Indahnya Adzan di Mata Generasi Pilihan

Adzan adalah syiar yang agung, tiada yang membencinya selain setan dan orang-orang rendahan yang mengikuti jejak setan yang anti terhadap adzan. Allah menyebut kurang akal siapapun yang memperolok adzan, sebagaimana firman-Nya.

“Dan apabila kalian menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) salat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.” (QS: al-Maidah 58)

Dan beberapa waktu ini makin banyak orang yang berani meremehkan adzan; tidak menyambutnya, ada yang mengaku muslim tapi merasa terusik dengan mendengarnya bahkan ada yang secara ugal-ugalan memperolok-oloknya.

Adapun orang-orang shalih di kalangan generasi terbaik sangat mengistimewakan panggilan adzan. Karena mereka memahami maknanya dan menghayatinya, hingga sangat tampak sekali respek mereka terhadap adzan.

Di zaman sahabat misalnya, Ibnu Katsier rahimahullah dalam tafsirnya menyebutkan, bahwa suatu kali sahabat Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu melihat apa yang dilakukan oleh orang-orang sewaktu di pasar. Di mana tatkala adzan untuk shalat dikumandangkan, serta merta mereka tinggalkan perniagaan mereka, dan mereka berbondong-bondong mendatangi undangan shalat. Melihat pemandangan ini, Abdullah bin Mas’ud bergumam, “Mereka inilah yang dimaksud oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat.Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. an-Nuur: 37).

Abu Hurairah radhiallahu’anhu meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki buta datang dan bertanya kepada Rasulullah Shallallahua’alaihi Wasallam, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorang yang menuntunku ke masjid (untuk shalat berjama’ah).” Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk diijinkan shalat di rumah. Maka (di awalnya) Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membolehkannya, kemudian ketika orang itu akan pulang, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memanggilnya dan bertanya kepadanya: “Apakah kamu mendengar seruan adzan untuk shalat (berjama’ah)?”. Orang itu menjawab: Iya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Kalau begitu datanglah ke masjid.” (HR. Muslim)

Demikian pula para Shahabat lainnya radhiallahu’anhum, memberikan teladan yang sempurna dalam masalah ini, seperti ucapan ‘Adi bin Hatim ath-Tha’i radhiallahu’anhu: “Tidaklah dikumandangkan shalat sejak aku masuk Islam, kecuali aku dalam keadaan sudah berwudhu”.(Siyaru a’lam)

Kemudian generasi tabi’in yang datang setelah para Shahabat Shallallahua’alaihi Wasallam, mereka juga menampilkan sebaik-baik teladan dalam menyambut seruan adzan. Bagi mereka, adzan adalah panggilan mulia yang mengetuk hati dan menggugah nurani. Ada kebahagiaan tersendiri bagi orang yang beriman ketika dimudahkan untuk menyahut dan menyambut panggilan adzan.

Seperti yang dialami oleh Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah yang sering menangis haru di masjid ketika mendengar adzan hingga lantai di hadapannya basah oleh air matanya. Betapa tidak, hakikatnya adzan adalah ‘undangan’ dari Sang Pencipta, Maha Pemberi Karunia. Adapun muadzin hanyalah penyampai ‘undangan’ dan bukan Pemilik undangan. Bukankah suatu kehormatan ketika seseorang bisa hadir mendatangi undangan dari Yang Mahamulia? Undangan yang jauh lebih bergengsi dari undangan resepsi para pejabat maupun raja.

[bs-quote quote=”‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah dikumandangkan shalat sejak aku masuk Islam, kecuali aku dalam keadaan sudah berwudhu”.” style=”default” align=”left” color=”#1e73be”][/bs-quote]

Sa’id bin Musayyib rahimahullah, imam ternama dari generasi tabi’in sangat menghargai undangan ini, memprioritaskannya dari sekian banyak undangan, hingga beliau hadir lebih awal, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hibban rahimahullah daam ats-Tsiqaat, “Beliau termasuk pemuka para tabi’in dalam pemahaman agama, sifat wara’, ilmu, ibadah dan kemuliaan. Selama empat puluh tahun, tidaklah dikumandangkan adzan shalat kecuali Sa’id bin al-Musayyab telah berada di masjid menanti shalat berjama’ah.”

Hilal bin Isaf bercerita saat dia bersama Mundzir Ats-Tsauri menjenguk Rabi’ bin Khutsaim radiyallahu ‘anhu yang sedang sakit, “Setelah lama berbincang-bincang, terdengar lantunan adzan Dzuhur. Bersamaan dengan itu puteranya datang, lalu Syeikh berkata kepadanya, “Mari kita sambut panggilan Allah.” Puteranya berkata kepada kami, “Tolong bantu saya untuk memapah beliau ke masjid. Semoga Allah Ta’ala membalas kebaikan kepada kalian.” Kemudian kami memapahnya bersama-sama sehingga beliau bisa bergantung di antara aku dan puteranya pada saat berjalan. Mundzir berkata,”Wahai Abu Yazid, bukankah Allah Ta’ala memberi rukhshah (keringanan) bagi Anda untuk shalat di rumah?” Beliau menjawab, “Memang benar apa yang Anda katakan, akan tetapi aku mendengar seruan, “Marilah menuju keberuntungan!” Barangsiapa mendengar seruan itu hendaknya mendatanginya walaupun harus dengan merangkak.”

Benar apa yang beliau katakan, selain panggilan shalat, adzan juga merupakan ajakan untuk menjadi orang yang sukses, bahagia, menang dan beruntung. Seluruh pengertian ini terkandung dalam kata “al-falaah’ ketika diserukan ”hayya ’alal falaah”, marilah menuju keberuntungan. Alangkah agung ajakan ini. Tak ada orang berakal yang layak meremehkan ajakan ini. Seruan keberuntungan inilah yang mendorong seorang ulama tabi’in untuk tetap menyambut seruan adzan, meskipun harus dipapah puteranya karena sakit. Bahkan meskipun harus datang dengan merangkak.

Berlanjut ke generasi tabi’ut tabi’in. Mereka juga menyambung estafet kemuliaan dalam menyambut seruan adzan. Sebut saja Ibrahim bin Maimun Ash-Sha’igh, seorang shalih dari generasi tabi’ut tabi’in selalu menghentikan aktivitasnya begitu mendengar adzan. Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengisahkan biografi beliau dalam Tahdzib at-Tahdzib, bahwa pekerjaan beliau adalah tukang menempa logam. Setiap kali beliau telah mendengar seruan adzan untuk shalat, maka meskipun beliau telah mengangkat palu, beliau tak lagi mengayunkannya. Beliau segera meninggalkan pekerjaannya untuk melaksanakan shalat. Karena bagi beliau, adzan adalah panggilan dari Dzat yang memiliki kuasa segalanya atas dirinya. Bagaimana mungkin ia berani menundanya?

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Kisah Salaf

Menghamba Separuh Jiwa

Sempat heboh pernyataan seorang tokoh dan pejabat yang menghasung masyarakat untuk tidak terlalu serius dalam beragama. Kontan saja ini mengusik nurani keislaman kaum muslimin. Karena konsekuensi kalimat itu sama dengan mengatakan bahwa shalat itu tidak perlu terlalu khusyuk, puasa itu tidak usah terlalu sungguh-sungguh atau bahkan terhadap surga dan neraka itu jangan terlalu yakin.

Tapi bagi sebagian kalangan, pernyataan seperti ini menjadi hiburan dan dukungan. Karena secara hawa nafsu memang beragama separuh-separuh ini lebih banyak diminati, terutama bagi orang yang menjadikan keuntungan duniawi sebagai prioritas tujuan hidupnya.  

 

Beribadah Setengah-Setengah

Menurut mereka, beragama secara murni dan konsekuen itu membatasi kebebasan, mengurangi kesenangan dan memenjarakan kebebasan berekspresi. Satu sisi mereka juga tidak ingin dikatakan sebagai orang yang tidak beragama sama sekali, tidak relijius, bukan orang  shalih dan sebutan lainnya.

Maka pilihannya, mereka beragama setengah-setengah, atau ibadah di tepian. Dengan kata lain pula menjadi hamba separuh jiwa, tidak sepenuh raga dan jiwanya.

Karena kepentingan duniawi menjadi nomer satu, maka ketika mereka mendapatkan keuntungan duniawi dengan menjalankan sebagian syariat Islam, ia melakukannya dan memuji Islam karenanya. Namun jika terjadi kemadharatan dalam urusan duniawi atau kerugian suatu materi, maka yang dipersalahkan dan dianggap biangnya adalah karena melaksanakan syariat Islam sepenuhnya, apa adanya, atau ‘saklek’ dalam bahasa sindiran mereka.

Inilah golongan yang disebut Allah dalam firman-Nya,

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi ; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang . Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.”  (QS. al-Hajj: 11)

Tentang sebab turunnya ayat ini, Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dahulu ada orang yang datang ke Madinah lalu masuk Islam. Kemudian jika setelah itu istrinya melahirkan bayi laki-laki dan kudanya beranak, ia mengatakan, “Ini agama yang baik.” Tapi kalau istrinya tidak melahirkan bayi laki-laki dan kudanya tidak beranak, ia berucap, “Ini agama yang buruk.” Maka Allah menurunkan ayat, “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi;…”

Baca Juga: Gila Hormat, Hina Didapat

Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari jalur Athiyyah dari Ibnu Mas’ud bahwa seorang lelaki Yahudi masuk Islam, lalu setelahnya matanya menjadi buta, harta bendanya habis, dan anaknya mati, sehingga dia menimpakan kesalahan kepada Islam. Katanya, “Aku tidak mendapat kebaikan apa-apa dari agama ini. Mataku malah jadi buta, hartaku habis, dan anakku mati!” Lalu turunlah ayat, “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi;…”

Maka peringatan ayat ini berlaku untuk semua orang yang beribadah setengah-setengah, yang diambil hanya apa yang dia suka. Dan ini menjadi bukti akan kelemahan imannya.

Syeikh as-Sa’di menjelaskan bahwa, “sebagian manusia yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang yang lemah imannya, di mana iman belum merasuk ke dalam hatinya, belum bercampur dengan sumsum tulangnya. Mungkin karena takut atau mengikuti kebiasaan. Ia tidak tegar ketika menghadapi cobaan. Jika rejeki tetap lancar dan tidak menghadapi sesuatu yang tidak disukai, maka dia tetap melakukan bagian dari ajaran Islam itu, tapi ia melakukanya bukan karena keimanannya.”

Sedangkan Ibnu Katsier menambahkan, perumpamaan orang yang beragama hanya mengambil di pinggiran, tidak sampai ke tengah atau intinya. Ini sebagai perumpamaan akan sifat labilnya mereka dalam beragama. Tidak konsisten dengan seluruh ajaran berikut konsekuensinya. Ia seperti tentara yang sengaja berada di pinggiran (ujung belakang barisan) mencari aman, ketika ada tanda-tanda akan mendapatkan rampasan perang dia akan turut serta, namun jika tidak maka dia punya kesempatan untuk menghindar dan lari. Beliau juga menjelaskan bahwa orang hanya bisa g konsisten dengan agamanya jika yang menjadi visinyaadalah menepati kebenaran, mentaati Allah dan takut akan adzab-Nya. Tapi ketika yang menjadi visinya adalah kesengan yang instan,maka dia akan menampakkan sebagai agamis di saat mendapat kesenangan dan mundur menjau ketika mengalami kesulitan, dan ini tidak terjadi kecuali atas orang munafik yang tercela.

Agama bagi mereka seperti prasmanan, seakan mereka bebas mengambil yang mereka suka, lalu meninggalkan menu lain yang tidak mereka suka. Mereka sangka sikap seperti ini akan menguntungkan mereka. Padahal Allah menyebut sikap ini sebagai sifat orang yang merugi dunia dan akhirat.

 

Kisah Tentang Manusia Berwajah Dua

Allah menyebutkan kisah panjang dan gamblang tentang mereka yang berwajah dua, separuh wajah bersama orang beriman dan wajah aslinya bersama kekafiran,

“Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu”. Dikatakan (kepada mereka), “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)”. Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.

Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: “Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?” Mereka menjawab: “Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah;dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (syaitan) yang amat penipu.

Baca Juga: Dikira Kawan, Ternyata Lawan

Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempat kamu ialah neraka. Dialah tempat berlindungmu. Dan dia adalah sejahat-jahat tempat kembali”. (QS. al-Hadid: 13-15)

Begitulah kerugian yang mereka alami. Tak ada yang lebih bahagia dari orang yang menjadi hamba Allah sepenuh jiwa. Karena kita bukan setengah manusia, dan kita juga tdak ingin setengah bahagia, sepantasnya totalitas penghambaan kita tertuju hanya kepada Pencipta, wallahul muwaffiq. 

 

Oleh: Abu Umar Abdillah/Telaah