Keadilan, Barang Langka Yang Sulit Ditemukan

Keadilan merupakan poros keseimbangan dan harmoni, sekaligus barang langka yang sulit ditemukan dalam kehidupan. Tetap bisa ditemukan, namun begitu jarang. Bak menggali tanah Purukcahu (wilayah di Kalimantan) mencari intan, begitu sulit, tetapi sesekali didapatkan.

Keadilan adalah ‘barang dagangan’ universal yang semua pasar pasti menerima komoditas tersebut. Komoditas essensial yang pada saat kerusakan sistem global telah sampai pada stadium kritis di tubir jurang kehancuran, para akademisi yang obyektif dapat menilai bahwa hanya keadilan hakiki berdasar timbangan langit yang dapat menyelamatkannya. Akan tetapi kekuasaan yang terbelenggu hawa nafsu, berat untuk tunduk, dan menggunakan kekuasaan di tangannya untuk menghalangi penyelamatan itu.

Keadilan, Tantangan Intrinsik

Tantangan terbesar seseorang untuk bersikap adil berasal dari dirinya, baik ketika dalam keadaan lemah, tidak berkuasa dan menjadi ‘obyek hukum’, maupun tatkala kuat, berkuasa dan berposisi sebagai ‘subyek hukum’. Tantangan itu semakin berat ketika segala sesuatunya telah ter-sistem, tidak lagi refleksi sifat personal tetapi terkodifikasikan sebagai kesepakatan ‘community’, semua telah tertuang dalam kodifikasi hukum, diturunkan dalam regulasi, dijabarkan dalam standard operational procedure (SOP) yang establish.

Ketika rincian regulasi dan prosedur untuk merealisasikan keadilan itu dibuat untuk mengimplementasikan nilai-nilai transenden wahyu yang adil, penyusunnya menyandang sifat adil, mampu menyingkirkan pretensi dirinya dari mengambil keuntungan subyektif terhadap regulasi yang dibuat, implementasinya dijalankan oleh tangan-tangan yang bersih dari mengambil keuntungan diri dan atau koleganya dalam menjalankan sistem, maka peluang terjadinya peragaan keadilan di bumi terbuka. Tetapi jika sebaliknya, maka sebaliknya pula yang terjadi.

Keadilan, buah Maturitas

Sebab utama yang memancarkan sifat adil dari diri seorang anak Adam adalah pengenalannya yang sempurna kepada Penciptanya (ma’rifatullah). Dengan mengenal keagungan dan keadilan-Nya; kemudian dia membandingkan betapa tinggi dan agung Penciptanya dan betapa sebagian besar manusia menyandang sifat kelemahan dan kerendahan, kemudian dia mampu mengendalikan hawa nafsunya dari menariknya kepada kerendahan itu, dia berpeluang besar untuk meningkatkan derajat dirinya mendekati sifat adil. Kebanyakan manusia memilih memiliki dan membiarkan dirinya menyandang sifat-sifat picik, kekanak-kanakan, rakus, selalu ingin menang sendiri dan mendapatkan bagian terbanyak dalam pembagian. Jika mendapatkan bagian yang banyak dia rela, jika mendapatkan bagian adil dia tidak puas, dan jika mendapatkan bagian sedikit dia marah.

Baca Juga: Khilafah & Syari’at Islam

Selama sifat-sifat kekanak-kanakan tersebut dominan pada manusia, sendiriannya maupun kolektif, maka diri manusia dan komunitas kolektifnya, jauh dari keadilan. Entitas yang unsur pembentuknya memiliki sifat-sifat itu, hanya layak dipimpin oleh salah seorang dari mereka yang terkuat, atau manusia yang dijadikan boneka oleh mereka yang kuat. Ketidakadilan (kedhaliman) itu dapat diterima dengan dipaksakan, dimana si kuat secara umum diterima mendapatkan bagian paling besar lantaran kekuatannya. Selanjutnya, bagian yang lebih banyak itu, dengan kekuasaan akan dilegitimasi menjadi hak.

Jika ada lebih dari satu penyandang kekuatan, maka konflik untuk mendapatkan bagian paling besar tadi sewaktu-waktu bisa pecah. Entitas seperti itu selalu membutuhkan obyek eksploitasi untuk direbut dan diambil bagiannya demi memuaskan sifat kekanak-kanakan (dalam hal ini sifat rakus) yang ‘menghiasi’ dirinya. Bangsa Tatar melakukan serangan militer dan penjarahan, menggulung Khilafah Abbasiyah di Baghdad, invasi berlanjut ke barat sampai Eropa, ke timur mencaplok China, didasari sifat dasar ini. Jenghis Khan, Hulagu Khan berhasil memenangkan pertarungan memperebutkan siapa yang terkuat dalam intern komunitasnya, selanjutnya mencari obyek eksploitasi keluar.

Ikatan berdasarkan suku, ras dan pengelompokan berdasarkan ikatan politik kepentingan merupakan lahan subur persemaian bibit ketidak-adilan. Agama, yang bersumber dari wahyu Allah pun bisa menjadi lahan tumbuhnya fanatisme dan ketidakadilan kepada selainnya. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Setidaknya ada dua jawaban ; agama langit itu telah mengalami interpretasi dari para pemuka agama yang menyimpang dari kemurniannya, atau tidak sanggupnya mereka yang ditokohkan dalam agama untuk menampilkan akhlaq dengan bercermin sifat adil Allah. Kegagalan yang pertama, penafsiran agama berdasar kepentingan, sering disebabkan karena ambisi kekuasaan dan harta. Adapun yang kedua disebabkan kegagalan menangkap pesan inti wahyu. Seringnya dua kegagalan itu tidak berdiri sendiri-sendiri, seringnya ada sekaligus.

Penegak Hukum tidak selalu Penegak Keadilan

Jika belitan ketidakadilan itu telah mensistem. Kedhaliman tidak lagi perilaku individu tetapi perilaku kolektif, bahkan individu yang memiliki sifat adil pun tidak dapat melepaskan diri dari belitannya. Individu yang berhiaskan sifat adil pada saat seperti itu, seolah menjadi manusia anakronistik (salah tempat, salah waktu), dia harus memilih untuk mereduksi sifat adilnya (sekedar mengurangi kedhaliman yang ada), atau berubah total menyesuaikan diri dengan lingkungan kedhaliman, atau dia terlempar dari pusaran jika dia idealis.

Baca Juga: Negara Gagal

Pada keadaan seperti itu Penegak Hukum tidak identik dengan Penegak Keadilan. Masyarakat Bani Israel suatu saat berada pada kultur mapan menolak kebenaran. Al-Qur’an mencatat, “Sesungguhnya orang-orang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar, dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka berilah kabar gembira mereka itu dengan adzab yang pedih”.[Ali ‘Imran:21].

Sahabat senior Abu ‘Ubaidah bin Jarrah menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bani Israel telah membunuh 43 nabi di pagi hari di satu waktu, kemudian bergeraklah 112 orang Ahli Ibadah mereka melakukan amar ma’ruf nahi munkar,maka seluruhnya mereka bunuh di sore hari pada hari itu”. [Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Tafsir Al-Qurthubi].

Pada situasi di atas, Penegak Hukum dalam sistem tiran rusak Bani Israel berperan sebagai pembunuh para utusan Allah dan orang-orang yang memerintahkan berbuat baik dan melarang dari yang munkar. Betapa miripnya situasi yang dihadapi oleh para penyeru kebenaran, mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan perlakuan kriminalisasi yang dilakukan oleh mereka yang menyandang atribut Penegak Hukum. Allohumma afrigh ‘alaa al-mu’miniin shabra. (Redaksi/Fikrah/Kajian)

 

Tema Terkait: Hukum, Pemerintah, Adil

Pejabat Bermartabat Karena Pemimpin Hebat

Memilih kriteria pemimpin dan orang yang diberi amanah jabatan memang tidak mudah. Tidak seperti kebanyakan manusia hari ini yang menggunakan sistem voting, mana yang mendapat suara terbanyak ialah yang akan menang. Entah ia orang yang amanat, bijaksana lagi wibawa atau justru ia orang yang hanya bermodalkan OMDO (omong doang) sangat bisa terpilih menjadi pejabat.

Lain ceritanya dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, ia meniru jejak kakek buyutnya Umar bin Khattab dalam memilih seseorang yang pantas untuk dijadikan pejabatnya. Ia mengangkat orang-orang yang tidak menginginkan kekuasaan dan kekayaan dari jabatannya, tidak pula ingin sambutan yang wah dalam pelantikannya. Tapi Ia lebih memilih pengemban jabatan yang santun, rendah hati, bersosial dengan sesame manusia dan tidak memiliki keistimewaan diantara manusia kecuali amalannya.

Baca Juga: Apa Enaknya Jadi Pejabat? 

Dari sekian orang yang akan dipilih Umar bin Abdul Aziz tersebutlah nama Bilal bin Abu Burdah. Umar bin Abdul Aziz melihat dirinya sebagai orang yang selalu dekat dengan masjid tiap waktu shalat dan senantiasa membaca al-Quran di siang dan malam harinya. 

Umar bin Abdul Aziz ingin mengangkatnya sebagai gubernur Iraq,ia berkata pada al-A’la bin Mughirah sebagai pejabat yang diserahi tugas ini, “Jika yang ada di batinnya sebagaimana yang Nampak pada lahirnya, ia adalah orang yang patut mengemban amanah, karena tidak menginginkan keutamaan.”

Pejabat tersebut pergi menjalankan tugasnya guna mendatangi Bilal, adapun Bilal saat itu sedang menunaikan Shalat antara waktu Magrib dan Isya’. Usai shalat Al’-A’la bin Mughirah berkata kepadanya, “Kamu mengetahui kedudukan dan kedekatanku dengan Amirul Mukminin. Jika aku mengusulkan kepadanya untuk mengangkatmu menjadi gubernur Iraq, Apa yang kamu sampaikan padaku?” “Gajiku setahun” jawab Bilal bin Abu Burdah. “Maksudmu 120 ribu dirham?” Tanya al’A’la. “Ya” Jawab bilal. Lalu al’A’la berkata, “Catat itu untukku diatas kertas sebagai bukti.”

Bilal bin Abu burdah bergegas menulisnya. Al-A’la pun membawa tulisan tersebut kepada Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz. Setelah membacanya Ia menulis surat kepada gubernur Kufah  yang intinya bahwa Bilal mengelabuhi kaum muslimin dengan ibadahnya, dan hampir kita semua terperdaya olehnya. Setelah dilakukan penyelidikan ternyata ada penyakit dalam dirinya, ia tidak layak untuk menjabat.

Akhirnya Umar bin Abdul Aziz mengasingkan Bilal bin Abu Burdah dan mengusirnya dari Iraq. Ia berkata,” Wahai penduduk Iraq, pemuka kalian ini hanya mengobral kata-kata bukan fakta yang dapat diterima, dan memang kefasihannya dalam bicara bertambah,namun kezuhudan dalam dirinya berkurang.”

Baca Juga: Pemerintah Sumber Fitnah? 

Demikian proses pengangkatan pejabat dan pemegang amanat dari seorang tokoh pemimpin terbaik sepanjang masa. Hendaknya bila kita memang menghendaki kebaikan, utamakan Iman dan ketawadhu’an dalam memilih pemimpin atau pejabat lainnya, bukan karena banyaknya suara, bukan lantaran hartanya, bukan juga karena bualan-bualan palsu lainnya. Semoga bermanfaat (Nurdin/Motifasi/Pejabat

 

Tema Terkait: Pemerintah, Khilafah, Pemimpin 

Pemerintah Sumber Fitnah?

Barangsiapa diberikan amanat kekuasaan, tetapi dia tidak berlaku amanah kepada yang dipimpinnya maka dia diharamkan memasuki surga. Kurang lebih demikian ancaman Nabi Shalallahu ‘alaihi wasaalam kepada pemimpin yang tidak amanah kepada rakyatnya.

Amanat kepemimpinan sangat riskan disalahgunakan, karena ia berkuasa dan memiliki peralatan lengkap untuk melakukannya. Dan pada prakteknya banyak kepentingan berseberangan dengan kebutuhan rakyat. Sebagai contoh, pemimpin suatu negara bisa saja seenaknya menaikkan harga kebutuhan pokok setinggi mungkin, atau melegalkan barang-barang haram dengan dalih keuntungan bagi negara atau membuat berita bohong agar rakyat terlena dan tertipu dengan predikat kepemimpinan yang dia jalankan.

Hal demikian sangat mungkin dan banyak dilakukan oleh kepemerintahan dimanapun mereka berada, tak terkecuali di negeri kita tercinta ini. Hari ini berbagai komoditi dan kebutuhan pokok harganya semakin menjulang tinggi, belum lagi harga-harga kebutuhan sekunder lainnya. Disamping itu para konglomerat dibiarkan menjarah kekayaan sebanyak yang mereka mau, asal tuan puas, kami antusias. Seperti pepatah mengatakan, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.

BACA JUGA:  Gempuran Fitnah Robohkan Istiqomah

Belum lagi bagaimana peran pemerintahan dalam memegang kendali media sebagai sumber berita. Media yang dia suka diajak berpesta, sedangkan yang bertentangan di blokir tanpa penjelasan. Sebagaimana Rocky Gerung, salah seorang akademisi UI (Universitas Indonesia) dalam sebuah forum diskusi di salah satu acara TV swasta berkata, “pembuat hoax terbaik adalah penguasa. Karena mereka memiliki seluruh peralatan untuk berbohong. Intelijen dia punya, data statistik dia punya, media dia punya. Orang marah. Tapi itu faktanya. Bahwa, hanya pemerintah yang mampu berbohong secara sempurna. Saya tidak ingin dia berbohong tapi potentially dia bisa lakukan itu,”.

Memang benar adanya apa yang Ia sampaikan, untuk melakukan kebohongan seribu kalipun mereka mampu dan berpotensi melakukan itu. Yang perlu kita cermati berikutnya adalah mengapa hal demikian dilakukan pemerintah? Sebenarnya ada apa dibalik penggembosan dan pemblokiran berbagai media islam? Bisa jadi mereka sedang menutupi sebuah krisis atau ada kepanikan hebat yang menghantui mereka. Marilah kita mendoakan yang terbaik bagi negeri kita yang tercinta.

Itulah mengapa Nabi mewanti-wanti jangan mengharapkan sebuah kepemimpinan dan jangan meminta untuk dijadikan pemimpin, selain karena potensi curang dan zhalim sangat besar, hidup pun tidak akan tenteram ketika tiap hari kita dihadapkan dengan berbagai persoalan. Lebih dari itu, pemimpin culas dan curang yang tidak amanat menjalankan kepemerintahan, Ia tidak akan mencium wanginya surga, apalagi memasukinya. Wallahu a’lam.