Status Anak Hasil Perzinaan

Ada sebuah kasus yang menimpa salah seorang teman, yaitu istrinya melakukan zina dengan seorang laki-laki. Ketika dia hamil dan melahirkan seorang anak, perempuan tersebut minta cerai, karena ingin menikah dengan pacar gelapnya yang telah berzina dengannya. Dia mengatakan bahwa anaknya yang baru saja lahir adalah anak hasil perzinaan dengan pacarnya, maka anak tersebut harus ia bawa. Bagaimana sebenarnya status anak tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dijelaskan di sini bahwa perempuan yang melakukan perbuatan zina dan hamil dibagi menjadi dua:

  • Pertama:

Dia berstatus sebagai istri dari seorang suami yang sah, sebagaimana yang terjadi pada kasus di atas. Jika perempuan tersebut hamil dan melahirkan, maka status anaknya diikutkan kepada suaminya yang sah, dan bukan kepada laki-laki yang berzina dengannya, walaupun anak tersebut wajahnya mirip dengan laki-laki yang berzina. Kenapa? karena air mani orang yang berzina tersebut tidak dihargai dalam Islam, sehingga tidak diakui nasabnya.

Selain itu, Islam ingin menutupi aib seorang muslim jika hal itu memungkinkan, dan sekaligus ingin menghargai anak manusia yang lahir, karena pada hakekatnya bayi dari hasil perzinaan tersebut adalah makhluk yang tidak bersalah, yang bersalah adalah orang yang berzina. Nah, untuk menutupi hal itu, maka bayi tersebut diikutkan kepada pasangan suami istri yang telah terikat dalam perkawinan yang sah.

Dalilnya adalah hadist yang menyebutkan kisah anak yang lahir dari budak perempuan milik Zam’ah bin Aswad yang ternyata pernah melakukan hubungan badan dengan Utbah bin Abi Waqash. Utbah mewasiatkan kepada saudaranya Sa’ad bin Abi Waqash untuk mengambil anak tersebut, karena anak tersebut sebenarnya adalah anaknya. Tetapi Abdun bin Zam’ah merasa anak tersebut adalah saudaranya. Terjadilah pertengkaran antara Sa’ad bin Abi Waqash (saudaranya ‘Utbah) dengan Abdun bin Zam’ah. Berkata Sa’ad: “Saudaraku bilang bahwa anak dari budak milik Zam’ah ini adalah anaknya. Berkata ‘Abdun: “Dia adalah saudaraku, karena dia adalah anak bapakku karena lahir di atas kasur bapakku.” Maka nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada ‘Abdun: “Itu adalah saudaramu wahai Abdun, karena anak yang lahir tersebut dinisbatkan kepada laki-laki  yang mempunyai istri dari ikatan perkawinan yang sah, sedang yang berzina tidak mendapatkan apa-apa, wahai Saudah (binti Zam’ah), kamu harus berhijab ketika bertemu dengannya nanti. (karena wajah anak tersebut mirip dengan Utbah)” (HR. Bukhari: 2533)

  • Kedua:

Perempuan yang berzina tadi belum mempunyai suami dan belum berada dalam ikatan perkawinan yang sah. Hal ini biasanya terjadi di kalangan para mahasiswa-mahasiswiI dan para pelajar putra – putri yang hidup di daerah perkotaan. Bagaimana status anak yang dikandungnya? Apakah boleh diakui sebagai anak keduanya setelah mereka berdua menikah atau anak tersebut tidak boleh dinisbatkan kepada laki- laki yang menghamili ibunya ?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:

  • Pendapat Pertama mengatakan bahwa status anak tersebut tetap sebagai anak zina tidak boleh dinisbatkan sama sekali kepada laki-laki yang menghamili ibunya, antara keduanya tidak boleh saling mewarisi, dan jika anak yang lahir tadi perempuan, maka laki-laki tersebut tidak boleh menjadi wali nikahnya. Tetapi anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya yang melahirkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dalilnya adalah hadist Zam’ah di atas bahwa: “anak itu dinisbatkan kepada suami yang mempunyai  istri dari ikatan perkawinan yang sah, sedang yang berzina tidak mendapatkan apa-apa.”

Oleh karenanya, jika laki-laki yang berzina dengan ibunya tadi ingin agar anak hasil perzinaan tersebut diselamatkan dan tidak terlantar begitu saja, maka dibolehkan baginya untuk merawat anak tersebut sebagaimana dia merawat anaknya sendiri. Hanyasaja ketika pembagian warisan, anak tersebut tidak berhak mendapatkan warisan. Tetapi, jika laki-laki tersebut ingin menghibahkan atau mewasiatkan sebagian hartanya kepada anak tersebut sebelum dia meninggal dunia, maka hal tersebut dibolehkan.

  • Pendapat Kedua mengatakan bahwa anak tersebut boleh dinisbatkan kepada laki-laki yang menghamili ibunya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Taimiyah (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa: 32/ 112, 113, 139). Pendapat ini juga dinisbatkan kepada Ishaq bin Rahawih, Sulaiman bin Yasar, Ibnu Sirrin, Hasan Bashri, Ibrahim an-Nakh’I dan lain-lainnya.(Al Baji, Al Muntaqa: 6/ 11, Ibnu Qudamah, Al Mughni: 6/ 266).

Mereka beralasan bahwa hadist Zam’ah di atas hanya berlaku bagi perempuan yang mempunyai suami dari ikatan perkawinan yang sah, sehingga perempuan tersebut disebut firasy (tempat tidur) bagi suaminya. Tetapi lain halnya, jika perempuan tadi tidak mempunyai suami dari ikatan perkawinan yang sah, maka dia tidak disebut firasy. Dengan demikian hadist di atas tidak berlaku pada perempuan semacam ini.

Selain itu, sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa tujuan dinisbatkan anak zina tadi kepada suami yang sah, adalah untuk menutupi aib dan mengangkat derajat anak yang mungkin dilahirkan dari hasil perzinaan tersebut. Nah, ternyata  perempuan tersebut  pada waktu dia berzina tidak mempunyai suami yang sah, sehingga anak hasil perzinaan tersebut mau dinisbatkan kepada siapa? kalau kepada ibunya tentunya nasib anak itu akan menggantung di masa mendatang karena tidak mempunyai bapak, dan orang lainpun lambat laun akan mengetahui bahwa anak tersebut adalah anak zina, dengan demikian aib tersebut akan terbongkar dan mencorengnya serta mencoreng ibu yang melahirkannya, padahal barangkali ibu tersebut sudah bertaubat dengan sungguh-sungguh.

Baca Juga: Hukum Nikah Siri Dalam Islam

Jika dikemudian hari ternyata laki-laki dan perempuan yang berzina tersebut telah bertaubat dan menikah, maka pernikahan mereka berdua adalah sah menurut madzhab Hanafi dan Syafi’I, sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya. Kemudian timbul pertanyaan, apakah salahnya anak tersebut dinisbatkan kepada laki-laki yang sekarang sudah menjadi suami ibunya, sedangkan tidak ada satupun dari pihak lain yang mengklaim bahwa anak tersebut adalah anaknya.

Pendapat ini dikuatkan dengan Atsar Umar bin Khattab, bahwa beliau menisbatkan anak-anak yang dilahirkan pada waktu jahiliyah kepada siapa yang mengakuinya ketika mereka sudah masuk Islam (Atsar Riwayat Imam Malik di dalam al- Muwatho’, no: 1426, Baihaqi, no: 21799, Berkata Syekh Al-Bani di dalam Irwa’ Ghalil: 6/ 25: orang-orang yang meriwayatkan atsar ini bisa dipercaya, karena telah mereka telah meriwatkan hadist-hadist di dalam shahih Bukhari dan Muslim, hanya saja sanadnya terputus, karena Sulaiman bin Yasar tidak bertemu dengan Umar, akan tetapi tersambung dari jalan lain).

[bs-quote quote=”Kesimpulan dari pembahasan di atas, bahwa anak yang lahir dari perzinaan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang masih berada dalam ikatan perkawinan resmi, maka statusnya dinisbatkan kepada suami yang sah dari perempuan yang berzina tersebut. Sedang jika perempuan yang berzina tersebut tidak sedang dalam ikatan perkawinan sah dengan seorang laki-laki, maka status anak dari hasil perzinaan tersebut masih diperselisihkan para ulama: mayoritas ulama mengatakan bahwa anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya, sedang sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa anak tersebut boleh dinisbatkan kepada lelaki yang berzina dengan ibu yang melahirkannya. Wallahu A’lam.” style=”default” align=”center” color=”#2276bf”][/bs-quote]

Oleh: Ust. Ahmad Zain an-Najah/Fikih Nazilah

Hukum Ta’ziyah dan Mensholatkan Pelacur, Gay dan Lesbian

Para Pelacur, Gay dan Lesbian termasuk dalam katagori Fasik. Dan fasik secara bahasa berasal dari ‘fasaqa ‘ yang artinya keluar. Orang Arab menyebutkan : “ Fasaqa ar-Rutabu “ (Kurma basah yang terkelupas dari kulitnya ). Maka Orang Fasik adalah seorang muslim yang banyak meninggalkan ( keluar ) dari ajaran-ajaran Islam dengan melakukan dosa- dosa besar, seperti berzina, mencuri, membunuh orang tanpa hak, minum khamr dan perbuatan sejenis. Atau yang melakukan dosa-dosa kecil yang sangat banyak dan secara terus menerus. ( ar-Raghib al-Ashfahani(W.502 H), al-Mufradat fi Gharibi al-Qur’an, hlm.380 ) 

Salah satu ayat al-Qur’an yang menyebutkan lafadh fasik yang berarti “keluar” adalah firman Allah :

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا

 

“ Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia keluar (durhaka )dari perintah Tuhannya.  Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang lalim.( Qs. al-Kahfi : 50)

 

Mayoritas ulama mengatakan bahwa ta’ziyah disunnahkan untuk orang yang meninggal dunia dalam keadaan fasik dan bermaksiat. Sebagian kecil dari ulama asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa ta’ziyah untuk orang fasik hukumnya makruh. ( Nihayatu al-Muhtaj : 3/13, Hasyiatu al-Qalyubi :1/432)

Adapun dalil disunnahkan ta’ziyah untuk mereka adalah sebagai berikut :

Pertama : Keumuman hadist-hadist yang menunjukkan anjuran dan keutamaan ta’ziyah  untuk kaum muslimin yang terkena musibah secara umum. Dan belum ada dalil yang membatasi ta’ziyah khusus orang-orang yang taat saja.

Kedua : orang yang fasik ahli maksiat termasuk dalam katagori muslim selama tidak melakukan hal-hal yang menyebabkannya keluar dari Islam. Diantara dalilnya adalah firman Allah :

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

“ Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.’ (Qs.al-Hujurat: 9)

Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya ( 7/374 ) :

 فسماهم مؤمنين مع الاقتتال. وبهذا استدل البخاري وغيره على أنه لا يخرج من الإيمان بالمعصية وإن عظمت، لا كما يقوله الخوارج ومن تابعهم من المعتزلة ونحوهم

“ Mereka masih disebut orang-orang beriman walaupun saling berperang. Dengan ayat ini, al-Bukhari dan lainnya berdalil bahwa seseorang tidak keluar dari keimanan dengan maksiat walaupun berupa dosa besar, tidak seperti yang dikatakan oleh al-Khawarij dan pengikutnya seperti al-Mu’tazilah dan sejenisnya. “

Begitu juga firman Allah :

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ

 

“  Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (Qs. al-Baqarah : 178)

 

Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang muslim yang dengan sengaja membunuh  orang muslim lainnya masih disebut saudara, yaitu saudara seiman. Ini menunjukkan bahwa dosa besar tidak mengeluarkan seseorang dari keimanan.

 

Berkata Syekh Abdul Aziz bin Baz di dalam Majmu’ Fatawanya : “ Tidak apa-apa, bahkan dianjurkan untuk berta’ziyah, walaupun yang mati adalah  pelaku maksiat seperti bunuh diri atau yang lainnya. Begitu juga dianjurkan berta’ziyah kepada keluarga yang salah satu anggotanya dihukum qishas karena membunuh orang lain, atau dirajam sampai mati karena berzina padahal dia sudah menikah, begitu juga peminum khamer yang mati karenanya. Maka tidak dilarang untuk berta’ziyah kepada keluarganya, dan tidak dilarang pula  mendo’akannya untuk mendapatkan ampunan dan rahmat Allah. “

 

Hukum Mensholatkan Orang Fasik

 

Boleh mensholatkan orang fasik atau ahli maksiat yang meninggal dunia, karena dia masih dianggap muslim. Diantara dalilnya adalah hadist Zaid bin Khalid al-Juhani  radhiyallahu ‘anhu :

 

 أَنَّ رَجُلاً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- تُوُفِّىَ يَوْمَ خَيْبَرَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ ». فَتَغَيَّرَتْ وُجُوهُ النَّاسِ لِذَلِكَ فَقَالَ « إِنَّ صَاحِبَكُمْ غَلَّ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ». فَفَتَّشْنَا مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ لاَ يُسَاوِى دِرْهَمَيْنِ.

                “ Bahwa seorang laki-laki dari sahabat nabi meninggal dunia dalam perang Khibar. Maka mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliaupun bersabda :“Sholatkanlah teman kalian.” Maka wajah para sahabat berubah(merasa aneh) dengan pernyataan tersebut. Maka beliaupun bersabda :“Sesungguhnya sahabat kalian telah melakukan kecurangan di jalan Allah.” Kemudian kami periksa barangnya, maka kami dapatkan dompet miliknya orang Yahudi yang harganya tidak sampai dua dirham.“(HR. Ahmad, Abu Daud, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Berkata Syu’aib al-Arnauth : Ini hadist shahih )

Hadist di atas menunjukkan kebolehan mensholatkan orang yang berbuat curang (mengambil ghanimah sebelum dibagi) dalam perang. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memilih untuk tidak mensholatkannya sebagai bentuk teguran kepadanya dan kepada siapa saja yang berbuat seperti perbuatannya.

Ibnu Abdil Bar al-Maliki di dalam al-Istidzkar(5/85) berkata : “ Hadist di atas merupakan dalil bahwa imam dan para pemimpin agama tidak menshalatkan pelaku dosa. Akan tetapi tidak boleh juga melarang shalat jenazah terhadapnya. Bahkan dia harus menyuruh orang lain. Sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alihi wa sallam : ‘Shalatkanlah teman kalian.”

 

Ini dikuatkan dengan hadist Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu :

 أُتِيَ اَلنَّبِيُّ  صلى الله عليه وسلم بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ, فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ

 

“ Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam didatangkan kepadanya seorang laki-laki yang bunuh diri dengan anak panah, maka beliau tidak mensholatkannya.” ( HR. Muslim )

Selain orang fasik dan ahli maksiat, beliau juga tidak mau mensholatkan orang yang mempunyai utang dan belum melunasinya sampai meninggal dunia, sebagaimana di dalam hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :

 

أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ اَلْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ اَلدَّيْنُ, فَيَسْأَلُ: ” هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ مِنْ قَضَاءٍ? ” فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءً صَلَّى عَلَيْهِ, وَإِلَّا قَالَ: ” صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ ” فَلَمَّا فَتَحَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْفُتُوحَ قَالَ: ” أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ, فَمَنْ تُوُفِّيَ, وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ

“ Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam suatu ketika dihadirkan kepadanya seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan punya utang. Maka ditanyakan:“ Apakah meninggalkan sesuatu untuk membayar utangnya ?“ Jika dijawab bahwa ada yang ditinggalkan untuk membayarnya, maka beliau mensholatkannya, jika tidak, maka beliau bersabda:“ Sholatlah kalian untuk saudara kalian ini.“ Ketika terjadi pembukaan kota-kota, beliau bersabda : “ Saya lebih berhak ( untuk membantu ) kaum muslimin daripada mereka sendiri, maka barang siapa yang meninggal dunia dan mempunyai utang, maka saya yang bertanggung jawab untuk membayarnya.“ (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Akan tetapi jika orang fasik atau pelaku tersebut sudah bertaubat dan dihukum oleh pemerintah Islam, maka beliaupun ikut mensholatkannya. Seperti dalam hadist  Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu :

 

أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ جَاءَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاعْتَرَفَ بِالزِّنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ قَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبِكَ جُنُونٌ قَالَ لَا قَالَ آحْصَنْتَ قَالَ نَعَمْ فَأَمَرَ بِهِ فَرُجِمَ بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا أَذْلَقَتْهُ الْحِجَارَةُ فَرَّ فَأُدْرِكَ فَرُجِمَ حَتَّى مَاتَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرًا وَصَلَّى عَلَيْهِ

“Bahwa seseorang yang berasal dari suku Aslam datang kepada nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan mengaku telah berbuat zina, nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak menanggapinya, sehingga dia bersaksi kepada dirinya empat kali, maka nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya kepadanya : “ Apakah anda sudah gila ?” Dia menjawab :“Tidak”, Nabi bertanya : “Apakah anda sudah menikah “? Dia menjawab :‘Ya‘, maka beliaupun memerintahkan agar orang tersebut dirajam di musholla (tempat lapang), ketika batu-batu menimpanya, diapun lari, dan berhasil ditangkap lagi dan dirajam sampai mati. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkata tentangnya dengan sesuatu yang baik dan mensholatkan jenazahnya.“ ( HR. Bukhari, 6820)

Memang ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak mensholatkannya, tetapi Imam Ahmad ketika ditanya masalah ini, beliau mengatakan :

 

لا يعلم أن النبي – صلى الله عليه وسلم – ترك الصلاة على أحد إلا على الغال وقاتل نفسه.

“ Tidak diketahui bahwa nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak mau mensholatkan jenazah sahabatnya kecuali orang yang mencuri harta rampasan perang dan yang melakukan bunuh diri. (al-Hasan ash-Shan’ani( 1276H), Fathu al-Ghaffar, 2/721)

 

Hal ini dikuatkan dengan hadist Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu :

 

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ أَتَتْ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهِىَ حُبْلَى مِنَ الزِّنَى فَقَالَتْ يَا نَبِىَّ اللَّهِ أَصَبْتُ حَدًّا فَأَقِمْهُ عَلَىَّ فَدَعَا نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلِيَّهَا فَقَالَ « أَحْسِنْ إِلَيْهَا فَإِذَا وَضَعَتْ فَائْتِنِى بِهَا ». فَفَعَلَ فَأَمَرَ بِهَا نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَشُكَّتْ عَلَيْهَا ثِيَابُهَا ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَرُجِمَتْ ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهَا فَقَالَ لَهُ عُمَرُ تُصَلِّى عَلَيْهَا يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَقَدْ زَنَتْ فَقَالَ « لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ وَهَلْ وَجَدْتَ تَوْبَةً أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى

 “ Bahwa seorang wanita dari Juhainah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan hamil karena zina. Wanita itu berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ya Rasulullah, aku telah melanggar sesuatu yang menyebabkan hukuman rajam, maka tegakkanlah hukuman tersebut atas diriku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil wali wanita tersebut, lalu beliau berkatanya : “Berbuat baiklah pada wanita ini dan apabila ia telah melahirkan, maka bawalah dia kepadaku.”Maka diapun melaksanakan perintah tersebut. Setelah itu beliau memerintahkan agar wanita diikat pakaiannya dengan erat dan dilaksanakan hukuman rajam. Kemudian beliaupun mensholatkannya. Saat itu Umar berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Engkau mensholatkannya wahai Nabi Allah, padahal dia telah berbuat zina?” Beliau bersabda, “Wanita ini telah bertaubat dengan taubat yang jika taubatnya tersebut dibagi kepada 70 orang dari penduduk Madinah maka itu bisa mencukupi mereka. Apakah engkau dapati taubat yang lebih baik dari seseorang mengorbankan jiwanya karena Allah Ta’ala?”  (HR. Muslim)