Bara’ terhadap Aliran Sesat

Syarah Akidah Thahawiyah
(Matan Terakhir)

فَهَذَا دِيْنُنَا وَاعْتِقَادُنَا ظَاهِراً بَاطِنًا وَنَحْنُ بَرَاءٌ إِلَى اللهِ مِنْ كُلِّ مَنْ خَالَفَ الَّذِي ذَكَرْنَاهُ وَبَيَّنَّاهُ وَنَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى أَنْ يُثْبِتَنَا عَلَى اْلإِيْمَانِ وَيَخْتِمَ لَنَا بِهِ وَيَعْصِمَنَا مِنَ اْلأَهْوَاءِ الْمُخْتَلِفَةِ وَاْلآرَاءِ الْمُتَفَرِّقَةِ وَالْمَذَاهِبِ الرَّدِيَّةِ مِثْلُ الْمُشَبِّهَةِ وَالْمُعْتَزِلَةِ وَالْجَهْمِيَّةِ وَالْجَبْرِيَّةِ وَالْقَدَرِيَّةِ وَغَيْرِهِمْ مِنَ الَّذِيْنَ خَالَفُوا السُنَّةَ وَالْجَمَاعَةَ وَحَالَفُوا الضَّلاَلَةَ وَنَحْنُ مِنْهُمْ بَرَاءٌ وَهُمْ عِنْدَنَا ضُلَّالٌ وَأَرْدِيَاءٌ وَبِاللهِ الْعِصْمَةُ وَالتَّوْفِيْقُ

Inilah agama dan akidah kita—lahir dan batin. Kita bara` kepada Allah dari semua yang menyelesihi semua perkara yang telah kita sebut dan kita jelaskan. Kita memohon kepada Allah ta’ala agar Dia meneguhkan kita di atas iman dan menutup usia kita dengan iman pula serta memelihara kita dari berbagai hawa, pendapat, dan aliran yang sesat seperti Musyabbihah, Mu’tazilah, Jahmiyah, Jabriyah, Qadariyah, dan yang lain; yakni mereka yang menyelisihi sunnah dan jamaah. Mereka yang bersekutu dengan kesesatan. Kita bara` dari mereka dan menurut kita mereka adalah orang-orang yang sesat dan hina. Keterpeliharaan dan taufik hanya datang dari Allah.

Abu Ja’far ath-Thahawiy menutup matan Akidah Thahawiyah dengan pernyataan yang lugas dan tegas bahwa Islam meliputi lahir dan batin. Bahwa semua yang telah beliau urai pada matan-matan sebelumnya adalah bagian dari Islam. Sebagiannya perkara lahir dan sebagian yang lain perkara batin. Islam tidak memisahkan antara lahir dan batin. Allah berfirman,

“Tinggalkan dosa-dosa lahir dan batin!” (Al-An’am: 120)

Ada dosa-dosa lahir dan ada dosa-dosa batin. Amal pun seperti itu.

Menganggap Islam hanya yang lahir atau hanya yang batin adalah kesalahan. Termasuk kesalahan pula pernyataan bahwa masyarakat awam dibebani dengan yang lahir, sedangkan masyarakat khusus dibebani dengan yang batin.

Kenapa Firqah Sesat

Ahlussunnah berbara` (antiloyal) kepada siapa saja yang menyelisihi perkara-perkara prinsip—bukan perkara-perkara cabang/hasil ijtihad—yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Mereka melempar al-Qur`an ke belakang punggung dan lebih memilih untuk mengikuti hawa nafsu mereka sendiri. Mereka meninggalkan Jamaatul Muslimin dan mengutamakan jalan kesesatan.

Sedangkan orang-orang yang menyelisihi perkara cabang/hasil ijtihadi, maka Ahlussunnah tidak bara` terhadap mereka. Meskipun pendapat yang diikuti adalah pendapat yang marjuh (tidak kuat), selama pendapat itu adalah pendapat para ulama terdahulu.

Selanjutnya Abu Ja’far menyebut beberapa firqah atau aliran sesat yang Ahlussunnah bara` terhadap mereka.

Musyabbihah

Musyabbihah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan atau menyerupakan makhluk dengan Allah. Paham tasybih dalam Islam pertama kali dikemukakan oleh Abdullah bin Saba’, seorang rahib Yahudi yang berpura-pura masuk islam dan akhirnya merusak Islam dari dalam.

Imam Ahmad berkata, “Musyabbihah adalah orang yang mengatakan: pendengaran Allah seperti pendengaranku, penglihatan Allah seperti penglihatanku, tangan Allah seperti tanganku.”

Ishaq bin Rahawaih—guru dari Imam Bukhari dan Imam Muslim—berkata, “Tasybih itu terjadi ketika seseorang mengatakan, ‘Tangan (Allah) seperti tanganku, pendengaran (Allah) seperti pendengaranku.’ Inilah yang dinamakan Tasybih. Adapun jika seseorang menyifati Allah dengan seperti yang Dia firmankan, ’Tangan, pendengaran, penglihatan,’ kemudian ia tidak mengatakan, ’Bagaimana’ dan ’Seperti,’ maka itu tidak termasuk tasybih. Allah berfirman, ‘Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.’ (Asy-Syura:11).”

Mu’tazilah

Mu`tazilah adalah aliran sesat yang pernah menggemparkan dunia Islam selama lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebohkan. Selama waktu itu pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan darah kaum muslimin terutama para ulama Ahlussunnah yang bersikukuh dengan pedoman mereka.

Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah oleh para kelompok pemuja aliran Mu’tazilah tersebut muncul di kota Basrah Irak pada abad ke 2 Hijriyah antara tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin AbdulMalik. Pelopornya adalah seorang penduduk Basrah mantan murid Hasan al-Basri yang bernama Washil bin ‘Atha.

Abu Hasan Al-Kayyath di dalam kitabnya Al-Intisar berkata, “Tidak ada seorang pun yang berhak mengaku sebagai penganut Mu`tazilah sebelum ia mengakui al-Ushul al-Khamsah (Lima Pondasi) yaitu Tauhid, Adil, Wa`ad wal Wa`id, Manzilah baina Manzilatain, dan Amar Ma’ruf Nahyi Munkar.”

Yang mereka maksudkan dengan Tauhid adalah menegasikan sifat-sifat Allah. Yang mereka maksud dengan Adil adalah bahwa Allah akan menyiksa dan memberi pahala untuk para hamba-Nya atas apa yang mereka kerjakan, dan karena itu mereka bebas—tidak terkait dengan kehendak-Nya. Adil versi Mu’tazilah sama dengan akidah Qadariyah.

Yang mereka maksud dengan Wa’ad wal Wa’id adalah bahwa Allah tidak akan mengingkari janji; baik janji akan memasukkan seseorang ke dalam surga ataupun ke dalam neraka. Maknanya, tidak ada yang namanya syafaat atau ampunan Allah di akhirat. Sebab dengan begitu berarti Allah tidak menepati janji. Yang mereka maksud dengan Manzilah baina manzilatain adalah bahwa pelaku dosa besar itu tidak lagi mukmin tetapi juga tidak kafir. Hanya saja tempat mereka kelak adalah di neraka bersama orang-orang kafir.

Dan yang mereka maksud dengan Amar Makruf Nahyi Munkar adalah kebolehan mengangkat senjata dan memerangi penguasa muslim yang memberlakukan al-Qur`an dan as-Sunnah lantaran ia melakukan suatu dosa besar.

Jahmiyah

Nama Jahmiyyah dinisbatkan kepada tokoh pengusungnya, Jahm bin Shafwan yang berasal dari Khurasan dan muncul pada abad kedua Hijriyah. Jahm dikenal sebagai orang yang suka dan banyak berdebat. Hanya saja, ia tidak memiliki pemahaman dan perhatian kepada ilmu hadits.

Jahmiyah lebih parah daripada Mu’tazilah. Jahmiyah mengingkari seluruh nama-nama Allah dan sifat-sifatNya serta menganggap nama-nama sebagai majas. Dalam masalah iman, mereka berpaham irja`, bahwa iman itu cukup dengan mengenal Allah dan selainnya tidak harus ada. Oleh karenanya, menurut Jahmiyah, Iblis adalah makhluk Allah yang beriman, sebab Iblis mengenal Allah.

Jahmiyah juga mengingkari sebagian besar perkara yang berkait dengan hari Kiamat, seperti shirat (jembatan di atas Jahannam), mizan (timbangan), melihat Allah pada hari Kiamat, dan adanya azab kubur. Mereka juga berpendapat bahwa surga dan neraka tidak kekal.

Jabriyah

Jabariyah adalah aliran sesat yang berpandangan bahwa manusia itu di dalam perbuatannya serba terpaksa (majbur). Perbuatan mereka itu pada hakikatnya adalah perbuatan Allah. Oleh karena itu mereka berpaham, manusia tidak bersalah dan tidak berdosa. Sebab ia hanya digerakkan oleh kekuatan di atasnya dimana ia tidak lain laksana robot, yang mati tidak berarti. Mereka tidak mempunyai kekuasaan, kehendak, dan kebebasan memilih. Menurut mereka, manusia sama seperti sehelai bulu yang diterpa angin.

Qadariyah

Qadariyah adalah kebalikan dari Jabriyah. Menurut Qadariyah, seluruh tindakan manusia tidak ada yang diintervensi oleh Allah. Aliran ini berpendapat, setiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Semua terbebas dari kehendak Allah. Masih menurut mereka, tidak adil jika Allah mengintervensi perbuatan hamba baik dengan membantunya atau menghalanginya, lalu Allah memberi pahala atau mengadzab mereka karenanya.

Penutup

Abu Ja’far ath-Thahawiy menutup matan Akidahnya dengan kalimat yang menunjukkan kelurusan akidahnya. Bahwa manusia wajib berusaha mencari jalan kebenaran. Dalam menjalaninya, keterpeliharaan dari berbagai kesalahan dan hidayah taufik hanya datang dari Allah. Wabillahit taufiq wal ‘ishmah.

Islam: Nama dan Esensi

فَدِيْنُ اللهِ فِي اْلأَرْضِ وَالسَّمَاءِ وَاحِدٌ، وَهُوَ دِيْنُ اْلإِسْلاَمِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ الله الإِسْلامُ وَقَالَ تَعَالَى وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً

Agama Allah di bumi dan di langit itu satu, yakni agama Islam. Allah berfirman, “Sesungguhnya agama di sisi Allah itu Islam” (Ali ‘Imran: 19). Juga, “Dan aku telah ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3)

Yang dimaksud oleh Abu Jakfar ath-Thahawiy dengan ungkapan beliau, “Agama Allah di bumi dan di langit,” adalah agama yang diridhai oleh Allah di bumi dan di langit. Di bumi, agama manusia banyak ragamnya. Ada yang bikinan manusia sendiri; dan ada pula yang semula diajarkan oleh para Nabi—datang dari Allah, tetapi meski sudah dinyatakan “kadaluwarsa” oleh Allah, sebagian orang masih menganutnya. Hanya ada satu yang diizinkan oleh Allah untuk dianut. Yakni Islam, yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Siapa saja yang ingin selamat dunia akhirat dan terhindar dari siksa api neraka serta dimasukkan ke dalam surga, hendaklah ia berpegang teguh kepada Islam sampai akhir hayatnya.

وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

“Dan janganlah kamu mati kecuali sebagai muslim.” (Ali ‘Imran: 102)

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ

“Barangsiapa mencari selain Islam sebagai agama, niscaya tidak akan diterima; dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85)

Di langit, agama yang dianut oleh para malaikat pun Islam. Allah berfirman,

يَخَافُوْنَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

“Mereka (para malaikat itu) takut kepada Rabb mereka dari atas mereka. Dan mereka mengerjakan apa pun yang diperintahkan kepada mereka.” (An-Nahl: 50)

Islam Nama Islam Esensi

Islam yang dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw adalah Islam secara nama dan esensi. Sedangkan islamnya para malaikat adalah Islam esensi. Sama seperti islamnya para nabi dan rasul sebelum nabi Muhammad. Keislaman mereka semua diakui oleh Allah. Keislaman mereka adalah Islam esensi. Esensi Islam yang merupakan agama langit dan bumi adalah kepasrahan, ketundukan, dan ketaatan kepada Allah. Allah berfirman,

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا

“Ibrahim itu bukanlah Yahudi atau Nasrani, akan tetapi ia adalah seorang yang hanif dan muslim.” (Ali ‘Imran: 67)

Nabi Ibrahim seorang muslim bukan dalam pengertian mengucapkan dua kalimat syahadat seperti yang kita ucapkan, mengerjakan shalat lima waktu seperti yang kita kerjakan, menjalankan puasa Ramadhan seperti kita, membayar zakat seperti kita, dan menunaikan haji seperti kita. Bukan seperti itu. Nabi Ibrahim adalah muslim dalam pengertian beliau adalah seorang nabi yang diutus oleh Allah dan beliau taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Beliau mentauhidkan Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.

Islam adalah istislam (pasrah) kepada Allah dengan bertauhid dan tunduk taat kepada-Nya. Esensi inilah yang dibawa dan diajarkan oleh semua nabi, mulai dari Adam, Nuh, Musa, Ibrahim, ‘Isa, dan agama semua rasul.
Rasulullah saw bersabda,

الأَنْبِيَاءُ إِخْوَةُ لِعِلَّاتٍ أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِيْنُهُمْ وَاحِدٌ

“Para nabi adalah saudara-saudara se-‘illat. Ibu mereka berbeda-beda. Agama mereka satu.” (Hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lain)

Saudara-saudara se-‘illat maksudnya adalah saudara dengan ibu yang berbeda-beda. Meskipun ibu mereka berbeda-beda, namun agama mereka satu. Meskipun syariat mereka beragam, tetapi tauhid mereka adalah satu. Yakni mengesakan Allah dalam ibadah.

BACA JUGA: Islam Harga Mati Yang Lain Bisa Terganti

Islam adalah agama semua Nabi dan para pengikut mereka. Setiap Nabi menyeru kaumnya untuk esensi ini. Semua orang yang mengikutinya secara esensial adalah muslim, baik ia dari kalangan umat Nabi Muhammad atau pun bukan. Orang itu adalah orang yang pasrah kepada Allah dengan tauhid dan tunduk dengan ketaatan. Agama para nabi satu, syariatnya berbeda-beda disesuaikan oleh Allah dengan kebutuhan manusia pada masa masing-masing. Allah berfirman,

“Untuk masing-masing telah Kami jadikan syariat dan manhaj.” (Al-Maidah: 48)
Islam adalah agama para Nabi, karena pokoknya satu, mentauhidkan Allah dalam uluhiyah, rububiyah, dan asma wa shifat, iman kepada para nabi, memuliakan para nabi, mengagungkan perintah dan larangan Allah. Inilah agama Islam.

Semua Nabi diutus oleh Allah untuk membawa ajaran tauhid, iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab, iman kepada para rasul, iman kepada hari akhir, dan iman kepada takdir. Semua nabi melarang dari perbuatan syirik. Semua nabi memerintahkan taat kepada Allah dan rasul-Nya. Adapun syariat yang menggambarkan ketaatan seorang hamba kepada Allah, maka berbeda-beda.

Misalnya, syariat untuk nabi Adam. Diperbolehkan bagi anak-anak Adam menikahi saudara perempuan, selama saudara perempuan itu bukan saudara kembarnya. Setelah manusia smakin banyak, barulah diharamkan menikahi saudara kandung. Juga, dalam syariat Nabi Ya’qub, masih diperbolehkan menjadikan dua orang perempuan kakak-adik untuk dinikahi oleh seorang laki-laki hal mana yang seperti itu diharamkan bagi umat Nabi Muhammad saw.

Pokok agama ini adalah syariat Allah bagi hamba-hamba-Nya. Pondasinya adalah wahyu, bukan akal atau logika—meskipun banyak perkara yang disyariatkan-Nya masuk akal dan logis akan mendatangkan kemaslahatan.

Islam Nama dan Esensi
Allah menetapkan syariat untuk seorang Nabi yang sesuai dengan kaumnya dan kemaslahatan mereka. Syariat tersebut berlaku sampai tidak mendatangkan maslahat lagi sehingga Allah menghapusnya dan menggantinya dengan syariat baru. Maka, barangsiapa yang berpegang kepada agama seorang Nabi sebelum dinasakh, ia adalah muslim. Namun setelah datangnya nasakh, ia harus meninggalkan agama Nabi yang telah dinasakh tersebut. Sebab, agama itu menurut Allah sudah tidak selaras dengan zaman Nabi sesudahnya.

Esensi Islam yang bernama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah agama yang menasakh seluruh ajaran Nabi sebelum beliau. Maka, tidak ada agama yang diterima oleh Allah setelah diutusnya Nabi Muhammad selain agama yang beliau bawa dan ajarkan. Agama Islam berlaku untuk seluruh umat manusia, sepanjang zaman sampai datangnya hari Kiamat.

Islam adalah satu-satunya agama yang diterima oleh Allah sejak diutusnya Nabi Muhammad. Siapa pun yang enggan untuk berpegang teguh kepada Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad, keislaman lamanya tidak akan diterima oleh Allah. Allah berfirman,

إِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ

“Sesungguhnya agama di sisi Allah itu Islam” (Ali ‘Imran: 19)

Keluar Semudah Masuk
Untuk masuk Islam dan belajar Islam tidaklah sulit. Bahkan mudah sekali. Siapa pun hanya perlu waktu yang pendek sekali. Dan begitu pula jika seseorang hendak keluar dari Islam. Tidak perlu waktu yang panjang. Ini sama sekali bukan anjuran untuk keluar dari Islam. Ini justru untuk memperingatkan bahwa bahkan tanpa disadari oleh seseorang sekalipun, bisa saja ia telah meyakini, mengucapkan, atau melakukan perbuatan yang dapat mengeluarkannya dari Islam.

Tentang mudahnya seseorang mempelajari Islam, adalah utusan yang menghadap Nabi Muhammad saw hendak masuk dan mempelajari Islam, ia menemui Nabi saw sebentar dan berbincang-bincang sebentar dengan beliau, maka tak seberapa lama kemudian ia telah menjadi muslim dan mengetahui prinsip-prinsip ajaran Islam. Memang untuk mengetahui sampai detail, seseorang butuh waktu yang lama. Namun, tidak setiap muslim dituntut mengetahui detail Islam.

Seseorang cukup memahami secara global, mengetahui tata cara ibadah sehari-hari yang benar, lantas jika ia menghadapi suatu persoalan yang belum diketahuinya ia dapat bertanya kepada yang ahli.
Tentang mudahnya seseorang keluar dari Islam, jika seseorang meragukan kebenaran satu perkara yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, atau mengingkarinya, atau menolaknya, maka ia telah kafir.

Jika keraguan, pengingkaran, atau penolakan itu dinyatakannya, maka ia telah kafir lahir batin. Sedangkan jika hal itu hanya dibatinnya, maka ia telah kafir hatinya, meskipun secara lahir ia disikapi sebagai seorang muslim. Wallahu a’lam.

Paranormal Para Perusak Iman

وَلاَ نُصَدِّقُ كَاهِنًا وَلاَ عَرَّافًا وَلاَ مَنْ يَدَّعِيْ شَيْئًا يُخَالِفُ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ وَإِجْمَاعَ اْلأُمَّةِ

Kami tidak membenarkan dukun dan peramal, juga siapa saja yang mengklaim sesuatu yang bertentangan dengan al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijma’ umat.

Praktik paranormal, dukun, peramal, tukang sihir, dan yang sejenisnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw, bahkan sebelum zaman beliau. Pada masa Abu Ja’far ath-Thahawiy semua praktik itu masih ada dan sampai zaman sekarang pun masih ada. Seperti pada zaman ath-Thahawiy, beberapa praktik dinisbatkan kepada orang yang diklaim atau mengklaim diri sebagai wali Allah, sekarang pun demikian. Padahal para ulama telah sepakat mengenai keharamannya.

Biasanya bentuk praktik mereka adalah mengabarkan posisi barang yang hilang atau diambil orang lain, meramal nasib dengan melihat posisi bintang-bintang, meramal masa depan, memberitahukan siapa yang akan menjadi jodoh seseorang, mengubah nasib, dan lain sebagainya. Ada juga yang sampai menimpakan mudarat kepada orang lain. Semua bentuk perbuatan ini hukumnya haram.

Dalil Keharaman

Keharaman berbagai macam praktik mereka ini disebut dalam al-Qur`an dan as-Sunnah. Di antaranya:

وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ

“Dan di sisi Allah saja semua kunci (ilmu) gaib. Tidak ada yang tahu selain Dia.” (Al-An’am: 59)

قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

“Katakanlah, tidak ada yang mengetahui perkara gaib di langit dan di bumi selain Allah.” (An-Naml: 65)

Ayat-ayat di atas menunjukkan secara tegas bahwa yang mengetahui perkara gaib hanyalah Allah. Maka siapa pun yang mengklaim diri memilikinya atau meyakini bahwa ada orang yang memilikinya, sadar atau tidak ia telah menolak ayat-ayat di atas.

Sedangkan dari Rasulullah saw, Imam Muslim meriwayatkan dari Hafshah ra bahwa beliau bersabda,

مَنْ أَتَى عَرَّافاً فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً

“Barangsiapa yang mendatangi peramal lalu ia bertanya kepadanya, sholatnya tidak diterima selama 40 malam.”

Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurayrah ra bahwa Nabi saw bersabda,

مَنْ أَتَى كَاهِناً فَصَدَّقَهُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم

“Barangsiapa yang mendatangi dukun lalu ia percaya kepada apa yang dikatakannya, sungguh ia telah kafir kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad saw.”

Dengan sanad yang shahih Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurayrah juga bahwa Nabi saw bersabda,

مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً

“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau peramal lalu ia bertanya kepadanya dan percaya kepadanya, sholatnya tidak diterima selama 40 malam.”

Tingkatan Dosa

Percaya atau membenarkan kata-kata dukun bertingkat-tingkat dosanya. Ada yang sampai ke tingkatan kufur dan ada pula yang merupakan dosa besar. Yang merupakan kufur adalah mempercayai kabar gaib yang dikatakannya. Termasuk perkara yang gaib di sini adalah perkara yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Misalnya peramal mengatakan, “Kamu akan menikahi laki-laki/perempuan dari daerah tertentu, kamu akan mati di daerah ini.”

BACA JUGA: Doa Penangkal Syirik

Barangsiapa yang percaya kepada kata-kata seperti ini, maka ia telah kafir. Sebab ia telah mengkafiri firman Allah tersebut di atas (yakni an-Naml: 65).

Sedangkan percaya kepada kata-kata dukun tentang perkara gaib yang sifatnya nisbi (ada orang yang mengetahuinya) seperti posisi barang hilang, barang yang dicuri, dan lain sebagainya), maka ini tidak sampai ke tingkatan kufur. Meskipun demikian, ia berada dalam bahaya besar. Seberapa besar bahayanya, cukuplah peringatan dari Nabi saw bahwa shalatnya tidak akan diterima selama 40 hari.

Ada juga di antara para ulama yang menggeneralisir, percaya kepada ucapan dukun adalah perbuatan kufur. Namun yang lebih kuat adalah diperinci seperti tersebut di atas. Dasarnya, dalam hadits disebut tentang tidak diterimanya shalat selama 40 hari. Ini menunjukkan orang yang melakukannya masih punya iman. Sebab jika tidak punya iman, mestinya shalatnya tidak diterima selamanya. Dasar berikutnya, orang-orang yang datang kepada dukun atau peramal umumnya tahu bahwa para dukun dan peramal mendapatkan kabar gaib dari jin. Maknanya, mereka tidak meyakini bahwa dukun/peramal memiliki ilmu gaib secara mutlak.

Pada matan disebut juga tentang orang yang mengklaim sesuatu yang menyelisihi al-Qur`an, as-Sunnah dan Ijma’; bahwa kita tidak boleh membenarkan ucapannya. Baik dukun, peramal, atau orang yang mengklaim sesuatu yang bertantangan dengan al-Qur`an, as-Sunnah, atau Ijma’. Apa pun yang menyelisihi al-Qur`an, as-Sunnah, atau Ijma’ tak boleh dibenarkan, meskipun ada hakikatnya. Sama seperti dukun yang terkadang apa yang dikabarkannya ada hakikatnya dan benar-benar terjadi.

Kabar Curian

Barangsiapa yang mengklaim diri memiliki ilmu gaib, sungguh ia termasuk setan atau saudara-saudaranya setan. Allah berfirman,

“Dan (Ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (dan Allah berfirman), ‘Hai golongan jin, sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia!’ Lalu berkatalah kawan-kawan meraka dari golongan manusia, ‘Wahai Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapat kesenangan dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai pada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami.’ Allah berfirman, ‘Neraka itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)!’ Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (Al-An’am: 128)

Ayat ini menjelaskan bahwa baik manusia maupun jin telah sama-sama saling menikmati interaksi yang Rabb-ku bangun. Setan jin jin menikmati ibadah dan taqarrub manusia kepadanya. Dan sebaliknya, manusia menikmati kabar-kabar gaib yang disampaikan oleh jin.

Mengenai kebenaran yang disampaikan oleh dukun setelah mendapatkan bisikan dari jin, hal itu dikarenakan saat Allah mewahyukan kepada malaikat akan berbagai kejadian di masa yang akan datang, dan para malaikat itu menyampaikannya kepada malaikat lain yang bertugas untuk melaksanakannya, beberapa jin mencuri dengar. Maka, kabar itu disampaikan oleh para jin kepada para dukun dengan imbalan kesesatan mereka dan ibadah mereka kepada mereka. Allah berfirman,

“Kecuali setan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.” (al-Hijar: 18)

Shalat yang Tidak Diterima

Para ulama berbeda pendapat mengenai shalat 40 yang tidak diterima, apakah maknanya tidak diterima tetapi gugur kewajiban ataukah tidak gugur kewajiban, meskipun seseorang mengerjakannya. Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah tidak diterima tetapi gugur kewajiban, sebab ulama telah berijmak bahwa orang yang melakukannya tidak wajib mengulang shalatnya yang 40 hari itu. Ini menunjukkan gugurnya kewajibannya, tetapi ia tidak mendapatkan pahalanya.

Hukum Paranormal dan Dukun

Mengenai hukum dukun atau peramal, jika orang yang bertanya dan membenarkan saja diancam dengan shalatnya selama 40 hari tidak diterima dan bisa jadi sampai ke tingkatan kafir, lantas bagaimana dengan yang ditanya?

Jika dalam melakukan praktik perdukunan dan peramalannya paranormal atau dukun atau peramal meminta bantuan kepada jin/setan, maka ini adalah perbuatan kufur. Para ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad berpendapat, mereka telah kafir. Kecuali dalam beberapa kasus, menurut Imam Ahmad, tidak sampai perbuatan kufur.

Menurut Imam Syafi’i, jika perbuatannya mengandung unsur kekafiran seperti beribadah kepada setan, memanggil setan dan mengajak bicara dengannya, menyembelih binatang tertentu untuknya, memenuhi keinginannya dengan menyalakan dupa/kemenyan dan lain sebagainya maka ini adalah kekafiran. Sedangkan jika tidak melakukan hal itu, maka itu termasuk dosa besar. Namun jika ia meyakini kebolehannya, maka itu juga kekafiran.

Wallahu a’lam.

DABBAH Binatang Yang Berbicara

Tanda Dekat Hari Kiamat 4

وَنُؤْمِنُ بِأَشْرَاطِ السَّاعَةِ: مِنْ خُرُوجِ الدَّجَّال، ونُزُولِ عِيسَى ابنِ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلامُ مِنَ السَّماءِ، وَنُؤْمِنُ بِطُلُوعِ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا، وَخُرُوجِ دَابَّةِ الأرْضِ مِنْ مَوْضِعِهَا

(110) Kami beriman kepada tanda-tanda hari Kiamat; seperti keluarnya Dajjal, turunnya ‘Isa putra Maryam ‘alayhissalam dari langit, terbitnya matahari dari arah tenggelamnya, dan keluarnya dabbah (binatang) bumi dari tempatnya.

Tanda besar keempat dari dekatnya hari Kiamat yang disebut oleh Abu Ja’far ath-Thahawiy adalah keluarnya dabbah dari tempatnya. Dalil yang menerangkan keluarnya binatang ini adalah firman Allah dan hadits-hadits Nabi yang shahih.
Allah berfirman,

وَإِذَا وَقَعَ الْقَوْلُ عَلَيْهِمْ أَخْرَجْنَا لَهُمْ دَابَّةً مِنَ الْأَرْضِ تُكَلِّمُهُمْ أَنَّ النَّاسَ كَانُوا بِآيَاتِنَا لَا يُوقِنُونَ

Apabila perkataan telah jatuh atas mereka, Kami keluarkan seekor dabbah (binatang) dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.” (An-Naml: 82)

Mengenai maksud “perkataan telah jatuh atas mereka,” para ulama menjelaskan, telah pasti ancaman atas mereka lantaran perbuatan mereka yang terus-menerus melakukan kemaksiatan, kefasikan, pembangkangan, berpaling dari ayat-ayat Allah, tidak mentadabburinya, tidak mengamalkan hukumnya, juga tidak berhenti melakukan kemaksiatan, dan sehingga nasihat tidak lagi bermanfaat, dan tidak dapat diingatkan lagi dari kedurhakaan.

Jika keadaan mereka telah demikian, maka Allah akan mengeluarkan dabbah dari dalam bumi yang dapat berbicara dengan mereka. Binatang itu dapat memahami dan berbicara dengan manusia.

Rasulullah saw bersabda,

ثَلاَثٌ إِذَا خَـرَجْنَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِـي إِيْمَانِهَا خَيْرًا طُلُوْعُ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَالدَّجَّالُ وَدَابَّةُ اْلأَرْضِ

“Ada tiga perkara yang jika keluar maka tidak akan berguna lagi keimanan orang yang belum beriman sebelumnya; atau belum mengusahakan kebaikan yang dilakukan dalam keimannya. Ketiga perkara itu adalah: terbitnya matahari dari barat, Dajjal dan binatang bumi.” (HR. Muslim)

Beliau juga bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ اْلآيَاتِ خُرُوْجًا طُلُوْعُ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَخُرُوْجُ الدَّابَّةِ عَلَـى النَّاسِ ضُحًى فَأَيُّهُمَا مَا كَانَتْ قَبْلَ صَاحِبَتِهَا فَاْلأُخْرَى عَلَى إِثْرِهَا قَرِيْبًا

“Sesungguhnya tanda-tanda (Kiamat) yang pertama kali muncul adalah terbitnya matahari dari barat dan keluarnya binatang kepada manusia pada waktu Dhuha. Mana saja yang lebih dahulu muncul, maka yang satunya akan terjadi setelahnya dalam waktu yang dekat.” (HR. Muslim)

Beliau pun bersabda,

بَادِرُوا بِاْلأَعْمَالِ سِتًّا… (وَذَكَرَ مِنْهَا) دَابَّةَ اْلأَرْضِ

“Bersegeralah kalian beramal (sebelum datangnya) enam perkara… (beliau menyebutkan di antaranya) dabbah.” (HR. Muslim)

Bagi siapa pun yang mengaku sebagai Ahlussunnah wal Jamaah tentu tidak ragu dan segan sedikit pun untuk meyakini hal ini. Tidak ada alasan baginya menolak sesuatu yang dijelaskan dalam al-Qur`an dan as-Sunnah yang shahih.

Ikhtilaf tentang hakikat dabbah
Para ulama berbeda pendapat mengenai hakikat dabbah. Secara bahasa, dabbah berarti binatang yang berjalan di muka bumi. Di antara pendapat tentang hakikat dabbah ini adalah sebagai berikut:
Pertama, dabbah adalah anak unta yang disapih dari unta Nabi Shalih. Pendapat ini dinyatakan oleh al-Qurthubi.

Pendapat ini diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ath-Thayalisi dari Hudzaifah bin Asid al-Ghifari, bahwa Rasulullah saw menyebut tentang dabbah, (lalu beliau menuturkan hadits, di dalamnya ada ungkapan)

لَمْ يَرْعِهِمْ إِلاَّ وَهِيَ تَرْغَوْ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْمَقَامِ

Mereka tidak menggembalakannya, melainkan ia hanya bersuara di antara rukun dan maqam (rukun Yamani dan Maqam Ibrahim).”

Yang menjadi dalil adalah ungkapan sabda Nabi saw (تَرْغَـوْ) sementara (اَلرَّغَاءُ) adalah suara yang hanya ditujukan untuk unta.

Pendapat al-Qurthubi ini perlu dikaji lebih lanjut. Sebab, hadits yang dijadikan landasan oleh beliau terdapat perawi yang matruk (haditsnya ditinggalkan) dalam sanadnya.
Selain itu, dijelaskan pada sebagian kitab hadits lafazh (تَدْنَوْ) dan (تَرْبَوْ) sebagai pengganti dari lafazh (تَرْغَوْ), sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Mustadrak, karya al-Hakim.

Kedua, dabbah adalah al-Jassasah yang disebutkan dalam hadits Tamim ad-Dari pada kisah Dajjal. Pendapat ini dinisbatkan kepada Abdullah bin Amru bin ‘Ash.
Pendapat ini tidak kuat lantaran sifat-sifat dan apa yang dilakukan oleh si dabbah tidak cocok dengan gambaran al-Jassasah dalam hadits Tamim ad-Dari.

Ketiga, dabbah adalah ular yang mengawasi dinding Ka’bah, yang disambar oleh elang ketika orang-orang Quraisy hendak membangun Ka’bah. Pendapat ini dinisbatkan oleh al-Qurthubi kepada Ibnu ‘Abbas ra. Hanya, beliau tidak menyebutkan sumbernya.

Keempat, dabbah adalah manusia yang berbicara, mendebat dan membantah orang-orang yang gemar melakukan bid’ah dan kekufuran agar mereka berhenti. Agar jika mereka binasa, mereka binasa dengan keterangan (hujjah) yang nyata.
Kelemahan pendapat ini adalah, jika dabbah yang mendebat para ahli bid’ah adalah manusia, maka ia bukanlah tanda kekuasan Allah yang luar biasa.

Kelima, dabbah adalah bakteri yang berbahaya yang akan membuat manusia menderita. Bakteri tersebut melukai bahkan bisa membunuhnya. Ketika melukai seseorang ia membawa pesan berupa nasihat kepada manusia seandainya mereka memiliki hati yang bisa berpikir, sehingga mereka sadar untuk kembali kepada Allah, kepada agamanya dan menekan mereka untuk menerima hujjah. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Abu ‘Ubayyah dalam komentarnya terhadap kitab an-Nihayah/ al-Fitan wal Malahim, karya Ibnu Katsir.

Pendapat ini jauh dari kebenaran—sebagaimana dinyatakan oleh DR. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, penulis kita Asyrathhus Sa’ah. Dalam salah satu hadits yang shahih, Rasulullah saw menyebut dabbah kelak membawa cincin Nabi Sulaiman dan tongkat Nabi Musa. Mana mungkin bakteri akan melakukannya. Apalagi berbicara dengan manusia. Mustahil.
Bagi kita, yang penting kita percaya di batas kabar Nabi Muhammad saw. Selebihnya, kita serahkan kepada Allah yang Mahatahu atas segala yang telah dan akan terjadi.

Tempat keluarnya dabbah
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai tempat keluarnya dabbah. Di antara sekian banyak pendapat, yang paling kuat adalah bahwa dabbah akan keluar dari Mekah, dari masjid yang paling mulia. Pendapat ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan dalam Majma’uz Zawaid VIII/ 7-8, dari Hudzaifah bin Asid secara marfu’.
Hadits itu berbunyi, “Dabbah akan keluar dari masjid yang paling besar, tatkala mereka (sedang duduk-duduk tiba-tiba bumi bergetar) ketika mereka sedang demikian tiba-tiba bumi terbelah.”

Aktivitas dabbah
Setelah dabbah keluar, dia berbicara dengan manusia. Selain itu, ia akan memberikan tanda kepada orang-orang yang beriman dan orang-orang yang kafir. Untuk orang-orang yang beriman, dabbah akan memberikan tanda pada wajah mereka, sehingga menjadi bersinar. Itu adalah tanda keimanannya. Sedangkan untuk orang-orang kafir, dabbah akan memberikan tanda di hidungnya sebagai tanda kekufurannya. Inilah aktivitas yang akan dilakukan oleh si dabbah sebagaimana disebut oleh Allah dalam al-Qur`an dan oleh Rasulullah saw dalam hadits yang shahih. Wallahu a’lam.

Matahari Terbit dari Arah Terbenam

 

(Tanda Dekat Hari Kiamat 3)

وَنُؤْمِنُ بِأَشْرَاطِ السَّاعَةِ: مِنْ خُرُوجِ الدَّجَّال، ونُزُولِ عِيسَى ابنِ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلامُ مِنَ السَّماءِ، وَنُؤْمِنُ بِطُلُوعِ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا، وَخُرُوجِ دَابَّةِ الأرْضِ مِنْ مَوْضِعِهَا

(110) Kami beriman kepada tanda-tanda hari Kiamat; seperti keluarnya Dajjal, turunnya ‘Isa putra Maryam ‘alayhissalam dari langit, terbitnya matahari dari arah tenggelamnya, dan keluarnya dabbah (binatang bumi) dari tempatnya.

Pada dua edisi yang lalu telah kita bahas dua tanda besar yang pertama dari tanda-tanda besar datangnya hari Kiamat. Yakni, keluarnya Dajjal dan turunnnya Nabi ‘Isa dari langit. Pada edisi ini akan kita bahas tanda besar berikutnya, yakni terbitnya matahari dari arah terbenamnya: dari barat.

Keyakinan yang harus dimiliki oleh seorang mukmin terhadap semua yang dikabarkan oleh Rasulullah saw harus tanpa reserve. Asalkan para pakar riwayat sudah menyatakan keshahihan suatu hadits, wajib bagi seorang mukmin untuk menerimanya, meskipun akalnya belum dapat menerimanya. Salah satu contohnya adalah keyakinan tentang salah satu tanda dekatnya hari Kiamat: terbitnya matahari dari arah tenggelamnya.

Ilmu pengetahuan alam tingkat dasar maupun tingkat lanjut—mungkin—belum dapat menjelaskan bagaimana hal itu akan terjadi. Namun karena hal ini telah dikabarkan oleh Rasulullah saw, maka kita menerimanya. Tanpa harus menyebarkan kabar hoax di dunia maya dan lain sebagainya. Sumber akidah ahlussunnah wal jamaah adalah al-Qur`an dan as-Sunnah yang shahih.

Kabar dari al-Qur`an
Para mufasir menyatakan bahwa meskipun tidak secara tekstual, ihwal akan terbitnya matahari dari arah tenggelamnya telah disebut oleh Allah dalam al-Qur`an. Adalah firman-Nya,

يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لاَ يَنفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِن قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيْمَانِهَا خَيْرًا قُلِ انتَظِرُواْ إِنَّا مُنتَظِرُوْنَ

Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabb-mu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah, ‘Tunggulah oleh kalian sesungguhnya kamipun menunggu (pula)!’.” (Al-An’am: 158)

Di antara mereka yang menyatakan bahwa ayat ini memberitahukan ihwal akan terbitnya matahari dari arah tenggelamnya adalah Syaikhul Mufassirin ath-Thabariy, al-Qurthubiy, Ibnu Katsir, asy-Syawkaniy, dan Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’diy.

Statemen Para Mufasir
Setelah menyitir pendapat para ulama tentang ayat ini, ath-Thabari berkata, “Dan pendapat yang paling tepat tentang masalah itu adalah yang didukung oleh banyak riwayat dari Rasulullah saw beliau bersabda, ‘Hal itu terjadi ketika matahari terbit dari barat.’.” (Tafsir ath-Thabariy, 8/103)

Al-Qurthubi menulis, “Para ulama berkata, ‘Keimanan satu jiwa tidak bermanfaat ketika matahari telah terbit dari barat. Hal itu karena perasaan takut menghujam sangat dalam di hati, yang mematikan segala syahwat dan nafsu dan kekuatan badan menjadi hilang, demikian pula setiap kekuatan di dalam badan menjadi lemah. Maka semua manusia—karena keyakinan mereka akan dekatnya Kiamat—menjadi bagaikan orang yang sedang menghadapi sakaratul maut, dan terputusnya segala ajakan untuk melakukan berbagai macam kemaksiatan, dan anggota badan mereka tidak menginginkannya. Maka orang yang bertaubat pada kesempatan seperti itu tidak akan diterima taubatnya, sebagaimana tidak diterimanya taubat orang yang sedang sakaratul maut.” (Tafsir al-Qurthubiy, 7/146)

Ibnu Katsir berkata, “Jika tumbuh keimanan pada seorang kafir ketika itu, maka keimanannya tidak akan diterima. Adapun orang yang telah beriman sebelumnya, jika dia baik dalam perbuatannya, maka dia berada dalam kebaikan yang sangat besar. Adapun jika dia adalah orang yang mencampurbaurkan antara kebaikan dan keburukan, lalu dia bertaubat, maka taubatnya tidak diterima ketika itu.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/371)

Asy-Syawkani berkata, “Jika telah sah marfu’nya tafsir Nabawi ini dengan jalan yang benar tanpa ada celaan di dalamnya, maka pendapat tersebut wajib didahulukan dan harus diambil.” (Tafsir asy-Syawkani, 2/182)

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’diy menulis, “Pada hari datangnya sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Rabbmu, yang merupakan kejadian yang luar biasa, yang dengannya diketahui bahwa kehancuran telah demikian dekat, dan kiamat tidak lama lagi; maka tidak bermanfaat keimanan dari satu jiwa yang sebelumnya tidak beriman atau yang belum membuahkan kebaikan dalam keimanannya, yakni apabila telah dijumpai sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, maka tidak bermanfaat keimanan seorang yang kafir apabila dia hendak beriman. Tidak pula bermanfaat bagi seorang mukmin yang kurang beramal untuk semakin bertambah keimanannya setelah itu. Namun yang bermanfaat bagi dia adalah keimanan yang dia miliki sebelum itu serta kebaikan yang dia miliki yang diharapkan (bermanfaat) sebelum datangnya sebagian dari tanda-tanda tersebut. Dan hikmah dari semua itu jelas, di mana keimanan yang mendatangkan manfaat adalah keimanan terhadap perkara yang ghaib, dan merupakan pilihan dari seorang hamba (untuk beriman). Adapun bila tanda-tanda kekuasaan tersebut telah tampak, maka telah menjadi perkara yang disaksikan (bukan ghaib), sehingga keimanan tidak lagi berfaedah. Sebab, hal tersebut menyerupai keimanan yang terpaksa. Seperti keimanan orang yang tenggelam, yang terbakar, dan orang-orang semisalnya yang apabila telah melihat kematian, dia pun berusaha melepaskan apa yang dahulu dia yakini. Sebagaimana firman Allah SWT, ‘Maka tatkala mereka melihat adzab Kami, mereka berkata, ‘Kami beriman hanya kepada Allah saja dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.’ Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami. Itulah sunnah Allah yang telah berlaku atas hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu, binasalah orang-orang kafir.’ (Al-Mukmin: 84-85)

Dan banyak hadits shahih dari Nabi saw yang menerangkan bahwa yang dimaksud dengan sebagian dari ayat-ayat Allah SWT adalah terbitnya matahari dari tempat terbenamnya. Dan di saat manusia melihatnya, maka mereka pun beriman. Namun keimanan mereka tidaklah bermanfaat dan telah tertutup pintu taubat atas mereka. Tatkala ini merupakan janji yang dinanti terhadap orang-orang yang mendustakan Rasul-Nya dan mereka beserta para pengikutnya menantikan kehancuran dan musibah, maka Allah SWT menyatakan, ‘Katakanlah, tunggulah (munculnya salah satu dari tanda tersebut), sesungguhnya kami termasuk orang-orang yang menunggunya,’ sehingga kalian akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih berhak mendapatkan keselamatan.’.” (Tafsir as-Sa’diy, 1/281-282)

Kabar dari Nabi
Sedangkan kabar dari Nabi saw yang shahih jelas-jelas menerangkan kejadiannya banyak sekali. Di antaranya:

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنَ الْمَغْرِبِ، فَإِذَا طَلَعَتْ، فَرَآهَا النَّـاسُ؛ آمَنُوا أَجْمَعُوْنَ، فَذَلِكَ حِيْنَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِيْ إِيْمَانِهَا خَيْرًا.

Hari kiamat tidak akan terjadi sehingga matahari terbit dari barat. Jika ia telah terbit, lalu manusia menyaksikannya, maka semua orang akan beriman. Ketika itu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

بَادِرُوْا بِاْلأَعْمَالِ سِتًّا: …طُلُوْعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا.

Segeralah beramal sebelum datangnya enam perkara: … (6) terbitnya matahari dari arah terbenamnya.” (HR. Muslim)
Imam Ahmad dan Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amru ra bahwa beliau berkata, “Aku hafal satu hadits dari Rasulullah saw yang tidak pernah aku lupa setelahnya. Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ اْلآيَاتِ خُرُوْجًا طُلُوْعُ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا.

Sesunguhnya tanda Kiamat yang pertama kali muncul adalah terbitnya matahari dari arah barat.”

Dus, hanya firqah sesat seperti Khawarij dan Mu’tazilah yang menolak akidah terbitnya matahari dari barat, dari arah tenggelamnya. Wallahu al-Muwaffiq.

Kedudukan Para Ulama

 

وَعُلَمَاءُ السَّلَفِ مِنَ السَّابِقِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ التَّابِعِينَ أَهْلُ الْخَيْرِ وَالْأَثَرِ وَأَهْلُ الْفِقْهِ وَالنَّظَرِ لَا يُذْكَرُونَ إِلَّا بِالْجَمِيلِ وَمَنْ ذَكَرَهُمْ بِسُوءٍ فَهُوَ عَلَى غَيْرِ السَّبِيلِ

(107) Para ulama salaf dari kalangan as-Sabiqin (sahabat) dan yang sesudah mereka yakni para tabi’in adalah ahli kebaikan dan atsar serta ahli fiqh dan nazhar (analisis). Mereka tidak boleh disebut kecuali dengan kebaikan. Barang siapa yang menyebut mereka dengan kejelekan, maka ia berada di atas selain jalan yang benar.

Matan ini menerangkan manhaj Ahlussunnah wal Jamaah dalam berinteraksi dengan para ulama. Para ulama—yakni para ulama hadits dan ulama fiqh—tidak disebut kecuali kebaikan mereka. Mereka adalah “jembatan” syariah. Mereka tempat bertanya untuk berbagai permasalahan syar’i. Mereka pula yang menjelaskan makna firman Allah dan mensyarah hadits-hadits Nabi saat didapati ada yang belum jelas dalam keduanya. Merekalah yang membela agama Allah dari berbagai syubhat yang dilancarkan oleh orang-orang yang tidak suka dengan agama Allah. Mereka yang menjaga kemurnian akidah Ahlussunnah wal Jamaah. Mereka pula yang menjaga hadits-hadits Nabi dari kabar-kabar palsu yang dinisbatkan kepada beliau saw.

Mereka adalah para pembela syariah—pembelaan ilmiyah—dan oleh karena itu mereka disebut waratsatul anbiya` (para pewaris nabi-nabi). Para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirhan. Mereka mewariskan ilmu.
Manhaj Ahlussunnah wal Jamaah berkenaan dengan mereka adalah menyebut kebaikan mereka. Hanya kebaikan saja. Kita tidak boleh mencela ahlihadits maupun ahlifiqh. Mereka semua tidak menginginkan kecuali menolong syariat dan menjaga ilmu dan fiqh. Jika ada di antara mereka yang berpendapat dan pendapatnya keliru, maka itu adalah kekeliruan lantaran mereka adalah para mujtahid. Kekeliruan yang dimaafkan oleh Allah; meskipun jika kita mengetahuinya, kita tetap tidak boleh mengikutinya. Para ulama Ahlussunnah wal Jamaah telah meneliti dan membuktikan berdasarkan informasi dari al-Kitab, as-Sunnah, dan petunjuk para sahabat, bahwa mereka adalah orang-orang yang muhsin—hendak berbuat baik.

Benar, mereka memang beragam kompetensinya dan bertingkat-tingkat pula kapabilitas ilmiyahnya. Namun mereka semua tidak boleh disebut keburukannya.

Manifestasi Dua Perintah
Hanya menyebut kebaikan para ulama dan tidak menyebut keburukan mereka adalah manifestasi dua perkara, yaitu:
Pertama, firman Allah, “Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan itu sebagian mereka adalah wali sebagian yang lain.” [at-Taubah: 71]

“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu di antara kalian beberapa derajat.” [al-Mujadalah: 11]

“Sekiranya mereka mengembalikannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, niscaya orang-orang yang mengambil kesimpulan dari mereka akan mengerti.” [an-Nisa`: 83]

Allah menerangkan kedudukan ahli ilmu, keutamaan ilmu, keutamaan orang yang berilmu. Allah menegaskan bahwa derajat mereka diangkat dibandingkan orang-orang yang beriman lainnya. Yang demikian itu karena mereka memiliki ilmu tentang Allah.
Allah menerangkan bahwa orang yang beriman memberikan loyalitas kepada sesama orang yang beriman. Makna loyalitas di sini adalah kecintaan dan pertolongan. Menurut Ahlussunnah, kecintaan dan pertolongan ini diberikan sebanding lurus dengan keimanan. Orang yang beriman memberikan kecintaan dan pertolongan kepada sesama mukmin melebihi kepada yang lain, jika keimanan mereka mendekati sempurna.

Sudah maklum bahwa para ulama telah dipuji oleh Allah dan Rasulullah maka mereka adalah orang-orang yang terutama untuk berhak mendapatkan loyalitas. Wajib memberikan loyalitas kepada mereka berdasarkan ayat-ayat di atas. Dan mencintai serta menolong mereka dibuktikan dengan tidak menyebut mereka kecuali kebaikan mereka.
Kedua, menganggap cacat seorang ahli ilmu terkait dengan kekeliruan mereka pada hakikatnya menganggap cacat semua ahli ilmu. Semua pembawa syariat. Selanjutnya akan muncul ketidaksukaan terhadap syariat dan kecintaan kepada syariat pun melemah. Sebab para ulama tidak mendapatkan tempat yang tinggi di hati. Lantas akan hadir keraguan terhadap apa-apa yang dibawa oleh para ulama. Dan jika sudah begitu, hawa nafsu dan pendapat pribadi yang akan maju atau diajukan. Akhirnya simpul-simpul iman pun terurai, keyakinan kepada Islam pun goyah.

Oleh karena itulah, menyebut keburukan para ulama merupakan cabang dari menyebut keburukan sahabat. Inilah kiranya yang melandasi ath-Thahawi menyebut pembahasan ulama setelah membahas para sahabat. Menganggap cacat sahabat dan para ulama berangkat dari titik yang sama dan bermuara pada akhir yang sama. Menganggap cacat sahabat sama dengan mencela agama. Mencela para ulama terkait dengan hasil ijtihad mereka sama dengan mencela agama. Ini adalah pintu yang sama.
Umat Islam dilarang mencela para ulama di satu sisi. Peran dan jasa para ulama amat-sangat besar dalam menjaga eksistensi Islam. Umat Islam juga dilarang bertaklid buta atau bersikap fanatik kepada para ulama, sebab kebenaran harus lebih dicintai daripada mereka semua.

Ulama Bukan Nabi
Terbebas dari kesalahan bukan merupakan syarat menjadi ahli ilmu. Ahli hadits dan ahli fiqh, terkadang keliru. Mereka tidak maksum. Dan sejatinya kekeliruan mereka ini adalah nikmat dari Allah.
Ketika ada seorang ulama ditanya, “Bagaimana bisa para ulama boleh salah? Bagaimana bisa mereka menyelisihi sunnah—dengan tidak sengaja? Bagaimana mereka bisa pernah bermaksiat? Dan bagaimana mereka terkadang alpa dan tidak teliti?”
Ulama yang ditanya itu menjawab, “Karena para ulama tidak sama dengan para nabi.”

Para ulama berijtihad, berusaha memahami maksud pesan nabi; sedangkan para nabi hanya berbicara dengan wahyu atau wahyu itu sendiri. Nabi selalu tepat saat menjelaskan tentang urusan syar’i. Semua yang dibawa oleh Nabi wajib diikuti.
Seorang ulama adalah orang yang sering benar dalam berijtihad dan kadang-kadang saja keliru di dalamnya. Fenomena ini sejatinya akan mendorong umat untuk terus mengkaji al-Qur`an dan as-Sunnah, disamping mereka tidak akan mengkultuskan sang ulama.

Ulama Salaf
Ketika disebut ulama Salaf, maka maksudnya adalah para ulama yang hidup sebelum orang yang menyebutnya. Ini secara bahasa. Adapun secara istilah, ulama Salaf adalah para ulama dari kalangan tiga generasi pertama Islam, yakni sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.

Tiga generasi pertama inilah yang mendapatkan rekomendasi dari Rasulullah dalam sabda beliau:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian sesudah mereka, dan kemudian sesudah mereka.” (HR. al-Bukhari)

Klasfikasi Ulama
Pada matan ini ath-Thahawi mengklasifikasikan ulama menjadi dua: ulama atsar atau ahli hadits; dan ulama fiqh para analis. Ulama atsar atau ahli hadits adalah mereka yang concern pada pemastian benar-salahnya penisbatan suatu hadits kepada Rasulullah. Mereka juga memiliki concern dalam fiqh hadits, tetapi tidak seperti ulama fiqh.

Ulama fiqh para analis adalah mereka yang concern pada fiqh hadits dan penyimpulan hukum dari nash-nash syar’i yang ada. Juga, penyimpulan hadits untuk berkara-perkara yang tidak disebut di dalam nash syar’i. Bukannya mereka tidak memiliki perhatian terhadap pembuktian shahih-tidaknya penisbatan suatu hadits kepada Rasulullah, tetapi perhatian mereka tidak seperti para ulama atsar atau ahli hadits.

Ketika ath-Thahawiy menyebut, “Ahli kebaikan dan atsar serta ahli fiqh dan nazhar (analisis),” maka para imam yang empat adalah orang-orang yang utama untuk masuk ke dalam yang beliau sebut. Imam Abu Hanifah adalah ahli fiqh dan nazhar, bukan ahli hadits dan atsar. Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad adalah ahli hadits sebagaimana mereka juga ahli fiqh. Di antara mereka ada perbedaan pendapat dalam madzhab masing-masing. Tak hanya dalam satu masalah mereka berbeda pendapat menjadi empat pendapat. Sudah barang tentu di antara pendapat itu hanya ada satu pendapat yang benar dan yang lain keliru.

Seorang alim meneliti, menganalisis, dan berhati-hati berusaha mencari yang paling benar. Meskipun demikian terkadang pendapat mereka diketahui sebagai pendapat yang marjuh, tidak kuat atau bahkan keliru—menyelisihi sunnah tanpa mereka sengaja.
Dalam pada ini orang-orang yang beriman wajib memberikan loyalitas kepada mereka semua dan para ulama lainnya. Hanya boleh menyebut kebaikan mereka dan menolerir kekeliruan ijtihad mereka. Orang-orang yang beriman wajib berprasangka baik kepada mereka, bahwa mereka tidak bermaksud menyelisihi kebenaran.
Wallahu a’lam.

Kekhalifahan dan Keutamaan Abul Hasan

ثُمَّ لِعَلِيٍّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ

(104) Kemudian (kekhalifahan itu kami tetapkan) untuk ‘Ali bin Abu Thalib—semoga Allah meridhainya.

Setelah ‘Utsman bin ‘Affan terbunuh sebagai syahid, para sahabat mendatangi ‘Ali bin Abu Thalib. Hari itu, umumnya para sahabat yakin bahwa tidak ada yang lebih berhak menjadi khalifah daripada ‘Ali. ‘Ali sendiri sedang duduk di rumahnya dirundung kesedihan yang mendalam lantaran ditinggalkan salah seorang sahabatnya yang juga sahabat kekasihnya. ‘Ali bergumam, “Ya Allah, aku berlepas diri dari segala yang terjadi pada diri ‘Utsman.”

Para sahabat Muhajirin dan Anshar mendatanginya bermaksud untuk membaiatnya. ‘Ali menolaknya seraya berkata, “Tinggalkanlah aku! Menjadi menteri lebih baik bagiku daripada menjadi amir.”
“Demi Allah, kami tidak mendapati seseorang yang lebih berhak menjabatnya daripadamu,” jawab para sahabat. Mereka terus membujuk dan meyakinkan ‘Ali hingga akhirnya ‘Ali menerimanya. Yang pertama membaiat ‘Ali adalah mereka yang tersisa dari para sahabat yang ambil bagian dalam perang Badar. Saat dibaiat, ‘Ali mencari-cari sosok dua sahabatnya: Thalhah bin ‘Ubaydillah dan Zubair bin ‘Awwam. Keduanya adalah sahabat yang paling menonjol dari kalangan ahli Badar. Lalu keduanya datang. Zubair berkata, “Orang-orang telah bertanya kepada kami sebelum engkau bertanya tentang kami. Kemudian kami katakan kepada mereka, ‘Kami tidak akan memilih pengganti ‘Ali.’ Maka ‘Ali berkata, ‘Jika demikian, urusan ini hanya layak dilaksanakan di masjid.’
Ibnu ‘Abbas tidak sependapat dengan ‘Ali. Ibnu ‘Abbas khawatir, masjid akan terkotori karena pembaiatan kali ini berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya. Kemungkinan terjadi kegaduhan dan fitnah tidak kecil. ‘Ali bersikukuh. Pembaiatan pun dilakukan di masjid.

Lebih Dekat dengan ‘Ali
‘Ali bin Abu Thalib berperawakan sedang, tidak tinggi pun tidak pendek. Wajahnya bundar bercahaya laksana purnama. Orang-orang mengatakan, siapa yang melihat wajah ‘Ali seakan-akan ia melihat Rasulullah saw. Kepala ‘Ali botak, bulu dada dan kedua bahunya lebat. Kedua tangannya kuat dan berotot.
‘Ali bin Abu Thalib diasuh oleh Rasulullah saw sejak berusia 5 tahun. Saat Nabi saw diutus, usianya 10 tahun dan ia pun masuk Islam. Dia berhijrah ke Madinah ketika berusia 23 tahun, membawa bendera kaum Muhajirin dalam perang Badar saat berusia 25 tahun. Lima tahun kemudian, ‘Ali membewa bendera kaum muslimin pada perang Khaibar dan mengusir Yahudi. Saat Nabi saw wafat, ‘Ali berumur 33 tahun. Dia diangkat sebagai khalifah di usianya yang ke-58, dan terbunuh sebagai syahid di usia 63 tahun setelah menjadi khalifah selama 4 tahun 9 bulan.

Keutamaan ‘Ali
Sa’ad bin Abu Waqqash, salah seorang sahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah saw, berkata, “Ada tiga hal yang telah diberikan kepada Ali bin Abu Thalib, sekiranya aku diberi salah satu saja, maka aku merasa telah memiliki dunia seisinya. Ketiga hal itu adalah: Rasulullah saw menikahkannya dengan putri beliau, beliau memberinya bendera pada perang Khaibar dan Allah memenangkannya, serta Rasulullah saw pernah bersabda kepadanya, ‘Tidakkah engkau ridha bila kedudukanmu di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa.’.”
Menuruti anjuran seorang budak perempuan yang telah menyulut api keberaniannya, ‘Ali menemui Rasulullah saw. Di hadapan beliau, ‘Ali berkata, “Demi Allah, aku tidak mampu mengatakannya karena merasa takut.” Lalu ‘Ali membisu.
Rasulullah saw memandangnya seraya tersenyum dan berkata, “Kiranya, kedatanganmu ke sini untuk melamar Fathimah.”
“Benar, wahai Rasulullah,” jawab ‘Ali.
Nabi saw lalu bertanya, “Apakah engkau memiliki sesuatu yang akan engkau berikan sebagai maharnya?”
“Tidak. Demi Allah, wahai Rasulullah,” jawabnya.
Beliau lalu berkata, “Bukankah engkau memiliki sebuah baju besi?”
“Benar. Tetapi harganya tidak lebih dari 400 dirham,” jawab ‘Ali.
Rasulullah saw pun bersabda, “Baik. Tidak mengapa. Aku akan menikahkanmu dengan mahar baju besi itu, wahai ‘Ali.”
‘Ali pun bersyukur kepada Allah. Apa yang ada di benaknya dan menjadi harapannya terkabul tanpa diduga-duga sebelumnya.

Bendera Khaibar
Dalam perang Khaibar jumlah pasukan Islam sebanyak 1400 mujahid, sedangkan keseluruhan jumlah pasukan Yahudi mencapai 10.000 personal. Mereka semua lihai dalam memainkan pedang. Mereka bersembunyi di dalam benteng-benteng yang kokoh menjulang di atas bukit yang tak mungkin dikepung, kecuali dengan susah payah dan memakan biaya yang tidak sedikit. Jadilah perang ini perang tersulit yang dihadapi oleh kaum muslimin pada masa itu.
Nabi saw memimpin pengepungan benteng Khaibar selama 13 hari. Kemudian beliau tertimpa penyakit pusing separuh (semacam migrain). Beliau mengutus Abu Bakar untuk membawa bendera, tapi Abu Bakar tidak berhasil mengalahkan Yahudi. Pada hari berikutnya beliau mengutus ‘Umar, tetapi juga tidak berhasil.
Mental dan semangat juang kaum muslimin mulai turun. Oleh karena itu beliau bersabda, “Sungguh! Besok akan aku serahkan bendera ini kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya!”
Maka para sahabat pun berharap bendera akan diserahkan kepadanya.
Keesokan harinya, sesudah shalat Shubuh, Nabi saw bertanya tentang ‘Ali bin Abu Thalib. Salah seorang sahabat menjawab, “Dia sedang sakit mata, wahai Rasulullah.”

Beliau pun menemui ‘Ali dan mengusap kedua matanya sehingga kedua mata ‘Ali pun sembuh dari penyakitnya. Setelah itu Rasulullah saw menyerahkan bendera perang kepada ‘Ali seraya bersabda, “Ambillah bendera ini! Taklukkanlah Khaibar dan janganlah kamu berpaling!”
Dengan gagah perkasa ‘Ali melesat membawa bendera perang dan menancapkannya di benteng terkuat milik orang-orang Yahudi Khaibar. Benteng Na’im, namanya. Saat itulah seorang pendeta Yahudi keluar dan bertanya, “Siapakah kamu?”
“’Ali, putra Abu Thalib,” jawab ‘Ali.
“Demi apa yang diturunkan kepada Musa! Kalian akan menang,” kata pendeta itu. Telah tertulis di dalam kitab mereka bahwa pembuka benteng mereka adalah lelaki bernama ‘Ali, putra Abu Thalib.

Bagai Harun di Sisi Musa
Menjelang perang Tabuk, Rasulullah saw meminta ‘Ali untuk menggantikan kedudukan beliau di Madinah. ‘Ali berkata, “Wahai Rasulullah, engkau meninggalkanku bersama para wanita dan anak-anak?”
‘Ali merasa sedih karena tidak diizinkan bergabung dengan pasukan perang. Nabi saw pun bersabda, “Sesungguhnya aku meninggalkanmu di Madinah karena keluargaku dan keluargamu.”
Pasukan mulai bergerak maju, sedangkan yang ada di Madinah hanyalah kaum wanita, anak-anak, dan orang-orang munafik. Orang-orang munafik itu menyebarluaskan berita bahwa Nabi saw meninggalkan ‘Ali di Madinah lantaran ‘Ali enggan berjihad.
Saat kabar burung itu sampai ke telinga ‘Ali, ia bergegas mengambil pedangnya menemui Rasulullah saw. ‘Ali menangis. ‘Ali mengadukan kabar burung itu kepada Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw bersabda, “Mereka telah berdusta, wahai ‘Ali. Tidakkah kamu ridha jika kedudukanmu di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa? Hanya saja, sudah tidak ada nabi sesudahku.”
‘Ali pun kembali ke Madinah dengan hati ridha.

Terbunuh sebagai Syahid
Diriwayatkan, pada tgl 17 Ramadhan 40 H. orang-orang Khawarij bersepakat untuk memberangkatkan tiga orang jahat untuk membunuh tiga sahabat. Tiga sahabat itu adalah Ali bin Abu Thalib, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, dan ‘Amru bin ‘Ash. ‘Abdurrahman bin Muljam kebagian tugas membunuh ‘Ali dan ia melaksanakan tugasnya. ‘Ali bin Abu Thalib ditikamnya saat keluar rumah untuk menjalankan shalat Shubuh beberapa kali.
‘Ali bin Abu Thalib terluka parah. Jenggotnya berlumuran darah. Setelah bertahan sekitar dua hari, Allah berkenan merahmati-Nya dengan mencabut nyawanya. Dan berakhirlah masa al-Khulafa` ar-Rasyidun.
Semoga Allah meridhai ‘Ali bin Abu Thalib dan meridhai semua sahabat Nabi.

Kekhalifahan dan Keutamaan Dzun Nurain

ثُمَّ لِعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ

(103) Kemudian (kekhalifahan itu kami tetapkan) untuk Utsman (bin ‘Affan)—semoga Allah meridhainya.

Pada masa-masa akhir kekhalifahan al-Faruq, orang-orang dekat beliau berkata, “Wahai Amirul mukminin, berikanlah wasiat, kepada siapa kekhalifahan harus diberikan?” ‘Umar menjawab, “Aku tidak dapati orang yang berhak untuk mengembannya selain mereka yang mendapat keridhaan dari Rasulullah hingga beliau wafat.”
Kemudian al-Faruq menyebut nama-nama mereka yang dikabarkan oleh Rasulullah akan mendapatkan surga. Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaydillah, Sa’ad bin Abu Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf—semoga Allah meridhai mereka semua. Menyebut nama-nama mereka bermakna al-Faruq mengakui bahwa siapa pun di antara mereka yang terpilih, dia adalah orang yang kapabel dan mampu memimpin umat. Umar lalu berkata, “Abdullah, putraku menjadi saksi atas kalian tapi dia tidak boleh menjadi kandidat. Jika kekhalifahan ini dilimpahkan kepada Sa’ad maka harus dilaksanakan, jika tidak maka kalian harus berusaha siapa di antara kalian yang patut mengemban perkara ini. Aku memecat Sa’ad bukan karena ia seorang yang lemah atau karena ia berkhianat.”

Proses Terpilihnya Utsman
Pasca syahidnya al-Faruq dan setelah jenazahnya dimakamkan, nama-nama yang telah disebut oleh Umar berkumpul. Abdurrahman bin Auf berkata, “Pilihlah di antara kalian tiga orang calon!”
Zubair berkata, “Aku Memilih Ali.”
“Aku memilih Utsman,” kata Thalhah.
“Aku memilih Abdurrahman bin Auf,” ujar Sa’ad bin Abu Waqqash.
Abdurrahman bin Auf berkata, “Siapa di antara kalian berdua yang mau mengundurkan diri dari pencalonan maka aku akan menjadikan urusan ini untuknya dan Allah yang akan mengawasinya dan Islam. Hendaklah masing-masing melihat siapa yang paling utama di antara kalian?”
Ali dan Utsman berdiam. Abdurrahman berkata, “Apakah kalian menyerahkan perkara pemilihan ini kepadaku untuk memilih siapa yang terbaik di antara kalian berdua?”
Keduanya menjawab, “Ya!”
Maka Abdurrahman memegang tangan Ali seraya berkata kepadanya, “Engkau adalah kerabat dekat Rasulullah dan termasuk yang pertama-tama masuk Islam dan hal itu sudah engkau ketahui. Demi Allah, jika engkau yang diangkat maka berlaku adillah dan jika Utsman yang diangkat maka dengar dan taatilah dia!”
Kemudian Abdurrahman mendekati Utsman dan mengucapkan kalimat yang sama dengan yang diucapkannya kepada Ali.
Setelah mereka berdua berjanji, Abdurrahman berkata, “Ulurkan tanganmu, wahai Utsman!”
Utsman mengulurkan tangannya, dan Abdurrahman bin Auf pun membai’atnya, kemudian disusul oleh Ali dan diikuti oleh semua penduduk.
Diriwayatkan bahwa sebelum menjatuhkan pilihan kepada Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf sudah berkeliling Madinah untuk mendengar pendapat penduduk, siapa di antara Utsman dan Ali yang lebih mereka pilih. Kebanyakan penduduk Madinah—baik Muhajirin maupun Anshar—lebih mengutamakan Utsman bin Affan.
Ibnu Abdil Barr berkata, “Utsman dibai’at sebagai khalifah pada Sabtu, 1 Muharram 24 H, tiga hari setelah pemakaman Umar bin Al-Khattab.”

Sosok Utsman bin Affan
Utsman bin Affan adalah sahabat yang Rasulullah sendiri menggambarkannya sebagai pribadi yang paling jujur dan rendah hati di antara kaum muslimin. Dia berprofesi sebagai pedagang. Dia kaya raya, ekonom yang handal, dan sangat dermawan. Banyak bantuan ekonomi yang diberikannya kepada umat Islam di awal dakwah Islam.
Utsman mendapat julukan Dzun Nurain yang berarti yang memiliki dua cahaya. Julukan ini didapat karena Rasulullah menikahkan Utsman dengan Ruqayyah, putri beliau dan setelah Ruqayyah meninggal, beliau menikahkannya dengan Ummu Kultsum, juga putri beliau. Dua putri Rasulullah yang bercahaya. Utsman memiliki dua cahaya itu.
Pada saat Rasullullah menyerukan hijrah ke Habbasyah karena meningkatnya tekanan kaum Quraisy terhadap umat Islam, Utsman bersama istri dan kaum muslimin lainnya memenuhi seruan tersebut dan hijrah ke Habbasyah hingga tekanan dari kaum Quraisy reda. Mereka pun kembali ke Mekah. Tak lama tinggal di Mekah, Utsman mengikuti Nabi Muhammad Saw untuk hijrah ke Yatsrib yang selanjutnya lebih dikenal dengan Madinah.

Derma Utsman
Menjelang perang Tabuk, Rasulullah menggesah para shahabat untuk berinfak di jalan jihad fi Sabilillah. Utsman menjawab seruan itu dengan berinfak sebanyak 1.000 ekor unta, 70 ekor kuda, dan uang 1.000 dirham. Nilai infak Utsman ini sama dengan sepertiga biaya perang tersebut.
Utsman bin Affan juga menunjukkan kedermawanannya tatkala membeli sumur yang jernih airnya dari seorang Yahudi seharga 200.000 dirham yang kira-kira sama dengan 2,5 kg emas pada waktu itu. Sumur itu beliau wakafkan untuk kepentingan rakyat umum.
Kedermawanan Utsman tidak hanya pada zaman Nabi. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Utsman juga pernah memberikan gandum yang diangkut dengan 1.000 unta untuk membantu kaum miskin yang menderita di musim paceklik.
Salah satu kebiasaan Utsman bin Affan yang juga menunjukkan kedermawanan, kelemahlembutan, dan kasih sayang Utsman adalah ia biasa memerdekakan budak setiap hari Jumat.

Masa Kekhalifahan Utsman
Masa kekhalifan Utsman merupakan masa yang paling makmur dan sejahtera. Beliau memerintahkan umat Islam pada waktu itu untuk menghidupkan kembali tanah-tanah yang kosong untuk kepentingan pertanian. Masyarakat mampu menunaikan haji berkali-kali. Jika seorang budak hendak menebus dan memerdekakan dirinya, harganya tidak mahal sehingga hal itu terasa ringan baginya. Harganya sama dengan berat badannya.
Utsman bin Affan adalah khalifah yang pertama kali melakukan perluasan masjid al-Haram (Mekah) karena semakin ramai umat Islam yang menjalankan rukun Islam kelima. Utsman juga mencetuskan ide polisi keamanan bagi rakyatnya, membuat bangunan khusus untuk menyelesaikan berbagai sengketa di antara rakyatnya. Hal ini belum pernah dilakukan oleh khalifah sebelumnya. Abu Bakar dan Umar bin Khaththab biasa mengadili suatu perkara di masjid.
Pada masa Utsman, kekuatan Islam mempunyai armada laut untuk pertama kalinya. Armada laut yang tangguh. Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang diangkat Utsman sebagai gubernur Syria membentuk armada laut itu. Sekitar 1.700 kapal dipakai untuk mengembangkan wilayah ke pulau-pulau di Laut Tengah.
Selain penaklukan Syria, penaklukan Afrika Utara, daerah Arjan dan Persia, serta daerah Khurasan dan Naysabur terjadi pada masa pemerintahan Utsman.
Utsman juga berjasa besar mencegah perpecahan umat Islam dengan memerintahkan penulisan kembali mushaf al-Qur`an dengan bahasa Arab Quraisy—bahasa yang al-Qur`an diturunkan dengannya. Zaid bin Tsabit yang pernah menjadi ketua panitia penulisan al-Qur`an pada masa Abu Bakar ditunjuk sekali lagi sebagai ketua panitia. Setelah al-Qur`an selesai ditulis urut dan persis sebagaimana yang dulu diperintahkan oleh Rasulullah, Utsman memerintahkan semua orang yang memiliki tulisan al-Qur`an untuk mengumpulkannya. Utsman membakar semua tulisan yang terkumpul itu demi menjaga persatuan umat. Hari itu kaum muslimin hanya memiliki satu mushaf. Mushaf Imam. Setelah itu Utsman memerintahkan para penulis untuk membuat lima salinan mushaf dan mengirimnya ke berbagai wilayah Islam.

Akhir Hayat Utsman
Dzun Nurain menjadi khalifah selama hampir 12 tahun. Selama itu ia banyak mengganti gubernur wilayah yang menurutnya kurang cakap dan menggantikannya dengan orang-orang yang lebih kredibel. Hal ini banyak membuat sakit hati pejabat yang diturunkan sehingga mereka bersekongkol untuk membunuh khalifah. Beliau dikepung selama puluhan hari hingga akhirnya beliau terbunuh sebagai syahid pada tanggal 17 Dzulhijah 35 H. Pada saat itu Utsman sedang membaca al-Qur`an. Hal ini persis seperti apa yang disampaikan Rasullullah perihal kematian Utsman yang syahid nantinya. Dzun Nurain dimakamkan di pekuburan Baqi’ di sebelah kiri masjid Nabawi, Madinah.
Semoga Allah meridhainya dan mempertemukan kita dengannya.

Kekhalifahan dan Keutamaan al-Faruq

ثُمَّ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ

(102) Kemudian (kekhalifahan itu kami tetapkan) untuk Umar bin Khaththab—semoga Allah meridhainya.

Matan di atas adalah penggalan matan ke-102—dan masih akan dilanjutkan pada beberapa edisi mendatang, insya Allah. Seperti penggalan sebelumnya, matan ini menegaskan keyakinan Ahlussunnah wal Jamaah tentang keutamaan para shahabat, khususnya yang disebut oleh Rasulullah sebagian calon penghuni surga, dan kali ini adalah al-Faruq Umar bin Khaththab. Akidah ini berbeda dengan akidah Syi’ah yang selain membenci Umar bin Khaththab, mereka juga menyatakan kefasiqan, kemunafikan, dan kekafiran beliau. Mereka pun menyebut beliau sebagai berhala Quraisy kedua setelah Abu Bakar ash-Shiddiq.

Gelar al-Faruq
Abu Umar Dzakwan berkata, “Kepada Aisyah aku bertanya, ‘Siapa yang menggelari Umar dengan al-Faruq?’ ‘Aisyah menjawab, ‘Nabi n. Ada hubungan erat antara penamaan Umar dan al-Faruq dengan kemunculan Islam secara terang-terangan. Sebelum Umar masuk Islam, kaum muslimin sembunyi-sembunyi di rumah Arqam, di kaki bukit Shafa. Mereka menunaikan syiar keagamaan di rumah masing-masing. Setelah masuk Islam, Umar berkata kepada Rasulullah, ‘Bukankah kita berada di atas kebenaran, baik kita mati atau hidup?’ ‘Benar,’ jawab Rasulullah, ‘Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya. Kalian berada di atas kebenaran, baik kalian mati atau hidup.’ ‘Lantas, kenapa kita mesti sembunyi-sembunyi? Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran! Engkau mesti terang-terangan,’ kata Umar. Maka Rasulullah memerintahkan kami untuk membentuk dua barisan. Barisan pertama dipimpin oleh Hamzah dan barisan kedua dipimpin oleh Umar. Dua barisan itu memasuki masjid. Orang-orang Quraiys melihat Umar dan Hamzah. Tampak kekecewaan di wajah mereka. Belum pernah mereka kecewa seperti itu. Maka, Rasulullah memberi gelar al-Faruq. Umar membedakan yang haq dari yang batil.”

Umar Menjadi Khalifah
Khalifah Abu Bakar jatuh sakit pada musim panas setelah memerintah kaum muslimin selama dua tahun. Lima belas hari sudah beliau terbaring di tempat tidur. Beliau ingin sekali menyelesaikan masalah peggantian kekhalifahan dan mencalonkan seorang pengganti lantaran khawatir jika hal itu tidak dilakukan, kaum muslimin akan terseret ke dalam dahsyatnya perang saudara. Dari kedalaman pengamatan, sebenarnya Abu Bakar benar-benar yakin bahwa tidak ada seorang pun yang akan dipilih oleh kaum muslimin untuk mengambil tanggung jawab kekhalifahan yang berat itu selain Umar bin Khaththab. Namun, Abu Bakar masih tetap bermusyawarah dengan para shahabat. Ath-Thabari menulis bahwa dalam keadaan sakit, Abu Bakar naik ke balkon rumahnya dan berbicara kepada orang banyak yang berkerumunan di bawah, “Apakah kalian akan menerima orang yang aku calonkan sebagai penggantiku?”
Abu bakar melanjutkan, “Aku bersumpah bahwa aku melakukan yang terbaik dalam hal ini. Aku telah memilih Umar bin Khaththab sebagi penggantiku. Dengarkanlah aku, dan ikutilah keinginan-keinginanku!”
Para shahabat serempak menjawab, “Kami telah mendengar Anda dan kami menaati Anda.”
Kemudian Abu Bakar memanggil Utsman dan mendiktekan teks perintah yang menunjuk Umar sebagai khalifah kedua.
Pagi hari setelah wafatnya Abu Bakar, Umar keluar dan berkhutbah di hadapan khalayak. Umar berkata, “Amma ba’du. Sungguh, aku diuji dengan memimpin kalian dan kalian diuji dengan aku pimpin. Aku dijadikan khalifah sepeninggal dua sahabatku. Barang siapa yang hadir di sekitar kami, kami akan terjun langsung. Dan barang siapa yang jauh dari kami, kami akan mengutus orang-orang yang kuat dan amanah. Barang siapa yang berbuat baik, kami akan menambahnya dengan kebaikan. Dan barang siapa yang berbuat buruk, kami akan menghukumnya. Semoga Allah mengampuni kami dan kalian.”

Gelar Amirul Mukminin
Setelah Rasulullah wafat dan digantikan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, Abu Bakar dipanggil, “khalifah Rasulullah.” Setelah Abu Bakar wafat dan Umar menggantikan posisinya, Umar dipanggil, “khalifah, khalifah Rasulullah.” Orang-orang berkata, “Kelak yang menggantikan Umar akan dipanggil, ‘khalifah, khalifah, khalifah Rasulullah.’ Begitu seterusnya sehingga panggilannya akan panjang sekali. Bersepakatlah kalian untuk memanggil khalifah dengan satu nama yang para khalifah sesudahnya bisa dipanggil dengannya pula.”
Salah seorang shahabat berkata, “Kita adalah orang-orang yang beriman, sedangkan Umar adalah pemimpin kita.” Maka Umar dipanggil Amirul Mukminin (Pemimpin orang-orang yang beriman). Umarlah orang pertama yang dipanggil dengan panggilan itu. Hanya saja, apabila kita teliti dan periksa kembali, mestinya kita katakan, “Umarlah khalifah pertama yang dipanggil dengan Amirul Mukminin’.” Sebab, panggilan itu bukan sesuatu yang baru. Abdullah bin Jahsy al-Asadiy adalah orang pertama yang dipanggil dengan, ‘Amirul Mukninin’ saat dia memimpin pasukan perang yang diberangkatkan Rasulullah ke Nakhlah.

Keutamaan Umar
Abdullah bin Mas’ud a berkata, “‘Umar memiliki empat keutamaan yang tidak dimiliki oleh orang lain: Pertama, berkenaan dengan tawanan perang Badar, ia mengusulkan agar mereka dibunuh semua; lantas Allah menurunkan firman-Nya:
‘Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.’ (Al-Anfal: 68).
Kedua, berkenaan dengan hijab, Umar memerintahkan istri-istri Nabi n untuk berhijab. Zainab berkata, ‘Sungguh, kamu merepotkan kami, wahai putera Khaththab! Wahyu turun di rumah-rumah kami.’ Lalu Allah menurunkan firman-Nya:
‘Apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (istri-istri Nabi), mintalah dari balik tabir.’ (Al-Ahzab: 53).
Ketiga, Nabi n pernah berdoa, ‘Ya Allah, kokohkanlah Islam dengan Umar.’
Keempat, Umarlah yang mengusulkan agar Abu Bakar menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah (dan ia adalah orang yang pertama kali membaiat Abu Bakar).”
Suatu hari, sepulang Rasulullah dari salah satu peperangan yang dipimpinnya, seorang budak perempuan berkulit hitam berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku bernadzar! Jika Allah memulangkanmu dalam keadaan selamat, aku akan menabuh rebana di hadapanmu.” Beliau menimpali, “Jika kamu benar-benar bernadzar, tabuhlah! Tetapi jika tidak, jangan kamu lakukan.”
Budak perempuan itu pun mulai menabuh rebana. Abu Bakar masuk, budak itu tetap menabuh rebana. Kemudian masuklah Ali, dan budak itu tetap menabuh rebana. Lalu Utsman masuk, dan budak itu masih menabuh rebana. Ketika kemudian Umar masuk, budak itu meletakkan rebananya dan mendudukinya. Rasulullah bersabda, “Sungguh, setan takut kepadamu, wahai Umar! Aku duduk, budak perempuan itu menabuh rebananya. Lalu masuklah Abu Bakar, ia tetap menabuh. Kemudian masuklah ‘Ali, dan ia tetap menabuh. Lantas masuklah ‘Utsman dan ia tetap menabuhnya. Barulah saat kamu masuk, hai Umar, budak itu meletakkan rebananya.”

Beberapa Petuah Umar
“Sebelum kami mengetahui siapa kalian, orang yang paling kami cintai adalah yang paling baik diamnya. Jika sudah berbicara, maka yang paling baik logikanya. Jika kami telah mengetahui, maka yang paling baik perbuatannya.”
“Aku adukan kepada Allah kelemahan orang yang dapat dipercaya dan pengkhianatan orang yang kuat.”
“Orang yang paling berakal adalah orang yang paling bisa menerima udzur orang lain.”
“Pada saat sibuk itu terpuji maka menganggur itu merusak.”
“Jauhilah keadaan kenyang! Sesungguhnya ia menambah berat (baca: malas) saat hidup dan membuat busuk saat mati.”
“Jauhilah beralasan! Sesungguhnya kebanyakannya adalah dusta.”
“Barang siapa yang bekerja untukku dan ia menzhalimi seseorang namun aku tidak mengantinya setelah kabar itu sampai kepadaku, sesungguhnya aku telah menzaliminya.”
“Pelajarilah ilmu! Pelajarilah ketenangan dan kedewasaan untuk menyambutnya! Tawadhu’lah kepada orang-orang yang mengajarkan ilmu kepadamu agar kelak orang-orang yang belajar kepadamu pun tawadhu’! Janganlah kalian menjadi ulama yang kejam sehingga ilmumu tidak akan tegak karena kejahilanmu!”
“Tiga manusia yang berbahaya: tetangga yang jika melihat kebaikan diam saja tetapi jika melihat keburukan disiarkannya, istri yang jika bersamamu santun tetapi jika kamu pergi kamu tidak dapat mempercayainya, serta pemimpin yang tidak pernah memujimu dan jika kamu berbuat buruk dia pun membunuhmu.”
Semoga Allah meridhai al-Faruq dan kita semua dapat dipertemukan dengannya di akhirat.

Mendahulukan Wahyu, Mengikuti Sunnah

وَنَرَى الْمَسْحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ فِي السَّفَرِ وَالْحَضَرِ كَمَا جَاءَ فِي اْلأَثَرِ

(83) Menurut kami, boleh mengusap kedua khuff ketika bepergian maupun mukim, sebagaimana tersebut dalam atsar.

Khuff adalah sejenis sepatu yang terbuat dari kulit dan menutupi seluruh bagian kaki yang wajib dibasuh saat wudhu (menutupi mata kaki). Sedangkan yang dimaksud dengan “mengusap” adalah menyentuh sesuatu dengan tangan yang basah dan menggerakkannya.

Sebenarnya pembahasan mengusap khuf termasuk pembahasan fiqh. Namun, karena firqah Syi’ah dan Khawarij menolaknya maka Abu Ja’far ath-Thahawi menjadikannya sebagai salah satu bagian dari matan aqidah beliau. Para ulama Ahlussunnah yang lain pun sependapat dengan beliau dan menjadikan ihwal mengusap khuff pengganti membasuh kaki ketika wudhu sebagai salah satu syi’ar Ahlussunnah.

Dalil yang menjelaskan keabsahan mengusap khuff adalah hadits mutawatir yang diriwayatkan dari sekira 80 orang sahabat—di antara mereka adalah 10 sahabat yang dijamin masuk surga.

Abdullah bin Mubarak menyatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan sahabat mengenai bolehnya mengusap khuff. Setiap ada riwayat dari sebagian mereka yang menunjukkan pengingkaran mereka terhadap masalah ini, selalu didapati riwayat lain dari mereka juga yang menunjukkan kebalikannya: boleh mengusap khuff.”

Penolakan yang didengungkan oleh Syi’ah dan Khawarij—juga siapa saja yang sependapat dengan mereka—umumnya bermula dari kesalahan mereka dalam memosisikan akal di hadapan wahyu. Mereka yang mendahulukan akal, tidak dapat menerima mengusap bagian atas khuff dengan tanpa menggusap bagian bawahnya, padahal yang terkena kotoran adalah bagian bawah.

Sedangkan Ahlussunnah berpedoman: jika sudah terbukti shahih dan datang dari Rasulullah saw, maka amal atau apa pun harus diterima dan tidak boleh ditentang dengan akal, logika, dan lain sebagainya. Ahlussunnah mengikuti sunnah mendahulukan wahyu.

Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib ra berkata,

لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ

“Sekiranya agama itu dengan akal semata, niscaya bagian bawah khuff lebih layak untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun, sungguh aku pernah melihat Rasulullah saw mengusap bagian atas khuff beliau.”

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menyatakan, ‘Mungkin ada yang berkata, ‘Sepintas mengusap bagian bawah khuff lebih utama, karena bagian inilah yang langsung mengenai tanah atau kotoran. Namun, jika diperhatikan dengan seksama, kita dapatkan bahwa mengusap bagian atas khuff adalah lebih utama dan sesuai dengan logika. Sebab, tujuan mengusap khuff bukan untuk membersihkannya, akan tetapi bertujuan ibadah.”

Di antara hikmah dibolehkannya mengusap khuf adalah untuk mendatangkan kemudahan dan keringanan bagi setiap muslim. Dalam kondisi tertentu, seseorang akan mendapati kesulitan untuk melepas khuff dan membasuh kedua kaki pada saat berwudhu. Misalnya pada saat musim dingin atau ketika menghadapi cuaca yang amat dingin. Kesulitan bisa jadi ditemui seseorang saat ia bepergian, karena pada saat itu biasanya seseorang ingin serba cepat sehingga tidak punya waktu untuk melepas khuffnya.

Tata Cara Mengusap Khuff

Para ulama sepakat, apabila seseorang berada dalam keadaan suci dari hadats kecil maupun besar, lalu ia memakai khuff, maka jika batal wudhunya, ia tidak harus melepas khuffnya ketika bewudhu. Dia boleh tetap memakainya dan ketika sampai pada rukun membasuh kaki, ia cukup mengusap khuffnya.

Caranya, kedua tangan dibasahi air, lalu diletakkan pada ujung khuff bagian depan (yang menutupi jari-jemari kaki), jari-jemari tangan direnggangkan, tangan kanan pada kaki kanan, tangan kiri pada kaki kiri, lalu keduanya digerakkan bersamaan ke arah dalam (punggung telapak kaki) sampai pada khuff yang menutupi bagian betis depan paling bawah. Jika membasuh kaki disunnahkan sampai tiga kali, tidak demikian halnya dengan mengusap khuff ini. Cukup sekali, sebagaimana dikabarkan oleh sahabat Mughirah bin Syu’bah ra.

Bagian samping dan belakang khuff tidak perlu diusap, karena tidak ada satu riwayat shahih pun yang menjelaskan pengusapan keduanya.

 

Masa Berlaku Mengusap Khuff

Para fuqaha Ahlussunnah sepakat, saat seseorang tidak bepergian, ia boleh mengganti membasuh kaki dengan mengusap khuff dalam rentang waktu sehari-semalam atau 24 jam. Jika misalnya seseorang mengambil air wudhu untuk mengerjakan shalat Zhuhur, lalu ia mengenakan khuff, kemudian pada waktu ‘Ashar ia berwudhu lagi dengan mengusap khuffnya, maka selama 24 jam berikutnya ia boleh mengusap khuff setiap kali berwudhu.

Syaratnya, dalam 24 jam itu ia tidak berhadats besar/junub. Maknanya, jika ia junub, otomatis ia wajib mandi dan harus melepas khuffnya. Syarat berikutnya, ia tidak boleh melepas khuffnya ketika berhadats kecil. Sebab, dengan begitu ia akan memasukkan khuffnya dalam keadaan dirinya tidak suci dari hadats. Lain halnya jika untuk suatu urusan ia harus melepas khuffnya, dan ia melepasnya dalam keadaan suci dari hadats. Asalkan sebelum berhadats ia telah memakai khuffnya lagi, masa boleh mengusap khuffnya masih berlaku. Inilah pendapat Imam al-Awza’i, Imam Ahmad, dan Ibnul Mundzir.

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Mughirah bin Syu’bah bertutur, “Suatu malam dalam sebuah perjalanan, aku bersama Nabi saw. Kutuangkan air dari timba ke atas tangan beliau, lalu beliau membasuh wajah sampai mengusap kepala. Kemudian aku berjongkok hendak melepaskan kedua khuff beliau. Ketika itulah beliau bersabda, ‘Biarkan keduanya! Sesungguhnya aku memakainya dalam keadaan suci.’ Kemudian beliau mengusap kedua khuff itu.”

Masa berlaku rukhshah boleh mengusap khuff bagi musafir lebih lama lagi. Tiga hari tiga malam dengan cara menghitung dan syarat spt tersebut di atas. Dasarnya adalah penuturan Ali bin Abu Thalib bahwa Rasulullah saw telah menetapkan tiga hari tiga malam bagi musafir dan sehari semalam bagi orang yang mukim. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim)

Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi menyatakan, “Para ulama terkemuka telah sepakat atas bolehnya mengusap kedua khuf, baik ketika safar ataupun ketika mukim, baik karena ada hajat ataupun tidak. Diperbolehkan juga bagi perempuan yang selalu berdiam diri di rumahnya atau orang-orang yang menderita sakit kronis yang tidak bisa berjalan untuk mengusap bagian atas khufnya. Hanya golongan Syi’ah dan Khawarij sajalah yang bersikeras menentang masalah ini.”

 

Urgensi Kajian Historis

Dalam menentang kebolehan mengusap khuff ini, ada yang menyatakan bahwa semua hadits tentangnya, hukumnya telah dinasakh oleh firman Allah yang menjelaskan tata cara wudhu.

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai siku-siku, dan usaplah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)

Ayat di atas memang termasuk dalam surat al-Maidah yang diturunkan menjelang akhir nubuwah. Meskipun demikian, ada satu hadits shahih—diriwayatkan oleh Imam Muslim—dari sahabat Jabir bin ‘Abdullah ra yang isinya, ia pernah menyaksikan Rasulullah saw mengusap khuff saat berwudhu.

Sekilas, tidak ada yang istimewa dari hadits Jabir ini jika dikomparasikan dengan hadits-hadits mengusap khuff yang diriwayatkan dari sahabat lain. Namun, jika memperhatikan realita sejarah keislaman Jabir, hadits ini istimewa. Jabir bin ‘Abdullah masuk Islam setelah diturunannya surat al-Maidah. Dengan demikian, tak terbantahkan lagi bahwa ayat tentang wudhu tidak menasakh hadits-hadits tentang mengusap khuff. Demikianlah pernyataan penulis Tuhfatul Ahwadzi dan Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim.

Wallahu a’lam.

Tahu Diri Tidak Tahu

وَنَقُوْلُ اللهُ أَعْلَمُ فِيْمَا اشْتَبَهَ عَلَيْـنَا عِلْمُهُ

 (82) Kami katakan, “Allah lebih tahu,” untuk berbagai hal yang kami tidak benar-benar mengetahuinya.

Menurut Ahlussunnah wal Jamaah, seorang mukmin tak boleh mengatakan apa yang tidak diketahuinya. Jika ia mengetahui sesuatu, ia boleh mengatakannya. Jika tidak, ia harus diam dan menjaga lisannya. Seorang mukmin tidak boleh berkata-kata dalam urusan agama dan ibadah tanpa ilmu. Dia harus berhenti dan berkata, “Allahu A’lam, Allah lebih tahu.”

Imam Malik bin Anas, imam Darul Hijrah, suatu hari didatangi oleh seseorang yang mengajukan 40 pertanyaan. Hanya empat pertanyaan beliau jawab, sedangkan sisanya beliau katakan, “Saya tidak tahu.” Orang itu pun berkata, “Aku datang dari tempat yang jauh dengan mengendarai onta, namun Anda hanya memberikan jawaban, ‘Saya tidak tahu?!’.” Imam Malik pun berkata, “Kendarailah ontamu dan pulanglah ke negerimu, lalu katakan kepada orang, ‘Aku telah bertanya kepada Malik, namun dia menjawab, ‘Aku tak tahu.’!”

Apabila Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam ditanya tentang sesuatu yang wahyu belum turun berkenaan dengannya, beliau menunggu sampai turunnya wahyu. Begitu pun para sahabat, saat mereka ditanya oleh Rasulullah saw tentang sesuatu yang tidak mereka ketahui, mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

Pada beberapa edisi yang lalu telah dijelaskan bahwa agama seseorang hanya tegak di atas pondasi kepasrahan kepada Allah dan Rasulullah saw serta mengembalikan ilmu berbagai hal kepada yang berhak.

Bahkan Allah telah memerintahkan Nabinya untuk mengembalikan apa yang tidak diketahuinya kepada Yang Mahatahu (Allah).

Katakanlah, ‘Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua).’!” (QS. Al-Kahf: 26)

Katakanlah, ‘Rabb-ku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.’!” (QS. Al-Kahf: 22)

Dan ketika Rasulullah saw ditanya tentang nasib anak-anak orang-orang musyrik di akhirat kelak, beliau menjawab, “Allah Mahatahu apa yang mereka kerjakan (sekiranya mereka diberi umur sampai dewasa).”

 

Jawaban Haram

Ketika seseorang ditanya tentang suatu urusan agama, lalu ia menjawabnya, maka sesungguhnya ia sedang menyandarkan ucapannya kepada Allah. Islam ini agama Allah. Dan Allah mengharamkan mengatakan sesuatu lalu menyandarkannya kepada-Nya. Allah berfirman,

Katakanlah, “Rabb-ku hanya meng-haramkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak orang lain tanpa alasan yang benar, menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan menyandarkan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33)

Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya!” (QS. Al-Isra`: 36)

Barangsiapa yang berbicara tanpa ilmu, sesungguhnya ia sedang dan telah mengikuti hawa nafsunya dan setan.  Allah berfirman,

Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun.” (QS. Al-Qashash: 50)

Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap setan yang jahat,” (QS. Al-Hajj: 3)

Termasuk bab berkata tanpa ilmu adalah menafsirkan al-Qur`an dengan pendapat pribadi. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang menafsirkan al-Qur`an dengan pendapatnya, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya dari api neraka.”

(HR. Muslim)

 

Bukan Aib atau Cela

Mengatakan “saya tidak tahu” atau “Allah lebih tahu” bukanlah aib, cacat, atau cela bagi para ulama. Apalagi bagi para pencari ilmu. Sebaliknya, ia adalah kesempurnaan, bukti wara’ dan cerminan takwa. Orang-orang justru akan merasa tenang dan aman karena mereka yakin bahwa orang yang mereka tanya adalah orang yang jujur dan tidak akan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan. Mereka pasti mengatakan tidak tahu saat mereka tidak tahu.

Seseorang tidak perlu malu untuk mengatakan “Saya tidak tahu, Allah lebih tahu.” Mengapa mesti malu, sedangkan para malaikat pun tidak malu untuk mengatakan “Kami tidak tahu” saat mereka tidak tahu. Allah berfirman,

Dan (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!’ Mereka (para malaikat) menjawab, ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Baqarah 2:32)

Nabi juga memberi teladan dalam menjawab pertanyaan dengan jawaban tidak tahu. Ibnu Umar menyatakan bahwa ada seorang yang bertanya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, “Tempat apakah yang paling buruk?” Beliau menjawab, “Aku tidak tahu. Kutanyakan dulu kepada Jibril.” Setelah ditanyakan kepada Jibril,  Jibril menjawab,  “Aku juga tidak tahu. Kutanyakan dulu kepada Mikail.” Akhirnya (setelah mendapatkan jawaban), Jibril datang dan berkata, “Tempat yang paling baik adalah masjid. Sedangkan tempat yang paling buruk adalah pasar.”  (HR Ibnu Hibban dinyatakan hasan oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth)

 

Jejak Salaf

Menahan lisan tidak berucap untuk sesuatu yang tidak diketahui serta secara tegas mengatakan ‘Saya tidak tahu’ dan ‘Allah lebih tahu’ sudah menjadi kebiasaan  para Salaf. Inilah sebagian dari atsar mereka.

Abu Bakar ash-Shiddiq ra berkata, “Bumi mana yang akan kupijak, langit mana yang akan kujadikan naungan, jika aku mengatakan sesuatu tentang ayat dalam Kitabullah dengan pendapatku sendiri atau dengan sesuatu yang tidak aku ketahui?”

Umar bin Khattab berkata, “Berprasangka buruklah kepada pendapatmu sendiri dalam urusan agama. Jika kalian menyaksikanku pada hari Abu Jandal (perjanjian Hudaybiyah), sungguh pada saat itu aku telah menolak perintah Rasulullah saw dengan pendapatku. Aku memang  berijtihad, tetapi aku tidak berpaling. Hari itu adalah hari Abu Jandal, saat perjanjian itu hendak ditulis, beliau bersabda, ‘Tulislah: Bismillahirrahmanirrahim!’ Orang Quraisy berkata, ‘Tulis saja: Dengan nama-Mu, ya Allah!’ Rasulullah saw setuju dengan permintaannya. Orang itu menulis, namun aku enggan menulisnya. Rasulullah saw bersabda,’“Wahai Umar, kau telah menyaksikan aku rela, tetapi kenapa kamu enggan?’

Ibnu Sirin bertutur, “Tidak ada yang lebih khawatir berkata tentang yang tidak diketahuinya seperti Abu Bakar. Setelah Abu Bakar, yang paling khawatir adalah ‘Umar. Sungguh, saat dihadapkan pada suatu masalah, sedangkan tidak didapati pokoknya dalam al-Qur`an atau as-Sunnah, lalu ia berijtihad, ia berkata, ‘Ini pendapatku. Jika benar, maka ia datang dari Allah, dan jika salah, maka ia datang dari diriku sendiri, dan aku memohon ampunan kepada Allah.”

Ali bin Abi Thalib ra pernah ditanya tentang suatu permasalahan, beliau menjawab “Saya tidak tahu.” Kemudian beliau berkata lagi, “Alangkah sejuknya hati ini,” sebanyak tiga kali. Orang-orang bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apa maksud perkataanmu itu?” Beliau menjawab, “Apabila seseorang ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya ia menjawab, “Allah lebih tahu.”

Ibnu Mas’ud berkata, “Barangsiapa mengetahui sesuatu hendaklah ia berkata dengan pengetahuannya itu, sedangkan yang tidak mengetahui hendaklah ia mengucapkan “Allahu A’lam (Allah lebih mengetahui)”.

Humaid bin ‘Abdirrahmaan berkata, “Menjawab dengan jawaban tidak tahu lebih aku sukai daripada harus memaksakan diri menjawab sesuatu yang tidak aku ketahui”

Qatadah berkata, “Jangan kamu katakan bahwa kamu melihat sementara kamu tidak melihat, mendengar sementara kamu tidak mendengar, mengetahui sementara kamu tidak mengetahui karena Allah akan bertanya kepadamu tentang itu semua.”

Muhammad bin Sirin berkata, “Bagiku sama saja, ditanya tentang sesuatu yang aku ketahui atau yang tidak aku ketahui. Jika aku ditanya tentang sesuatu yang aku ketahui, maka akan aku katakan apa-apa yang aku ketahui. Namun jika aku ditanya tentang sesuatu yang tidak aku ketahui, maka akan aku katakan, ‘Aku tidak tahu.’.”

Sa’id bin Jubair pernah ditanya tentang satu permasalahan, lalu ia menjawab, “Aku tidak tahu.” Kemudian ia melanjutkan, “Sungguh celaka orang yang mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui, ‘Aku mengetahuinya.’.”

Asy-Sya’bi pernah ditanya tentang sesuatu, dan menjawab, “Saya tidak tahu.” Tapi beliau malah ditanya lagi, “Apakah engkau tidak malu mengucapkan tidak tahu, sedangkan engkau seorang ahli fiqih di Iraq?” Asy-Sya’bi menjawab, “(Kenapa mesti malu, sedangkan) Malaikat pun tidak malu untuk berkata ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang engkau ajarkan kepada kami.’.“

Sufyan ats-Tsauriy berkata, “Ibadah yang pertama kali adalah diam, kemudian menuntut ilmu, (lalu) mengamalkannya, menghafalnya dan menyampaikannya.”

Wallahu a’lam.

Tidak Sembarang Memvonis

وَلاَ نُنَزِّلَ أَحَداً مِنْهُمْ جَنَّةً وَلاَ نَاراً، وَلاَ نَشْهَدُ عَلَيْهِمْ بِكُفْرٍ وَلاَ بِشِرْكٍ وَلاَ بِنِفَاقٍ مَا لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُمْ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ، وَنَذَرُ سَرَائِرَهُمْ إِلَى اللهِ تَعَالَى

(78) Kami tidak memastikan salah seorang dari mereka sebagai penghuni surga atau neraka. Kami pun tidak memvonis mereka sebagai orang kafir, musyrik, atau munafik selama pada diri mereka tidak tampak kekafiran, kemusyrikan, atau kemunafikan. Kami menyerahkan urusan hati mereka kepada Allah ta’ala.

Ahlussunnah wal Jamaah tidak memastikan seseorang dari Ahlikiblat sebagai penghuni surga atau neraka, kecuali mereka yang dikabarkan oleh Rasulullah saw sebagai penghuni surga atau neraka; seperti sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, dan beberapa orang sahabat lainnya. Ahlussunnah tetap meyakini bahwa di antara para pelaku dosa besar, selagi masih mukmin muwahid, ada yang dimasukkan oleh Allah ke dalam neraka, lalu diangkat—dikeluarkan dari neraka setelah dibersihkan dari dosa-dosa yang pernah mereka lakukan, baik karena mendapatkan syafaat maupun karena sudah bersih dari dosa.

Menurut akidah Ahlussunnah, perkara surga-neraka adalah perkara yang menyangkut hakikat batin dan hal gaib. Hanya Allah yang mengetahui hakikat batin seseorang dan hanya Dia pula yang mengetahui segala yang gaib. Ahlussunnah berpegang kepada firman Allah,

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya!” (Al-Isra`: 36)

Tiga madzhab

Ada sedikit perbedaan pendapat di kalangan Salaf mengenai pemastian Ahlikiblat menjadi penghuni surga. Para Salaf terbagi menjadi tiga kelompok:

Pertama, mereka yang hanya memastikan para nabi sebagai penghuni surga. Ini adalah pendapat Muhammad bin al-Hanafiyah dan al-Awza’i.

Kedua, mereka yang menyatakan bahwa selain para nabi, siapa-siapa yang disebut sebagai penghuni surga dalam nash pun dipastikan sebagai penghuni surga. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama dan para ahli hadits. Inilah pendapat pertengahan dan yang paling kuat.

Ketiga, mereka yang menyatakan bahwa selain para nabi dan orang-orang yang disebut dalam nash, orang-orang yang disaksikan oleh orang-orang yang beriman sebagai penghuni surga pun mereka pastikan sebagai penghuni surga. Pendapat ini disandarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang berbunyi, “Serombongan orang memikul jenazah. Mereka yang dilewati menyebutnya sebagai jenazah orang yang baik. Maka Nabi saw bersabda, ‘Begitulah!’ Kemudian serombongan orang memikul jenazah yang lain. Mereka yang dilewati menyebutnya sebagai jenazah orang yang tidak baik. Maka Nabi saw bersabda, ‘Begitulah!’ ‘Umar bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang begitulah?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Jenazah yang kalian sebut baik itu akan masuk surga, sedangkan yang kalian sebut tidak baik itu akan masuk neraka. Kalian adalah para saksi Allah di bumi.’.”

Pendapat yang ketiga ini tidak kuat lantaran kesaksian orang-orang yang ditinggalkannya sebagai penghuni surga hanya menempati posisi doa atau syafaat, dan tidak dapat memastikannya sebagai penghuni surga.

Kasus yang pernah terjadi pada masa Nabi tersebut tidak dapat dijadikan dalil umum. Selain mungkin itu berlaku khusus untuk dua jenazah yang dipikul melewati Nabi beserta para sahabat pada waktu itu, bisa jadi juga Nabi mengetahuinya karena mendapatkan wahyu dari Allah.

Demikianlah akidah Ahlussunnah mengenai Ahlikiblat yang meninggal dunia. Sedangkan orang-orang kafir seperti Yahudi, Nasrani, dan para penyembah berhala, Ahlussunnah tidak ragu dalam memastikan mereka sebagai penghuni neraka.

Tidak sembrono memvonis kafir-musyrik-munafik

Memvonis salah seorang Ahlikiblat sebagai seorang kafir, musyrik, atau munafik adalah sama. Sama-sama memastikannya sebagai seseorang yang telah keluar dari Islam dan nihilnya iman dari hatinya. Ketiga-tiganya—orang kafir, musyrik, dan munafik akbar—adalah penghuni neraka selama-lamanya. Bahkan munafik akbar mendapatkan tempat di dasar neraka. Allah berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (An-Nisa`: 145)

Jika mendapati seseorang dari kalangan Ahlikiblat melakukan perbuatan kufur, syirik, atau nifak, Ahlussunnah menyatakan bahwa pada diri orang itu ada kekafiran, kemusyrikan, atau kemunafikan. Pada saat itulah amar makruf nahyi munkar dan al-wala` wal bara` ditegakkan. Kemungkaran diingkari dan kepada pelakunya diterapkan bara` sekadar dengan kemungkaran yang mereka lakukan.

Adalah sahabat Hudzaifah bin Yaman ra yang diberitahu oleh Rasulullah saw mengenai siapa saja penduduk Madinah yang munafik. Umar bin Khattab ra mengetahui hal itu. Maka ia berusaha mencari tahu dan mendesak Hudzaifah untuk memberitahunya. Namun Hudzaifah menolak, karena menjaga rahasia itu adalah amanat dari Rasulullah saw. Oleh karena itulah, lantaran kecintaan Umar kepada kebenaran dan kebenciannya kepada kemunafikan, jika ada penduduk Madinah yang meninggal dunia, ia tidak terburu-buru menyalatinya sampai Hudzaifah menyalatinya. Jika Hudzaifah tidak menyalatinya, Umar pun tidak menyalatinya. Hal ini hanya dilakukan oleh Umar, sahabat yang lain tidak mengikuti cara Umar. Mereka tetap menyalati siapa saja dari penduduk Madinah yang meninggal dunia.

Sikap Hudzaifah dan Umar adalah sikap pribadi. Hudzaifah diberitahu tentang kepastian nihilnya iman dari hati orang-orang yang tidak disalatinya dari Rasulullah saw. Sedangkan Umar, dia “hanya” tidak mau menyalati mereka, bukan memvonisnya sebagai munafik.

Meskipun tidak sebarang memvonis personal, Ahlussunnah tetap memvonis kafir secara umum (takfir mutlak); yakni mengatakan bahwa barangsiapa yang melakukan perbuatan kufur akbar, syirik akbar, atau nifak akbar maka ia adalah seorang kafir, musyrik, atau munafik.

Menyerahkan urusan hati kepada Allah

Jika di antara orang-orang yang tetap dinyatakan sebagai orang-orang yang beriman (tidak divonis kafir, musyrik, atau munafik) itu ternyata ada yang sebenarnya sudah kafir, musyrik, atau munafik dalam pandangan Allah, maka Ahlussunnah tidaklah salah langkah. Urusan hati mereka adalah urusan Allah. Ahlussunnah mengurus zhahirnya. Yang demikian itu karena Ahlussunnah menghukumi (orang lain) berdasarkan zhahirnya.

Usamah bin Zaid ra bertutur, “Rasulullah saw mengirim kami dalam suatu pasukan. Kami sampai di Huruqat, suatu tempat di daerah Juhainah di pagi hari. Aku menjumpai seorang kafir. Dia mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallah,’ tetapi aku tetap membunuhnya. Kejadian itu menggelisahkanku sehingga aku sampaikan kepada Nabi saw. Beliau pun bertanya, ‘Dia mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallah’ dan engkau tetap membunuhnya?’ Kujawab, ‘Wahai Rasulullah, ia mengucapkan itu hanya karena takut pedang.’ Rasulullah saw bersabda, ‘Apakah engkau sudah membelah dadanya sehingga engkau tahu apakah hatinya berucap demikian atau tidak?’ Beliau terus mengulangi perkataan itu kepadaku, hingga aku berkhayal kalau saja aku baru masuk Islam pada hari itu.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim)

Rasulullah saw bersabda, “Aku tidak diperintah untuk membedah hati orang dan membelah dada mereka.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim)

Zhahir seorang mukmin adalah mukmin meskipun ia melakukan berbagai dosa; termasuk dosa kekafiran, kemusyrikan, atau kemunafikan, sampai diketahui—dengan cara Ahlussunnah—bahwa di hatinya sudah tidak ada iman lagi. Seorang mukmin bisa saja melakukan dosa kekafiran, kemusyrikan, atau kemunafikan karena ketidaktahuan atau ketidaksengajaannya sehingga pada saat itu ia tidak boleh divonis kafir, musyrik, atau munafik. Wallahu a’lam.