Benih Perang Uhud

Memasuki musim kemarau di bulan Jumadil Akhir tahun ketiga Hijriyah, kaum Quraisy Makkah mulai mempersiapkan kafilah dagang ke Syam dengan pemimpin rombongan Shafwan bin Umayyah. Kehidupan di Makkah memang sangat tergantung dengan perniagaan yang mereka jalankan. Jika musim panas mereka mengirim kafilah dagang ke Syam, sedang pada musim dingin ke Habasyah. Kalau perniagaan terhambat, kehidupan di Makkah akan mengalami krisis. Akan tetapi kaum Quraisy mengalami dilema, berkaca dari pengalaman mereka sebelum perang Badar. Ketika itu mereka dihadang pasukan Muslim sehingga membuat mereka berpikir dua kali jika harus melewati jalur yang biasa dilewati. Jika harus melalui jalur pantai di sisi barat pun mereka juga khawatir, karena kebanyakan penduduk pesisir telah menjalin perjanjian damai dengan Rasulullah. Ditakutkan para penduduk pesisir akan mengabarkan keberadaan kafilah dagang Quraisy kepada Rasulullah.

Ketika kaum Quraisy mulai mengalami kebuntuan menentukan jalur keberangkatan, Aswad bin Abdul Muthalib menyampaikan usulannya, “Tinggalkanlah jalur pantai dan ambil jalur Irak.”

Jalur Irak merupakan jalur perdagangan ke Syam yang melewati bagian timur Madinah. Jalur yang jarang dilewati karena sangat jauh memutar dari Makkah. Orang-orang Quraisy sendiri tak tahu-menahu tentang jalur ini. Maka Aswad bin Abdul Muthalib mengusulkan mengangkat Furat bin Hayyan dari kabilah Bakr bin Wail, yang memang cukup mengenal daerah tersebut sebagai penunjuk jalan. Dengan mengambil jalur tersebut, kafilah dagang Quraisy berangkat menuju Syam dengan diam-diam. Bahkan hanya sedikit kaum Quraisy yang mengetahui keberangkatan melalui jalur Irak tersebut.

Rasulullah dan kaum Muslim sebenarnya tidak mengetahui rencana kafilah dagang Quraisy mengambil jalur yang tak biasanya dan tak terduga itu. Akan tetapi, mudah saja bagi Allah jika ingin memberikan jalan dan pemberitahuan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Bermula dari Sulaith bin Nu’man, seorang Quraisy yang telah memeluk Islam tetapi masih tinggal di Makkah tanpa diketahui keislamannya oleh orang-orang Quraisy Makkah. Ketika itu ia sedang minum-minum khamr-yang belum turun perintah keharamannya- bersama Nu’aim bin Mas’ud Al-Asyj’ai. Karena pengaruh khamr yang memabukkan, tanpa sadar Nu’aim menceritakan kafilah dagang Quraisy yang mengambil jalur tak biasanya tersebut secara rinci kepada Sulaith. Mendengar kabar tersebut, segeralah Sulaith berangkat diam-diam menuju Madinah untuk mengabarkan pada Rasulullah.

BACA JUGA : Pelanggaran Janji Yahudi Madinah

Seketika itu Rasulullah segera mempersiapkan pasukan berkekuatan seratus orang yang dipimpin Zaid bin Haritsah. Pasukan tersebut langsung memacu tunggangannya menembus padang pasir dan tinggal di Qardah untuk melakukan penghadangan. Begitu kafilah dagang Quraisy muncul, Zaid dan pasukannya melakukan serangan mendadak. Shafwan bin Umayyah sama sekali tidak dapat mempertahankan kafilah dagangnya. Tidak ada pilihan lain bagi rombongankafilah dagang tersebut kecuali melarikan diri tanpa melakukan perlawanan apapun. Bahkan pemandu mereka, Furat bin Hayyan tertawan oleh pasukan Muslim. Pasukan Muslim bisa membawa harta rampasan yang amat banyak jumlahnya, terdiri dari pundi-pundi emas dan perak. Setelah mengambil seperlimanya, Rasulullah membagi harta rampasan itu kepada semua satuan pasukan. Furat bin Hayyan kemudian mengucapkan syahadat di hadapan Rasulullah.

Tentu saja, hal ini merupakan bencana besar bagi kaum Quraisy setelah kekalahan perang Badar. Hanya ada dua pilihan bagi mereka, membuang jauh-jauh keangkuhan dan kesombongan mereka lalu berdamai dengan Rasulullah dan orang Muslim, atau berperang habis-habisan untuk mengembalikan kejayaan mereka dan melibas kekuatan Islam. Pada akhirnya kaum Quraisy sepakat mengambil pilihan kedua dan bertekad menuntut balas kekalahan mereka di Badar. Untuk itu mereka segera melakukan persiapan menghadapi Rasulullah dan kaum Muslim. Inilah yang nantinya mengawali perang Uhud.

Turun Ke Langit Dunia Di Akhir Malam Yang Sepertiga

Rasul shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Rabb kita -Tabaaraka wa Ta’ala- turun di setiap malam ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir dan berfirman: “Siapa yang berdo’a kepadaKu pasti Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu pasti Aku penuhi dan siapa yang memohon ampun kepadaKu pasti Aku ampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nuzul (turun) termasuk dari sifat af’aliyah (sifat yang berkaitan dengan perbuatan) yang Allah akan berbuat demikian jika menghendaki. Wajib bagi setiap muslim untuk menetapkan sifat af’aliyah Allah berupa nuzul, dan Allah turun setiap malam pada seprtiga malam yang akhir. Ahlus sunnah wal jama’ah dalam masalah ini adalah tasbit  bila tamsil dan tanzih bila ta’thil. Maknanya, menetapkan sifat af’aliyah Allah yang nuzul tanpa menyerupakan turunnya Allah dengan turunnya makhluk dan mensucikan Allah Ta’ala dengan menetapakan secara hakiki tanpa memalingkan dengan makna yang menyimpang.

Sesat Dengan Mentamtsil Dan Menta’thil

Sifat nuzul ini sebagaimana sifat af’aliyah yang lain yang layak bagi Allah Azza wa Jalla bukanlah seperti turunnya makhluk, kita tidak mengetahui tata cara Allah turun, tetapi kita menetapkan sebagaimana khabar yang shahih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, mengimaninya dan tidak mentakwilkan (menyelewengkan maknanya) dan tidak memisalkan turunnya Allah dengan turunnya makhluk.

Kelompok yang menyimpang dalam masalah ini adalah dengan mentakwilkan nuzulnya Allah dengan makna yang turun adalah perintahNya, bukan Allah Ta’ala’yang turun, ada juga yang metakwilkan yang turun adalah malaikat Allah. Hal ini tidaklah sejalan dengan hadits Rasulullah yang shahih yang menyatakan ketika Allah turun kelangit dunia, Allah berfirman : “Siapa yang berdo’a kepadaKu pasti Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu pasti Aku penuhi dan siapa yang memohon ampun kepadaKu pasti Aku ampuni.”

Jika yang turun adalah perintah Allah atau malaikat Allah, maka sangatlah tidak layak bagi malaikat Allah dan perintah Allah berkata : siapa yang memohon ampun kepadaku maka aku ampuni, siapa yang meminta kepadaku maka akan aku beri. Maka ini adalah takwilan yang batil. Yang benar adalah bahwa Allah lah yang turun dan hanya Allah lah yang bisa mengampuni, memberi dan mengabulkan.

Kemudian ada juga yang memberikan syubhat kepada setiap muslim dengan perkataan : bagaimana mungkin Allah turun pada setiap malam, padahal di bumi yang kita huni ini ketika satu daerah mengalami malam maka akan di susul pada tempat-tempat yang lain, maknanya Allah terus menerus selalu turun.

Hal ini sangatlah mudah untuk di jawab, yaitu dengan jawaban bahwa Allah lah yang menciptakan langit dan bumi, menciptakan malam dan siang, akan tetapi Allah tidaklah terikat dengan hukum cipataanNya, berbeda dengan manusia yang diciptakan di dunia, maka ia akan tunduk dan terhukumi dengan hukum ciptaanNya yang berupa malam dan siang.

Mereka yang mempunyai pemikiran dan perkataan batil tersebut hendak menyamakan Allah dengan penciptaanNya yang mereka semua terhukumi dengan siang dan malam, Maha Suci Allah dari terhukumi oleh makhluknya, tapi Allah lah yang meliputi dan menguasai semua ciptaanNya termasuk siang dan malam.

BACA JUGA : Wajib Berjamaah Haram Berfirqah

Allah Ta’ala berfiman :

“Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.” (QS. Al An’am : 18)

Maka kita katakan kepada setiap orang yang hendak merusak aqidah islam, dengan perkataan yang semisal dengan perkataan imam malik, an nuzulu ma’luum  wal kaifiyatu majhul (turunnya Allah adalah suatu yang maklum, dan tata caranya adalah suatu yang tidak mampu kita ketahui).

Sepertiga Malam Yang Akhir

Mengetahui aqidah yang benar dalam pembahasan Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir, melazimkan seorang muslim untuk menindak lanjuti pemahamanya dengan amal shaleh. Yaitu menghidupkan malam dengan berdiri mengerjakan qiyamul lail, bedoa  dan memohon ampun kepada Allah Ta’ala.

Allah subhanahu wata’ala menciptakan langit berlapis-lapis, sebagaiman firmaNya :

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat?” (QS. Nuh : 15)

Dan pada malam itu, Allah Subhanahu wata’la turun ke langit yang paling dekat dengan dunia, kemudian berfirman dalam hadits qudsi :

مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Siapa yang berdo’a kepadaKu pasti Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu pasti Aku penuhi dan siapa yang memohon ampun kepadaKu pasti Aku ampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Inilah waktu yang mustajab bagi setiap hamba yang mendamba keampunan, pemenuhan hajat dan permintaan rizki, dan siapakah yang tidak butuh ampunan Allah dan pengabulan doa?. Allah Ta’ala menerima taubat dan ampunan hamba pada setiap waktu, namun terdapat waktu dan keadaan khusus yang mustajab, diantaranya adalah sepertiga malam yang akhir, waktu di hari jum’at dan pada saat sujud di waktu shalat.

Agar terbantu untuk bangun malam Sebaiknya seorang muslim tidur lebih awal, dan ini adalah suatu hal yang harus dibiasakan, karena kemudahan bangun malam akan datang dengan pembiasaan setelah rahmat dari Allah kepadanya. Apalah keuntungan dari melebihkan jam tidur bagi muslim, yang ada adalah kerugian dan pengharaman terhadap kebaikan yang banyak atas dirinya sendiri.

Dengan bangun malam, maka seseorang dapat beristighfar di waktu sahur, karena istighfar di waktu sahur mempunyai kekhususan tersendiri, bahkan ini termasuk sifat hamba Allah yang bertaqwa, sebagaimana difirmankan Allah :

“Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.” (QS. Adz Dzariat : 17-18)

Cukuplah dengan keyakinan bahwa Allah turun kelangit dunia pada sepertiga malam yang akhir dan dua nash di atas menjadikan dirinya lebih semangat untuk menghidupkan malam-malamnya. Ya Rab..mudahkanlah kepada kami untuk bangun malam dan bermunajat kepadaMu.

Hadits Mutawatir

Hadits yang diriwayatkan imam Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah tentang turunnya Allah kelangit dunia pada sepertiga malam yang akhir merupakan hadits yang mutawatir, yaitu hadits yang banyak diriwayatkan oleh sahabat Nabi, dan sahabat Nabi adalah suatu masyarakat terbaik yang dipilih Allah untuk menemani Nabi dalam menyampaikan risalah Islam. Tidak mungkin mereka bersepakat untuk berbohong atas nama Nabi.

Mereka mempunyai hati yang terbaik setelah hatinya para Nabi dan Rusul. Sekian banyak sahabat yang meriwayatkan hadits ini, atau yang mendengar hadits ini tidak ada yang memahami sebagaimana para pengikut sesat yang mentamtsil dan menta’thilkan sifat af’aliyah Allah.

Wajib bagi setiap muslim untuk mengikuti pemaham para sahabat dan menjauhi kelompok-kelompok yang menyimpang dan menyesatkan, apalagi menjadi corong penyebar kesesatan, iyadzan billah. Selain berdosa atas perbuatannya, di tambah lagi dengan dosa orang yang mengikutinya, ini telah di sabdakan Nabi shallallahu’alaihi wasallam :

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk / kebenaran maka ia mendapat pahala seperti pahala-pahala orang yang mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala-pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan maka ia mendapat dosa seperti dosa-dosa orang yang mengerjakannya dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun” (HR. Muslim)

Shalat Syuruq Adalah Shalat Dhuha

Apakah menunaikan shalat Syuruq wajib?

___

JAWAB :

Alhamdulillah

Pertama:

Shalat isyraq adalah shalat dua rakaat setelah matahari terbit dan meninggi, bagi yang shalat Fajar secara berjamaah di masjid kemudian duduk di tempat shalatnya untuk berzikir kepada Allah Ta’ala hingga shalat dua rakaat.

Keutamaannya telah disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ ، وَعُمْرَةٍ، تَامَّةٍ ، تَامَّةٍ ، تَامَّةٍ

“Siapa yang shalat Shubuh berjamaah, kemudian dia duduk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, kemudian dia shalat dua rakaat, maka baginya pahala haji dan umrha, sempurna, sempurna.” (HR. Tirmizi, no. 586, dari hadits Anas bin Malik radhiallahu anhu)

Hadits ini diperselisihkan keshahihannya, sejumlah ulama menyatakan dha’if, sementara yang lainnya menyatakan hasan. Termasuk yang menyatakan hasan adalah Syekh Al-Albany rahimahullah dalam shahih Sunan Tirmizi.

Syekh Ibnu Baz rahimahullah ditanya tentang hal tersebut, maka beliau berkata, ‘Hadits ini memiliki jalur periwayatan yang lumayan baik, maka dapat dikatakan sebagai hadits hasan lighairihi. Maka shalat tersebut disunnahkan setelah matahari terbit dan meninggi seukuran tombak, yakni kira-kira setelah sepertiga atau seperempat jam dari waktu terbitnya.” (Fatawa Syekh Ibnu Baz, 25/171)

Kedua:

Shalat ini hukumnya sunnah, bukan wajib, dia termasuk shalat Dhuha, karena waktu shalat Dhuha dimulai sejak matahari terbit hingga menjelang matahari tergelincir (masuk waktu Zuhur).

Sunnahnya shalat Dhuha juga dinyatakan dalam riwayat Tirmizi, no. 1178, Muslim, no. 721, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata,

أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلاثٍ لا أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ : صَوْمِ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ

“Kekasihku (Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam) mewasiatkan kepadaku tiga (hal) yang tidak (pernah) saya tinggalkan sampai saya meninggal dunia, puasa tiga hari pada setiap bulan, shalat Dhuha dan tidur (dalam kondisi) telah menunaikan witir.”

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang shalat Isyraq dan shalat Dhuha, lalu beliau menjawab, “Shalat sunnah isyraq adalah shalat sunnah Dhuha, akan tetapi jika ditunaikan segera sejak matahari terbit dan meninggi seukuran tombak, maka dia disebut shalat Isyraq, jika dilakukan pada akhir waktu atau di pertengahan waktu, maka dia dinamakan shalat Dhuha. Akan tetapi secara keseluruhan dia adalah shalat Dhuha. Karena para ulama berkata, bahwa waktu shalat Dhuha adalah sejak meningginya matahari seukuran tombak hingga sebelum matahari tergelincir.” (Liqa Al-Bab Al-Maftuh, 141/24)

islamqa

Santun Tersandang, Neraka Terhalang

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ يَحْرُمُ عَلَى النَّارِ أَوْ بِمَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ النَّارُ عَلَى كُلِّ قَرِيبٍ هَيِّنٍ سَهْلٍ

“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang yang diharamkan dari neraka atau neraka diharamkan atasnya? Yaitu atas setiap orang yang dekat (mudah akrab, lembut, lagi mudah (luwes). ” (HR. Tirmidzi)

Sejenak kita bayangkan perhatian para sahabat menyimak kabar besar yang hendak disampaikan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Karena insan beriman sangat kuat harapannya agar terhindar dari neraka dan dimasukkan ke dalam jannah. Merekapun ingin tahu, siapakah orang yang dijauhkan dari neraka itu. Lalu Nabi menyebutkan karakter mereka,

“Diharamkan atas neraka bagi orang yang mudah akrab, lembut dan luwes (mudah).”

 

Sifat Santun yang Mesti Disandang

Al-Mubaarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi menjelaskan, makna dari “qariib” adalah dekat dengan orang-orang (mudah akrab), sedangkan ‘hayyin” adalah lembut, tenang, santun. Dan makna dari “sahl” adalah mudah yang berlawanan dengan sulit. Dia mudah dalam berinteraksi, memudahkan urusan dan tidak susah untuk dimengerti.

Makna globalnya dijelaskan oleh Imam al-Mawardi, “Hadits ini menjelaskan bahwa akhlak yang baik akan memasukkan pelakunya ke dalam jannah dan menghalanginya dari neraka. Sedangkan akhlak yang baik itu tercermin pada perilaku seseorang yang mudah bergaul, lembut kepada orang lain, murah senyum, tidak mudah marah atau memutus hubungan dengan orang, dan santun dalam berbicara.”

Tapi, Imam al-Mawardi juga mengingatkan bahwa sifat-sifat tersebut harus sesuai dengan batasan-batasan (syar’i) dan proporsional. Jika terlampau lunak dan merendah maka akan terhina, jika terlalu mengada-ada akan menjadi nifak.

Batasan ini menjadi penting tatkala kita melihat realita di kalangan kaum muslimin, sebagian kalangan yang dikenal sebagai aktivis muslim yang militan, teguh pada prinsip dan pendirian terkadang meninggalkan atau terdapat kekurangan dari sisi kelembutan dan sifat santun. Namun di pojok lain segolongan orang yang dianggap toleran tak sedikit yang kebablasan, hingga mengorbankan prinsip demi memperoleh simpati dan merekatkan hubungan. Hingga kesan penjilat dan permisif lebih dominan daripada kesan pendekatan dan meraih simpati untuk dakwah.

Akhlak mulia yang dimaksud dalam hadits ini adalah kelembutan yang tidak disertai kelemahan, sekaligus ketegasan yang terhindar dari bentuk kezhaliman maupun kesombongan.

 

Agar Neraka Terhalang

Mengapa akhlak mulia begitu berarti nilainya hingga menjadi sebab masuk jannah dan mencegah dari neraka? Karena inti dari akhlak mulia itu ada dua; badzlul ma’ruf (mendermakan kebaikan) dan kafful adza (mencegah gangguan). Seseorang yang memberikan manfaat bagi orang lain menjadi sebab ia masuk jannah. Sedangkan mencegah diri dari sesuatu yang menyakiti dan menimbulkan madharat bagi orang lain menjadi sebab terhalangnya ia dari neraka.

Sifat santun, lembut, menghargai orang lain dan akhlak mulia semisalnya memiliki nilai tinggi dalam Islam karena faedahnya sangat terasa dalam seluruh sisi kehidupan.

BACA JUGA : Tangisan yang Menyelamatkan

Dari sisi pergaulan dan menjaga ukhuwah Islamiyah di tengah masyarakat Islam, maka akhlak mulia lebih mampu mengikikat, mempererat  hubungan baik dan melestarikannya. Siapapun orangnya akan suka jika diperlakukan baik, dan tidak suka diperlakukan kasar atau diremehkan. Nabi shallallahu alaihi wasallam menjadikan perilaku ini sebagai kesempurnaan Iman. Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda,

لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه

“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia menyukai untuk saudaranya, apa yang ia sukai untuk dirinya sendiri.” (HR Bukhari) )

Nabi shallallahu alaihi wasallam menjadi teladan agung dalam hal sifat santun dan kelembutan. Hingga terhadap pembantunya sendiri tidak pernah mengucapkan kata-kaa yang kotor atau merendahkan. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu memberikan kesaksian, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling bagus akhlaknya, paling lapang dadanya dan paling besar kasih sayangnya. Suatu hari beliau mengutusku untuk suatu keperluan. Akupun berangkat, tetapi aku menuju anak-anak yang sedang bermain di pasar dan bukan melaksanakan tugas Rasul, aku ingin bermain bersama mereka, aku tidak pergi menunaikan perintah yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beberapa saat setelah berada di tengah-tengah anak-anak itu, aku merasa seseorang berdiri di belakangku dan memegang bajuku. Aku menoleh, ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tersenyum. Beliau bersabda, “Wahai Unais (Anas kecil), apakah kamu telah pergi seperti yang aku perintahkan?” Dengan rasa bersalah aku menjawab, “Ya, sekarang aku berangkat wahai Rasulullah.”

Demi Allah, aku telah berkhidmat kepada beliau selama sepuluh tahun, beliau tidak pernah berkata untuk sesuatu yang aku lakukan, “Kenapa sampai kamu lakukan ini?” Beliau tidak pernah pula berkata untuk sesuatu yang aku tinggalkan, “Mengapa kamu tinggalkan ini?”

Jika seperti itu beliau ajarkan untuk bergaul dengan yang lebih muda dan selaku bawahan, lantas bagaimana akhlak terhadap orangtua, kepada yang lebih tua dan orang-orang yang memiliki keutamaan? Alangkah indahnya ukhuwah jika sifat santun menjadi akhlak kaum muslimin.

Akhlak mulia ini juga sangat berfaedah di dunia dakwah. Karena untuk diterimanya dakwah, butuh sesuatu yang menarik; baik dari sisi pesan maupun yang membawanya. Yang setidaknya obyek dakwah mau mendengar apa yang kita katakan, mau memperhatikan apa yang kita ajakkan dan simpati terhadap apa yang kita lakukan. Jangan sampai pesan yang baik ditolak oleh masyarakat karena perilaku pembawanya yang kurang baik. Bahwa kita sudah berdakwah dengan cara yang baik, menjaga adab dan akhlak dan tetap ada yang menolak dakwah, kita telah lepas dari kewajiban. Tapi pastikan  bahwa kita telah bertindak secara bijak dalam berdakwah.

Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah penyeru yang paling bagus sikapnya terhadap obyek dakwah. Kepada orang yang belum mengerti beliau memberikan pengertian, kepada yang sudah mengerti beliau memberika motivasi untuk melakukan kebaikan, dan mengingatkan dari keburukan. Jikalaupun memberikan teguran atas kelalaian tujuannya adalah untuk kebaikan, bukan untuk melampiaskan kemarahan.

Beliau tidak gampang memvonis atau menjatuhkan tuduhan. Tidak gampang tersinggung atau tergesa memberi penilaian buruk kepada seseorang sebelum jelas latar belakang dan sebab seseorang melakukan penyimpangan.

Simaklah kisah yang disebutkan oleh Imam at-Thabrani dan al-Baihaqi, tentang seorang pemuda yang minta ijin kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk berzina. Sekilas ini merupakan ucapan yang lancang dan keterlaluan, yang karenanya di antara para sahabat ketika itu memberi kecaman, namun apa yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam sungguh mengagumkan.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata, “Mendekatlah! “Apakah engkau suka jika hal itu terjadi atas ibumu?”Pemuda itu menjawab, “Tidak, demi Allah wahai Rasulullah. Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu”
“Demikian juga orang lain, mereka tidak ingin hal itu menimpa ibu-ibu mereka,” sahut Nabi. Beliau melanjutkan pertanyaannya, “Apakah engkau suka jika hal itu dilakukan oleh anak perempuanmu?”

“Tidak, demi Allah wahai Rasulullah,” jawabnya. Nabi bersabda “Demikian juga orang lain, mereka tak ingin hal itu terjadi atas puteri-puteri mereka.”

Nabi melanjutkan, “Apakah engkau ingin jika hal itu terjadi atas para bibimu, saudari ayahmu?” Dia menjawab, “Tidak, demi Allah wahai Rasulullah.” Maka beliau bersabda, “Begitupun orang lain juga tidak ingin hal itu terjadi atas bibi-bibi mereka.”

Nabi melanjutkan, “Apakah engkau ingin jika hal itu terjadi atas para bibimu, saudari ibumu?” Dia menjawab, “Tidak, demi Allah wahai Rasulullah.” Maka beliau bersabda, “Begitupun orang lain juga tidak ingin hal itu terjadi atas bibi-bibi mereka.”

Rasulullah lantas meletakkan tangan beliau ke dada pemuda itu sembari berdoa,

“Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya dan jagalah kemaluannya.”

Abu Umamah yang menceritakan kisah tersebut menyebutkan bahwa sejak saat itu perbuatan zina menjadi sesuatu yang paling dibenci oleh pemuda itu.

Begitulah, dengan akhlak yang baik seseorang bukan saja menyelamatkan dirinya dari neraka, namun juga menjadi sebab terhindarnya orang lain dari neraka.

Hanya saja, kelembutan dan sikp santun tidaklah mnggugurkan kewajiban untuk mengatakan yang bathil itu bathil, dan tidak boleh pula menghalangi kita dari kewajiban untuk mencegah kemungkaran, baik dengan lisan maupun dengan tangan. Masing-masing dilakukan sesuai tuntutan dengan cara yang disyariatkan. Semoga Allah memperbaiki akhlak kita dan kaum muslimin seluruhnya, aamiin. (Abu Umar Abdillah)