Nur Muhammad, Makhluk Pertama?

Seperti tahun-tahun sebelumnya, bulan Rabiul Awwal tampak ramai dengan geliat peringatan Maulud Nabi. Tapi bukan masalah Maulud Nabi pembahasan kita kali ini. Melainkan konten yang sering disampaikan oleh penceramah, khathib maupun yang menulis tentang kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam. Salah satu konten yang berseliweran di mata dan telinga adalah tema Nur Muhammad. Segolongan kaum muslimin ada yang meyakini bahwa pertama yang dicipatakan Allah sebelum segala sesuatu ada adalah Nur Muhammad. Selanjutnya, penafsiran tentang Nur Muhammad berikut cerita tentangnya sangat banyak versi disebutkan oleh orang-orang yang meyakininya.

Ada yang menyebutkan bahwa segala sesuatu diciptakan dari nur (cahaya) Muhammad. Ada lagi yang mengatakan bahwa Muhammad diciptakan dari nur Allah. Sebagian lagi mengatakan, “Kalaulah tidak ada dia (Muhammad), matahari, bulan, bintang, lauh, dan Qolam tidak akan pernah diciptakan.”Bahkan ada lagi yang berkata bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah nyawa suci yang merupakan penampakan dzat Tuhan. Serta pendapat-pendapat lain yang sebagiannya kelewat batas dalam mengagungkan Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Asal Penciptaan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam

Riwayat paling pokok yang dijadikan alasan meyakini nur Muhammad adalah,

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قاَلَ، قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ، بأبى أنت وأمى! أَخْبِرْنِى عَنْ أَوَّلِ شيْئٍ خَلَقَهُ الله ُقَبْلَ ْالاَشْيَاءِ؟ قَالَ يَا جَابِرُ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى خَلَقَ قَبْلَ ْالاَشْيَاءَ نُوْرَ نَبِيِّكَ مِنْ نُوْرِهِ  (رواه عبد الرزاق بسنده.)

Dari Jabir bin Abdillah RA, ia berkata, Aku berkata, wahai Rasulullah, Ceritakanlah tentang awal perkara yang Allah ciptakan sebelum segala sesuatu ! Maka Rasul berkata, “Wahai Jabir, Sesungguhnya Allah Taala sebelum segala sesuatu, Ia menciptakan Nur Nabimu, yang berasal dari Nur-Nya.

Riwayatkan ini disandarkan pada Abdur Rozzaq, hanya saja banyak peneliti yang mengatakan tidak menemukan riwayat tersebut dalam mushannafnya, sehingga sulit untuk dilacak jalur sanadnya hingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Padahal ini menyangkut keyakinan yang sangat krusial. Dan konsekuensi dari keyakinan yang dilandasi riwayat tersebut bertentangan dengan banyak ayat dan hadits, baik yang tersirat maupun tersurat.

Paham yang meyeakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam diciptakan dari cahaya, bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang shahih,

خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ

“Para malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api dan Adam tercipta dari apa yang disifatkan untuk kalian.” (HR. Muslim: 2996)

Syaikh al-Albani dalam Ash Shahihah setelah menyebutkan keshahihan hadits tersebut berkata, “Dalam hadits ini terdapat isyarat atas kebatilan sebuah riwayat yang populer di kalangan orang-orang yaitu, “Yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah nur Nabimu wahai Jabir.” Dan riwayat-riwayat semisalnya yang menyatakan bahwa Rasulullah tercipta dari cahaya. Sementara, hadits yang shahih ini menjadi dalil yang sangat jelas bahwa hanya para malaikat saja yang tercipta dari cahaya, bukan Adam dan bukan pula anak keturunannya.”

 

Baca Juga: Nabi Muhammad Keturunan Jawa?

 

Al-Qur’an juga dengan jelas menyebutkan bahwa secara penciptaan, Nabi Muhammad adalah manusia sebagaimana rasul-rasul sebelumnya dan juga manusia pada umumnya. Allah berfirman,
“Katakanlah, “Maha suci Rabbku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul” (QS al-Isra’ 93)

Makhluk yang Pertama Diciptakan
Adapun tentang awal penciptaan, riwayat tentang nur Muhammad tersebut juga bertentangan dengan hadits yang jelas shahih secara sanad dan lebih sharih secara makna,

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

“Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah qalam (pena), lalu Allah berfirman, “Tulislah!” Pena berkata, “Wahai Rabbi, apa yang harus aku tulis?” Allah berfirman, “Tulislah ketetapan segala sesuatu hingga tegaknya hari Kiamat.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi)

Keyakinan bahwa semua yang di alam ini diciptakana karena Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, juga berlebihan. Tak ada dalil shahih yang menunjukkan hal ini. Yang pasti, diciptakannya jin dan manusia adalah agar mereka beribadah kepada Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
(QS. ad-Dzariyat/51:56)

Dan Allah menciptakan langit, bumi dan yang lain agar manusia menyadari dan mengakui kekuasaan Allah. Allah Ta’ala berfirman,

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu- Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. ath-Thalâq/65:12)

Kecintaan yang tulus kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak membutuhkan tambahan-tambahan kedustaan, atau sikap pengagungan yang melewati batas. Kemuliaan Nabi shallallahu alaihi wasallam tetaplah tinggi dan agung sebagaimana yang telah disebutkan dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits yang shahih, dan tidak berkurang sedikitpun penghormatan kita dengan menampik riwayat-riwayat yang tidak jelas keshahihannya. Wallahu a’lam bishawab.

 

 

Oleh: Abu Umar Abdillah

Kisah-kisah Menggugah dalam Menjalankan Sunnah

Para salaf tak hanya antusias dalam mencari ilmu. Semangat mereka dalam mengamalkan ilmu setara dengan mujahadah mereka dalam mencarinya. Karena mereka paham bahwa maksud dicarinya ilmu adalah untuk diamalkan.

Tak hanya dalam hal yang wajib, perkara sunnah yang telah mereka ketahui tak sedikitpun mereka remehkan, Jika para sahabat bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang kebaikan, itu karena mereka ingin mengamalkan, bukan sekedar tambahan wacana atau bahan diskusi seperti yang umum terjadi hari ini. Dan jika mereka bertanya tentang keburukan, itu dalam rangka agar mereka terhindar darinya.

Tidak mengherankan, karena mereka adalah orang-orang yang sangat bersemangat kepada kebaikan. Hal ini pula yang telah memberi pengaruh kepada orang-orang yang datang setelah mereka dari kalangan salaf dan generasi utama. Sejarah telah mencatat untuk kita contoh-contoh yang menggugah jiwa untuk meniti jalan sunnah dari mereka yang mengikuti generasi sebelumnya dalam hal komitmen mereka terhadap sunnah.

Baca Juga: Sabar dan Shalat, Kunci dari Segala Maslahat

Imam Ahmad rahimahullah mendokumentasikan lebih dari 40.000 hadits dalam kitabnya ‘al Musnad’, Bukan sekedar dokumentasi, beiau juga mengamalkan apa yang beliau tulis di dalamnya. Beliau berkata, “Tidaklah aku menukil sebuah hadits melainkan aku telah mengamalkannya.” Tatkala beliau meriwayatkan hadits, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah dibekam dan memberi Abu Thibah (orang yang membekam Nabi) dengan upah satu dinar, Imam Ahmad berkata, “Aku dibekam, lalu aku beri orang yang telah membekamku dengan uang satu dinar.” Satu dinar sama dengan 4,25 gram emas. Beliau rela mengeluarkan satu dinar demi menjalankan apa yang dijalankan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, meski kadar tersebut bujan merupakan satu keharusan.

Generasi terbaik di kalangan sahabat adalah teladan dalam hal ittiba’m mengikuti ilmu yang telah diketahui. Seperti Ummul Mukminin Ummu Habibah yang berkata, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

 

مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ

Barangsiapa yang mengerjakan dua belas raka’at shalat sunnah rawatib sehari semalam, maka akan dibangunkan baginya suatu rumah di jannah.” (HR Muslim)

Imam Muslim juga meriwayatkan bahwa Ummu Habibah mengatakan: “aku tidak pernah meninggalkannya sejak aku mendengar hadits ini dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam”. ‘Anbasah yang meriwayatkan hadits ini juga berkata, “Aku juga tidak pernah meninggalkannya sejak aku mendengar hadits ini dari Ummu Habibah.” Begitupun dengan An-Nu’man yang mendengar dari Anbasah, “Aku tidak pernah meninggalkannya sejak aku mendengar hadits ini dari ‘Anbasah.”

Tak hanya di waktu aman dan longgar, para salaf komitmen mengamalkan ilmu yang diketahui dalam segala kondisi. Seperti yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu bahwa Fathimah radhiyallahu anha datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk meminta seorang pembantu. Lalu Nabi bersabda:

 

 أَلاَ أُخْبِرُكِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكِ مِنْهُ, تُسَبِّحِينَ اللَّهَ عِنْدَ مَنَامِكِ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَتَحْمَدِينَ اللَّهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَتُكَبِّرِينَ اللَّهَ أَرْبَعًا وَثَلاَثِينَ

wahai Fathimah, maukah aku sampaikan kepadamu suatu hal yang lebih baik dari hal itu? Bertasbihlah ketika hendak tidur 33x, bertahmidlah 33x, bertakbirlah 34x”.

Ali bin Abi Thalib mengatakanm “Aku tidak pernah meninggalkan amalan ini semenjak aku mendengarnya.” Ketika ada yang bertanya, ”Bagaimana ketika hari-hari peristiwa Shiffin?” Beliau menjawab, “Begitupun juga di hari-hari peristiwa Shiffin, aku tidak meninggalkannya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Mereka juga menyesal jiak meninggalkan keutamaan meski ilmunya baru diketahui belakangan. Seperti sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu pernah melakukan shalat jenazah lalu pergi dan tidak ikut mengantarkan ke kuburnya. Tatkala sampai kepada beliau riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, beliau menyesal karena telah melewatkan keutamaan.

Baca Juga: Tetap Takwa Saat Jodoh Tak Kunjung Tiba

Dari Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash, ia sedang duduk di sisi Abdullah bin Umar. Datanglah Khabbab dan berkata, “Wahai Abdullah bin Umar, tidakkah engkau mendengar perkataan Abu Hurairah? Ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menuju  jenazah dari rumahnya, kemudian menshalatkannya, lalu mengantarkannya sampai dikebumikan, maka pahala baginya adalah dua qirath, setiap qirath besarnya seperti gunung Uhud. Adapun orang yang menshalatkannya lalu pulang, maka ia hanya mendapat pahala seperti satu gunung Uhud.” Ibnu Umar mengutus Khabbab agar menemui Aisyah untuk bertanya kepadanya perihal perkataan Abu Hurairah tersebut, lalu ia kembali kepadanya membawa kabar dari Aisyah. Ibnu Umar mengambil satu genggam tanah masjid dan membolak-balikkannya di tangannya (seperti gelisah menunggu jawaban-pen), hingga datang Plah Khabab dan berkata, “Aisyah berkata, “Abu Hurairah benar.” Seketika itu Ibnu Umar membanting tanah yang ada di tangannya, lalu berkata, “Sungguh kita telah melewatkan banyak  qirath pahala.” (HR Bukhari)

Imam an-Nawawi rahimahullah  memberikan komentar dalam al-Minhaj, “Kisah ini menjadi gambaran semangat para sahabat dalam ketaatan saat mereka mengetahuinya, dan merasa menyesal jika mereka terlewat darinya, walaupun karena sebelumnya mereka tidak mengetahui besarnya keutamaan amal tersebut.

Semoga Allah tunjukkan kita ilmu yang benar dan taufik untuk mengamalkannya, aamiin.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Motivasi

Menjadi Suami Rumah Tangga Seperti Nabi

Banyak suami merasa pekerjaan rumah tangga seperti menyapu, memasak, mencuci piring, momong anak adalah pekerjaan domestik istri. Banyak suami yang tak mau menyentuh ranah ini. “Saya paling tidak suka bila tidur saya terganggu, apalagi untuk mengganti popok anak,” ujar seorang bapak. Ada juga yang mengatakan, “Saya sudah sibuk seharian bekerja. Urusan rumah tangga urusan istri.”  Padahal, suatu hal yang baik apabila suami mau membantu pekerjaan rumah yang biasa dilakukan istri untuk meringankan pekerjaan dan beban keseharian istri.

Ummul mukminin, Aisyah pernah ditanya, “Apa yang dilakukan Nabi di rumah?” Beliau menjawab, “Beliau ikut membantu melaksanakan pekerjaan keluarganya.” (HR. Bukhari).

Dalam hadits ibunda Aisyah yang lainnya, beliau berkata, “Nabi saw menjahit kainnya, menjahit sepatunya, dan mengerjakan apa yang biasa dikerjakan oleh kaum wanita di rumah mereka.” (HR. Ahmad).

Baca Juga: Kisah Pasangan Harmonis Yang Paling Tragis

Tentu tak ada yang meragukan kesibukan Rasulullah, bukan? Beliau seorang Nabi dengan kesibukan dakwah yang luar biasa dan beliau juga seorang pemimpin. Namu, beliau sangat senang membantu pekerjaan istri beliau. Hal itu beliau lakukan kapan saja selagi beliau di rumah bersama istrinya.

Al-Aswad pernah bertanya kepada ibunda Aisyah, istri Rasulullah, mengenai apa yang dilakukan Nabi di rumah. Beliau mengatakan, “Beliau biasanya suka membantu urusan keluarganya, lalu ketika waktu shalat tiba, beliau pergi ke masjid untuk mengerjakan shalat.”

Catatan penting bagi para suami bahwa ketika tiba waktu shalat, Nabi meninggalkan pekerjaan rumahnya untuk pergi ke masjid. Rasulullah meninggalkan pekerjaannya saat panggilan adzan berkmandang di masjid. Tak ada istilah kena tanggung, pakaian masih kotor, dan lain sebagainya.

Nabi telah memberi teladan kepada para suami bahwa mengerjakan pekerjaan rumah bukanlah hal yang tabu. Suami harus menyadari bahwa meskipun tampak sepele, pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan yang berat. Istri dituntut untuk bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu demi untuk berbakti kepada suaminya. Membuatnya senang dan betah di rumah.

 

Mari kita Tengok Kembali Kisah Fathimah, Putri Rasulullah

Fathimah merasa lelah dengan banyaknya pekerjaan rumah tangga yang harus ditanganinya. Dia pun pergi menemui Rasulullah untuk meminta seorang pembantu, yakni seorang wanita yang bisa membantunya.

Tatkala Fathimah memasuki rumah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, dia tidak mendapatkan beliau. Dia hanya mendapatkan Aisyah, Ummul Mukminin. Lalu Fathimah menyebutkan keperluannya kepada beliau. Tatkala Rasulullah tiba, ibunda Aisyah mengabarkan urusan Fathimah.

Beliau mempertimbangkan permintaan Fathimah. Kebetulan memang beliau mempunyai beberapa orang tawanan perang, di antaranya wanita. Tetapi tawanan-tawanan ini akan dijual dan hasilnya akan disalurkan kepada orang-orang Muslim yang fakir, yang tidak mempunyai tempat tinggal dan makanan. Lalu beliau pergi ke rumah Fatimah. Saat itu Fatimah dan suaminya hendak tidur. Beliau masuk rumah putrinya dan bertanya, “Saya mendapat kabar bahwa kamu datang untuk meminta satu keperluan. Apakah keperluanmu?”

Fathimah menjawab, “Saya mendengar kabar bahwa beberapa pembantu telah datang kepada engkau. Maka aku ingin agar engkau memberiku seorang pembantu untuk membantuku membuat roti dan adonannya. Karena hal ini sangat berat bagiku.”

Beliau berkata, “Mengapa engkau tidak datang meminta yang lebih engkau sukai atau lebih baik dari hal itu?” Kemudian beliau memberi isyarat kepada keduanya, bahwa jika keduanya hendak tidur, hendaklah bertasbih kepada Allah, bertakbir dan bertahmid dengan bilangan tertentu yang disebutkan kepada keduanya. Lalu akhirnya beliau berkata. “Itu lebih baik bagimu daripada seorang pembantu.”

Baca Juga: Saat Konflik Mendera Dalam Bahtera Keluarga

Ali tidak melupakan wasiat ini, hingga setelah istrinya meninggal. Hal ini disebutkan dalam hadits riwayat Muslim.

Oleh karenanya, ketika ada waktu, suami hendaknya berusaha membantu pekerjaan istri, semampu yang ia bisa.

Mengerjakan pekerjaan rumah bagi suami bukan berarti bertukar peran sebagaimana yang kita saksikan di dalam sinetron. Suami menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga, sementara istri duduk bermalas-malasan sambil bermain HP atau menonton TV. Karena salah satu tugas utama suami sebagai qowam keluarga adalah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun, seorang suami selayaknya menunjukkan bahwa ia siap membantu istrinya bila mampu. Bila belum mampu tunjukkan minat untuk membantu. Kehadiran suami saat istri sedang melakukan pekerjaan rumah saja terkadang sudah cukup membahagiakan istri. Apalagi ikut mengiris bawang atau memasukkan bumbu ke dalam air yang terjerang panas untuk mematangkan hidangan, sungguh momen yang berkesan.

Jika suami tidak dapat melakukan hal ini, setidaknya ia memberikan pujian kepada istrinya dan memberikan senyuman tanda keridhaan kepadanya. Ketika ada sedikit kekurangan dari apa yang dilakukan istri, maklumi saja, tak perlu memarahi apalagi sampai memaki. Wallahu a’lam.  

 

Oleh: Redaksi/Keluarga 

Dinamika Dakwah Islam di Kesultanan Banjarmasin

            Pada dua edisi sebelumnya telah dibahas periode penerimaan Islam secara resmi di Kalimantan Selatan dan sekitarnya, yaitu dengan munculnya Kesultanan Banjarmasin pada 1526. Sultan pertama adalah Sultan Suriansyah. Sejak itu, gerak dakwah Islam semakin berjalan massif. Banjarmasin kemudian tampil menjadi salah satu pusat Islamisasi di Kalimantan.   

Islamisasi Bahasa Banjar

            Setelah menerima Islam, penggunaan huruf Arab yang dikenal dengan huruf Arab-Melayu menjadi pengikat identitas masyarakat Banjar. Bahasa Banjar dengan tulisan Arab-Melayu menempatkan Islam sebagai agama ilmu pengetahuan. Sejak abad 17, telah ada kitab Melayu-Banjar dengan huruf Arab yang dikarang oleh Syekh Ahmad Syamsuddin Al-Banjari, sebagai bukti telah resminya huruf Arab Melayu menjadi bahasa dan tulisan ilmu pengetahuan.

            Bahasa Melayu-Banjar dan huruf Arab menjadi bahasa pemersatu komunitas Muslim di Kesultanan Banjarmasin. Surat-surat Sultan Banjarmasin senantiasa menggunakan huruf Arab berbahasa Melayu, dengan bulan Hijriah dan hari serta penanggalan Arab. Salah satu contohnya adalah surat yang dikirim oleh Sultan Sulaiman Tahmidullah II bin Sultan Muhammad Aminullah kepada Gubernur Jenderal Inggris Willem Arnold Alting, 9 Dzulhijjah 1210 H (15 Juni 1796 M).

            Saat Belanda menjajah beberapa wilayah Nusantara, pemerintah Hindia Belanda sangat menghormati Sultan Banjarmasin dengan segala kebesaran Kesultanan Islam yang menggunakan bahasa Arab, huruf Arab, bahasa Melayu-Banjar dan penanggalan Hijriah sebagai identitas formal. Hal demikian sebagai bukti bahwa Islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bernegara, bermasyarakat dan dalam pergaulan sehari-hari. (Yusliani Noor, Islamisasi Banjarmasin, hlm. 409-410)     

Membangun Jaringan Banjar-Mekah

            Rukun Islam yang kelima adalah menunaikan ibadah haji. Seorang muslim yang taat dan mempunyai kemampuan akan berusaha untuk menunaikannya. Bagi masyarakat Muslim Banjarmasin, menjadi “haji” merupakan obsesi mereka. Sejak Islamisasi Banjarmasin berlangsung, telah ada orang-orang Muslim Banjar yang pergi menunaikah haji ke Mekah. Di antara mereka adalah Haji Batu atau Syekh Abdul Malik yang menunaikan ibadah haji dari Banjamasin pada abad 16. Pada abad 17, Datu Kandang Haji dari Paringin dan Datu Ujung dari Banua Lawas-Rantau telah menunaikan haji. Abad 18, terkenal Datu Sanggul telah pulang pergi ke Mekah, Haji Matahir yang dikenal Haji Muhammad Taher dari Negara yang menunaikan ibadah haji bersama rombongan yang banyak; disusul oleh Datu Kalampayan-Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Datu Nafis-Syekh Muhammad Nafis dari Kelua, serta Datu Abulung-Syekh Abdul Hamid Abulung-Martapura.

            Para Datu yang merupakan ulama Banjarmasin berperan dalam Islamisasi Banjarmasin dari abad 16 hingga awal abad 19 tersebut tidak hanya menunaikan ibadah haji. Setelah menyelesaikan manasik, mereka tidak langsung pulang ke kampung halaman. Mereka melanjutkan aktivitas mereka dengan menuntut ilmu di Mekah dan Madinah. (Islamisasi Banjarmasin, hlm. 420)   Dari sini, terciptalah jaringan ilmiah Banjar-Mekah.

            Barangkali nama yang paling terkenal dalam jaringan itu adalah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Ia diberangkatkan oleh Sultan Tahlilullah ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu atas biaya dari kesultanan. Muhammad Arsyad tinggal di istana dan dibesarkan sebagai putra angkat Sultan Tahlilullah sejak ia berusia tujuh tahun. Selama 30 tahun di Mekah dan 5 tahun di Madinah, ia mempelajari banyak ilmu. Ia bahkan dipromosikan sebagai guru besar mazhab Syafi‘i oleh salah seorang gurunya yang terkenal, Syekh Atha‘illah ibn Ahmad Al-Mishri Al-Azhari.

            Pada 1772, Muhammad Arsyad bersama ketiga sahabatnya: Abdush Shamad Al-Palembani, Abdul Wahhab Bugis, dan Abdurrahman Misri, kembali ke tanah air. Sesampainya ke Kalimantan, Muhammad Arsyad disambut oleh Sultan Tamjidullah. Ia kemudian bergelar Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Ia hidup dalam masa pemerintahan tiga sultan, yaitu Sultan Tamjidullah, Sultan Tahmidullah (memerintah 1778-1808), dan Sultan Sulaiman.

            Kehadiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari ini membawa sinar yang lebih terang dalam syiar Islam di Kalimantan. Di kampung halamannya, ia menjalankan peran keulamaan dalam bidang pendidikan dan dakwah. Sebagai contoh, ia membetulkan kiblat masjid, melakukan pemurnian akidah karena masyarakat Muslim setempat masih dipengaruhi kepercayaan dan praktek-praktek pra-Islam, seperti upacara “menyanggar” dan “membuang pesilih” yang bertujuan menyembuhkan penyakit, menghilangkan sial dan mengabulkan permohonan melalui dukun yang berkomunikasi dengan roh.

            Selain itu, Syekh Muhammad Arsyad juga berupaya memerangi paham wahdatul wujud yang dipandangnya sebagai bid‘ah sesat. Sebaliknya, ia berusaha mengembangkan paham Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ia juga aktif menulis sejumlah buku, seperti Ushûlud Dîn dan Tuhfah Ar-Râghibîn dalam bidang akidah; Sabîl Al-Muhtadîn dan Hâsyiah Fath Al-Jawwâd dalam bidang fikih; serta Kanzul Ma‘rifah dan Al-Qaul Al-Mukhtâr dalam bidang tazkiyatun nafs. (Khairil Anwar, “‘Ulamâ’ Indûnîsiyyâ Al-Qarn Ats-Tsâmin ‘Asyar” dalam Studia Islamika, vol. 3 no. 4 th 1996, hlm. 139-140)

            Pada pemerintahan Sultan Tahmidullah, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari diangkat sebagai Mufti Besar Kesultanan Banjarmasin untuk mendampingi sultan dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Untuk mendidik dan membina masyarakat Islam, ia mendirikan pondok pesantren yang menampung para santri yang datang menuntut ilmu dari berbagai pelosok Kalimantan. Dari sini lahirlah ulama-ulama yang akan melanjutkan syiar dan dakwah Islam di Kalimantan. Di antara mereka adalah Syekh Syihabuddin, Syekh Abu Zu‘ud (keduanya putra Muhammad Arsyad Al-Banjari), dan Syekh Muhammad As‘ad (cucu Muhammad Arsyad). Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari adalah orang pertama yang menyusun organisasi Mahkamah Syariah dan qadhi pengadilan seluruh kesultanan. (Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid I, hlm. 229). Wallâhu a‘lam.       

(Ust. M. Isa Anshari)

Nabi Muhammad Keturunan Jawa?

Mungkin judul di atas terlalu aneh. Tapi begitulah, ternyata ramai tulisan di blog, web dan jejaring sosial membahas tentang ini.

Salah satu lini masa dari akun @SufiKota milik seorang penulis Chandra Malik memaparkan pandangan Cak Nun tentang garis keturunan Nabi Muhammad, yang mengarah pada dugaan bahwa Nabi Muhammad bukan berasal dari Arab asli, melainkan ada darah Jawanya. Di antara saduran dari tulisan tersebut adalah kalimat, “Muhammad SAW layak diduga sebagai seorang Arab-Jawa. Bukan Arab tulen.”

Ciri fisik Nabi Shallallahu alaihiwasallam

Entah ini hanya lucu-lucuan saja atau mencari sensasi, meskipun terlalu sembrono menjadikan Nabi Muhammad shallallahu sebagai bahan lelucon atau mencari sensasi. Memang belum sampai pada kesimpulan bahwa Nabi Muhammad adalah keturunan Arab Jawa dan statemen hanya mencapai ‘layak diduga seorang Arab-Jawa’, namun analisa-analisa yang dikemukakan cukup membahayakan fikrah dan keyakinan. Terlebih pada beberapa bagian sangat rawan dengan unsur buruk sangka terhadap Nabi dan sebagiannya ada unsur-unsur penodaan diri beliau.
Di antara yang dijadikan bahan analisa adalah seperti yang tertulis, “Muhammad SAW menolak digambar wajahnya demi menghindari kontroversi pada masa setelah ia wafat. Kontroversi itu terutama mengenai ciri fisik Muhammad SAW yang layak diduga tidak persis Arab tulen.”

Ungkapan ini mengandung sangkaan buruk terhadap beliau. Seakan beliau menyembunyikan nasab beliau yang asli atau ingin menyembunyikan jati dirinya yang diduga bukan keturunan Arab tulen. Untuk tujuan itu lalu Nabi menutupi dengan cara melarang umatnya menggambar fisik beliau.

Faktanya, meskipun ada larangan menggambar wajah dan fisik beliau tapi tak ada larangan untuk menggambarkan dengan kata-kata. Imam at-Tirmidzi bahkan mengumpulkan secara khusus hadits-hadits tentang karakter Nabi secara khalqiyah (fisik) maupun secara khuluqiyah secara detil. Yakni dalam kitabnya Syama’il Muhammadiyah, intinya bahwa secara fisik beliau adalah sebagus-bagus fisik orang Arab.

Nasab Nabi Shallallahi alaihiwasallam MemangArab Asli

Adapun tentang nasab beliau, alhamdulillah, telah beliau jelaskan sendiri asal usulnya, sehingga tidak perlu mengada-ada atau memaksakan diri. Jelas disebutkan dalam hadits yang shahih, bahwa beliau berasal dar Arab tulen. Sebagaimana sabda beliau shallallahu alaihi wasallam,

إنَّ اللهَ اصطفَى كِنانةَ من ولدِ إسماعيلَ . واصطفَى قريشًا من كنانةَ . واصطفَى من قريشٍ بني هاشمَ . واصطفاني من بني هاشمَ

“Allah telah memilih Kinanah dari keturunan Isma’il, dan memilih Quraisy dari keturunan Kinanah, dan memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy, dan memilih aku dari keturunan Bani Hasyim” (HR. Muslim 2276)

Jika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam diklaim sebagai Arab keturunan Jawa, kenapa tidak sekalian seluruh orang Arab atau seluruh orang Quraisy diklaim sebagai keturunan Jawa, termasuk di dalamnya Abu Jahal.
Alasan yang sangat tidak ilmiah juga dikemukakan dalam tulisan itu, “Mn Kamba mengkonfirmasi bahwa tidak ada nama Siti di masyarakat Arab tulen. Siti bukan Bahasa Arab. Muhammad SAW berasal dari garis silsilah Ibrahim AS dari Siti Hajar. Hajar juga bukan Bahasa Arab. Siti Hajar layak diduga bukan araab tulen, melainkan imigran. “Kalau bukan dari Klaten, ya dari Solo.

” Siti Hajar didatangkan untuk diperistri dan penghibur atas hati Ibrahim yg gundah. Bukan Arab tulen. Siti dan Hajar adalah Bahasa Jawa. Siti = tanah = bumi. Hajar = ajar = mengajar. Tulen Jawa.”

Ini argumen yang menggelikan. Karena tidak ada satupun dalil dan nash yang menyebut kata “Siti”. Tambahan itu hanya dikenal oleh masyarakat Jawa, yang menambahi orang Jawa, lantas kenapa kemudian ibu beliau Aminah dan Hajar diklaim sebagai keturuan Jawa. Tafsiran yang lebih dekat adalah, kata “siti” berasal dari kata “sayyidah” (puan, yang dimuliakan), yang kemudian diucapkan oleh lidah Jawa dengan sebutan Siti.

Perilaku dan Kebiasaan Nabi

Lebih lanjut tulisan itu menggiring opini pembaca dengan kalimat, “Muhammad SAW suka bertapa [khalwat]. Bangsa Arab tulen tak punya tradisi ini. Bertapa itu khas Jawa.”

Padahal, cara semedi atau bertapanya orang Jawa itu mengadopsi dari tradisi Hindu di India, atau setidaknya lebih mirip dengan perilaku penganut Hindu di India, kenapa orang-orang India tidak diklaim sekalian sebagai keturunan Jawa. Adapun tahannuts (mengasingkan diri dari orang banyak) yang dilakukan oleh Nabi adalah hal yang dilakukan oleh kaum-kaum terdahulu non Jawa, seperti banyak disebutan kisah-kisah tentang kaum Bani Israel. Kisah Ashhabul Ukhdud yang mengasingkan diri dari kaumnya juga menjadi salah satu contoh.

Pada paragraf yang lain disebutkan juga,

“Tutur kata Muhammad SAW lemah-lembut. Mana ada orang Arab [tulen] yang begitu, terutama pada masa itu? Tutur kata lemah-lembut ini khas Jawa, berbeda jauh dari style Arab yang suka bicara kasar dan meledak-ledak. Gesture dan tutur kata Muhammad SAW ini menjadi magnet sehingga kehadirannya menyedot perhatian Arab-Arab tulen.”

Baca Juga: Nur Muhammad, Makhluk Pertama?

Ini adalah analisa orang yang Arab phobia dan terlalu membanggakan kejawennya. Padahal faktanya, saat di mana Nabi diutus, di sana banyak para penyair, sastrawan dan ahli bahasa. Kelembutan tutur kata juga telah menjadi nilai plus di kalangan orang Arab. Dan sayangnya, sisi ketegasan Nabi tidak ditampakkan dalam tulisan itu, karakter yang lebih dekat dimiliki kebanyakan orang-orang Arab dibanding orang-orang Jawa.

Walhasil, untuk memuliakan kaum, tak perlu menyeret paksa nasab Nabi supaya pantas menjadi keturunan Jawa, sehingga Pulau Jawa terangkat namanya. Cukup dengan mengusahakan takwa untuk mewujudkannya. Karena tak ada bedanya antara kemuliaan orang Arab maupun non Arab, yang menentukan kemuliaan antara satu dengan yang lain adalah tingkatan takwanya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى

“Ketahuilah, tak ada keutamaan orang Arab di atas non Arab, atau orang non Arab di atas orang Arab, yang berkulit merah di atas orang yang berkulit hitam, yang berkulit hitam di atas orang yang berkulit merah, melainkan dengan takwa. “ (HR Ahmad dengan sanad yang shahih)

Wallahu a’lam bishawab.

 

Oleh: Abu Umar Abdillah