Makanan yang Haram, Merusak Tabiat dan Jasad

Memakan makanan yang haram sama dengan menelan bakteri perusak jasad dan jiwa. Hampir semua materi yang haram dikonsumsi mengandung madharat, baik pada jasad maupun kejiwaan. Dari segi melanggar batasan Allah, memakan makanan yang haram tak ubahnya menanam benih kefasikan, kedurjanaan, kemunafikan dan pembangkangan. Benih-benih yang akarnya akan menghunjam dalam hati lalu merusak fitrahnya, sedang ranting-rantingnya akan tampak dalam sikap dan perilaku pemakannya. Oleh karenanya, Islam sangat menekankan agar umatnya benar-benar menjaga diri secara ketat dari mengkonsumsi atau menggunakan barang haram.

Tahrim (pengharaman) terhadap beberapa jenis makanan bukanlah sesuatu yang memberatkan. Alasannya, pertama jumlah item yang diharamkan jauh lebih sedikit, bahkan sangat sedikit jika dibandingkan dengan yang dihalalkan. Bahkan kaidah mengatakan, hukum asal segala sesuatu itu dibolehkan, kecuali apa yang diharamkan syariat. Kedua, efek negatif yang ada pada setiap barang yang diharamkan yang memang mutlak harus dihindari. Pengaruh buruk yang bisa mencederai jasad, merusak pola pikir dan tabiat maupun perilaku sosial kemasyarakatan. Sehingga pada dasarnya, tahrim adalah kemashlahatan bagi manusia, bukan pengekangan.

Dari sini, perlu kiranya kita kaji kembali berbagai kaidah dan dalil pengharaman yang telah dipaparkan secara gamblang dalam syariat. Rasulullah SAW bersabda, ” Yang halal itu sudah jelas, dan yang haram juga sudah jelas.” Hanya orang-orang yang sakit hatinya yang masih suka mempersoalkan, mencari celah dan kilah untuk menghalalkan yang haram yang sudah dijelaskan dalam syariat. 

 

Dua Kategori Haram

Haram dikategorikan menjadi dua;  kasbi dan dzati. Haram secara kasbi adalah makanan atau barang yang diperoleh dnegan cara yang haram. Sedang haram secara dzati adalah sesuatu yang secara dzat atau esensinya memang diharamkan. Kategori kedua inilah yang akan kita bahas dalam risalah ini. Beberapa item yang dzatnya diharamkan antara lain;

 

     1.Bangkai, darah, daging babi dan sembelihan untuk selain Allah

Allah berfirman,

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.“(QS. Al Maidah; 3).

Bangkai adalah hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu secara syar’i. Darah yang dimaksud adalah darah yang mengucur dari sembelihan, kecuali yang tertinggal pada jasad hewan yang sudah disembelih secara syar’i. Sedang sembelihan untuk selain Allah maksudnya hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah atau hewan yang disembelih untuk persembahan berhala.

 

     2.Binatang buas yang bertaring dan burung buas berkuku tajam

Dari Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam” (HR Muslim).

Imam an Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73 menjelaskan, “Dalam hadits ini terdapat dalil bagi madzhab Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad, Abu Daud dan mayoritas ulama tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam.”

 

     3.Al Jallalah (hewan yang sebagian besar pakannya berasal dari kotoran hewan atau manusia)

Dalam sebuah riwayat diakatakan, “Rasulullah SAW melarang memakan jallalah dan susunya.” (HR. Abu Daud, at Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Ibnu Hajar al Asqalani di dalam Fathul Bari menjelaskan, maksud al-Jallalah adalah setiap hewan baik hewan berkaki empat maupun berkaki dua, yang sejumlah besar prosentase makanannya berasal dari kotoran manusia atau hewan. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf menyebutkan sebuah riwayat bahwa Ibnu Umar mengurung ayam yang makan kotoran selama tiga hari -sebelum disembelih, pent-.

Wallahua’lam, bisa jadi lele atau ikan-ikan yang hanya diberi makan dengan kotoran manusia termasuk jallalah yang sebelum mengkonsumsinya harus dikarantina dan diberi makanan yang baik terlebih dulu selama beberapa waktu.

 

     4.Hewan yang diperintahkan untuk dibunuh

Dari Aisyah berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Lima hewan fasik yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram -Makah – yaitu ular, tikus dan anjing hitam.”(HR. Muslim) dalam riwayat Imam al Bukhari bukan “ular” tapi “kalajengking”.

Riwayat lain dari Ummu Syarik mengatakan bahwa Nabi SAW memerintahkan supaya membunuh tokek (cecak). (HR. Bukhari dan Muslim).

 

     5.Hewan yang dilarang untuk dibunuh

Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah SAW melarang membunuh empat jenis hewan : semut, tawon, burung hud-hud dan burung Surad ” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan dishahihkan Baihaqi dan Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 4/916).

Dari Abdur Rahman bin Utsman Al-Qurasyi bahwasanya seorang tabib pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hukum menjadikan katak sebagai obat. Tapi kemudian, Rasulullah SAW melarang membunuhnya. (HR Ahmad, Abu Daud, an Nasa’i, Al-Hakim, Baihaqi dan dishahihkan Ibnu Hajar dan Al-Albani).

 

     6.Keledai jinak

“Dari Jabir berkata, “Pada perang Khaibar, Rasulullah SAW melarang memakan daging keledai dan memperbolehkan daging kuda”. (HR Bukhari dan Muslim)

Ada beberapa hewan lain yang hukumnya masih diperselisihkan oleh beberapa ulama. Ketujuh item di atas adalah yang disepakati para ulama atau paling tidak merupakan pendapat mayoritas.

 

Kuliner Menjijikkan

Akhir-akhir ini makin banyak yang menggemari hidangan-hidangan tak lazim seperti sate tokek, ular, buaya, ulat tanah, dan yang paling marak sate daging anjing yang biasanya dijual dengan kedok “sate jamu, rica-rica jamu dan sebagainya”. Maraknya media sosial ikut mendongkrak popularitas trend kuliner menjijikkan ini, beberapa justru menayangkan secara langsung via live streaming facebook dan youtube, yang objek santapannya adalah haram menurut keterangan diatas, atau mungkin syubhat. Tren yang tidak selayaknya ditiru seorang muslim.

Anjuran syariat adalah agar kita mengkonsumi makanan yang tidak hanya “boleh dimakan” tapi juga thayib, mengandung manfaat yang jelas. Tubuh yang senantiasa kita gunakan untuk menghadap Allah ini, harus dijaga agar unsur penyusunnya selalu berasal dari bahan yang baik. Jika barang haram dapat memicu kefasikan dan kemaksiatan, maka yang halal lagi thayib akan menumbuhkan kebaikan. Makanan yang baik, akan tumbuh menjadi jasad dan tabiat  serta amal-amal yang baik pula, karena Allah tidak menerima kecuali yang baik. Wallahua’lam.

 

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Syubhat

 

Baca Juga: 
Bila Rasa Bosan dengan Pasangan Mulai Menjangkiti
Islam Akan Menang, Bersama atau Tanpa Kita
Tanda Akhir Zaman, Aparat Berbuat Sewenang-wenang

 

Kultum Ramadhan: Indahnya Adzan di Mata Generasi Pilihan

Adzan adalah syiar yang agung, tiada yang membencinya selain setan dan orang-orang rendahan yang mengikuti jejak setan yang anti terhadap adzan. Allah menyebut kurang akal siapapun yang memperolok adzan, sebagaimana firman-Nya.

“Dan apabila kalian menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) salat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.” (QS. al-Maidah: 58)

Dan beberapa waktu ini makin banyak orang yang berani meremehkan adzan; tidak menyambutnya, ada yang mengaku muslim tapi merasa terusik dengan mendengarnya bahkan ada yang secara ugal-ugalan memperolok-olok adzan.

Adapun orang-orang shalih di kalangan generasi terbaik sangat mengistimewakan panggilan adzan. Karena mereka memahami makna adzan dan menghayatinya, hingga sangat tampak sekali respek mereka terhadap adzan.

Baca Juga: Perlombaan Menuju Puncak Kemuliaan

Di zaman sahabat misalnya, Ibnu Katsier rahimahullah dalam tafsirnya menyebutkan, bahwa suatu kali sahabat Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu melihat apa yang dilakukan oleh orang-orang sewaktu di pasar. Di mana tatkala adzan untuk shalat dikumandangkan, serta merta mereka tinggalkan perniagaan mereka, dan mereka berbondong-bondong mendatangi undangan shalat. Melihat pemandangan ini, Abdullah bin Mas’ud bergumam, “Mereka inilah yang dimaksud oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat.Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. an-Nuur: 37).

Abu Hurairah radhiallahu’anhu meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki buta datang dan bertanya kepada Rasulullah Shallallahua’alaihi Wasallam, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorang yang menuntunku ke masjid (untuk shalat berjama’ah).” Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk diijinkan shalat di rumah. Maka (di awalnya) Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membolehkannya, kemudian ketika orang itu akan pulang, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memanggilnya dan bertanya kepadanya: “Apakah kamu mendengar seruan adzan untuk shalat (berjama’ah)?”. Orang itu menjawab: Iya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Kalau begitu datanglah ke masjid.” (HR Muslim

Demikian pula para Shahabat lainnya radhiallahu’anhum, memberikan teladan yang sempurna dalam masalah ini, seperti ucapan ‘Adi bin Hatim ath-Tha’i radhiallahu’anhu: “Tidaklah dikumandangkan shalat sejak aku masuk Islam, kecuali aku dalam keadaan sudah berwudhu”.(Siyaru a’lam)

Kemudian generasi tabi’in yang datang setelah para Shahabat Shallallahua’alaihi Wasallam, mereka juga menampilkan sebaik-baik teladan dalam menyambut seruan adzan. Bagi mereka, adzan adalah panggilan mulia yang mengetuk hati dan menggugah nurani. Ada kebahagiaan tersendiri bagi orang yang beriman ketika dimudahkan untuk menyahut dan menyambut panggilan adzan. Seperti yang dialami oleh Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah yang sering menangis haru di masjid ketika mendengar adzan hingga lantai di hadapannya basah oleh air matanya. Betapa tidak, hakikatnya adzan adalah ‘undangan’ dari Sang Pencipta, Maha Pemberi Karunia. Adapun muadzin hanyalah penyampai ‘undangan’ dan bukan Pemilik undangan. Bukankah suatu kehormatan ketika seseorang bisa hadir mendatangi undangan dari Yang Maha mulia? Undangan yang jauh lebih bergengsi dari undangan resepsi para pejabat maupun raja.

Sa’id bin Musayyib rahimahullah, imam ternama dari generasi tabi’in sangat menghargai undangan ini, memprioritaskannya dari sekian banyak undangan, hingga beliau hadir lebih awal. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hibban rahimahullah daam ats-Tsiqaat, “Beliau termasuk pemuka para tabi’in dalam pemahaman agama, sifat wara’, ilmu, ibadah dan kemuliaan. Selama empat puluh tahun, tidaklah dikumandangkan adzan shalat kecuali Sa’id bin al-Musayyab telah berada di masjid menanti shalat berjama’ah.”

Baca Juga: Sabar dan Shalat, Kunci dari Semua Maslahat

Hilal bin Isaf bercerita saat dia bersama Mundzir Ats-Tsauri menjenguk Rabi’ bin Khutsaim radiyallahu ‘anhu yang sedang sakit, “Setelah lama berbincang-bincang, terdengar lantunan adzan Dzuhur. Bersamaan dengan itu puteranya datang, lalu Syeikh berkata kepadanya, “Mari kita sambut panggilan Allah.” Puteranya berkata kepada kami, “Tolong bantu saya untuk memapah beliau ke masjid. Semoga Allah Ta’ala membalas kebaikan kepada kalian.” Kemudian kami memapahnya bersama-sama sehingga beliau bisa bergantung di antara aku dan puteranya pada saat berjalan. Mundzir berkata,”Wahai Abu Yazid, bukankah Allah Ta’ala memberi rukhshah (keringanan) bagi Anda untuk shalat di rumah?” Beliau menjawab, “Memang benar apa yang Anda katakan, akan tetapi aku mendengar seruan, “Marilah menuju keberuntungan!” Barangsiapa mendengar seruan itu hendaknya mendatanginya walaupun harus dengan merangkak.”

Benar apa yang beliau katakan, selain panggilan shalat, adzan juga merupakan ajakan untuk menjadi orang yang sukses, bahagia, menang dan beruntung. Seluruh pengertian ini terkandung dalam kata “al-falah’ ketika diserukan ”hayya ’alal falah”, marilah menuju keberuntungan. Alangkah agung ajakan ini. Tak ada orang berakal yang layak meremehkan ajakan ini. Seruan keberuntungan inilah yang mendorong seorang ulama tabi’in untuk tetap menyambut seruan adzan, meskipun harus dipapah puteranya karena sakit. Bahkan meskipun harus datang dengan merangkak.

Berlanjut ke generasi tabi’ut tabi’in. Mereka juga menyambung estafet kemuliaan dalam menyambut seruan adzan. Sebut saja Ibrahim bin Maimun Ash-Sha’igh, seorang shalih dari generasi tabi’ut tabi’in selalu menghentikan aktivitasnya begitu mendengar adzan. Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengisahkan biografi beliau dalam Tahdzib at-Tahdzib, bahwa pekerjaan beliau adalah tukang menempa logam. Setiap kali beliau telah mendengar seruan adzan untuk shalat, maka meskipun beliau telah mengangkat palu, beliau tak lagi mengayunkannya. Beliau segera meninggalkan pekerjaannya untuk melaksanakan shalat. Karena bagi beliau, adzan adalah panggilan dari Dzat yang memiliki kuasa segalanya atas dirinya. Bagaimana mungkin ia berani menundanya?

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Kultum Ramadhan

Khilafah & Syari’ah Islam

Saat revolusi IT dan dunia informasi mulai terasa pengaruhnya, penulis membayangkan, transparansi informasi dan obyektivitas data akan mengalami perubahan menuju ke arah yang lebih jujur dan makin menjauh dari kebohongan. Harapan itu bertumpu pada dirambahnya hampir seluruh sudut bumi oleh jangkauan informasi dan pemberitaan dengan kecepatan live, hampir tidak ada delay antara kejadian dengan sampainya informasi. Ketika kemudian muncul informasi dengan genre hoax, penulis menyadari, obyektivitas dan transparansi tidak bertumpu pada jangkauan, akurasi dan kecepatan transmisi alat, tetapi kepada sikap mental operator alat dan sarana.

Di alam demokrasi, penyebaran gagasan dan ide merupakan perkara esensial asas tempat berpijak paham demokrasi, dan hal itu dilindungi dengan regulasi. Seharusnya itu menjadi lahan subur mendidik masyarakat untuk lebih bersikap akademik, membuka pikiran untuk menerima pendapat yang berbeda. Jauh dari ekspektasi itu, ternyata ketika gagasan yang diperkenalkan kepada masyarakat berbeda dengan platform yang dipegangi oleh penguasa, sementara gagasan itu mendapatkan respon positif dari masyarakat, pemikiran berkembang dan diterima, penguasa cenderung menggunakan abuse of power, menggunakan pendekatan kekuasaan untuk memberangus pemikiran. Suatu tindakan yang bertentangan dengan sendi dasar ajaran demokrasi yang mereka pegangi.

Fakta Historis Khilafah

Syari’at Islam dan Khilafah merupakan discourse akademik yang terbuka untuk didekati dengan studi sejarah. Jika dilakukan studi sejarah secara obyektif, siapa pun tidak akan kesulitan untuk menemukan fakta-fakta ilmiah mengenai eksistensi dan peran institusi khilafah dalam meng-implementasikan syari’at Islam di tengah umat Islam. Adapun fakta bahwa kualitas penerapan prinsip-prinsip tersebut dari waktu ke waktu fluktuatif, hal itu juga tidak bisa diingkari. Sebab, meskipun khilafah dan syari’at Islam merupakan ajaran yang bersumber dari Al-Qur’aan dan As-Sunnah, akan tetapi pelaksanaannya merupakan hasil ijtihad manusia yang tidak terlindungi dari kemungkinan salah, pelaksananya bukan Nabi, tidak ma’shum. Tetapi pernyataan bahwa khilafah tidak pernah ada dan utopis seperti yang banyak dikatakan oleh para politisi dan penyelenggara pemerintahan dari kalangan orang Islam, merupakan pernyataan ahistoris dan berpotensi menjadi intelectual abuse.

Bagaimana tidak, para sejarawan muslim maupun non-muslim mencatat Khilafah Rasyidah setelah Rasulullah hingga 30 tahun setelah beliau wafat, kemudian Bani Umayyah, Bani ‘Abbasiyah, dll. Khilafah ‘Utsmaniyah yang mengalahkan dominasi Romawi Timur bukanlah kabar bohong, kota Konstantinopel berganti nama menjadi Islambul, yang kemudian dikenal dengan Istanbul, pemerintahannya berdiri lebih dari 500 tahun. Bahwa implementasi syari’at Islam di dalamnya mengalami pasang-surut, hal itu tidak kemudian menafikan eksistensinya. Sebagaimana hal yang sama terjadi pada sistem yang lain, bahkan lebih buruk.

Tersebarnya Islam di negara dengan penduduk muslim terbesar ini juga tidak lepas dari peran kekhalifahan tersebut dari waktu ke waktu dalam mengirim para ulama sebagai delegasi du’aat. Spirit, keberanian dan pengorbanan untuk melawan penjajah Portugis, Inggris, Belanda maupun Jepang tidak mungkin dilepaskan dari peran para ulama yang terus menerus menginspirasi dan memimpin umat. Sulit dibayangkan para pemeluk Nashrani (misalnya) akan melawan penjajah tersebut, sedang mereka memeluk agama tersebut karena terkena ajakan ‘dakwah’ mereka. Kesultanan Aceh dalam menghadapi Portugis di Malaka juga melibatkan para penembak meriam dari Turki Utsmaniy (1567), dibantu oleh kerajaan Demak dan Calicut (India). Ini merupakan peran nyata Khilafah pada zamannya.

Baca Juga: Memaknai Islam Sebagai Rahmatan lil ‘alamin

Para Wali lokal seperti Sunan Kalijaga yang dipuji dan dibanggakan oleh penduduk muslim di tanah Jawa maupun Indonesia pada umumnya tidak lahir langsung pintar, tetapi hasil dakwah dan didikan para ulama delegasi kekhalifahan tersebut. Prestasi keulamaan global seperti Imam Nawawi al-Jawiy al-Bantaniy yang menjadi Imam Masjid al-Haram (kakek buyut KH Ma’ruf Amin), yang juga merupakan ulama’ penulis yang sangat produktif pada zamannya, tidak dapat dilepaskan dari peran para pendakwah sebelumnya. Beliau masih keturunan Syarif Hidayatullah yang menginisiasi banyak perlawanan jihad menghadapi Portugis hingga kolonialisme Belanda, merebut dan mengalahkan Portugis dari Sunda Kelapa dan mengganti namanya dengan Jayakarta (Jakarta).

Semua itu merupakan fakta sejarah tidak terbantahkan. Menafikan peran Khilafah, merupakan tindakan ‘bunuh diri sejarah’. Islam dan umat Islam Indonesia tidak mungkin dapat dilepaskan dari peran Khilafah Islamiyah pada zamannya. Apakah mereka membanggakan para sesepuh dalam melahirkan nation state Indonesia, sementara mereka memotong sejarah nenek moyang mereka yang lebih jauh, yang tersambung langsung dengan kekhalifahan dan para Khalifah/Sultan.

Nubuwah Nabi tentang Khilafah di Atas Sistem Kenabian

Mengenai nubuwah Nabi tentang akan kembalinya khilafah ‘ala manhaj an-nubuwwah di akhir zaman, ketum PKB dalam acara ‘Menangkal yang Radikal’-nya Metro TV, Rabu malam 24/5/2017 menyatakan bahwa hadits tentang adanya Khilafah di akhir zaman, merupakan hadits dlo’if yang tidak dapat dijadikan argumentasi. Pernyataan tersebut melampaui kapasitas dirinya sebagai politisi dan memasuki wilayah yang bukan otoritasnya, apalagi tanpa menyertakan sumber rujukan yang mendasari statement-nya. Padahal pakar hadits modern Syaikh Nashiruddin al-Albaniy dalam kitab beliau As-Silsilah ash-Shohihah mengatakan bahwa hadits tentang Al-Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah merupakan hadits shahih.

Pernyataan itu juga menyalahi kultur basis konstituen partainya yang menghargai ulama’ serta meyakini kuat terhadap nubuwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelumnya politisi tersebut juga telah membuat blunder dukungan kepada calon pemimpin non-muslim dalam kasus pilkada DKI.

Khatimah

Kita tidak menafikan bahwa perdebatan tentang Khilafah pada hari ini diwarnai oleh banyak hal yang membuat sebagian besar publik kehilangan jejak dan obyektivitas. Munculnya kelompok Islamic State di Iraq dan simpatisannya di semua tempat, seruan Hizbut Tahrir untuk kembali kepada Khilafah menurut konsepnya, serangan-serangan bersenjata dan pemboman baik lokal maupun global dengan mengatasnamakan Khilafah turut mempengaruhi suasana perbincangan tentang khilafah ini.

Baca Juga: Khilafah Rasyidah Mahdiyah

Beragam metode untuk kembali memunculkan khilafah seperti yang dilakukan beberapa golongan, seharusnya tidak menjadikan pembahasan ilmiah tentang Khilafah kehilangan obyektivitas-nya. Sebab boleh jadi kemunculannya tidak seperti yang diteorikan oleh HT, atau jalan penuh kekerasan yang ditawarkan Al-Adnaniy, tetapi juga tidak seperti yang dikehendaki oleh Demokrasi. Sistem demokrasi selalu berbuat curang tatkala Khilafah atau syari’at Islam menempuh jalur konstitusional seperti pengalaman di Aljazair pada era 90-an, maupun Mesir dengan terpilihnya Muhammad Mursi sebagai presiden. (Redaksi/Fikrah/Juli 2017)

 

Tema Terkait: Rahmatan lil ‘alamin, Khilafah, Akidah