Meneladani Integritas Hudzaifah bin Yaman

Menjaga hati dan iman agar tetap dalam performa yang maksimal, ternyata tidak mudah. Apa lagi dalam kondisi yang tidak disukai. Karena pengakuan iman, menghajatkan sebuah pembuktian. Ujian keimanan tersebut akan berbeda bagi tiap orang. Namun apa yang dialami oleh Hudzaifah bin Yaman termasuk ujian kelas berat.

Alkisah, salah satu perang yang cukup berat bagi kaum muslimin adalah perang uhud. Awalnya pasukan Islam mendominasi pertempuran. Namun, pasukan kafir Quraisy yang dipimpin oleh Khalid bin Walid melacarkan serangan balik dan berhasil mengacaukan pihak pasukan muslim.

Pertempuran lalu berubah menjadi perang tanding satu lawan satu. Musuh dan kawan bercampur dalam satu medan. Hentakan tapak kaki menerbangkan debu-debu yang menggangu pandangan. Suara teriakan dan jeritan mengiringi korban yang jatuh tersungkur atau tewas. Situasi sangat chaos. Mana kawan, mana lawan tak bisa dibedakan.

Saat itulah, Husail bin Jabir Al-Yaman, masuk ke dalam medan pertempuran. Ia dicegat oleh sekelompok prajurit muslim. Mereka berduel sengit. Kedua belah pihak tidak sadar sedang melawan saudara sendiri. Ayahanda Hudazifah tersebut tak mampu menandingi ketangkasan lawan duelnya. Kebetulan Hudzaifah melihat adu senjata yang tak imbang tersebut. Ia pun langsung mengenali ayahnya sedang berkelahi dengan sesama pasukan Islam. Ia berteriak untuk menghentikan, “Ayahku. Ayahku. Itu ayahku.”

Namun, belum sampai teriakannya mereka dengar, tebasan pedang menyayat tubuh renta Husail bin Jabir. Takdir Allah telah terjadi.  Ia tersungkur, meregang nyawa lalu meninggal. Prajurit yang melumpuhkan shahabat yang pernah ikut Baiat Aqabah itu pun tak kalah kaget. Mereka tidak bermaksud mencelakai saudara sendiri.

Hudzaifah tidak membayangkan bahwa ayahnya harus meninggal seperti itu. Tewas oleh pedang kaum muslimin. Secara naluri, tentu muncul dorongan untuk membalas dendam atau meminta qishas. Andai Hudzaifah bukan shahabat yang teguh imannya, tentu peristiwa itu akan mengubah keyakinannya terhadap Islam.

Namun, Hudzaifah sadar mereka tidak bermaksud melukainya. Kejadian itu murni karena kesalahpahaman. Hudzaifah memaafkan mereka dan memohonkan ampunan Allah. “Semoga Allah mengampuni kalian. Allah maha pengasih.” Kata beliau.

Ketika peperangan usai, Rasulullah menerima kabar tersebut. Sesuai hukum Islam, Hudzaifah berhak menerima diyat atau ganti rugi kematian ayahnya. Shahabat yang memiliki 6 saudara tersebut memang menerimanya, tapi bukan untuk dimiliki. Beliau menyedekahnnya untuk kepentingan kaum muslimin. Sikap inilah yang membuat Rasulullah bersimpati dan percaya kepadanya.

Hudzaifah bin Yaman memiliki sifat integritas yang kuat. Sahabat yang menjabat sebagai gubernur Baghdad pada era Umar bin Khattab sangat menjaga amanah yang diberikan kepadanya. Karena itu, Rasulullah mempercayakan daftar nama orang munafik itu kepadanya. Sang Nabi menegaskan bahwa rahasia itu tidak boleh bocor kepada siapa pun. Tujuannya agar Hudzaifah dapat leluasa memonitor gerak-gerik kelompok munafik. Sehingga kaum muslimin dapat terhindar dari makar mereka. Karena sifat inilah, Hudzaifah bin Yaman dipanggil oleh para shahabat dengan Shahibu Sirri Rasulullah (Pemegang Rahasia Rasulullah).

Keteguhan inilah yang membuat Umar bin Khattab sering mendesaknya dengan pertanyaan. “Apakah aku termasuk orang munafik.” Hudzaifah hanya diam, tak mau memberi jawaban meski hanya dengan isyarat. Umar bin Khattab tetap terus mencecarnya. Sebab beliau cemas jika namanya termasuk daftar hitam tersebut. Hingga suatu saat Hudzaifah menjawab, “Tidak. Dan aku tidak akan menyebutkan nama lain setelah ini.”

Kepercayaan Nabi kepada Hudzaifah terbukti dengan beliau mengamanatkan misi khusus hanya kepadanya. Pada suatu peristiwa dalam perang khandaq, Rasululullah bersama para shahabatnya berjaga di garis depan. Malam diselimuti kegelapan yang pekat. Angin bertiup sangat kencang. Desiran angin menimbulkan suara bising yang memekakkan. Orang-orang lemah iman dan kaum munafiqin minta izin pulang kepada Rasulullah. Mereka berkilah bahwa rumah mereka tidak terkunci. Padahal, sebenarnya rumah mereka terkunci. Shahabat yang bertahan hanya tinggal 300 orang. Rasulullah berkeliling memeriksa satu per satu guna mencari Hudzaifah.

“Pergilah engkau ke camp musuh dengan sembunyi-sembunyi untuk mendapatkan data-data yang akurat. Laporkan kepadaku segera.” kata beliau memerintah.

Amanat tersebut cukup berat. Saat rasa takut, lapar dan dingin bercampur menjadi satu berusaha melemahkan iman. Tapi hudzaifah tetap menjalankan tugasnya berbekal doa dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. “Ya Allah! lindungilah Hudzaifah, dari hadapan, dari belakang, kanan, kiri, atas dan dari bawah.” Tiba-tiba, ketakutan dan keletihan yang menjalari fisik dan jiwa beliau sirna seketika.

Rasululullah juga berpesan, “Jangan melakukan tindakan yang mencurigakan mereka sampai tugasmu selesai dan kembali kepadaku!”

Hudzaifah menyelinap ke jantung pertahanan musuh. Ia sangat tenang dan tidak menimbulkan curiga. Tak lama kemudian, Abu Sufyan memberi komando.

“Hai, pasukan Quraisy! dengarkan aku berbicara kepada kamu sekalian. Aku sangat khawatir, hendaknya pembicaraanku ini jangan sampai terdengar oleh Muhammad. Karena itu, telitilah lebih dahulu setiap orang yang berada di samping kalian masing-masing!”

Hudzaifah reflek menarik tangan orang disampingnya sambil bertanya, “Siapa kamu?”
Jawabnya, “Aku si fulan bin fulan!”

Sesudah dirasanya aman, Abu Sufyan melanjutkan bicaranya, “Hai, pasukan Quraisy! Sungguh kita tidak dapat bertahan di sini lebih lama lagi. Hewan-hewan kendaraan kita sudah banyak yang mati. Bani Quraizhah berkhianat meninggalkan kita. Angin topan menyerang kita dengan ganas seperti kalian rasakan. Karena itu, pulanglah kalian. Tinggalkan tempat ini.”

Kemudian Abu Sufyan menunggang untanya dan memukulkan cemeti. Unta itu bangun dan Abu Sufyan langsung berangkat. Saat itu, Hudzaifah mendapat peluang menewaskan Abu Sufyan. Namun beliau ingat pesan Rasulullah agar segera kembali ke garis pertahanan Kaum muslimin. Hudzaifah melaporkan keadaan pasukan Qusraisy. Beliau sangat senang dan bersuka hati, serta mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT.

 

Redaksi | Uswah 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *