Takwa, Pondasi Paling Paripurna

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ

,أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ

اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ

ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Alhamdulillah, kalimat pujian dan syukur kembali kita panjatkan kepada Allah atas limpahan nikmat dan hidayah-Nya. Terutama nikmat iman dan Islam yang merupakan karunia terbesar yang diperoleh ummat manusia. OIeh karena itu, sudah selayaknya kita menjadi hamba yang bersyukur dengan selalu menggunakan potensi yang kita miliki untuk menjadi hamba yang selalu taat kepada-Nya.

Kemudian, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, para shahabat serta ummatnya yang selalu berpegang teguh dengan ajarannya.

Tak lupa khatib mewasiatkan untuk para jamaah, marilah kita selalu meningkatkan takwa kepada Allah. Sebab, bekal terbaik untuk kehidupan dunia dan akherat ternyata bukan banyaknya materi. Tapi, bekal terbaik adalah takwa kepada Allah. Adapun gambaran orang bertakwa adalah seperti orang yang melewati jalan penuh lubang dan duri. Ia pasti berhati-hati. Begitu pula hidup di dunia ini yang penuh jebakan maksiat dan dosa. Kita harus berhati-hati melangkah agar tidak terperosok ke lubang kemaksiatan.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Langkah awal untuk mendirikan sebuah bangunan adalah memasang pondasi yang kokoh lagi kuat. Agar bangunan yang berada di atasnya bisa lebih langgeng, lestari dan tak mudah goyah oleh terpaan angin, tidak pula roboh karena terkikis air di sekitarnya.

Begitupula dengan bangunan yang bersifat non fisik. Semua akan baik dan lestari ketika dibangun di atas pondasi yang kuat. Baik berupa bangunan rumah tangga, komunitas, aturan masyarakat, maupun lembaga dakwah dan perjuangan.

Allah berfirman,

 

أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَم مَّنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَبِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللهُ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Maka Apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan Dia ke dalam neraka Jahannam. dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang- orang yang zalim.” (QS. at-Taubah: 109)

Meskipun ayat ini terkait dengan masjid dhirar yang dibangun untuk memecah belah kaum muslimin, namun lafazh ayat ini menunjukkan keumumannya. Sehingga Imam al-Qurthubi menafsirkan, “Ayat ini menjadi dalil, bahwa segala sesuatu yang didasari takwa kepada Allah dan mengharap wajah-Nya, itulah yang akan membuat langgeng, pemiliknya berbahagia dan akan diangkat sebagai pahala di sisi Allah.”

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Dalam berkeluarga misalnya. Ketika rumah tangga dibangun dengan pondasi takwa, niscaya menjadi bangunan yang elok dan kokoh, indah dan lestari. Dengan pondasi kuat yang disepakati itu, segala bentuk keindahan dan kebahagiaan makin terjamin kelestariannya. Tak hanya harmonis di dunia semata, keluarga semisal ini bahkan akan terjaga kelanggenggannya hingga di jannah. Allah Ta’ala berfirman,

”(yaitu) jannah ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang shalih dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu.. (QS. ar-Ra’du: 23)

Ibnu Katsier menjelaskan bahwa, ”Allah mengumpulkan mereka semua, agar menjadi penyejuk mata dan kebahagiaan dengan berkumpulnya mereka dalam satu tempat yang sangat istimewa. Sebagaimana firman Allah,

”Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka[1426], dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.” (QS. ath-Thuur: 21)

Maksudnya, Kami samakan kedudukan mereka dalam satu tempat, agar menjadi penyejuk mata. Kami tidak memisahkan yang tinggi derajatnya dengan yang rendah derajatnya. Bahkan Kami angkat derajat (anggota keluarga) yang amalnya kurang, lalu Kami samakan dengan yang banyak amalnya, sebagai anugerah dan kenikmatan dari Kami.”

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Adapun keluarga yang dibangun tanpa didasari pondasi takwa, ia seumpama bangunan yang didirikan di tepi jurang, sebentar kemudian akan runtuh dan jatuh beserta seluruh isi dan penghuninya. Baik itu berupa tujuan, kedudukan maupun kecantikan yang tidak disertai takwa. Ia mudah sekali goyah, gampang sekali runtuh dan hanya mampu bertahan ’seumur jagung’. Lihat saja bagaimana rumah tangga para publik figur yang berkiblat pada budaya Barat. Mereka menjadi ikon dalam hal ketampanan dan kecantikan. Dan kekayaan?siapa yang menyangsikan banyaknya kekayaan mereka? Begitupun dengan status sosial dan ketenaran, mereka juga memilikinya. Tapi soal rumah tangga, bukan lagi menjadi rahasia, betapa rumah tangga mereka paling riskan dengan problem dan perceraian.

Karenanya, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاك

”Wanita itu dinikahi karena empat alasan; karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka utamakan agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari)

Harta tanpa takwa, bukanlah pengikat cinta, bukan pula jaminan harmonisnya keluarga. Bahkan sangat berpeluang menjadi pemicu konflik yang tak terjinakkan. Begitupun dengan kedudukan dan kehormatan di mata manusia. Tanpa takwa, dalam sekejap akan berubah menjadi kehinaan. Seperti yang pernah dialami seseorang yang bertanya kepada Sufyan bin Uyainah, ’Wahai, Abu Muhammad (yakni Sufyan), aku adalah lelaki yang paling hina dan rendah di mata isteriku.” Lalu Sufyan mencoba menebak, ”Mungkin, engkau menikahinya demi meraih kedudukan dan kehormatan?” Lelaki itu menjawab, ”Ya, memang benar wahai Abu Muhammad”. Kemudian Sufyan memberikan nasihat, ”Barang siapa berbuat karena ingin mencari kehormatan, niscaya akan diuji dengan kehinaan.”

Tak terkecuali kecantikan. Betapa singkatnya keharmonisan rumah tangga yang hanya dibangun atas dasar keelokan rupa tanpa takwa. Bukankah kecantikan fisik seorang wanita hanya bertahan sangat sementara? Terkadang, belum lagi kecantikan luntur, musibah telah terjadi lebih awal. Mungkin karena istrinya yang cantik tergoda oleh laki-laki lain, atau setidaknya bertingkah dengan sesuatu yang selalu memantik kecemburuan suami, la haula wa laa quwwata illa billah.

Bila ada kondisi lain, di mana rumah tangga dibangun bukan karena takwa, namun bisa harmoni sampai mati, pun tidak bisa dikatakan lestari dan langgeng. Seperti keharmonisan antara Abu Lahab dan Ummu Jamil, yang seia sekata untuk memusuhi dakwah Nabi. Karena keharmonisan itu hanya bertahan di dunia yang sangat sementara. Adapun di akhirat, hubungan itu akan berubah menjadi permusuhan, tidak ada lagi istilah akur, kompak, apalagi harmoni. Allah Ta’ala berfirman,

”Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS az-Zukhruf 67)

Maka jika kita mendambakan rumah tangga yang langgeng lagi berpahala, bangunlah dengan pondasi takwa. Rabbana hablana min azwaajinaa, wu dzurriyaatina qurrata a’yun, waj’alnaa lil muttaqiina imaaman. Aamiin.

 

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ اْلعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُهُ

يَغْفِرْلَكُمْ إِنَِّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

 

Khutbah Kedua

 

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْن، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا

عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِمَامُ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.

 

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى

إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ

 

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.

 

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا

يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

 

Oleh: Redaksi/Khutbah Jumat

 

Menikam Keimanan!

Umat Islam, merupakan jumlah mayoritas di negeri ini. Juga merupakan jumlah terbesar bagi hitungan pemeluk Islam di suatu negara. Mereka meyakini dasar-dasar keimanan yang enam, termasuk di dalamnya keyakinan (keimanan) kepada hari akhir dengan segala ahwal-nya sebagaimana diberitakan oleh Allah melalui rasul-Nya, baik yang termaktub di dalam kitab suci Al-Qur’an maupun yang dijelaskan di dalam hadits Nabi shallalLahu ‘alayhi wa sallam. Keyakinan umat Islam terhadap hari akherat merupakan sendi keimanan yang telah mapan dan tidak ada yang mempersoalkan perkara tersebut.

Di tengah situasi sosial-politik di masyarakat begitu sensitif, suhu politik memanas dan sering terjadi benturan, baik dipicu tekanan ekonomi, polarisasi gesekan di tingkat elit politik, atau dipantik oleh semangat dan pemahaman agama (yang dianggap ekstrem dan sektarian). Keadaan itu membuat sebagaian elit politik  masygul, yang kemudian di-artikulasikan oleh Ketum PDIP Megawati pada peringatan hari ulang tahun PDIP ke 44. Isi dari pidato politik tersebut secara umum merupakan pandangan politik PDIP yang diwakili ketuanya, yang tentu saja ‘debatable’ di kalangan politikus.

Celakanya ada dictum pidato yang kebablasan,… “Disisi lain, para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun memosisikan dirinya sebagai pembawa “self fulfilling prophecy”, para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya”. Kalimat tersebut diikuti oleh applaus dari para hadirin (tidak diketahui apa arti tepuk tangan gemuruh tersebut).

Megawati membaca teks pidato, dia berposisi sebagai artikulator. Statement itu, di satu sisi dapat diasumsikan bahwa suara tersebut mewakili sikap elit politik PDIP, di sisi lain Megawati tidak bisa dikatakan tidak bertanggung jawab terhadap statement yang dibacakannya. Pidato politik di moment politis HUT partai, tentu memiliki implikasi luas. Pilihan ‘mimbar’ untuk menyampaikan statement tersebut tentu bukan accident, tetapi by design. Pilihan tempat, waktu dan perhelatan politik, dimana, kapan dan siapa yang menyampaikan pernyataan tersebut telah dipilih secara matang. Hanya apatisme atau hiprokritme yang menganggap statement itu sebagai pidato biasa dan hanya ‘bunga’ kata-kata. Sebagai mantan presiden dan menduduki posisi sebagai ketum parpol pemenang pemilu legislatif, yang ‘petugas partai’-nya berhasil menduduki kursi kepresidenan, di tengah sebuah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, maka pidato itu ‘menempati’ posisinya.

Tikaman pada Sendi Dasar Keimanan

Rukun iman merupakan perkara yang disepakati oleh umat Islam. Rukun tersebut dalam bentuk sistematika secara urut disebutkan di dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh sahabat ‘Umar bin Khaththab, yakni ketika malaikat Jibril datang kepada Nabi dalam bentuk manusia yang menanyakan kepada beliau tentang apa itu Islam, Iman dan Ihsan, ditutup dengan pertanyaan beliau tentang ‘asyrotus-saa’ah’ (tanda-tanda hari Qiyamat). Keenam rukun itu dijelaskan secara bertebaran dalam ayat maupun hadits Nabi secara terpisah-pisah di banyak kejadian dan kasus-kasus, maupun dalam bentuk arahan dan tarbiyah. Tidak ada yang boleh dikurangi dari ke-enam rukun tersebut dalam keimanan, penafian atau penolakan terhadap salah satu dari kekomplitannya, ber-implikasi rusak dan ditolaknya keimanan secara total.

Namun demikian, penyebutannya di dalam Al-Qur’an maupun hadits Nabi kadang-kadang hanya diambil unsur terbesar yang dipandang telah mewakili keseluruhannya,… yakni beriman kepada Alloh dan hari akhir. Di dalam al-Qur’an lebih dari 20 ayat yang menyebutkan iman kepada Allah dan hari akhir sebagai satu rangkaian. Mengapa? Ya,.. karena rukun iman yang lain adalah merupakan konsekuensi logis. Orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, konsekuensinya harus mempercayai malaikat-malaikat yang Allah mendelegasikan pengurusan urusan tertentu kepada malaikat-Nya. Dia juga harus beriman kepada kitab yang diturunkan-Nya untuk mengatur urusan hamba-Nya, beriman kepada para Nabi yang diutus-Nya, dan beriman kepada taqdir (ketetapan)-Nya; baik maupun buruk. Iman kepada Allah saja, tanpa diikuti iman kepada hari akhir, termasuk rinciannya semisal iman kepada yaum al-mahsyar, haudh, hisab, mizan, shirath, jannah dan naar, tidak ada artinya.

Iman kepada semua rincian dari keimanan kepada hari akhir itu, terkait dengan jazaa’ (balasan pahala) dan ‘iqob (hukuman). Ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, yang di-implementasikan dalam bentuk ketundukan kepada aturan dalam kitab suci dan penjelasannya dalam sunnah Nabi, juga tidak bersikap fatalistik menyerah kepada takdir dan meninggalkan ‘amal, menjadi termotivasi dengan keberadaan malaikat yang mencatat, menyertai, menolong, ikut berjihad, memohonkan ampunan dan mendoakan orang-orang yang beriman, selalu terkait dengan jazaa’ dan ‘iqob tadi.

Deklarasi Kekafiran

Pidato itu menempatkan penyusunnya, yang mengartikulasikannya, dan mereka yang menyetujuinya, berada pada salah satu diantara dua posisi, pertama kufur syakk, kedua kufur juhud, (mengingkari rukun iman tersebab ragu-ragu, atau mengingkarinya karena memang menolak). Masalahnya yang diingkari dan atau diragui adalah sendi dasar keimanan, yang apabila hanya disebut 2 (dua) itu saja, yakni ‘Iman kepada Allah dan Hari Akhir’, maka sudah tercakup didalamnya keimanan kepada malaikat, kitab-kitab suci, para rasul dan taqdir baik-buruk. Untuk perkara se-dloruriy itu, tidak ada toleransi untuk tidak mengerti.

Jika Megawati ragu-ragu terhadap kehidupan sesudah dunia fana, dan tidak yakin kepada informasinya lantaran pembawa berita toh belum pernah ke akherat, maka kemungkinannya ada 3 (tiga) ; tidak percaya ayat-ayat Allah yang mengabarkan hal itu (ingkar kepada kitab suci), tidak percaya kepada Nabi yang menjadi utusan (ingkar kepada rasul), atau (yang paling ringan) tidak percaya kepada da’i/muballigh yang menyampaikan pengajaran hal itu. Apa yang diragukan itu termasuk perkara yang dikategorikan ma’luum min ad-dien bi adl-dloruuroh, karenanya keraguan terhadapnya termasuk kufur akbar.

Napak Tilas

Tentang penolakan dan keraguan seperti itu sudah diberitakan dalam ayat-Nya, “Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akherat tidak sampai, bahkan mereka ragu-ragu tentang akherat itu, bahkan mereka buta akan hal itu. Berkatalah orang-orang kafir itu, “Apakah setelah kita menjadi tanah dan (begitu pula) bapak-bapak kita, apakah benar-benar kita akan dibangkitkan dari kubur? Sesungguhnya kami telah diancam dengan hal ini, begitu pula bapak-bapak kami dahulu, tidak lain hal ini hanyalah dongengan orang-orang terdahulu”. [An-Naml : 66-68]. Orang-orang musyrik pada masa diturunkannya Al-Qur’aan juga ragu terhadap kebenarannya,…”Mengapa diturunkan adz-Dzikr (yakni Al-Qur’aan) kepadanya (RasululLah) diantara kita?” Bahkan mereka meragukan peringatan-Ku (Al-Qur’aan), dan (sebabnya) karena mereka belum merasakan adzab-Ku. [Shaad : 8].

Sama dan sebangun,…mereka ragu kepada Al-Qur’aan, karena belum ‘nengok’ akherat, sehingga merasakan adzab Allah. Dan sekiranya mereka telah sampai ke akherat pasti mereka percaya, tetapi telah terlambat. Jika untuk mempercayai akherat dengan kenikmatan jannah dan pedihnya naar, mesti masuk untuk ‘menengok dulu’ baru kembali kedunia dan menjalani hidup dengan penuh keimanan, maka hilanglah hikmah penciptaan alam semesta oleh Allah, dan hilang pula hakekat hidup sebagai ujian untuk mengetahui siapa yang beriman dan siapa yang kufur.

Hendaknya setiap orang yang beriman mengidentifikasi dirinya dimana dia berdiri dan bersama siapa, agar tidak menyesal nantinya. Dan kepada yang tetap dalam keraguan terhadap berita Al-Qur’aan tentang apa yang terjadi setelah dunia fana,… qooluu : “salaaman”.