Ziarah Kubur, Mengingat Mati Melembutkan Hati

Beberapa waktu yang lalu, setelah menunaikan shalat berjamaah mata saya tertuju  pada sebuah stiker yang ditempel di kaca masjid: “Keranda Airlines. Satu-satunya penerbangan tepat waktu dan bebas hambatan. On time, no delay, no cancel.” Setelah membacanya, saya tersenyum kecil sambil bergumam dalam hati, “Ide cerdas dan unik, sebuah nasehat singkat untuk jamaah masjid agar selalu mengingat kematian yang datangnya tiba-tiba, 24 jam non stop. Keranda mayit selalu siap menunggu kita. Jika ajal sudah tiba  tidak bisa lagi untuk ditunda”.

Pembaca, Rasulullah SAW pernah mengingatkan umatnya agar selalu mengingat hal yang akan memutuskan berbagai kenikmatan yaitu kematian. Pernah seorang wanita mengadu kepada Aisyah ra. tentang kekerasan hatinya. Maka  Aisyah memberikan saran, “Perbanyaklah mengingat kematian, niscaya hatimu akan lembut.” Lalu wanita itu melaksanakan saran Aisyah, sehingga hatinya menjadi lembut. Kemudian ia datang untuk berterima kasih kepada Aisyah.

Kematian adalah akhir dari kehidupan di dunia ini tetapi bukan akhir dari segalanya. Karena setelah kematian, ada alam kubur, hari kebangkitan dan alam akherat. Banyak cara yang bisa kita kerjakan untuk mengingat kematian. Diantaranya dengan berziarah kubur. Rasulullah SAW bersabda:

 

 نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا

“(Dahulu) aku pernah melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah kalian.” (HR. Muslim) Dalam sebuah riwayat: “…karena akan mengingatkan pada kematian.”

Setiap orang yang meninggal dunia pasti akan mengalami alam kubur, baik dia dikuburkan atau tidak. Alam kubur dikenal juga dengan sebutan alam barzah yang berarti pembatas antara alam dunia dan alam akhirat. Alam kubur akan menjadi taman-taman jannah jika dia orang yang taat kepada Allah dan menjadi lubang neraka jika ia termasuk orang yang selalu bermaksiat kepada-Nya. Sedangkan kuburan adalah tempat jasad dikuburkan, sementara ruh berada di alam barzah.

Terkadang kesibukan terhadap urusan dunia bisa menyebabkan hati seseorang menjadi kering dan keras. Akibatnya ia malas beribadah, mudah berbuat maksiat dan tidak ada empati kepada orang-orang yang lemah. Dengan disyari’atkannya ziarah kubur, manusia akan selalu ingat bahwa kelak dia akan mengalami seperti apa yang dialami penghuni kubur. Sehingga ia akan berusaha untuk beramal sebaik mungkin agar persinggahannya di alam kubur menjadi taman-taman jannah yang menyejukkan hati. Ketika melihat kuburan yang sunyi, gelap, dan timbunan tanah di atasnya serta bayangan dari setiap peristiwa yang terjadi di dalamnya; hati dan jiwanya akan tergerak untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian, menyibak segala keangkuhan dan kedurhakaan yang menyelimutinya. Yang akhirnya akan membawanya pada satu titik kesadaran bahwa tiada yang istimewa dalam dirinya selain  taqwa yang menghiasi hati.

 

Bidah dan Kesyirikan Di Kuburan

Rasulullah SAW tidak mengkhususkan hari tertentu untuk berziarah. Kapan pun waktunya, ziarah kubur hukumnya sunah. Ziarah kubur disyareatkan untuk dua tujuan. Bagi peziarah agar selalu ingat dengan kematian, sedang bagi penghuni kubur agar dia mendapatkan ampunan dari Allah karena doa dan permohonan ampunan yang dipanjatkan oleh peziarah. Maka ucapan yang beliau ajarkan kepada para sahabatnya ketika berziarah kubur adalah:

 

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ أَنْتُمْ لَنَا فرَطٌ وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ وَأَسْأَلُ اللهَ لَنَا لَكُمُ الْعَافِيَةِ

“Assalamu’alaikum wahai penduduk kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Kami Insya Allah akan menyusul kalian. Kalian telah mendahului kami, dan kami akan mengikuti kalian. Semoga Allah memberikan ampunan kepada kami dan kalian.”(HR. An Nasai)

Namun sering kita dapatkan di masyarakat, justru kedatangan mereka ke kuburan melenceng dari dua tujuan di atas. Ada diantara mereka yang justru berbuat kebid’ahan dan kesyirikan yang belum pernah diajarkan oleh Rasulullah, begitu pula salaful ummah.

Sering kita jumpai karena merasa belum puas jika hanya mengangkat kedua tangannya ketika mendoakan penghuni kubur, para peziarah melakukan sujud di kuburan, meratap dengan berlinangan air mata serta mengusap-usap dan mencium kuburannya. Tidak sampai disitu, tanah kuburannya dibawa pulang sebagai oleh-oleh keluarganya untuk mendapatkan barakah atau sebagai penolak bala’. Padahal tujuan diizinkannya ziarah kubur -sebagaimana yang telah disebutkan- adalah untuk mendoakan penghuni kubur, bukan meminta doa kepada penghuni kubur.

Satu masalah penting yang juga harus diperhatikan bagi peziarah kubur adalah menjauhi hujr yaitu ucapan-ucapan batil. Sebagaimana sabda Rasulullah :

“…maka barangsiapa yang ingin berziarah maka lakukanlah dan jangan kalian mengatakan ‘hujr’ (ucapan-ucapan batil).” (HR. Muslim) dalam riwayat lain: “…dan janganlah kalian mengucapkan sesuatu yang menyebabkan kemurkaan Allah.” (HR. Ahmad).

Diantara bentuk ucapan batil ketika ziarah kubur adalah meratapi si mayit dengan berteriak-teriak memanggil namanya, mengucapkan kata-kata yang mengandung arti celaka dan makan-makan di area pekuburan sambil membicarakan urusan dunia. Bahkan ada diantara mereka yang tertawa terbahak-bahak padahal jenazah berada di hadapannya.

Maka, mari kita berziarah sesuai dengan sunah Rasulullah untuk melembutkan hati dan agar kita selalu ingat mati. Jangan kotori ziarah kubur kita dengan amalan bid’ah dan kesyirikan, karena justru hanya akan mengeraskan dan mengotori hati dan sangat mungkin akan mendatangkan murka ilahi. Wallahu a’lam. (Redaksi/Fadhilah Amal)

 

Tema Lainnya: Fadhilah Amal, Ziarah Kubur, Kematian

Yang Sunnah & Yang Bid’ah di Bulan Syawal

Salah satu amalan yang dianjurkan oleh Rasulullah setelah kita meninggalkan Ramadhan adalah shaum enam hari di bulan Syawal. Namun ada diantara kaum muslimin yang masih meragukan hukum shaum Syawal ini. Keraguan ini timbul karena menganggap bahwa hadits tentang keutamaan shaum Syawal adalah dhaif, sehingga tidak bisa dijadikan rujukan.

Hadits yang menyebutkan tentang keutamaan shaum Syawal adalah,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.

Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Majah. Sebagian Ulama mengkategorikannya sebagai hadits mutawatir, karena diriwayatkan dari banyak jalur sehingga tidak perlu diragukan lagi kesahihannya. Oleh karena itu banyak Ulama’ yang menghukuminya sebagai sunnah. Diantara mereka adalah; Imam Syafi’I, Ahmad bin Hanbal serta beberapa Ulama’ lainnya. Adapun Imam Malik dan Abu Hanifah menghukuminya makruh. Alasan beliau karena khawatir orang yang tidak tahu akan menganggapnya sebagai bagian dari Ramadhan karena waktunya yang berdekatan, lalu menganggapnya wajib. Namun alasan tersebut lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk menolak sunnah yang sahih. Menanggapi alasan beliau, Ibnu Abdil Barr berkata, “Sesungguhnya hadits ini belum sampai kepada Imam Malik. Andai telah sampai niscaya beliau akan sependapat dengannya.”

Kenapa shaum Syawal enam hari bisa menyamai pahala shaum setahun penuh? Para Ulama menjelaskan bahwa setiap kebaikan itu semisal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Bulan Ramdhan sama dengan shaum selama sepuluh bulan (30×10= 300 hari = 10 bulan) dan shaum enam hari di bulan Syawal sama dengan shaum selama dua bulan (6×10= 60 hari= 2 bulan). Jadi seolah-olah jika seseorang melaksanakan shaum Syawal dan sebelumnya selama sebulan penuh di bulan Ramadhan, ia seperti melaksanakan shaum setahun penuh. Hal ini dikuatkan oleh sabda Nabi,

(من صام ستة أيام بعد الفطر كان تمام السنة : (من جاء بالحسنة فله عشر أمثالها

“Barangsiapa shaum enam hari setelah Iedul Fitri maka seakan dia shaum setahun penuh. (Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal) (HR. Ibnu Majah)

Tidak Mesti Berurutan

Seseorang boleh memilih waktu kapan saja jika mau melakukan shaum ini, selama masih di bulan Syawal, baik di awal bulan, pertengahan, atau di akhir bulan. Sedangkan cara melaksanakannya boleh berurutan boleh pula terpisah. Imam Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan, “Para Ulama madzhab Syafi’ie mengatakan bahwa yang paling afdhal melakukan shaum Syawal secara berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan shaum Syawal setelah sebelumnya melakukan shaum Ramadhan.”

Bolehkan mendahulukan shaum Syawal sebelum mengqadha shaum yang ia tinggalkan pada bulan Ramadhan? Para Ulama’ berselisih pendapat dalam masalah ini, Imam As-Syafi’I dan Imam Ahmad berpendapat  boleh melakukannya. Mereka mengqiyaskan dengan shalat tathawu’ (sunnah) sebelum pelaksanaan  shalat  fardhu. Adapun pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad, shaumnya tidak sah selama masih mempunyai tanggungan puasa wajib. Pendapat yang benar adalah lebih baik mendahulukan mengqadha shaum wajib daripada menjalankan shaum sunnah. Sebab mendahulukan sesuatu yang wjib daripada sunah itu lebih melepaskan diri dari beban kewajiban. Dan yang wajib lebih diprioritaskan. Ibnu Rajab al-Hanbali berkata, “Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, hendaknya ia mendahulukan mengqadha’nya karena hal tersebut lebih melepaskan diri dari beban kewajiban dan hal itu lebih baik daripada shaum sunnah Syawal.” Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsmaimin. 

Hari Raya Ketupat

Hari raya ketupat, disebut juga lebaran ketupat, merupakan hari raya pamungkas dari serangkaian Iedul Fitri. Orang Jawa menyebutnya “Riyoyo Kupat”. Riyoyo Kupat, sejatinya merupakan penutupan dari ibadah shaum enam hari Syawal yang berakhir tanggal 7. Jika dilakukan langsung dari tanggal 6 Syawal, maka tanggal 8 adalah hari raya ketupat. Biasanya masyarakat menyambut hari raya ini dengan memasak ketupat kemudian dilanjutkan dengan acara kenduri bersama di mushala-mushala dan di rumah-rumah. Tradisi riyoyo kupat, sebagaimana namanya, adalah murni tradisi Jawa. Namun di zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ada tradisi yang mirip dengan hari raya ini yang disebut dengan nama Yaumul Abrar (Hari rayanya orang-orang baik). Disebut Yaumul Abrar karena pada hari kedelapan dari bulan Syawal ini, orang-orang Abrar (orang baik) telah selesai melaksanakan shaum Syawal selama enam hari. Namun hal ini termasuk perbuatan bid’ah, sehingga hari ke delapan ini bukanlah sebagai hari raya, bukan untuk orang baik (abrar) bukan pula bagi orang buruk (Fujjar).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah berkata, “Adapun membuat momen tertentu selain momen-momen yang disyariatkan seperti sebagian malam bulan Rabi’ul Awal yang disebut malam maulid, atau sebagian malam bulan Rajab, tanggal 18 Dzulhijjah, Jumat pertama bulan Rajab atau tanggal 8 Syawal yang sebagian orang menyebutnya Yaumul Abrar, itu semua adalah bid’ah yang tidak disunnahkan dan tidak dilakukan oleh para salaf.”

Demikian, semoga Allah memberikan kemudahan kepada kita untuk melaksanakan sunnah-sunnah Nabi dan menjauhkan kita dari amalan-amalan bid’ah. Wallahu A’lam

(Abu Hanan)