Yang Paling Durhaka dan Paling Berbakti

Al-Ashma’I berkata, “Ada seorang Arab dusun bercerita kepadaku, “Suatu kali saya keluar dari kampungku untuk mencari orang yang paling durhaka kepada orangtuanya dan orang yang paling berbakti kepada orangtuanya. Maka saya berkeliling dari kampung ke kampung. Hingga saya mendapatkan seorang yang sudah tua, di lehernya ada kalung tali yang digantungi ember besar berisi air sangat panas. Di belakang orang tua itu ada seorang pemuda yang tangannya mencambuk oorangtua itu. Punggung orangtua itu babak belur karena cambukannya.

Akupun berkata, “Tidakkah kamu takut kepada Allah dalam memperlakukan orangua yang lemah ini? Tidakkah cukup bagimu membebaninya dengan tali di lehernya, mengapa kamu masih pula mencambuknya? Dia berkata, “(biarkan Saja), meskipun ini ayahku sendiri.” Aku berkata, “Allah tidak akan membalasmu dengan kebaikan!.” Dia berkata, “Diam! Beginilah dia dahulu telah memperlakukan ayahnya, dan begini pula ayahnya dahulu memperlakukan kakeknya.” Saya berkata,”Inilah orang yang paling durhaka.”

Kemudian aku berkeliling lagi, hingga bertemu dengan seorang pemuda yang mengalungkan keranjang di lehernya. Di dalam keranjang itu ada orang yang sudah tua, keadaannya lemah seperti bayi. Pemuda itu menggendongnya dengan kedua tangannya setiap saat, dia juga mencebokinya seperti seorang menceboki anaknya. Lalu saya berkata, “Ada apa ini?” pemuda itu menjawab, “Ini adalah ayahku, beliau telah pikun, dan saya yang merawatnya.” Maka saya katakan, inilah orang yang paling berbakti.” Akupun kembali dan telah bertemu dengan orang yang paling durhaka dan kemudian orang yang paling berbakti.”

(Majalah ar-risalah edisi 104, 2010)

 

Ketika Amanah Dipegang Ahlinya

Disebutkan kisah Mubarak (Ayahanda Abdullah bin Mubarak) dalam kitab A’lamul muslimin, Muhammad Utsman Jamal.

Mubarak bekerja sebagai penjaga kebun pada seorang yang kaya. Suatu hari, sang tuan mengunjungi kebunnya lalu dipanggillah Mubarak, “petikkan kami beberapa buah delima yang manis!” pintanya.

bergegaslah Mubarak melaksanakan perintah sang tuan. Dia memetik beberapa buah delima dan diserahkannya kepada sang majikan dan beberapa sahabatnya tadi. Namun, ketika majikannya mencicipi delima yang dipetik, tak satupun ada yang manis, semuanya masam. Sang majikan marah dan bertanya pada Mubarak, “Apakah kamu tidak bisa membedakan delima yang manis dan yang masam?

BACA JUGA:  Amanah, Jalan Aman Menuju Jannah

Mubarak menjawab, “Selama ini Anda belum pernah memberi ijin saya untuk makan meski hanya satu biji, bagaimana saya bisa membedakan delima yang manis dan yang masam? sang Tuan merasa takjub dan menaruh simpati kepada mubarak (lantaran amanahnya).

singkat cerita, majikan itu memiliki anak perempuan yang sudah banyak dilamar orang. Lalu ia bertanya kepada Mubarak, “Aku hanya punya seorang anak perempuan, dengan siapa seharusnya aku nikahkan?

Mubarak menjawab, “Tuan, orang Yahudi menikahkan karena kekayaan, orang Nashrani menikahkan karena ketampanan, orang Jahiliyah menikahkan karena nasab kebangsawanan, sedangkan Islam menikahkan karena ketaqwaan. Tuan termasuk golongan mana silahkan tuan menikahkan dengan cara mereka”.

Pemilik kebun itu pun takjub dengan jawaban Muarak. Lalu ia menemui istrinya dan berkata, Saya tidak melihat orang yang lebih layak menikahi putri kita selain Mubarak”. Maka akhirnya menikahkan putrinya dengan Mubarak. Dari pernikahan yang diberkahi itu lahirlah ulama kenamaan Abdullah bin Mubarak, sang ahli hadits di zamannya.

Demikianlah ketika sebuah kepercayaan diberikan kepada yang berhak dan bertanggung jawab. Hasilnya pun tidak akan pernah mengkhianati sebuah proses kejujuran, sebagaimana kisah diatas, Mubarak salah seorang pemegang amanah, dengan itu Ia dikaruniai anak yang kelak akan menjadi rujukan para ulama dan para ahli ilmu yaitu Abdullah bin Mubarak.