Terjebak Kata “Baik”

Banyak memberi, bertingkah laku sopan, bertutur kata halus dan tidak sombong adalah perbuatan mulia dan yang setiap manusia seharusnya memiliki kriteria itu. Sehingga orang akan bersimpati dan memberikan timbal-balik yang positif.

Hal-hal diatas bisa saja dilakukan seseorang dadakan alias kebetulan. Kebetulan pas lagi nyapres dia bertingkah lembut, kebetulan pas menginginkan simpati masyarakat dia gemar sedekah, memberi santunan dan lain sebagainya, akhirnya hati manusia luluh melihat kebaikan-kebaikan orang tadi dan menaruh simpati.

Hari ini pandangan manusia dalam menilai seseorang terbatas pada “yang penting hatinya baik” tidak peduli dengan keimanan dan akhlak aslinya, sehingga muncullah manusia-manusia yang sejatinya bejat dianggap baik oleh masyarakat. Karena tolok ukur mereka adalah apa yang mereka terima saat itu juga, semakin besar orang memberi, semakin besar kemungkinan ia dianggap baik oleh orang lain.

Definisi yang dipahami masyarakat diatas nampak sangat sempit. Bila demikian adanya, sekalipun orang kafir dan orang musyrik asalkan zahirnya baik, gemar memberi, gemar menebar senyum dan tidak berbuat anarkhi, ia akan dianggap baik oleh masyarakat. Padahal Allah memberikan label kepada orang-orang kafir sebagai “syarrul bariyyah” yaitu seburuk-buruknya makhluk di muka bumi ini. Tapi, realitanya masih banyak orang yang memuliakan orang-orang kafir dengan mengangkat mereka menjadi penasihat, pimpinan, dijadikan tokoh panutan dan mereka lebih baik daripada orang muslim yang jarang bersedakah, ujarnya. Naudzubillah

Manusia diciptakan bukan hanya untuk berbuat baik saja. Akan tetapi Allah menciptakan manusia dengan tujuan agar mereka beribadah kepada Allah. Maka siapa saja yang merasa diciptakan Allah hendaknya ia beribadah dan menjalankan perintah Allah meskipun terkadang dilihat orang kurang baik.

Menurut Ibnul Qayim, beribadah menuntut kecintaan dan kerendahan diri dan ketundukan. Manusia tidak bisa begitu saja bilang “yang penting hati saya cinta kepada Allah” tetapi tidak mau tunduk dan patuh terhadap perintah Allah, begitu juga sebaliknya.

Individu muslim yang taat hari ini berada dalam dilema, dimana apa yang syariat tetapkan keharamannya, dalam pandangan masyarakat menjadi baik dan perlu dilestarikan. Seperti adat-istiadat yang berbau kesyirikan, amalan-amalan bid’ah dan semisalnya. Dengan begitu siapa yang menentang dan tidak ikut dalam menjalankannya ia akan dicap  tidak baik dan sombong dan dia tidak lagi mendapat tempat di hati masyarakat. Sebaliknya orang musyrik dan kafir karena turut dalam menjalakannya, maka ia adalah orang baik sekalipun tidak memiliki iman.

Inilah kenyataan yang kita hadapi hari ini. Manusia yang sebenarnya buruk dan sesat akan dianggap baik hati oleh masyarakat manakala ia mampu membahagiakan keinginan orang-orang disekitarnya. Tetapi manusia yang shalih akan tetap dianggap jahat dan tidak baik hatinya bila ia tidak dapat memenuhi hasrat masyarakat dengan menerima keburukan dan kemaksiatan mereka.

Sebagai hamba yang bertakwa, tentunya kita akan istiqamah dan setia diatas jalan kebenaran meskipun dianggap buruk oleh banyak orang, toh yang maha kuasa saja menganggap kita baik mengapa kita peduli dengan para makhluk-Nya. Lalu bagaimana dengan kebaikan orang kafir kepada orang-orang tersebut? Mereka tetaplah seburuk-buruk makhluk di muka bumi ini, bahkan lebih buruk dari binatang karena tidak mau tuduk dan patuh kepada Allah sang maha kuasa. Urusan pengganti kebaikan yang mereka lakukan, kita serahkan kepada zat yang maha adil lagi maha penyayang, Allah Azza wa Jalla. Wallahu a’lam

 

 

 

Orang Baik Masuk Neraka, Mengapa?

Kadang di benak sebagian orang muslim bertanya-tanya, si Fulan itu orangnya baik, gemar sedekah, setiap hari ramah kepada tetangga dan keluarganya, tapi sayangnya dia tidak beriman. tapi, apa iya dia tidak masuk surga? Apa iya dia tetap masuk neraka? Padahal perbuatan dia kadang lebih bagus daripada orang yang beriman.

Dalam Islam hal pertama yang harus dimiliki seseorang adalah Iman. Percaya bahwa Allah ada, percaya bahwa Allah yang maha menghidupkan dan mematikan. Kemudian diikuti keimanan-keimanan berikutnya. Itulah satu syarat utama seseorang mendapat perdikat mukmin.

Sebagai contoh mudah, dalam kuliah seseorang tidak akan dapat mengikuti ujian kelulusan bila ia bukan termasuk mahasiswa di universitas tersebut, meskipun bisa saja dia ikut kuliah dan belajar bersama mahasiswa yang lainnya. Dampaknya walaupun ia belajar dengan giat, ikut kursus dimana-mana, tapi pada akhirnya ia tidak akan bisa lulus dan mendapatkan gelar sarjana.

Demikianlah ketetapan Allah bagi orang yang tidak beriman, yang mana mereka pada hakekatnya mengetahui risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana Allah berfirman,

 وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّـهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَىٰ وَلَا يُنفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ 

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (QS. at-Taubah: 54)

Sangat mudah bagi Allah Ta’ala untuk menerima semua perbuatan baik mereka, akan tetapi satu saja syarat dari Allah seperti ayat diatas yaitu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian berislam dengan mengamalkan rukun-rukunnya. Tapi nyatanya mereka menolak dan acuh untuk memberikan satu syarat tersebut.

Maka kemudian Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat yang ke-5, “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”

Dosen di universitas itu bertindak adil kepada mahasiswa colongan tersebut. Ia tidak mengikutkan ujian dan meluluskannya. Karena dia tidak memenuhi satu syarat saja yaitu registrasi menjadi mahasiswa. Begitupula Allah maha adil kepada semua hamba-Nya dengan tidak menerimanya sebagai lulusan dunia, karena tidak memenuhi syarat iman.

Sekilas orang-orang kafir memang berbuat baik di mata kita, tapi sejatinya Allah tersakiti dengan kelakuan mereka yang tidak mau beriman. Dalam Hadits qudsi Allah berfirman,

كذبني ابن آدم ولم يكن له ذلك ، وشتمني ولم يكن له ذلك ، فأما تكذيبه إياي فقوله لن يعيدني كما بدأني ، وليس أول الخلق بأهون علي من إعادته ، وأما شتمه إياي فقوله اتخذ الله ولداً وأنا الأحد الصمد الذي لم ألد ولم أولد ولم يكن لي كفئاً أحد

“Anak adam telah mendustakan Aku, padahal tidak pantas baginya. Dia juga mencela-Ku, padahal yang demikian tidak pantas baginya. Adapaun kedustaannya saat ia berkata, “Allah tidak akan mampu membangkitkanku sebagaimana menciptakanku. Padahal sangat mudah bagi-Ku melakukannya sekalipun manusia yang pertama. Sedangkan ia mencela-Ku bahwa Aku beranak, padahal Aku maha Esa, tempat bergantung yang tidak beranak dan diperanakan dan tidak ada yang mencukupiku seorangpun. (HR. Bukhari : 4974)

Akan tetapi Allah maha pengasih sekalipun kepada orang kafir.  Allah mengganti semua kebaikan mereka dengan kebaikan di dunia yang semisalnya. Maka tidak heran ketika ada orang kafir yang kaya raya, sebab ia dermawan dan mudah memberi. Tidak heran ketika ada orang yang tidak beriman yang diberi umur panjang karena ia senang membantu dan berperilaku baik kepada orang lain. Hal itu selaras dengan Hadits Nabi, “Sesungguhnya orang kafir bila berbuat baik, ia akan diberikan kecukupan dari kecukupan dunia…. (HR. Muslim).

Iman merupakan hal final yang akan menentukan seseorang masuk surga atau neraka. Mari dakwahkan keimanan ini kepada orang yang kita sayang agar kita sama-sama masuk surga kelak. Aamiin……

 

(Nurdin. Aj)