Bila Rasa Bosan Dengan Pasangan Mulai Menjangkiti

Jika anda bertemu dengan konsultan rumah tangga, tanyalah, sudah berapa banyak klien yang mengadu bahwa mereka sudah tidak lagi cinta pada pasangannya. Rasa cinta pada pasangan tidak seperti pohon yang semakin lama semakin besar, kuat, rindang dan menyejukkan, tapi seperti mesin yang makin hari makin aus, banyak masalah dan sering mogok. Pasangan mungkin masih hidup bersama, masih melakukan hubungan badan, tapi semua terasa hambar dan diselimuti kejenuhan.

Kondisi seperti ini dapat terjadi pada siapapun, bagaimanapun cara mereka menikah. Pasangan yang memulai mahligai rumah tangga dengan cinta pertama, tatapan yang serasa membuat dunia berhenti, pacaran yang penuh romansa, pernikahan yang membuat bujangan dan perawan lain patah hati, dan awal kehidupan berumah tangga yang terlihat bahagia, pun bisa dihinggapi kejenuhan pada akhirnya.

 

Baca Juga: Menjadi Suami Rumah Tangga Seperti Nabi

 

Waktu yang berlalu, membuka semua tabir diri masing-masing; masa lalu, rahasia-rahasia pribadi, sifat-sifat yang tak disukai, sikap-sikap yang sering salah dan menyakiti, juga perubahan-perubahan fisik maupun perilaku dan sebagainya. Semua ini membuat cinta yang dulu berseri serasa layu bahkan mati.

 Atau pasangan yang mememulai rumah tangga dengan cara islami; tanpa pacaran, ta’aruf, istikharah, dan akhirnya menikah dengan niat awal hanya mencari ridha Allah pun tidak menutup kemungkinan tertimpa masalah yang sama. Ada yang sejak awal, ternyata memang tak mampu menumbuhkan cinta sebagaimana cintanya Romeo dan Juliet, Zainudin dan Hayati atau Ainun dan Habibi. Waktu berlalu dan sekian kali mencoba, namun rasa klik itu tak kunjung tiba. Atau ada yang sempat merasakan indahnya menikah tanpa pacaran, namun beberapa tahun kemudian, kebosanan pun melanda dan mereka pun menghadapi masalah yang sama dengan dua contoh sebelumnya.

 

Harus Bagaimana?

Dari sisi sunnah kauniyah, munculnya kejenuhan setelah lama menjalani rumah tangga, pada dasarnya wajar adanya. Hanya pasangan-pasangan yang memang dikaruniai cinta seperti pohonlah yang barangkali tak merasakannya. Pertemuan yang lama dengan intensitas luar biasa dalam rumah tangga, tentu sangat mungkin menimbulkan rasa bosan.

Nabi sendiri pernah menyatakan bahwa setiap amal memang mungkin mengalami syirrah, masa bosan, masa jenuh. Tak hanya menikah, menjalankan shalat pun, bisa pula dijangkiti rasa bosan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Setiap amal perbuatan ada masa semangatnya, dan setiap masa semangat ada masa jenuhnya. Barang siapa yang masa jenuhnya tetap menuju sunnahku, maka sungguh dia telah mendapatkan petunjuk. Namun barang siapa yang masa jenuhnya menuju pada yang lainnya, maka sungguh dia telah binasa.” (HR. Ahmad).

Menurut hadits ini, rasa bosan itu tidak akan menjadi masalah jika diatasi dengan benar. Yaitu tidak berpindah dari garis sunnah menuju maksiat. Begitu pula saat mengalami kejenuhan dalam menjalani pernikahan. Jika rasa ini menjangkiti, pastikan tetap berada di atas sunnah. Tetap berada di atas sunnah dalam hal ini wujudnya bisa beragam. Tetap menjaga hak-hak pasangan dan melaksanakan sunnah lain berupa mu’asyarah bil ma’ruf, berinteraksi dengan cara yang baik, juga sunnah Nabi dalam berumah tangga. Melakukan hal-hal baru seperti berlibur, pergi mencari ilmu atau berdakwah selama beberapa waktu agar tumbuh kerinduan, juga merupakan sunnah. 

 

Baca Juga: Istri Shalihah Pendukung Dakwah

 

Bagaimana dengan poligami? Jika pun sunnah ini dianggap sebagai solusi, tentu akan menjadi solusi sepihak, bagi lelaki saja. Perlu diingat juga, tanggung jawab sunnah poligami tak bisa diremehkan. Jika alasannya semata karena bosan, poligami malah bisa mendatangkan masalah lebih serius daripada kebosanan itu sendiri. Diperlukan manajemen yang baik agar solusi ini benar-benar menjadi solusi. Jangan sampai setelah poligami, justru menghadapi kejenuhan double dengan dua istri atau bahkan kejenuhan quadrople karena istrinya empat dan keempatnya tengah mengalami masa yang sama.

Intinya, tetap berada di atas sunnah dan jangan sampai menjadikan maksiat sebagai pelarian. Tidak sedikit pasangan yang dengan alasan merasa jenuh, akhirnya selingkuh. Seakan hal itu bisa dibenarkan. Mulai dari sekadar curhat sampai maksiat yang lebih terlaknat. Padahal semestinya setiap pasangan harus menyadari bahwa fase jenuh dalam pernikahan boleh dikata merupakan salah satu konsekuensi dalam sebuah hubungan yang sangat intens seperti pernikahan. Pernikahan tidak selalu berada dalam kondisi bahagia, damai dan tanpa masalah. Akan ada masalah, akan ada yang salah, akan datang masa jenuh, akan datang pula masa penuh problema. Harus dihadapi dan diobati, bukan ditinggal lari.

 

Baca Juga: Milikilah Rasa Cemburu

 

Lari dari kejenuhan dalam berumah tangga dengan berselingkuh seperti mengobati pegal-pegal dengan minum minuman keras. Saat minum, pegalnya tidak terasa tapi sebenarnya tidak hilang, malah isi perut, ginjal dan organ lain harus menanggung akibat buruk dari alkohol. Selingkuh tidak akan mengobati kejenuhan malah pasti menimbulkan masalah dalam rumah tangga, rumah tangga sendiri, bahkan orang lain. Sampai walaupun akhirnya rumah tangga harus berakhir, lalu menikah dengan selingkuhan, kejenuhan ini akan kembali menjangkit. Apakah akhirnya juga akan diakhiri dengan perselingkuhan dan perceraian lain?

Cinta memang bisa layu, hambar dan memudar. Namun sebagaimana ia bisa tumbuh dan mati, cinta juga bisa hidup kembali. Sebagaimana cinta pernah mekar dan berseri, dia juga bisa disirami agar tumbuh kembali. Wallahua’lam.

 

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Pasutri

 

Mencoba Saling Memahami

Hampir satu tahun berlalu ketika saya mendapat undangan untuk membedah sebuah buku tentang curhat seorang istri di ibukota. Beberapa bulan kemudian membedah ‘pasangan’ buku itu sebagai pembanding. Secara umum, isinya tentang keinginan masing-masing ingin agar pasangannya bisa memahami dirinya dengan baik, agar hubungan mereka semakin berkualitas.

Sekarang hal ini menjadi trend dalam kajian-kajian bertemakan keluarga sakinah. Jadwal saya padat dengan permintaan kajiaan bertemakan ‘suamiku dengarkanlah curhatku’, sampai beberapa bulan ke depan. Gejala apa ini? Kesadaran untuk bisa memahami pasangan dengan lebih baik sedang tumbuh, atau banyak keluarga yang merasa tidak dimengerti karena gagal berkomunikasi, atau keduanya?

 

Baca Juga: Bila Rasa Bosan Dengan Pasangan Mulai Menjangkiti

 

Yang saya bedah, sebenarnya, bukan buku baru. Namun tema yang cenderung ‘abadi’ tentang rahasia pernikahan bahagia, yaitu pemahaman yang baik tentang pasangan, jelas punya nilai kekinian yang sangat cukup untuk selalu dikaji. Dan buku ini bisa menjadi batu loncatannya. Apalagi faktanya, banyak pasangan suami istri yang gagal mewujudkan keluarga bahagia meski mereka sama-sama memiliki niat baik. Sehingga terasa aneh jika kedua belah pihak yang sama memiliki niat untuk bahagia, namun akhirnya gagal meraihnya.

Tapi fakta menunjukkan fenomena itu. Bahwa kebahagiaan keluarga tak cukup dibangun hanya dari niat baik semata. Selain faktor ilmu yang memadai sebagai bekal, faktor pamahaman akan pasangan memiliki saham yang kuat untuk mencapai kebahagiaan yang didambakan itu. Bukan saja akhirnya, masing-masing lebih bisa memahami, mengerti, dan menghargai pasangan, namun juga menjadi lebih sehat dalam berkomunikasi.

Mendudukkan persoalan secara benar dan proporsional dan bukan hanya berdasarkan asumsi. Sebab kenyataan yang harus diterima dengan baik oleh pasangan suami istri adalah bahwa lelaki dan perempuan tidak sama, dan tidak akan pernah sama, sampai kapanpun.

Para perempuan yang secara alami memiliki kecenderungan ‘keluar gua’, atau tidak sabar untuk membagi persoalan yang dihadapinya kepada orang lain, nyatanya tidak mudah membaginya justru kepada para suami mereka. Keenganan itu muncul, entah karena suami memang terlihat sangat sibuk sampai tidak memiliki waktu untuk sekedar berbincang ringan dan santai, atau adanya kekhawatiran jika gayung tak bersambut sehingga menambah luka hati, atau malah khawatir jika pembicaraan yang diinginkan menjadi tambahan beban suami yang sudah terlihat berat.

 

Baca Juga: Kisah Pasangan Harmonis Paling Tragis

 

Dengan bahaya isyarat dan pertanda, para istri ingin agar para suami bisa mengerti dan memahami posisi mereka. Namun seringkali hal itu tidak mudah karena berbagai hal. Sehingga momen kajian dengan tema seperti ini menjadi ajang untuk memahamkan kepada para suami tentang siapa sebenarnya para perempuan yang kini menjadi para istri itu. Tentang perbedaan mereka dengan para lelaki, harapan dan keinginan, hingga sikap seperti apa yang mereka rindukan dimunculkan para suami dalam kehidupan berumah tangga.

Dalam situasi seperti inilah, seringkali saya merasa menjadi juru bicara para istri kepada para suami untuk bisa menyampaikan berbagai persoalan itu. Mereka berharap saya bisa berbicara dengan jelas dan runtut, lengkap dengan dalil-dalil tanggung dibutuhkan, sedang saya berharap para suami yang mendengarkan menemukan pencerahan. Apalagi dengan pendekatan amanah yang harus dipertanggungjawabkan di sisi Allah kelak. Agar kita tidak menjadi arogan dan sensitif ketika diingatkan akan tanggung jawab sebagai suami atau istri, untuk kemudian marah-marah secara emosional.

Sebab pernikahan tidak bisa kita klaim sebagai milik kita sendiri, sehingga mengabaikan batasan syar’i tentang hak dan kewajiban dengan alasan ini rumah tangga saya, dan melarang orang lain untuk ikut campur. Tetapi pernikahan adalah ibadah yang jika syarat penerimaannya diabaikan, maka akan sangat melelahkan bagi pelakunya tanpa jaminan penerimaan dari Allah sebagai amal shalih kita.

 

Baca Juga: Ujian Keimanan Pasangan Beriman

 

Berbagai kajian ini adalah upaya saling menasihati dan mengingatkan agar kita melakukan semua tindakan kita dengan sadar dan bertanggung jawab, berdasarkan ilmu yang cukup dan keikhlasan hati agar menjadi tambahan amal shlih kita di sisi Allah, dan bukan menjadi ajang eksploitasi pasangan dengan berlindung di balik dalil-dalil syar’i. Juga sebagai alat bantu untuk melihat posisi pasangan kita secara lebih adil. Bahwa kita tidak bisa mengabaikan perasaan pasangan dalam hidup berumah tangga sebab dia juga bekerja keras untuk kebahagiaan keluarga dan berharap hasil yang setimpal. Di sisi lain, harapan mewujudkan keluarga yang bahagia, yang samara, betul-betul merupakan kerja ta’awun yang melibatkan seluruh anggota keluarga sehingga menjadi ringan dan melegakan.

Saya berdoa agar diberi kesehatan agar upaya menghidupkan kajian-kajian keluarga bisa memberi manfaat yang maksimal. Karena saya rindu melihat keluarga-keluarga yang bahagia dalam arti yang sebenarnya. Kententraman batin yang kuat, komunikasi yang sehat, hingga output berpa anak-anak shalih sebagai tabungan akhirat benar-benar bisa terwujud. Semoga!