Transaksi Ribawi Yang Sering Dianggap Bukan Riba

Riba itu haram, semua sepakat. Riba itu buruk dan dosa besar yang ancamannya adalah dimusuhi Allah, sudah banyak yang tahu. Lantas mengapa masih banyak yang melakukan transaksi ribawi?

Faktor paling mendasar adalah perbedaan pemahaman mengenai bentuk-bentuk transaksi ribawi. Ada bentuk-bentuk riba yang dianggap oleh sebagian orang bukan sebagai riba. Jika begini, jangankan berhenti dari riba, menyadari bahwa yang dilakukan riba saja tidak.

Riba secara umum digolongkan menjadi riba duyun dan riba buyu’. Riba duyun (hutang) adalah riba dalam transaksi hutang dan riba buyu’ (jual beli) adalah riba dalam transaksi jual beli. Adapun riba buyu’ dibagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba fadhl adalah riba yang disebabkan adanya penambahan kuantitas sedangkan riba nasi’ah adalah riba yang disebabkan adanya penambahan tempo, dalam transaksi amwal ribawiyah.

Teori tentang riba cukup panjang jika dijelaskan. Pembahasan akan lebih efektif jika langsung to the point pada praktek-praktek riba yang banyak dilakukan namun dianggap bukan riba.

 

Bunga Bank

Hampir semua lembaga fatwa telah memfatwakan bahwa bunga bank haram. Misalnya, Lembaga Riset Islam Al-Azhar di Kairo memfatwakan haramnya bunag bank sejak tahun 1965, Lembaga Fiqh Islam OKI di Jeddah sejak tahun 1985, Lembaga Fiqh Islam Rabithah ‘Alam Islami di Makkah sejak tahun 1406 H, Muktamar Bank Islam Kedua di Kuwait tahun 1983.

MUI (Majelis Ulama Indonesia) juga telah memafatwakan haramnya bunga bank sejak 2003. Sementara Majelis Tarjih Muhammadiyah pada Munas ke-27 di Malang juga menetapkan haramnya bunga bank. Adapun NU dalam Keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Lampung, 1992 masih merincikan hukum bunga bank dan tidak menyatakan haram secara mutlak. Untuk bunga bank pada kepentingan konsumtif hukumnya haram sementara bunga produktif tidak haram.

Jadi, menurut hampir semua fatwa, bunga bank adalah haram. Abaikan saja pendapat-pendapat kaum lberal yang menyatakan bahwa bunga bank halal karena tidak ada unsur eksploitasi. Riba haram bukan karena eksploitasi, berlipat ganda, atau mencekik. Itu bukan illat atau alasan pengharaman riba. Asalkan sudah terpenuhi syarat akad ribawi, maka riba tetaplah riba meski sedikit dan kedua pihak saling ridho.

Adapun bagi warga NU atau anda yang ingin melandaskan pendapatnya pada hasil Munas NU tersebut, silakan pelajari rincian dalam keputusan tersebut. Pasalnya, hasil Munas NU tahun 1992 tersebut memiliki rincian antara bunga bank yang haram dan yang tidak. Rincian ini tidak boleh diabaikan lalu mengambil kesimpulan bahwa bunga bank boleh secara mutlak.

 

Simpan Pinjam Koperasi

Koperasi biasanya menerapkan bunga yang lebih ringan dari bank. Hasil koperasi memang bukan hanya dari simpan pinjam, namun bagaimanapun, sistem simpan pinjam koperasi juga menerapkan bunga. Meskipun kecil dan merupakan pemberdayaan ekonomi rakyat, namun tetap saja bunga yang ditetapkan pada simpan pinjam adalah riba.

Pada Credit Union (UC) bunganya biasanya malah jauh lebih besar. Misalnya pada perkumpulan RT yang mengumpulkan dana dari semua anggota lalu digunakan untuk transaksi simpan pinjam khusus antar anggota. Pinjaman sebesar 1.000.000 rupiah selama 10 bulan akan dikenai 10 % dari cicilan = 10 % x 100.000 = 10.000. Ada juga yang langsung memotong uang pinjaman. Misalnya seorang anggota pinjam 1 juta, maka dia hanya menerima 900 ribu tapi harus mengembalikan 1 juta. 

Meskipun dinamai dengan biaya administrasi, 10% tersebut adalah bunga dari pinjaman. Jika yang dimaksud biaya operasional untuk administrasi, pinjaman 1 juta dengan 1,5 juta semestinya tidak berbeda. Kenyataannya, biayanya jadi beda karena menggunakan prosentase dari pinjaman.

Ada yang beralasan, bunga semacam ini bukan riba karena pada akhirnya, laba pinjaman akan dibagi ke semua anggota.

Perlu diketahui bahwa riba duyun adalah segala bentuk kelebihan dalam pinjaman. Rasulullah bersabda,

 

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ الرِّبَا

“Setiap hutang yang menarik kemanfa’atan adalah perbuatan riba.”

Kepada siapapun keuntungan diberikan, jika ada kelebihan dalam pengembalian pinjaman, statusnya adalah riba. Sama saja apakah dibagi ke sesama anggota atau bukan. Alasan bahwa bunga itu hanya untuk menyejahterakan anggota, tidak bisa diterima. Bagaimanapun, anggota yang kaya tetap akan mendapat keuntungan karena tabungannya bisa selalu bertambah, sementara dia akan sangat jarang melakukan peminjaman. Sebaliknya, orang yang miskin akan lebih sering melakukan peminjaman tapi tabungan konstan.

 

Kredit Emas

Yaitu membeli emas dengan pembayaran berangsur. Menurut jumhur ulama, emas, apapun bentuknya adalah amwal ribawiyah (barang ribawi) yang ketika hendak dijualbelikan harus dilakukan dengan cara kontan. Jika ditukar dengan sesama jenis, gelang emas dengan kalung emas misalnya, beratnya haruslah sama.

Dalam persoalan ini memang ada ikhtilaf. Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyim menyatakan, jika emas dalam bentuk perhiasan, hukumnya tidak lagi menjadi amwal ribawiyah, hanya komoditas biasa yang boleh dikreditkan atau ditukar dengan sesuatu yang beratnya berbeda. Lain halnya jika bentuknya uang.

Namun jumhur ulama menyatakan bahwa emas apapun bentuknya adalah amwal ribawi. Di dalam hadits tentang amwal ribawi, Rasulullah menyebut “dzahab” (emas) dan “Fidhdhoh”(perak), ini unsur bukan mata uang (dinar dan dirham).

Jadi, mengacu pada pendapat jumhur ulama, emas tidak boleh dikreditkan. Pembelian emas dengan cara kredit termasuk riba. Bahkan Dewan Fatwa Saudi Arabia pada fatwa no. 3211 menyatakan bahwa emas tidak boleh dijualbelikan secara online, dimana pembeli membayar dengan transfer, lalu barang baru sampai ke tangannya 3 hari kemudian. Alasannya, pembelian emas benar-benar harus kontan tangan di atas tangan. Uang dan barang diseahkan dalam tempo bersamaan.

 

Akad Pembiayaan yang Mengandung Ribawiyah

Akad ini disebut juga al murabahah lil amir bisy syira’.  Yaitu seseorang mengatakan kepada pemilik dana (perorangan maupun lembaga) untuk membelikan suatu barang secara cash, lalu dia akan membeli barang tersebut secara kredit. Pada dasarnya, akad semacam ini dibolehkan. Namun realitanya, ketidak hati-hatian dalam mempraktikan akad ini menjadikan akad yang seharusnya jual beli menjadi hutang berbunga.

Bentuk praktik pertama: Pembeli datang ke lembaga keuangan (LK), menyatakan ingin beli mobil kijang seharga 100 juta. Lalu pihak LK menyetujui dan menyatakan langsung menjual mobil tersebut secara kredit dengan harga 110 juta selama 1 tahun kepada pembeli. Setelah itu, pihak bank menyerahkan uang sebesar 100 juta kepada pembeli untuk membeli mobil kijang dimaksud.

Ini jelas bukan akad murabahah tapi peminjaman uang dengan bunga. Dalam hal ini tidak ada transaksi pembelian sama sekali, yang ada, pembeli mendapat uang 100 juta, dan harus mengembalikan 110 juta selama 1 tahun. Ini jelas akad riba. Bisa jadi pula pembeli tidak membelanjakan uang tersebut untuk membeli barang dimaksud.

Kedua: sama dengan di atas, tapi pihak lemabaga keuangan langsung menelpon dealer dan mentransfer uang seharga mobil ke dealer. Pembeli diminta ke dealer mengambil barang tersebut. Akad ini juga cacat karena pihak lembaga keuangan belum memiliki mobil tersebut secara penuh. Tidak tahu kondisinya dan resiko masih ada di tangan dealer. Akad ini mirip akad dropship barang di internet.

Masih ada beberapa masalah penting terkait akad pembiayaan ini yang harus diwaspadai. Menyepelekannya hanya akan menjerumuskan kita pada akad riba.

 

Diskon GoPay dan Sejenisnya

GoPay adalah dompet virtual pada layanan Gojek (ojek online). Pengguna layanan melakukan top up atau deposit uang dan akan mendapatkan saldo GoPay yang kemudian dapat digunakan untuk membayar berbagai layanan pada aplikasi Gojek. Keuntungan membayar layanan dengan GoPay adalah pengguna akan mendapatkan potongan harga. Go Ride (jasa ojek) misalnya, jika dibayar dengan cash Rp 18.000 tapi dengan GoPay menjadi Rp 16.000.

Depositn uang yang dibayarkan pengguna pada GoPay adalah pinjaman. Alasannya, dalam FAQ (Frequntly Asking Question) pada pembayaran GoPay dijelaskan bahwa, uang yang dibayar pengguna kepada GoPay dapat dimanfaatkan oleh GoPay untuk semua keperluan. Ini merupakan poin dalam akad hutang, dimana yang orang yang berhutang boleh memanfaatkan uang hutang untuk keperluannya. Adapun uang titipan tidak boleh digunakan oleh rang yang dititipi. Kedua, GoPay akan mengembalikan uang tersebut dalam bentuk layanan dan bisa pula ditransfer ke sesama pengguna atau ditarik kembali dalam bentuk cash via transfer bank. Ini juga merupakan poin dari akad pinjaman.

Padahal seperti dijelaskan di atas, pinjaman tidak boleh menarik suatu manfaat tambahan baik berupa nominal atau jasa. Jadi, jika anda adalah pengguna layanan Gojek dengan GoPaynya, atau Grab dengan GrabPaynya, lakukanlah pembayaran jasa secara cash. Memang sedikit lebih mahal tapi jelas bebas dari riba.

Demikianlah. Persoalan bentuk riba ini memang masuk ranah fikih. Akan ada banyak ikhtilaf dan diskusi lebih dalam. Namun begitu, sikap hati-hati sangatlah bermanfaat bagi kita mengingat ancaman riba yang luar biasa mengerikan. Hendaknya kita tidak bosan mempelajari dan mewaspadai akad-akad yang kita lakukan agar terhindar dari riba. Wallahulmusta’an.

 

Oleh: Ust. Taufikanwar, Lc

 

Baca Juga:

Allah Tak Akan Lupa Perbuatan Zhalim Hamba-Nya

Imam asy-Syafi’i berkata, “Ada satu ayat dalam al-Qur’an, ia layaknya panah yang menembus jantung orang yang zhalim, sekaligus  penawar hati orang yang dizhalimi,” Beliau ditanya, ayat manakah itu? Beliau menjawab,

“Dan tidaklah Rabbmu lupa.” (QS. Maryam: 64)

Bahwa Allah tidak melupakan kazhaliman yang mereka perbuat. Maknanya, orang yang zhalim berada dalam ancaman besar. Bisa jadi pada saat orang yang menzhalimi tertidur pulas, ia melupakan perbuatan zhalimnya kepada orang lain. Atau bahkan ia merasa puas telah memenangkan suatu perkara di mata manusia, sedang korban yang dizhalimi mengadu kepada Allah di sepertiga malam terakhir, “Ya Allah si Fulan telah berbuat aniaya kepada saya …”, maka ketika itu doa orang yang terzhalimi laksana peluru yang melesat dari langit mengarah kepada orang yang berbuat zhalim. Karena itulah Nabi memberikan peringatan agar kita mewaspadai doa orang yang dizhalimi,

اتَّقِ دَعْوَةَ المَظْلُومِ، فَإِنَّهَا لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

“Takutlah kamu terhadap doanya orang yang zhalim, karena tidak ada penghalang antara ia dengan Allah.” (HR  Bukhari)

Di dunia, pelaku laksana buruan yang terus diincar, sedangkan si korban akan lega karena luka kan terbalaskan. Jikalau ia tidak mendapatkan keadilan dari manusia, maka ia bisa mengadu kepada Dzat Yang Maha adil untuk mendapatkan keadilan.

Imam adz-Dzahabi menyebutkan dalam Siyaru A’lam an-Nubala’ kisah Yahya bin Khalid Al-Barmaky (190 H). Anak-anaknya pernah bertanya kepadanya tatkala semua ditahan di penjara kota Raqah, “Wahai ayah, mengapa setelah kehormatan, kekayaan dan kebahagiaan, kini keadaan kita berakhir menjadi susah seperti ini?” Dia menjawab, “Wahai anakku, ada doa orang yang terdzalimi, kita lalai padahal Allah tidak pernah melalaikannya.”

 Maka jangan pernah meremahkan doa orang yang terzhalimi, dan jangan pula memancing mereka dengan perlakuan zhalim.

Baca Juga: Keadilan, Barang Langka Yang Sulit Ditemukan

Adapun di akhirat, kezhaliman benar-benar menjadi kerugian bagi pelakunya, dan sebaliknya menjadi keberuntungan bagi si korban.  Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Tahukah kamu siapa orang yang bangkrut itu?“ Mereka (sahabat) berkata: “Ya Rasulullah, orang yang bangkrut menurut kami ialah orang yang tidak punya kesenangan dan uang.” (kemudian) Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku ialah orang yang datang (pada hari kiamat) membawa pahala sholat, zakat, puasa dan haji. Sedang (ia) pun datang (dengan membawa dosa) karena memaki-maki orang, memukul orang, dan mengambil harta benda orang (hak–hak orang), maka kebaikan-kebaikan orang (yang menzalimi) itu diambil untuk diberikan kepada orang-orang yang terzalimi. Maka tatkala kebaikan orang (yang menzalimi) itu habis, sedang hutang (kezalimannya) belum terbayarkan, maka diambilkan kajahatan-kejahatan dari mereka (yang terzalimi) untuk di berikan kepadanya (yang menzalimi), kemudian ia (yang menzalimi) dilemparkan kedalam neraka.” (HR. Muslim)

Maka perhatikanlah bagaimana korban kezhaliman tiba-tiba mendapatkan ‘transferan’ kebaikan dari orang yang menzhalimi di momen yang sangat berarti ketika itu. Atau tiba-tiba dosa-dosanya diambil untuk dipindahkan kepada orang yang telah menzhalimi.  Maka jelaslah pada akhirnya, siapa yang merugi dan siapa pula yang beruntung. Allah Ta’ala berfirman,

“Kalian akan tahu siapa yang akan mendapat tempat terbaik di akhirat dan sesungguhnya orang-orang zalim itu tidak akan beruntung.” (QS. al-An’am: 135)

 Sebelum dan sesudah hisab pun, orang yang hobi berbuat zhalim akan mengalami kegelapan dalam menjalani proses kehidupan setelah kematian; sejak di alam barzakh hingga dia lalui episode demi episode perjalanan akhirat. Karena zhalim adalah zhulumaat (kegelapan) pada hari Kiamat.

Seandainya tak ada dampak lain dari kezhaliman selain yang disebutkan ini, sudah cukup membuat gelisah dan sudah sangat mengerikan, padahal masih banyak lagi dampak dan hukuman lain yang mengancam pelaku kezhaliman.

Apa saja yang masuk dalam kategoru zhalim sehingga terancam dengan berbagai kerugian? Secara bahasa, zhalim adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Jika berhubungan dengan hak Allah, maka kesyrikian adalah kezhaliman yang paling besar, karena pelakunya telah memposisikan Allah tidak sebagaimana mestinya.

Adapun makna zhalim terhadap orang lain yang dimaksud dalam istilah syar’i adalah merampas hak orang lain dan melampaui batasan syariat. Termasuk di dalamnya menyakiti, menganiaya atau menimpakan kemadharatan tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat. Kalimat zhalim bisa juga digunakan untuk melambangkan sifat kejam, bengis, tidak berperikemanusiaan, suka melihat orang dalam penderitaan dan kesengsaraan, melakukan kemungkaran, penganiayaan, merampas harta, berlaku tidak adil dan banyak lagi pengertian yang dapat diambil dari sifat zalim tersebut.

Baca Juga: Gila Hormat, Hina Didapat

Boleh jadi kita pernah melakukan kezhaliman baik yang kecil maupun yang besar. Dan berjalannya waktu terhapuslah kezhaliman kita dalam memori, terlupakan pula kejahatan kita dari ingatan padahal kita belum sempat menghadirkan penyesalan, pun belum juga memohon ampunan. Kadang kita hanya mengingat dosa-dosa yang kita anggap besar saja, akan tetapi Allah mengumpulkan seluruh dosa-dosa mereka, tidak ada sedikit dosapun yang luput atau  terluputkan.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Al-Alusi rahimahullah dalam Ruh al-Ma’aani menjelaskan sebab seseorang melupakan dosa-dosanya adalah karena kelalaiannya yang fatal, atau karena terlalu lama waktu yang telah lewat sehingga ia lupa, atau karena terlalu banyaknya dosa yang dilakukannya sehingga ia tidak mampu mengingatnya, atau terlalu parahnya sebagian dosa-dosa yang ia lakukan sehingga melupakan dosa-dosa yang dianggapnya remeh.

Semoga Allah menghindarkan kita dari berlaku zhalim atau dizhalimi, dan mengampuni kezhaliman yang kita lakukan; yang keci maupun yang besar, yang kita ingat maupun yang telah kita lupa, aamiin. (Abu Umar Abdillah/Tafsir Qalbi)

 

Tema Terkait: Tafsir al-Quran, Kezhaliman, Keadilan 

Keadilan, Barang Langka Yang Sulit Ditemukan

Keadilan merupakan poros keseimbangan dan harmoni, sekaligus barang langka yang sulit ditemukan dalam kehidupan. Tetap bisa ditemukan, namun begitu jarang. Bak menggali tanah Purukcahu (wilayah di Kalimantan) mencari intan, begitu sulit, tetapi sesekali didapatkan.

Keadilan adalah ‘barang dagangan’ universal yang semua pasar pasti menerima komoditas tersebut. Komoditas essensial yang pada saat kerusakan sistem global telah sampai pada stadium kritis di tubir jurang kehancuran, para akademisi yang obyektif dapat menilai bahwa hanya keadilan hakiki berdasar timbangan langit yang dapat menyelamatkannya. Akan tetapi kekuasaan yang terbelenggu hawa nafsu, berat untuk tunduk, dan menggunakan kekuasaan di tangannya untuk menghalangi penyelamatan itu.

Keadilan, Tantangan Intrinsik

Tantangan terbesar seseorang untuk bersikap adil berasal dari dirinya, baik ketika dalam keadaan lemah, tidak berkuasa dan menjadi ‘obyek hukum’, maupun tatkala kuat, berkuasa dan berposisi sebagai ‘subyek hukum’. Tantangan itu semakin berat ketika segala sesuatunya telah ter-sistem, tidak lagi refleksi sifat personal tetapi terkodifikasikan sebagai kesepakatan ‘community’, semua telah tertuang dalam kodifikasi hukum, diturunkan dalam regulasi, dijabarkan dalam standard operational procedure (SOP) yang establish.

Ketika rincian regulasi dan prosedur untuk merealisasikan keadilan itu dibuat untuk mengimplementasikan nilai-nilai transenden wahyu yang adil, penyusunnya menyandang sifat adil, mampu menyingkirkan pretensi dirinya dari mengambil keuntungan subyektif terhadap regulasi yang dibuat, implementasinya dijalankan oleh tangan-tangan yang bersih dari mengambil keuntungan diri dan atau koleganya dalam menjalankan sistem, maka peluang terjadinya peragaan keadilan di bumi terbuka. Tetapi jika sebaliknya, maka sebaliknya pula yang terjadi.

Keadilan, buah Maturitas

Sebab utama yang memancarkan sifat adil dari diri seorang anak Adam adalah pengenalannya yang sempurna kepada Penciptanya (ma’rifatullah). Dengan mengenal keagungan dan keadilan-Nya; kemudian dia membandingkan betapa tinggi dan agung Penciptanya dan betapa sebagian besar manusia menyandang sifat kelemahan dan kerendahan, kemudian dia mampu mengendalikan hawa nafsunya dari menariknya kepada kerendahan itu, dia berpeluang besar untuk meningkatkan derajat dirinya mendekati sifat adil. Kebanyakan manusia memilih memiliki dan membiarkan dirinya menyandang sifat-sifat picik, kekanak-kanakan, rakus, selalu ingin menang sendiri dan mendapatkan bagian terbanyak dalam pembagian. Jika mendapatkan bagian yang banyak dia rela, jika mendapatkan bagian adil dia tidak puas, dan jika mendapatkan bagian sedikit dia marah.

Baca Juga: Khilafah & Syari’at Islam

Selama sifat-sifat kekanak-kanakan tersebut dominan pada manusia, sendiriannya maupun kolektif, maka diri manusia dan komunitas kolektifnya, jauh dari keadilan. Entitas yang unsur pembentuknya memiliki sifat-sifat itu, hanya layak dipimpin oleh salah seorang dari mereka yang terkuat, atau manusia yang dijadikan boneka oleh mereka yang kuat. Ketidakadilan (kedhaliman) itu dapat diterima dengan dipaksakan, dimana si kuat secara umum diterima mendapatkan bagian paling besar lantaran kekuatannya. Selanjutnya, bagian yang lebih banyak itu, dengan kekuasaan akan dilegitimasi menjadi hak.

Jika ada lebih dari satu penyandang kekuatan, maka konflik untuk mendapatkan bagian paling besar tadi sewaktu-waktu bisa pecah. Entitas seperti itu selalu membutuhkan obyek eksploitasi untuk direbut dan diambil bagiannya demi memuaskan sifat kekanak-kanakan (dalam hal ini sifat rakus) yang ‘menghiasi’ dirinya. Bangsa Tatar melakukan serangan militer dan penjarahan, menggulung Khilafah Abbasiyah di Baghdad, invasi berlanjut ke barat sampai Eropa, ke timur mencaplok China, didasari sifat dasar ini. Jenghis Khan, Hulagu Khan berhasil memenangkan pertarungan memperebutkan siapa yang terkuat dalam intern komunitasnya, selanjutnya mencari obyek eksploitasi keluar.

Ikatan berdasarkan suku, ras dan pengelompokan berdasarkan ikatan politik kepentingan merupakan lahan subur persemaian bibit ketidak-adilan. Agama, yang bersumber dari wahyu Allah pun bisa menjadi lahan tumbuhnya fanatisme dan ketidakadilan kepada selainnya. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Setidaknya ada dua jawaban ; agama langit itu telah mengalami interpretasi dari para pemuka agama yang menyimpang dari kemurniannya, atau tidak sanggupnya mereka yang ditokohkan dalam agama untuk menampilkan akhlaq dengan bercermin sifat adil Allah. Kegagalan yang pertama, penafsiran agama berdasar kepentingan, sering disebabkan karena ambisi kekuasaan dan harta. Adapun yang kedua disebabkan kegagalan menangkap pesan inti wahyu. Seringnya dua kegagalan itu tidak berdiri sendiri-sendiri, seringnya ada sekaligus.

Penegak Hukum tidak selalu Penegak Keadilan

Jika belitan ketidakadilan itu telah mensistem. Kedhaliman tidak lagi perilaku individu tetapi perilaku kolektif, bahkan individu yang memiliki sifat adil pun tidak dapat melepaskan diri dari belitannya. Individu yang berhiaskan sifat adil pada saat seperti itu, seolah menjadi manusia anakronistik (salah tempat, salah waktu), dia harus memilih untuk mereduksi sifat adilnya (sekedar mengurangi kedhaliman yang ada), atau berubah total menyesuaikan diri dengan lingkungan kedhaliman, atau dia terlempar dari pusaran jika dia idealis.

Baca Juga: Negara Gagal

Pada keadaan seperti itu Penegak Hukum tidak identik dengan Penegak Keadilan. Masyarakat Bani Israel suatu saat berada pada kultur mapan menolak kebenaran. Al-Qur’an mencatat, “Sesungguhnya orang-orang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar, dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka berilah kabar gembira mereka itu dengan adzab yang pedih”.[Ali ‘Imran:21].

Sahabat senior Abu ‘Ubaidah bin Jarrah menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bani Israel telah membunuh 43 nabi di pagi hari di satu waktu, kemudian bergeraklah 112 orang Ahli Ibadah mereka melakukan amar ma’ruf nahi munkar,maka seluruhnya mereka bunuh di sore hari pada hari itu”. [Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Tafsir Al-Qurthubi].

Pada situasi di atas, Penegak Hukum dalam sistem tiran rusak Bani Israel berperan sebagai pembunuh para utusan Allah dan orang-orang yang memerintahkan berbuat baik dan melarang dari yang munkar. Betapa miripnya situasi yang dihadapi oleh para penyeru kebenaran, mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan perlakuan kriminalisasi yang dilakukan oleh mereka yang menyandang atribut Penegak Hukum. Allohumma afrigh ‘alaa al-mu’miniin shabra. (Redaksi/Fikrah/Kajian)

 

Tema Terkait: Hukum, Pemerintah, Adil