indikasi adanya kartel pengusaha daging sapi yang melakukan penimbunan untuk mendapatkan keuntungan berlipat hanya merupakan salah satu sisi temuan. Betapapun, problem terbesar adalah ketidakseriusan pemerintah untuk secara bertahap mencukupi kebutuhan konsumsi daging dari dalam negeri. Apakah ketidakseriusan itu akibat tekanan para pemilik modal yang menangguk keuntungan besar dari bisnis import sapi atau ketidakbecusan regulasi menyangkut pengelolaan hajat hidup orang banyak. Swasembada pangan tidak mendapatkan perhatian cukup dan berkesinambungan. Jika ada issu kelangkaan mereka ribut, ketika issu mendingin perhatian tersebut hilang lagi.

Sektor Energi

Jumlah penduduk yang besar, dengan ketergantungan kepada sumber energi fosil yang ‘tidak terbarukan’ merupakan beban berat yang terus bertambah. Konsumsi energi minyak bumi dan gas alam, baik untuk keperluan produksi (pabrik-pabrik), transportasi, pembangkit listrik, sektor pertanian, nelayan, maupun rumah tangga merupakan tantangan terberat untuk mengatasi.

Para penanggung jawab sektor energi ini tidak mengambil keputusan yang benar pada waktu yang tepat. Pada saat produksi minyak bumi surplus, tampil sebagai salah satu negara anggota pengeksport minyak, tidak memanfaatkan timing saat terjadi booming harga minyak saat terjadi krisis minyak bumi ketika dunia Arab membatasi jumlah produksi sehingga harga melambung tinggi. Kenaikan itu hanya dinikmati sebagai ‘berkah’ akibat selisih biaya produksi dengan harga penjualan, tidak diikuti dengan memperkuat kemandirian dalam melakukan eksplorasi dan mencari sumber-sumber minyak yang baru, tidak dimanfaatkan untuk membangun depo-depo penampungan yang memiliki kapasitas lebih besar untuk mengantisipasi kebutuhan yang terus membengkak. Alih-alih menyisihkan sebagian dana tersebut untuk melakukan penelitian dan mengembangkan sumber energi alternatif yang ‘terbarukan’. Negara dengan penduduk 250 juta, sementara depo-depo penampungan yang dimiliki hanya mampu menyediakan dalam hitungan sekitar dua pekan, sungguh sebuah keteledoran yang sangat beresiko.

Bangsa ini terancam tidak mampu mengatasi tantangan yang dihadapi akibat salah arah, membangun tanpa rancangan dan menyerahkan kepemimpinan kepada orang-orang yang bukan ahlinya. Dikhawatirkan hanya menjadi obyek permainan bangsa-bangsa yang kuat melalui para pemimpinnya yang lemah dan rakus. Wal-‘iyaadzu bilLaah.

Berproses dan Bersiap Menemukan

Sebuah proses pencapaian, seringkali jauh lebih penting daripada hasilnya. Hal yang tentu saja sulit mengingat kegemaran kita akan sesuatu yang nikmat dan cepat, mudah tanpa lelah, praktis tidak ribet, alih-alih berjuang dalam masa yang panjang, atau menunggu dengan kesabaran. Sedang syahwat yang bergolak oleh sinyal-sinyal nikmat yang menjanjikan, seringkali tak berdaya melawannya.

Pada perjalanan proses, kita akan menemukan kesadaran tentang arti perubahan kebaikan yang hakiki. Bukan semata pengejaran hasil yang kadang membuat kita pongah karena merasa hebat, atau malah jatuh luluh lantak karena merasa gagal. Ia juga bukan tentang seberapa kita bisa memanjakan hasrat akan kenikmatan, atau bagaimana khalayak ramai memberi tanggapan. Ia adalah murni pembuktian kualitas iman, bukan syahwat yang mencari pembenaran.

 

BACA JUGA: Khutbah Jumat: Hati Gersang Karena Iman Telah Usang

 

Karena kita tahu bahwa hasil yang tampak memukau tidak selalu paralel dengan kerja rumit, sulit dan juga benar. Dan kegagalan juga bukan berarti karena malas atau salah. Terlalu banyak rahasia dan rencana dari Sang Khaliq, dan kita terlalu bodoh dan picik. Juga, karena kita percaya bahwa semua pencapaian adalah ujian, seperti apapun penampakannya, serta seperti apa jua reaksi diri kita saat menemukannya. Sebab bagi hamba beriman, semuanya bukanlah persoalan besar asalkan bisa menyikapi dengan benar.

Proses yang benar adalah bukti komitmen atas nilai kebenaran yang diyakini. Penyerahan diri dalam bentuk tindakan sebab percaya sempurnanya petunjuk dari Yang Mahaberilmu, juga kepasrahan total tentang hasil yang akan dipanen. Bahwa itulah perolehan terbaik dalam keyakinan akan berbagai hikmah yang mengiringinya, juga kemampuan menghadapinya. Bahwa Allah, juga pasti tidak akan pernah mengkhianati kepatuhan hamba-Nya. Dimana Dia pernah bersumpah akan memberi bahkan sebelum para hambaNya meminta, dan mengabulkan sebelum mereka berdoa, asalkan mereka dalam kepatuhan kepadaNya. Karena Dia tahu apa yang menjadi kebutuhan manusia melebihi pengetahuan mereka tentangnya.

Akhirnya, proses adalah benarnya urutan tindakan dan penjiwaan dalam langkah-langkah yang diambil. Ibarat membuat adonan tepung, yang meski dengan komposisi bahan yang sama, namun berbeda dalam urutan tindakan dan takarannya, bisa menjadi sangat jauh berbeda hasilnya. Proses membingkai tindakan agar tak acak, atau hanya rangkaian kosong yang melelahkan dan tidak asal bergerak, hingga kehilangan alasan kenapa harus ada prioritas dan kecintaan. Dalam tataran penghambaan, ia adalah ittiba’ atau peneladanan kepada Rasulullah sebagai aturan mainnya, juga ikhlas sebagai jiwanya.Inilah harga mati yang tidak bisa ditawar agar pencapaian tak terasa hambar dan kegagalan masih berpunya makna.

Agar semuanya tidak berubah serupa debu beterbangan, sebab ditolak Sang Penguasa alam. Sebab apa yang kita temukan adalah hasil dari apa yang kita jalani.

 

 

 


Baca juga artikel menarik lainnya di Majalah islam ar-risalah. Belum punya majalahnya? Segera dapatkan di keagenan terdekat di kota Anda, atau hubungi kami di: 0852 2950 8085     

Kesabaran Berbuah Keimanan

Pada suatu ketika Rasulullah bersama kaum muslimin berencana mengadakan umrah ke Baitul Haram, sekaligus menengok kampong halaman yang telah lama ditinggalkan. Rasulullah menyadari bahwa bentrokan fisik bisa saja terjadi, maka beliau mengajak sebanyak mungkin orang.

Termasuk Badui pedalaman yang belum memeluk Islam sekalipun, untuk umrah bersama, tentu menurut tata cara yang diyakini masing-masing. Dengan begitu rombongan akan besar sekali dan menggetarkan musyrikin Quraisy bila menolak atau menyerang mereka.

Rasulullah mengenakan pakaian ihram untuk menegaskan bahwa perjalanan beliau bukan untuk menentang perang, melainkan beribadah umrah sekaligus melepas kerinduan terhadap kampong halaman. Rombongan Rasul saat itu berjumlah 1400 orang, menurut riwayat Jabir bin Abdullah.

 

Baca Juga: Sabar dan Shalat Kunci Dari Semua Maslahat

 

Mendengar hal tersebut, musyrikin Quraisy bersiap menghadang rombongan Rasulullah memasuki Makkah dan mengirimkan utusan-utusan untuk menakut-nakuti rombongan muslimin. Diantara utusan tersebut adalah ‘Urwah bin Mas’ud. ‘Urwah bin Mas’ud berasal dari bani Tsaqif, dan dikenal luas pengetahuannya, fasih bicaranya, serta arif pemikirannya.

Orang-orang Quraisy ingin memberikan kesan bahwa mereka telah bersatu dengan orang-orang Tsaqif dengan diutusnya ‘Urwah bin Mas’ud, sehingga membuat gentar pengikut Nabi. Mereka membayangkan bahwa barisan Muhammad akan berantakan melihat kedatangan ‘Urwah, apalagi menghadapi kelihaian diplomasinya.

Setibanya di hadapan Rasulullah, ‘Urwah menggertak Rasul dengan berkata, “Ya Muhammad, anda mengumpulkan orang-orang dari berbagai suku lalu menggiring mereka semua kemari untuk menghancurkan keluarga dan kaum anda sendiri? Tidaklah mereka itu membantu anda dengan sepenuh jiwa, melainkan akan bubar melarikan diri. Sesungguhnya kaum Quraisy telah keluar dengan segala kekuatannya dan mengenakan baju perang dan bersumpah tak akan membiarkan anda memasuki Makkah. Demi Tuhan, saya bisa melihat mereka menghabisi anda semua besok pagi!”

Mendengar gertakan ‘Urwah, dan tuduhan para sahabat akan melarikan diri meninggalkan Rasul, Abu Bakar tak bisa menahan amarahnya. “Lebih baik engkau menyusu pada Al-Laati (berhala orang Tsaqif). Kau kira kami akan lari karena ancamanmu itu?” kata Abu Bakar dengan keras dan kasar.

‘Urwah berusaha menahan emosinya dan bertanya, “Siapakah dia ini, ya Muhammad?”

“Dia adalah Abu Bakar,” jawab Rasulullah. Pada masa lalu ‘Urwah pernah berutang budi kepada Abu Bakar, sehingga ketika dihina sedemikian rupa ‘Urwah hanya mengatakan, “Demi Tuhan, sekiranya tidak karena apa yang engkau lakukan terhadapku pada masa-masa silam takkan kubiarkan begitu saja kata-katamu itu!”

Setelah itu ‘Urwah kembali melanjutkan pembicaraannya. Selama perundingannya dengan Rasulullah, ‘Urwah mengamati tingkah orang-orang disekilingnya. Didapatinya bahwa para pengikut Muhammad begitu cinta dan hormatnya kepada beliau. Mereka merendahkan suara ketika berbicara dengan Rasul dan menundukkan kepala bila mendengarkan Rasul berbicara. Melihat yang sedemikian itu, maka sadarlah ‘Urwah akan kekeliruan kata-kata sebelumnya. Tak mungkin para sahabat akan meninggalkan Rasul mereka seorang diri menghadapi kaum Quraisy. Pantas saja bila Abu Bakar marah sekali padanya.

 

Baca Juga : Kesabaran Para Pembela Kesyirikan

 

‘Urwah akhirnya kembali ke Makkah dan melaporkan kepada orang Quraisy. Disampaikan pula pendapatnya kepada orang Quraisy, “wahai Tuan-tuan, sesungguhnya saya sudah pernah menjadi utusan untuk mendatangi kaisar Persia dan Romawi, sebagaimana pernah pula menghadap Raja Najasy di Habasyah. Demi Tuhan, belum pernah saya jumpai seorang pemimpin begitu dimuliakan kaumnya seperti halnya Muhammad diantara para pengikutnya. Saya dapat melihat para pengikut Muhammad membelanya sampai titik darah penghabisan, maka sekarang terserah Tuan-tuan apa yang akan kalian lakukan.”

Tanpa mereka sadari, ‘Urwah telah berdiri sebagai pembela Nabi, dan ini makin mengobarkan kebencian orang-orang Quraisy. Pada prinsipnya pihak Quraisy telah gagal dalam diplomasinya, dan ‘Urwah telah terlunakkan hatinya.

Telah dilihatnya betapa taat para muslimin terhadap Rasulullah. Jangankan orang-orang Quraisy, pasukan dengan jiwa demikian akan mampu menghadapi kekuatan musuh seperti apapun di atas bumi. Abu bakar yang terkenal santun dan sabar pun telah ia rasakan amarahnya, garang bagai harimau lapar.

Rasulullah begitu lihai memanfaatkan orang yang tepat dan menggunakan kekerasan pada waktu yang tepat. Membuat mental kaum Quraisy jatuh, walaupun kekuatan muslimin hanya 1400 orang, tanpa senjata pula. Semangat dan persatuan muslimin mampu melipatgandakan kekuatannya menghadapi kaum Quraisy dan sekutu mereka.

Inilah pelajaran yang berguna bagi suatu gerakan islam. Pelajaran yang harus direnungkan oleh setiap pemimpin. Bagaimana mengembangkan muamalah dengan musuh, bagaimana menghancurkan mental dan semangat musuh, bagaimana mempersiapkan pasukan agar selalu siaga jiwa dan raga. Juga pelajaran bagi yang dipimpin agar menyadari arti disiplin, kesabaran, dan ketaatan terhadap pemimpin, terutama di hadapan musuh.