Diampuni Semua Dosanya

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَة أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي سُجُودِهِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam dalam sujudnya mengucapkan do’a, “Allahummaghfirli Dzanbi Kullahu Diqqahu Wa jillahu Wa Awwalahu Wa Akhirahu Wa ‘Alaniyatahu Wa Sirrahu (Ya Allah, ampunilah semua dosa-dosaku, yang kecil maupun yang besar, yang awal maupun yang akhir, dan yang terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi).” (HR. Muslim)

Jatuh Dan Sering Melakukan Kesalahan

Sepanjang perjalanan hidup yang kita lalui hingga saat ini pernahkah kita melakukan kesalahan, pasti jawabnya adalah pernah, atau bahkan sering dan tidak bisa dihitung. Rasululah shallallahu’alaihi wasallam telah memastikan bahwa keturunan adam pasti akan terjatuh pada kesalahan, dan sebaik baik orang yang melakukan kesalahan adalah yang mau bertaubat.

Bila demikian keadaan kita, dengan segala kerendahan dan kehinaan serta banyaknya kesalahan, kita tetap bisa menjadi baik dan mulia dengan bertaubat kepada Allah azza wa jalla. Rasulullah mengajarkan kepada kita doa untuk memohon ampun, bertaubat kepada Allah atas segala dosa di dalam sujud, keadaan terdekat seorang hamba kepada Rabnya.

 

BACA JUGA: Pandai Pandailah Merasa Berdosa

 

Anggota badan yang dimuliakan manusia, yaitu kepala diletakkan sejajar dengan letak kakinya ditempelkan di tanah tempat yang dipijak oleh kakinya, menunjukkan kerendahan hamba untuk mengakui kesalahan dan memohon ampun kepada Allah Azza wa jalla yang Maha Mulia dan Maha Tinggi.

Ibnul Qoyyim dalam madarijus salikin (1/283) menyebutkan, bertaubat memohon ampun kepada Allah atas dosa dosa adalah kewajiban yang harus segera ditunaikan dan tidak boleh ditunda tunda, bila diakhirkan taubatnya maka ini adalah bentuk dosa yang lain yang dilakukannya yang perlu ditaubati.

Kita yang sering melakukan kesalahan dan dosa sangat butuh terhadap doa ini, karena dengan memunajatkanya dalam setiap sujud berarti ia tidak mengakhirkan kewajiban untuk segera bertaubat kepada Allah ta’ala.

“Allahummaghfirli Dzanbi Kullahu Diqqahu Wajillahu Wa Awwalahu Wa Akhirahu Wa ‘Alaniyatahu Wa Sirrahu (Ya Allah, ampunilah semua dosa-dosaku, yang kecil maupun yang besar, yang awal maupun yang akhir, dan yang terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi)

Dosa Yang Besar Maupun Yang Kecil

Allah ta’ala berfirman menerangkan kepada hambanya bahwa dosa ada yang besar dan ada yang kecil, yaitu dalam surat An Najm ayat 32 :

“(yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Rabmu Maha Luas ampunanNya.”

Mengenai ayat ini Ibnu Abbas berkata, bersabda Nabi Muhammad shallalahu’alaihi wasallam :

إِنْ تَغْفِرْ اللَّهُمَّ تَغْفِرْ جَمَّا وَأَيُّ عَبْدٍ لَكَ لَا أَلَمَّا

“Ya Allah, apabila engkau mengampuni maka Engkau banyak mengampuni, siapakah hamba yang tidak pernah melakukan dosa-dosa kecil?” (HR. Tirmidzi, dishahihkan Al Albaniy)

Diantara dosa besar ada yang terbesar, yang menyebabkan pelakunya kekal di neraka, yaitu kekafiran. Kemudian dosa besar yang mewajibkan kefasikan dan dibawahnya lagi dosa kecil, namun para ulama berpendapat bahwa dosa kecil bila terus menerus dilakukan dan diremehkan maka ia bisa menjadi besar hukumannya. Ketiganya dirangkum dalam firman Allah :

“..Tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. mereka Itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS. Al Hujurat: 7)

Jika kita mengetahui dosa besar, maka selainnya adalah dosa kecil. Dan dosa besar adalah setiap dosa yang disebut oleh Allah dan RasulNya sebagai dosa besar, atau dosa yang disebutkan hukumannya (had) di dunia atau perbuatan yang mendapatkan ancaman kemarahan Allah di akhirat dan laknat Allah. Maka selainnya adalah dosa kecil, dan ini banyak jumlahnya tak terhitung.

Dari Awal Hingga Yang Terakhir

Sejak manusia baligh maka ia akan mempertanggungjawabkan setiap amal yang dilakuannya, yang diucapkan lisannya, yang diamalkan anggota badannya bahkan yang amalkan oleh hatinya. Kita mohonkan ampunan kepada Allah subhanahuwata’ala dari setiap kesalahan kita yang paling awal. Dan kita juga memohon ampunan dari Allah Azza wa jalla dari kesalahan kesalahan yang kita lakukan di akhir hayat kita.

Berkata syaikhul Islam ibnu taimiyah dalam fatawa al kubra (5/281), bawa siapa saja yang memohon ampun kepada Allah dengan permohonan ampun secara umum dari setiap kesalahan yang dilakuan, maka ini menyebabkan datangnya ampunan Allah, meskipun ia tidak memperinci dari dosa dosa yang dilakukanya.

Keselamatan dan kebaikan akan ada pada hamba yang selalu meminta ampun dari semua dosa dosanya, baik yang awal maupun yang akhir, yang terang terangan maupun yang tersembunyi.

Yang Terang Terangan Dan Tersembunyi

Ada kalanya manusia bercampur bersama manusia yang lain, sehingga setiap gerak dan geriknya diketahui secara umum, ada pula suatu kondisi dimana manusia sedang sendiri dan tersembunyi dari manusia yang lain. demikian pula dosa yang kita lakukan tidak lepas dari dua kondisi diatas. Dosa yang jamak dilakukan secara terang terangan dan dosa yang dilakukan tersembunyi dari pandangan manusia.

Memperbanyak sujud dan memperbanyak doa dalam sujud merupakan hidayah Allah bagi hambaNya yang tawwabuun, yang bersegera bartaubat dari seluruh kesalahan dan dosa, menjadikan seorang hamba kembali bersih dan mulia disisiNya.

 

Baca Artikel Konsultasi Lainnya Di Sini!

 


Belum membaca Majalah ar-risalah terbaru? Hubungi Keagenan Majalah ar-risalah terdekat di kota Anda, atau hubungi kami di nomer: 0852 2950 8085

Beratnya Menjaga Keluarga

Jika dibandingkan dengan mayoritas kita yang menghadapi begitu banyak masalah meski hanya memiliki satu istri saja, problematika yang muncul di dalam keluarga Rasulullah terhitung tidak seberapa. Itupun mayoritas muncul dari kecemburuan di antara para istri beliau. Dan bagaimana seorang istri tidak cemburu jika bersuamikan lelaki seperti Rasulullah?

Yang menarik adalah bagaimana Rasulullah menghadapi berbagai masalah rumah tangga yang dipicu dari rasa cemburu ini. Sebab meski sama-sama berasal dari kecemburuan, cara Rasulullah menghadapinya sangat beragam. Hal yang bukan saja memperkaya referensi para suami dalam memilih solusi yang tepat bagi masalah rumah tangga mereka, namun juga membantu mereka memahami kompleksitas berbagai persoalan keluarga.

Ada kalanya Rasulullah hanya tersenyum dan memilih pembiaran sebagai solusi masalah ketika menghadapi kecemburuan istri beliau. Seperti saat ibunda Aisyah membandingkan dirinya dengan para istri Nabi yang lain, ibarat tempat penggembalaan ternak yang belum pernah digunakan. Dia berkata, “Aku tidaklah seperti istri-istri Anda yang lain. Semua istri Anda pernah menjadi milik orang lain kecuali aku.” At thabaqat al kubra 8/55.

Namun sikap berbeda ditempuh Rasulullah dengan memberi teguran keras kepada ibunda Aisyah. Ketika, karena cemburu, dia mengatakan Shafiyah sebagai perempuan berpostur pendek. Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Salam berkata, “Engkau telah mengeruhkan dengan satu kata, yang seandainya dengannya kau keruhkan air laut, pasti menjadi keruh.” HR. At Tirmidzi.

BACA JUGA : Keintiman Seharusnya

Di kesempatan yang lain, Rasulullah memilih menasihati secara baik untuk mendudukkan persoalan dengan benar. Ketika Aisyah radliallahu ‘anha berkata, “Tidaklah aku cemburu kepada salah seorang dari istri-istri Nabi shallallahu sebagaimana kecemburuanku terhadap Khadijah. Padahal aku belum pernah melihatnya. Akan tetapi ini karena beliau sering sekali menyebut-nyebutnya (memuji dan menyanjungnya) dan acapkali beliau menyembelih kambing, memotong-motong bagian-bagian daging kambing tersebut, lantas beliau kirimkan daging kambing itu kepada teman-teman Khadijah.” HR. Bukhari.

Menghadapi hal ini, Rasulullah menjelaskan kedudukan Khadijah di antara para istri yang lain. Beliau menjelaskan bahwa kedudukan ini tidak akan tergantikan karena Khadijah beriman di saat orang lain kafir, menghabiskan harta untuk mendanai dakwah beliau, juga adanya keturunan beliau dari Khadijah, di mana semua itu tidak beliau dapatkan dari istri-istri yang lain.

Pernah juga Rasulullah meminta Aisyah untuk mengganti mangkuk Ummu Salamah yang dipecahkannya. Saat itu Aisyah cemburu karena kebersamaannya dengan Rasulullah terganggu dengan kiriman makanan dari Ummu Salamah. Seraya memunguti makanan yang jatuh, Rasulullah berkata kepada para sahabat, “Makanlah, ibu kalian sedang cemburu. HR. Ibnu Majah

Rasulullah juga pernah mendorong tubuh ibunda Aisyah dengan keras ketika mengetahui bahwa dia membuntuti beliau pada suatu malam karena cemburu. Rasulullah berkata, “Kalau begitu, kamulah kiranya bayangan hitam yang aku lihat di depanku tadi?” Kemudian setelah Aisyah membenarkan, Beliau melanjutkan, “Apakah kamu masih curiga, Allah dan Rasul-Nya akan berbuat curang kepadamu?”

Bahkan, Rasulullah pernah memboikot para istri beliau selama hampir sebulan, dan kemudian menawarkan perceraian sebagai solusi jika mereka memilih dunia dan perhiasannya daripada Allah, Rasulullah dan hari akhir. Meski pada akhirnya perceraian itu tidak pernah terjadi. Hal ini sebagaimana tertuang dalam firman Allah surat Al Ahzab ayat 28-29, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, ‘Jika kalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan mut’ah kepada kalian, dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik. Dan jika kalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian pahala yang besar.'”

Apa yang bisa kita jadikan pelajaran dari berbagai cara Rasulullah menyelesaikan problematika rumah tangga beliau ini? Selain gambaran kompleksitas masalah rumah tangga yang membutuhkan solusi berbeda pada masing-masingnya, juga tentang ketrampilan beliau untuk memilih solusi sebagai teladan terbaik bagi setiap pasangan perindu sakinah.

Dalam hal ini, yang harus menjadi catatan penting adalah, beratnya menjalankan peran dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Bahwa ia bukan sekedar membuat senang hati anggota keluarga dan mengkondisikan suasana keluarga agar tenang dan jauh dari perselisihan. Namun membantu mereka meraih keridhaan Allah dan membawa mereka ke jannah.

Dan ketika kepala keluarga menemukan ada hal-hal yang melanggar syariat, dia harus menegur pelakunya, meskipun mungkin bisa membuat tidak enak hati. Pada kisah-kisah di atas, meski sama-sama bermula dari kecemburuan, ternyata tidak sama cara mengatasi masing-masingnya. Sehingga bukanlah hal sangat mengejutkan jika Rasulullah pernah berkata, “Jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku pasti akan potong tangannya!”

Barulah kita sadar, bahwa menjaga diri dan keluarga dari api neraka ternyata sangatlah berat!

Islam Harga Mati Yang Lain Bisa Terganti

Demi menyelamatkan keislamannya, Suhaib bin Sinan bermaksud hijrah dari Mekah ke Madinah. Namun, Suhaib yang asal muasalnya dari Romawi itu dicegat oleh musyrikin Mekah. Mereka berkata, “Wahai Suhaib, engkau datang kepada kami (di Mekah) dalam keadaan miskin dan hina, kemudian hartamu menjadi banyak setelah tinggal di daerah kami. Dan kini terjadilah permusuhan di antara kita. Maka engkau boleh pergi dengan selamat, tapi tidak boleh membawa sedikitpun dari hartamu.”

Islam Harga Mati

Akhirnya, Suhaib rela meninggalkan hartanya karena lebih memilih agamanya. Meskipun ada pilihan lain, dia tetap tinggal di Mekah dengan kekayaannya asalkan mengikuti kemauan musyrikin Quraisy.

Sesampainya Suhaib di Madinah, beliau berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seketika Nabi menyambutnya dengan kabar gembira,

رَبِحَ الْبَيْعُ أَباَ يَحْيىَ.. رَبِحَ الْبَيْعُ أَباَ يَحْيىَ..

“Perdagangan yang menguntungkan wahai Abu Yahya, perdagangan yang menguntungkan wahai Abu Yahya.”

Suhaib keheranan lantaran Nabi shallallahu alaihi wasallam mengerti tentang apa yang telah terjadi, hingga beliau berkata, “Wahai Rasulullah, padahal tidak ada seorang pun yang melihat apa yang saya alami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jibril yang memberi tahuku.”

Lalu turunlah ayat,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 207)

Bagi Suhaib yang disebut Nabi sebagai ‘Saabiqur Ruum’(paling awal dalam hal Islam di kalangan orang Romawi), Islam memang harga mati, sedangkan harta benda bisa dilepas dan dicari lagi.

Apa yang beliau lakukan itu mengikuti pengorbanan panutannya; Rasululullah shallallahu alaihi wasallam. Betapapun kecintaan beliau terhadap tanah airnya, yakni negeri Mekah, pun demi menjaga keisalamannya beliau rela meninggalkannya. Karena Islam adalah harga mati, sedangkan yang lain bisa terganti.

Tergambar kecintaan beliau terhadap negeri Mekah sebagaimana yang beliau ungkapkan,

(والله إنك لخير أرض الله وأحب أرض الله إلى الله ، ولولا أني أخرجت منك ما خرجت)

“Demi Allah engkau (Negeri Mekah) adalah sebaik-baik bumi Allah, dan bumi yang paling dicintai oleh Allah. Kalau saja aku tidak diusir darimu, niscaya aku tidak akan keluar darimu.”(HR Tirmidzi)

Meskipun ebenarnya ada pilihan untuk beliau agar tidak terusir dari Mekah. Yakni beliau menanggalkan keislamannya atau berhenti mendakwahkan Islam dan beliau akan dihormati dan dijunjung tinggi orang-orang musyrikin. Tapi, Islam lebih berharga dari Mekah dan dari semua yang mereka tawarkan. Andai saja Mekah lebih utama dari akidah, tentu beliau tidak akan berhijrah.

 

Baca Juga:Diyatsah, Matinya Kecemburuan dan Lumpuhnya Kepekaan Terhadap Islam

 

Tidak diragukan lagi, bahwa Allah tidak mengharuskan orang-orang beriman itu tinggal di mana atau harus mati di mana. Akan tetapi, Allah mengharuskan mereka mati dalam keadaan muslim dan melarang mati dalam keadaan selainnya. Allah Ta’ala berfirman,

Dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan sebagai muslim.” (QS. Ali Imran: 102)

Karena Islam itu harga mati dan paling utama dalam hidup dan mati, maka ketika seseorang berada dalam kondisi yang membahayakan keimanannya, wajib baginya hijrah. Ada kalanya hijrah itu menuntut berpindahnya tempat, tapi yang pasti hijrah itu menuntut seorang muslim meninggalkan keburukan dan berpindah kepada kebaikan. Karena itulah Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Adapun orang yang berhijrah adalah orang yang hijrah meninggalkan larangan-larangan Allah” (HR. Bukhari)

Hadits ini menunjukkan kewajiban atas setiap muslim untuk hijrah meninggalkan dosa-dosa dan kemaksiatan. Kewajiban hijrah semacam ini tidak pernah gugur darinya dalam keadaan bagaimanapun , sebagiaman yang dikatakan oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam Bahjatul Qulub al-Abrar.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan dalam Fathul Bari bahwa hijrah yang dimaksud di dalam hadits ini mencakup dua tuntutan. Pertama,hijrah secara batin, yaitu dengan meninggalkan bujukan-bujukan hawa nafsu yang menyeret kepada keburukan dan meninggalkan rayuan setan. Inilah yang disebut dengan istilah hijrah dengan hati. Adapun yang kedua; hijrah secara lahiriyah yaitu dengan menyelamatkan agamanya dari fitnah-fitnah/kerusakan dan kemaksiatan.”

 

Baca Juga: Ghirah, Cemburu Karena Allah

 

Dengan demikian, hijrah kepada Allah maknanya adalah meninggalkan apa-apa yang dibenci Allah menuju apa-apa yang dicintai-Nya, yaitu meninggalkan kemaksiatan menuju ketaatan. Inilah yang dimaksud al firar ila Allah (berlari menuju Allah) sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Maka berlarilah kalian menuju Allah” (QS. Adz Dzariyat : 50)

Ibnul Qayyim dalam Adh Dhau’ Al Munir ‘ala At Tafsir menjelaskan bahwa hijrah kepada Allah ini mengandung sikap meninggalkan segala hal yang dibenci oleh Allah kemudian diikuti dengan melakukan apa saja yang dicintai dan diridhai-Nya. Pokok hijrah ini adalah rasa cinta dan benci di dalam hati. Dalam artian seorang yang berhijrah meninggalkan sesuatu kepada sesuatu yang lain tentu saja karena apa yang dia tuju lebih dicintai daripada apa yang dia tinggalkan. Oleh sebab itulah dia lebih mengutamakan perkara yang lebih dicintainya daripada perkara-perkara lainnya.”

Dari sini kita bisa memetik pelajaran bahwa hijrah dengan hati kepada Allah menuntut kita untuk memiliki kesadaran dan ilmu mengenai apa yang Allah benci dan apa yang Allah cintai. Karena hakikat hijrah ini adalah meninggalkan perkara yang dibenci-Nya menuju perkara yang dicintai-Nya. Perkara yang dibenci Allah itu meliputi syirik, kekafiran, kemunafikan, bid’ah, dan kemaksiatan. Adapun perkara yang dicintai Allah itu mencakup tauhid, keimanan, ikhlas, mengikuti tuntunan, dan melakukan ketaatan-ketaatan.

 

Baca Juga : Selamat Dengan Satu Kalimat

 

Oleh sebab itu, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menafsirkan firman-Nya (yang artinya), “Maka berlarilah kalian kepada Allah” yakni selamatkanlah diri kalian dari adzab Allah menuju limpahan pahala, yaitu dengan iman dan ketaatan.

Yang Lain Akan Terganti

Sayangnya, tidak banyak orang yang bernai mengambil keputusan untuk hijrah dari keburukan kepada kebaikan, dari yang halal kepada yang haram, dan dari mengejar ridha selain Allah kepada ridha Allah. Berapa banyak orang yang telah menyadari dirinya berkubang dalam dosa, atau berkutat dalam mencari rejeki dengan jalan yang haram, pun tidak ada keberanian untuk meninggalkannya. Takut rejekinya terhenti, berkurangnya dukungan dan sanjungan manusia kepadanya atau karena sebab-sebab yang semisalnya.

Padahal, selagi seseorang mengutamakan Islam dan menjadikannya sebagai harga mati, maka yang lain akan terganti. Memang terasa sulit jika seseorang meninggalkan hal-hal yang ia sukai dan gandrungi, lantas ia meninggalkannya karena selain Allah. Namun jika jujur dan ikhlas dari dalam hati dengan meninggalkannya karena Allah, maka tidak akan terasa berat untuk meninggalkan hal tadi. Jikalau ada kesulitan maka hanya akan dirasakan di awal saja sebagai ujian apakah ia serius dengan hijrahnya ataukah coba-coba. Jika ia terus bersabar dengan menahan kesulitan yang hanya sedikit, biidznillah ia akan memperoleh kelezatan.

Kaedah yang populer kita dengar, “Siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka akan diberi ganti yang lebih baik dari itu”, ganti yang diberikan di sini beraneka ragam.

Ibnu Katsier rahimahullah menyebutkan bahwa para sahabat kaum muhajirin yang harus meninggalkan tanah air mereka, rumah, serta harta mereka demi untuk berhijrah ke Madinah sehingga bisa beribadah kepada Allah dengan baik tanpa diintimidasi oleh kaum musyrikin Arab. Akhirnya Allah menggantikan bagi mereka harta yang lebih banyak dan kekuasaan serta kemenangan atas kaum musyrikin. Bahkan Allah menjadikan mereka menguasai kembali tanah air mereka di Mekah.

 

Baca Juga: Etika Islam Dalam Menerima Berita

 

Kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam yang harus meninggalkan kaumnya, meninggalkan kerabat dan keluarganya yang menyembah patung, lalu berhijrah menuju Palestina, maka Allah pun menggantikan baginya anak-anak yang sholeh. Diantaranya Ishaq ‘alaihis salaam yang akhirnya dilahirkan oleh Sarah yang telah mencapai masa monopouse.

Allah berfirman,

فَلَمَّا اعْتَزَلَهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَكُلا جَعَلْنَا نَبِيًّا

“Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishak, dan Ya’qub. dan masing-masingnya Kami angkat menjadi Nabi” (QS Maryam : 49)

Begitupun dengan orang yang meninggalkan sesuatu yang haram, maka tidak mungkin Allah membuatnya sengsara. Bahkan Allah akan menggantikan untuknya dengan yang sesuatu yang lebih baik. Apakah ganti itu untuk sesuatu yang sejenis dengan kualitas atau kadar yang lebih, atau yang pasti lebih berkah dan berfaidah. Wallahu a’lam bishawab.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Motivasi