Ada Waria Di Rumah Nabi SAW

Dari ‘Aisyah radliallohu ‘anha, ia berkata, “Seorang laki-laki (banci) masuk menemui isteri-isteri Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam, dan para sahabat menganggapnya sebagai Ghairu Ulil Irbah (orang-orang yang tidak punya nafsu kepada wanita). Suatu ketika Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam masuk menemui kami sementara laki-laki banci itu bersama isteri-isteri beliau seraya mensifati wanita dengan berkata; ‘Wanita itu jika menghadap ke depan maka ia menghadap dengan empat (lipatan), dan jika menghadap ke belakang maka ia menghadap dengan delapan (lipatan) ‘. Maka Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ketahuilah, aku melihat orang ini (banci) mengetahui apa yang ada pada wanita, maka jangan sekali-kali ia masuk menemui kalian.” Mereka pun akhirnya memakai hijab.”(HR Bukhari)

Waria bernama “Hit”

Abu Bakar bin Al Araby menyatakan bahwa waria yang biasa masuk ke rumah Nabi itu bernama “Hit”, sebagaimana disebutkan dalam al Qibas fi Syarhil Muwatho’. Beberapa pensyarah hadits menjelaskan bahwa lelaki banci yang biasa masuk ke rumah Nabi dan meminta makanan adalah seorang lelaki banci yang diduga masuk kategori “ghoiru ulil irbah”, lelaki yang tidak memiliki hasrat seksual terhadap wanita. Oleh karenanya, dia diijinkan masuk rumah beliau. Namun tatkala Nabi mendengar lelaki banci itu mensifati wanita dengan cara lelaki mensifati, Nabi melarangnya untuk masuk rumah.

Jika tidak dipahami dengan benar, hadits ini bisa disalahgunakan sebagai legitimasi kaum homo seksual dan transgender. Yaitu bahwa, waria sudah ada sejak jaman Nabi dan Nabi tidak pernah menyalahkan. Nabi melarang waria itu masuk rumah karena ucapannya yang tidak sopan. Lebih dari itu, fikih klasik memang membahas masalah banci dan manusia berkelamin ganda.

Khuntsa, mukhannats, ghairu ulil irbah

Memang benar bahwa banci dan manusia berkelamin ganda telah ada sejak jaman nabi. Fikih klasik tulisan para ulama mazhab juga telah membahas persoalan ini, namun homoseksual, banci dan kelamin ganda adalah tiga hal yang berbeda. ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan guna memahami hal ini.

Pertama, khuntsa, yaitu seseorang yang memiliki dua alat kelamin. Biasa diterjemahkan dengan hermaphrodit (untuk hewan) atau intersex (untuk manusia). Fikih Islam klasik mengakui khuntsa bahkan ada fikih khusus khuntsa.

Kedua, mukhanntas, biasa diartikan banci atau waria (wanita-pria). Mukhannats adalah lelaki yang memiliki kelamin lelaki, tapi berperilaku mirip perempuan. Dalam hal ini, mukhannats dibagi menjadi dua; pertama, mukhannats bil khilqah. Yaitu seorang lelaki yang memang sifat bawan lahirnya seperti perempuan; cara bicara, gesture tubuh dan semua tingkahnya. Orang sering mengatakan, jiwa perempuan yang terperangkap dalam tubuh lelaki. Identifikasi jiwa dan perilakunya tidak selaras dengan biological sexnya. Para ulama menyatakan, meskipun sifat in bawaan lahir, dia tetap harus berusaha menghilangkan sifat itu dan menjadi lelaki. (Faidhul Qadir V/260).

Mukhannats jenis ini dibagi menjadi dua; yang tetap memiliki syahwat terhadap wanita meski berperilaku seperti wanita dan yang tidak memiliki syahwat terhadap wanita. Jika dia memiliki syahwat terhadap perempuan, maka statusnya sebagaimana lelaki pada umumnya dan berlaku atasnya hukum lelaki. Namun jika tidak memiliki hasrat terhadap wanita, dia dibolehkan bergaul bersama wanita. Bahkan mazhab Hanbali menayamakan statusnya seperti mahram (al Mughni VII/426).mereka dimasukkan dalam kategori ghoiru ulil irbah (lelaki yang tak memiliki syahwat terhadap wanita).

Kedua, mukhannats yang dibuat-buat. Yaitu seorang lelaki normal yang sengaja menjadi banci. Meniru gaya bicara dan perilaku wanita. Jenis ini adalah mukhannats yang dilaknat sebagaimana dalam hadits larangan bagi lelaki meniru perilaku wanita.

Imam ath Thabari berkata, “Jika ada yang bertanya, “Dari sisi apa mukhannits dilaknat padahal semua itu adalah ciptaan Allah dan bukan usaha dari hamba sendiri? Bukankah semestinya celaan itu ditujukan kepada sesuatu yang bisa diusahakan, ada pilihan melakukan atau meninggalkan? Kalau begitu, berarti bisa juga orang dicela krena kulitnya, bau badan dan semua bagian organ tubuhnya?” Maka jawbanya, “Laknat Nabi itu ditujukan pada sesuatu selain yang tidak bisa diubah. Mukhannits dilaknat karena perilakunya yang kewanita-wanitan dan perilakunya yang mencoba menyerupai wanita, padahal Allah telah menciptakannya dengan wujud lelaki. Juga usahanya unutk mengubah bentuk yang Allah ciptkan untuknya menjadi wanita, padahal dia bisa berperilaku sebagai lelaki.  Demikian pula perilakunya yang dilarang berupa menyerupai wnaita dalam hiasan dan pakaian. Rasulullah saat melihat seorang waria tidak mencela “kewariaannya”, beliau pernah melihat waria memakai pewarna kuku pada kuku kaki dan tangannya, (tapi membiarkannya). Sampai ketiak beliau mendengarnya mensifati wanita dengan sesuatu yang beliau benci, padahal wanita saja dilarang mensifati seperti, apatah lagi lelaki, beliau menyuruh si waria keluar. Kalau saja celaan dan laknat itu ditujukan pada penciptaan asal seorang waria, tentu nabi akan akan langsung menyuruhnya keluar dari rumahnya begitu melihatnya. Tapi beliau tidak melakukan itu. Hal yang dicela adalah ketika dia melakukan sesutau yang diharamkan Allah.” (Syarh al Bukhari li Ibni Bathal IX/141).

Kesimpulannya, eksistensi waria memang diakui dalam islam. Jika meruapakn sifat bawaan, dianjurkan agar berusaha sekuat tenaga menghilangkannya karena bagaimanapun lelaki tidak boleh menyerupai wanita. Jika dia tidak memiliki syahwat terhadap perempuan, dia dihukumi seperti mahram bagi semua perempuan, tapi bukan berarti dia boleh melakukan hubungan dengan sesama lelaki karena hal itu tetap haram, sebagaimana penjelasan Imam ath Thbari di atas. Jika dia memiliki syahwat terhadap perempuan, maka hukumnya sama seperti lelaki pada umumnya. Adpaun jika dia hanya meniru-niru gaya wanita dan sengaja menjadi banci, itu adalah perbuatan terlaknat dan pelakunya harus bertaubat. Wallahua’lam. (taufikanwar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *