Agar Bertetangga Nikmat Dirasa

“Alhamdulillah, keluarga si fulanah akhirnya pindah ke kampung sebelah.” Ujar seorang ibu kepada tetangganya. Sang ibu tersebut mengungkapkan rasa gembiranya karena kepindahan keluarga fulanah yang selama ini menjadi tetanganya. Lumrah saja ia gembira, karena memang keluarga Fulanah termasuk keluarga yang kurang disenangi,  tidak pernah mau kerja bakti, ngomel ketika dimintai iuran sosial dan seabrek akhlaq buruk lainnya melekat pada keluarga si fulanah tersebut. Sehingga para tetangga merasa sesak dengan keberadaan mereka bahkan berharap mereka pergi dengan segera.

Barangkali kisah serupa acap kita jumpai di sekeliling kita. Ketidakberesan dalam berinteraksi dengan tetangga berbuah ketidaknyamanan.

 

Masuk Jannah Karena Tetangga

Tetangga adalah orang yang terdekat dengan kita setelah keluarga. Dari merekalah kita mendapatkan bantuan pertama kali ketika keluarga kita tertimpa musibah atau kita butuh pertolongan. Maka selayaknya kita labuhkan segala kebaikan kepada mereka agar kita mendapatkan jannah-Nya.

Nabi ﷺ pernah ditanya, “Wahai Rasulullah, si Fulanah itu biasa shalat malam, shaum di siang hari, melakukan kebaikan dan bersedekah, tapi dia suka mengganggu tetangga dengan lisannya.” Rasulullah ﷺ pun bersabda, “Dia tidak punya kebaikan. Dia termasuk penduduk neraka.” Para sahabat bertanya lagi, “Sementara si Fulanah (wanita yang lain) hanya menjalankan shalat wajib, bersedekah hanya dengan sepotong keju, tapi tak pernah mengganggu siapa pun.” Rasulullah menyatakan, “Dia termasuk penduduk jannah.” (HR. Al Bukhari)

Bahkan beliau mengancam keras orang yang mengganggu tetangganya. Beliau bersabda;

“Demi Allah tidak beriman! Demi Allah tidak beriman! Demi Allah tidak beriman!” Beliau pun ditanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Jawab beliau, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Al-Bukhari)

 

Apakah Kita Tergolong Orang Baik?

Seseorang mendatangi Rasulullah ﷺ bertanya, “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan jika aku mengerjakannya maka aku dapat masuk jannah. Beliau menjawab, ”Jadilah Engkau seorang muhsin (orang yang baik perangainya).” Orang itu bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana aku tahu bahwa aku seorang muhsin?” Beliau menjawab, “Bertanyalah kepada tetanggamu, jika mereka mengatakan bahwa kamu itu orang muhsin, berarti memang kamu orang baik. Namun jika mereka mengatakan bahwa kamu itu seorang orang yang musi’ (buruk perangainya) berarti memang kamu orang yang buruk’. (HR. Al Hakim).

Dari sini jelaslah bagi kita bahwa untuk mengevaluasi diri apakah kita termasuk orang yang baik atau orang yang buruk, cukuplah kita melihat komentar tetangga tentang kita. Merekalah yang paling dekat dengan kita sehingga mereka lebih mengetahui akhlak kita yang sebenarnya. Mungkin ketika di luar kita akan tunjukkan kelakuan baik sehingga manusia bisa kita kelabuhi. Namun lain halnya dengan tetangga, mereka tidak bisa kita tipu. Mereka tahu benar akhlaq kita yang sebenarnya.

Betapa pentingnya berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai Jibril  menekankan dalam wasiatnya kepada Nabi ﷺ.

مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

“Jibril selalu berwasiat kepadaku tentang tetangga sampai-sampai aku menyangka bahwa tetangga akan dijadikan sebagai ahli waris.” (HR. Al-Bukhari)

 

Menumbuhkan Rasa Cinta Antar Tetangga

Tentunya semua berharap, para tetangga menyukai keberadaan kita. Tidak merasa sesak hati dan risih dengan kehadiran keluarga kita sehingga selalu mengharapkan kepindahan kita. Ada beberapa langkah agar benih cinta tumbuh meninggi antar kita dengan tetangga, diantaranya dengan saling bertegur sapa dan mengucapkan salam.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Maukah kalian aku tunjukkan pada sesuatu yang jika kalian melakukannya maka kalian akan saling mencintai: sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Ahmad)

Rasulullah SAW juga menganjurkan kita untuk selalu berbagi bila punya kelebihan rezeki. Karena saling memberikan hadiah akan melahirkan kecintaan di antara sesama, sebagaimana sabda beliau:

 تَهَادَوْا تَحَابُّوا

‘’Salinglah memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.”(HR. Malik)

Hadiah atau pemberian tidak harus sesuatu yang bernilai mahal. Sekedar membagi lauk  dan sayuran yang kita masak bisa menumbuhkan rasa kasih sayang antar tetangga. Dalam memberikan hadiah kita utamakan tetangga yang paling dekat pintunya dengan kita. Karena merekalah yang pertama kali melihat apa yang keluar dan masuk dari rumah kita, sehingga kemungkinan mereka memiliki harapan dan keinginan,  Dan merekalah yang paling cepat menyahut jika dipanggil ketika kita memerlukan, terutama ketika musibah menimpa kita.

Imam Adz Dzahabi dalam kitabnya Al Kabaair menyebutkan sebuah riwayat bahwa pada hari kiamat nanti seorang tetangga yang miskin akan mengikuti tetangga yang kaya sambil mengadu, “Wahai Rabbku, tanyakan kepadanya mengapa ia menghalangiku dari kebaikannya dan menutup untukku uluran tangannya?”

Semoga kita bisa menjadi tetangga yang baik dan dikaruniai tetangga yang baik pula. Karena itulah satu diantara kebahagiaan di muka bumi ini.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ

“Empat hal yang termasuk kebahagiaan seseorang: istri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman.” (HR. Ibnu Hibban)

Wallahul Musta’an

Oleh: Ust. Abu Hanan/Fadhilah Amal

Bila Mengaku Islam, Buktikan!

Bukti seseorang merasa memiliki Islam, meyakini kebenaran Islam, dan bahwa Islam menjadi darah dagingnya adalah ketika ia memiliki kepedulian terhadapnya, ada pembelaan terhadapnya, ada pengorbanan untuknya, dan ada upaya untuk memperjuangkannya. Tidak mungkin dirinya rela menjadi “muslim pasif”.

 

Bukti Islammu

Kepedulian dibuktikan dengan keseriusannya untuk mendalami Islam dan cabang-cabang ilmunya. Lembaran sejarah dipenuhi oleh kisah kegigihan para ulama dalam mencari ilmu, sejak pertama terkena sentuhan Islam. Seperti Jabir bin Abdillah yang rela menempuh satu bulan perjalanan untuk mengecek keakuratan satu hadits.

Sedangkan pembelaan terhadap Islam dibuktikan dengan ghirahnya (semangatnya). Ia tidak rela Islam dicela, tidak akan membiarkan orang-orang yang mencela Allah dan Rasul-Nya. Meskipun ia harus berhadapan dengan keluarga terdekatnya. Seperti Abdullah bin Abdullah bin Ubay, ketika mendengar ayahnya telah mencela Nabi sebagai orang yang hina, sedangkan dirinya orang yang mulia, maka ia cegat ayahnya saat masuk Madinah. Beliau berkata kepada ayahnya, “Aku tidak akan membiarkanmu memasuki Madinah, sebelum bapak mengatakan bahwa Nabilah yang mulia, dan bapaklah yang hina.” (Tafsir Ibnu Katsier 4/473)

Baca Juga: Memanah, Hiburan yang Mengantarkan Ke Jannah

Tentang pengorbanan dan perjuangan untuk Islam, sahabat Mush’ab bin Umeir Radhiyallahu ‘anhu menjadi teladan yang luar biasa. Sejak masuk Islam penampilannya berubah drastis, tadinya seorang pemuda yang glamour, suka bermewah-mewah, mendadak harus mengenakan pakaian paling kasar, karena orangtuanya yang kaya raya tak sudi lagi menganggapnya sebagai anak. Beliau juga menyanggupkan diri membuka lahan dakwah di Madinah, hingga Allah memberkahi dakwah tersebut. Dalam waktu yang tak begitu lama, Islam telah menjadi warna dominan di Madinah. Kisah tentang hal ini terlalu masyhur untuk diulas di sini.

Ada lagi Umair bin Wahab, jagoan Quraisy yang tadinya paling getol memusuhi Islam dan penganutnya. Setelah masuk Islam, beliau bertekad mendakwahi ke seluruh wilayah yang beliau pernah injak dalam kekafiran, hingga dengan sebab dakwah beliau, akhirnya banyak orang-orang yang masuk Islam.

Di kalangan wanita, ada Ummu Syarik. Keyakinannya yang dalam akan kebenaran Islam, membuat beliau tak mampu tinggal diam. Ia ingin, hidayah itu juga dirasakan pula oleh keluarganya, tetangga dan juga sebanyak mungkin manusia. Beliau berdakwah dengan sembunyi-sembunyi, hingga akhirnya beliau ditangkap dan disiksa. Pun, hal itu tidak membuat beliau menyesal atau jera. Beliau dipanggang di tengah terik matahari selma tiga hari. Namun akhirnya, Allah memberikan pertolongan. Buah dari ketegaran beliaupun nyata. Kaumnya berbondong-bondong masuk Islam ketika menyaksikan karamah yang Allah berikan kepadanya. Mereka berkata, “Kami bersaksi bahwa Rabbmu adalah Rabb kami, dan kami bersaksi bahwa yang telah memberikan rejeki kepadamu setelah kami menyiksamu adalah Rabb yang telah mensyariatkan Islam.” Maka merekapun masuk Islam dan semuanya turut berhijah bersama Rasulullah saw. (al-Ishabah fie Tamyiizish Shahabah 8/248)

 

Di mana Peranmu?

Memang, semakin seseorang memiliki ilmu yang luas, kepiawaian dalam banyak bidang, semakin banyak pula peran yang bisa disumbangkan untuk Islam. Hanya saja, untuk turut berperan andil untuk memperjuangkan Islam tak harus menunggu semua serba sempurna. Kita bisa memulai dari apa yang kita punya dan apa yang kita miliki, meskipun kelihatannya kecil dan sepele. Sebab tak ada yang sepele di sisi Allah. Selebihnya, menjadi tugas kita untuk selalu belajar, mengembangkan potensi serta memperbaiki diri agar apa yang kita sumbangkan untuk Islam lebih berarti.

Andil itu tak harus berupa mubaligh kondang, jago pidato, pakar nulis atau yang semisalnya. Mengajak orang untuk mengikuti majlis ilmu, menyebarkan tulisan dan sarana kebaikan, mendidik keluarga dengan warna Islam, mendoakan untuk kewibawaan islam dan kaum muslimin, dan masih banyak lagi peran yang bisa kita lakukan.

Baca Juga: Jadilah yang Pertama dalam Kebaikan

Penulis lumayan terhenyak dengan karya yang ditulis oleh Syaikh Mahmud Mahdi al Istambuli dan Musthafa asy Syalabi yang berjudul Nisa’ Haula ar-Rasuul. Bukan hanya tentang tokoh-tokoh wanita yang gemerlapan keahlian dan peran besarnya. Tapi juga seorang wanita tua yang lemah, yang nyaris tak memiliki keistimewaan apa-apa di sisi manusia, tapi ternyata Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat memperhatikannya. Yang menarik juga, penulis memberi sub judul “Darsun Laa yunsa“, pelajaran tak terlupakan.

Namanya Ummu Mahjan. Seorang wanita tua yang lemah, hitam kulitnya. Ia bukan termasuk kalangan cerdas cendekia, bukan pula masuk golongan kaya raya. Pun begitu, ia tetap ingin berkhidmat untuk Islam sebisanya. Dengan tekun ia membersihkan masjid tiap harinya, tempat ibadah dan berkumpulnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Sehingga mereka merasa nyaman di tempat yang mulia itu. Ketika wanita itu meninggal di malam hari, para sahabat langsung menguburkannya di malam itu, tanpa membangunkan dan memberitahukan peristiwa itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mungkin karena mereka anggap bahwa meninggalnya wanita itu bukan hal yang begitu penting.

Pagi harinya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam merasa kehilangan, setelah mendapat informasi, beliau menegur para sahabat yang tidak memberitahukan kejadian yang menurut Nabi penting itu. Beliau bersabda, “Kenapa kalian tidak memberitahukan hal itu kepadaku?” (HR. An-Nasa’i, al-Muwatha’)

Ternyata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan perhatian besar atas usaha wanita tersebut dalam berkhidmat untuk Islam.

Masihkah ada di antara kita yang layak menyatakan udzur dari berkhidmat untuk Islam, dengan alasan tidak memiliki potensi? Tidak memiliki kemampuan apa-apa? Atau bahkan tidak memiliki cukup waktu? Buktikan Islammu!

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Motivasi

 


Jangan terlewat untuk membaca motivasi islami lainnya hanya di Majalah islam ar-risalah. Belum memiliki majalahnya? Hubungi Keagenan Majalah ar-risalah terdekat di kota Anda, atau hubungi kami di nomer: 0852 2950 8085

Muslim Itu Haruslah Multi Talenta

Bagi setiap muslim, segala aktivitas adalah ladang pahala. Pengetahuan dan keahlian seakan menjadi alat untuk mengolahnya. Ketika seseorang memiliki pengetahuan dalam banyak hal, juga terampil dalam menciptakan karya-karya kebaikan, itu adalah karunia tiada tara. Untuk yang demikian ini pula semestinya kita berlomba. Seperti pengetahuan tentang cabang-cabang ilmu syar’i, sekaligus terampil dalam menyebarkan, baik dengan lisan maupun tulisan. Tentunya setelah mengamalkan terlebih dahulu.

Meskipun para sahabat secara umum memiliki prestasi unggulan dalam suatu amal, namun tidak sedikit yang menonjol dalam semua cabang kebaikan. Seperti Abu Bakar ash-Shidiq. Bisa dibilang, beliau adalah pelopor dalam semua lini kebaikan. Hal ini diakui oleh Umar bin Khathab yang dalam beberapa kesempatan mencoba mengungguli Abu Bakar ash-Shidiq. Beliau berkata,

 

لَمْ أُساَبِقْ أَباَ بَكْرٍ إِلَى خَيْرٍ إِلاَّ سَبَقَنِي

“Tidak pernah aku mencoba mengungguli Abu Bakar dalam setiap kebaikan, melainkan beliau selalu mengungguliku.”

Begitupun dengan puteri beliau, Ummul Mukminin Aisyah RA, juga sangat menonjol dalam banyak cabang ilmu. Seperti kesaksian keponakan beliau, Urwah bin Zubier RHM yang juga ulama tabi’in terkemuka, “

 

ماَ رَأَيْتُ أَحَداً أَعْرَفُ باِِلْقُرْآنِ، وَلاَ بِفَرِيْضَةٍ، وَلاَ بِحَلاَلٍ وَلاَ بِحَرَامٍ، وَلاَ بِفِقْهٍ، وَلاَ بِطِبٍّ، وَلاَ بِحَدِيْثِ اْلعَرَبِ، وَلاَ بِنَسَبٍ مِنْ عاَئِشَةٍ.

“Aku tidak melihat seorangpun yang lebih paham dari Aisyah tentang al-Qur’an, juga tentang fara’idh, tentang halal dan haram, tentang fiqih, tentang ilmu kedokteran, tentang bahasa orang Arab maupun nasab.”

Di kalangan tabi’in kita juga mengenal Abdullah bin Mubarak, yang mengisi banyak umurnya di medan jihad. Beliau seorang mujahid yang piawai di medan laga, ahli dalam strategi perang. Hebatnya, beliau juga dikenal sebagai ulama, bahkan dijuluki sebagai amiirul mukminin fil hadits, yakni pemimpin orang-orang mukmin dalam bidang hadits di zamannya.

Baca Juga: Agar Menghafal al-Qur’an Mudah dan Ringan

Di zaman pertengahan, kita mengenal Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah yang memiliki keahlian dalam banyak bidang. Al-Qadhi Abu Al-Fath bin Daqiq Al-Ied mengatakan: Setelah aku berkumpul dengannya, kulihat beliau adalah seseorang yang semua ilmu ada di depan matanya, kapan saja beliau menginginkannya, beliau tinggal mengambil sekehendaknya.

Karena detailnya pengetahuan terhadap masing-masing cabang ilmu, Kamaluddin bin Az-Zamlakany pernah berkata, “Apabila beliau ditanya tentang suatu bidang ilmu, maka siapa pun yang mendengar atau memerhatikan (jawabannya), akan menyangka bahwa dia seolah-olah hanya membidangi ilmu itu.”

 

Bisakah Kita…?

Jiwa yang mencintai kebaikan akan bertanya-tanya, mungkinkah aku bisa seperti mereka? Lantas, bagaimana caranya? Bukan untuk gagah-gagahan. Namun, agar setiap pengetahuan dan keahlian bisa bernilai keshalihan, juga memiliki peran yang besar untuk Islam dan kaum muslimin.

Untuk mendapatkan multi talenta, beragam bakat, pengetahuan dan keahlian seperti mereka atau tokoh lainnya, tidak cukup hanya melihat prestasi yang telah mereka peroleh. Kita juga musti melihat bagaimana mereka memulai, bagaimana pula mereka berproses untuk itu.

Ada ‘keyword‘, kata kunci yang bisa mewakili upaya yang sudah ditempuh oleh orang-orang yang sukses memiliki multi talenta. Yakni mengoptimalkan semua potensi yang dimilikinya, dan menggunakan waktu sebaik-baiknya.

Baca Juga: 3 Tips Islami Cegah Stress

Prestasi apapun yang telah kita raih sekarang, setingkat apapun kemampuan kita hari ini, sebenarnya baru memanfaatkan sekian persen saja dari potensi yang Allah berikan kepada kita. Pun masih banyak waktu terbuang untuk hal-hal yang tak berguna. Sudahkah kita memanfatkan waktu sebagaimana yang dilakukan oleh kakeknya Ibnu Taimiyah? Tatkala hendak masuk WC beliau berkata kepada cucunya sambil menyodorkan buku, “Baca di halaman ini, baca dengan suara keras agar aku bisa mendengarnya dari dalam.”

Itu tentang waktu. Adapun tentang potensi yang kita miliki, baik berupa pendengaran, penglihatan, hati, akal dan pikiran, seberapa banyak telah kita gunakan untuk mengembangkan potensi? Masing-masing kita mengetahui jawabannya. Masih banyak hal positif yang perlu kita dengar, hal negatif yang harus kita tinggal. Masih banyak persoalan yang masih perlu kita pikirkan dan urusan tak penting yang mestinya kita singkirkan dari angan-angan.

 

Bagaimana Memulai?

Untuk meraih sesuatu yang besar, harus memulai dari yang kecil, lalu secara bertahap meningkatkan pengetahuan dan keahliannya secara kontinyu.

Rumus pertama untuk memulai adalah, mengetahui sedikit, tentang banyak. Yakni mengetahui semua dasar-dasar ilmu dari berbagai cabang ilmu, meskipun belum secara detail. Hendaknya mendahulukan yang penting, mendahulukan yang pokok, dan yang paling wajib dan mendesak untuk di ketahui.

Berikutnya, mengetahui banyak tentang sedikit. Pada tingkatan ini, hendaknya kita mulai mengambil spesialisasi dari ilmu  tertentu, fokus pada keahlian dalam bidang tertentu.

Hakikatnya, setiap manusia memiliki sisi unggul yang berbeda-beda. Baik dalam hal ilmu maupun keahlian. Seperti yang dikatakan oleh Imam Malik rahimahullah,

إِنَّ اللهَ قَسَمَ اْلاَعْماَلَ كَماَ قَسَمَ اْلأَرْزَاقَ

“Sesungguhnya Allah membagi amal sebagaimana membegi rizki.”

Maka yang penting untuk kita lakukan adalah mendalami dengan seksama, bakat dan keahlian apa yang paling menonjol dari kita. Untuk selanjutnya lebih dipacu untuk dilatih dan dikembangkan. Begitupula dalam hal pengetahuan dan ilmu syar’i.

Setelah kita memiliki spesialisasi ilmu dan keahlian khusus yang memadai, alangkah baiknya jika kita mulai melirik kepada pengetahuan dan keahlian lain. Hendaknya kita tidak tergesa-gesa memvonis diri sendiri, saya hanya bakat dalam satu ilmu tertentu, atau hanya membidangi satu keahlian saja. Hendaknya kita selalu optimis untuk bisa memiliki banyak pengetahuan dan keahlian yang bermanfaat. Ya Allah, berilah manfaat dengan apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, dan ajarkanlah kepada kami tentang apa-apa yang bermanfaat bagi kami. Aamiin.

 

Oleh: Abu Umar Abdillah/Motivasi