Ribath, Siaga di Jalan Taat

Dalam Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim disebutkan bahwa suatu kali Abdullah bin Mubarak Rahimahullah pernah ditanya tentang ribath di jalan Allah, lalu beliau menjawab : “Jagalah dirimu utnuk senantiasa di atas kebenaran, hingga tegak di atas kebenaran, itulah seutama utama ribath! “

Ribath di Jalan Taat

Abdullah bin Mubarak Rahimahullah tidaklah bermaksud menganggap enteng ribath (berjaga jaga menghadapi musuh di medan perang). Kita tahu bahwa beliau bukan saja tokoh tabi’in yang dikenal dengan “Amiirul Mukminin fil hadits”, pimpinan orang-orang beriman dalam hal hadits. Namun beliau juga seorang mujahid yang sering terjun di kancah fie sabiilillah, hingga jika di bulan dzulhijjah beliau tidak mendatangi baitullah untuk berhaji, berarti beliau sedang berada di medan ribath dan jihad. Meskipun di zaman beliau saat itu jihad menjadi fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain.

Beliau juga tidak bermaksud memalingkan manusia dari keutamaan ribath, akan tetapi beliau berbicara kepada umat di masa dan tempat yang damai, aman dari perang. Beliau hanya khawatir, di saat orang-orang sedang berada dalam situasi aman, mereka akan berleha-leha, cenderung lengah dan terbuai oleh kenyamanan. Maka beliau mengingatkan, bahwa ribath dengan pengertian siaga di jalan ketaatan senantiasa diharuskan; kapan, di mana dan dalam siatuasi apapun. Agar umat tidak berada dalam kelemahan, malas untuk berjaga jaga, sehingga pada gilirannya mereka tidak akan mampu bertahan di jalan istiqamah yang penuh dengan tantangan di seluruh lininya.

Seperti hari ini, nas’alullahal ‘aafiyah, betapa umat menjadi lengah dan tidak peka akan ‘keganasan’ musuh yang telah merampas keyakinan umat hingga tak sedikit yang akhirnya sesat, bahkan sebagian lagi murtad. Tidak pula siaga dan berjaga di medan dakwah, hingga musuh dengan leluasa menyerang dengan syubhat-syubhat yang menjauhkan umat dari kebenaran dan ketaatan, nyaris tanpa perlawanan yang signifikan.

Lemah juga kewaspadaan terhadap penderitaan umat, hingga celah itu dimanfaatkan oleh pihak luar yang merebut simpati kaum muslimin dengan iming-iming duniawi. Sementara kita tetap santai, merasa tidak ada perang, dan tidak perlu ada yang berjaga maupun yang dijaga. Sehingga kemunduran umat dirasakan di hampir seluruh lini, karena absennya kaum muslimin di hamper sepanjang perbatasan antara yang haq dan yang bathil.

Bahkan, kalau kita mau bercermin, kaum muslimin lemah untuk menjaga dirinya sendiri agar pijakannya tetap kokoh berada di atas ketaatan. Jika suatu waktu ketat penjagaannya, namun terlampau teledor di kesempatan yang lain.

Seperti pemandangan yang sekaan menjadi tradisi rutin, di masa hadirnya Ramadhan, tampak kegigihan dan antusias kaum muslimin dalam ketaatan, dan siaga dalam menjalankan rangkaian amal-amal keshalihan. Akan tetapi, tak ada lagi gerakan siaga dengan berakhirnya Ramadhan. Nyaris semua tiarap, banyak yang terlelap dan hanya sedikit saja yang tetap melek terjaga. Padahal, siaga dalam ketaatan dan amal shalih menjadi tuntutan setiap saat. Mereka siaga pada saat setan di belenggu, namun lengah pada saat setan terlepas dari belenggunya.

Padahal Syariat telah membimbing cara agar tetap senantiasa siaga dalam taat. Disunnahkannya enam hari shaum di bulan syawal adalah di antara cara untuk terbiasa menjaga shaum. Begitupun dengan shalat malam ,membaca al-Qur’an dan amal shalih yang lain tak hanya khusus dianjurkan di bulan Ramadhan.

 

Keutamaan Ribath

Hal yang menarik, ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam menghasung kita untuk terus siaga untuk shalat dan menyebutnya sebagai ribath. Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda,

أَلَا أَدُلّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَع بِهِ الدَّرَجَات ؟ قَالُوا : بَلَى يَا رَسُول اللَّه قَالَ : إِسْبَاغ الْوُضُوء عَلَى الْمَكَارِه وَكَثْرَة الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِد وَانْتِظَار الصَّلَاة بَعْد الصَّلَاة فَذَلِكُمْ الرِّبَاط

“Maukah kutunjukkan kepadamu apa yang dapat menghapus dosa dan meningkatkan derajat?” Para sahabat menjawab, “Baik wahai Rasulullah!” Beliau bersabda, “Menyempurnakan wudhu di saat kesukaran, memperbanyak langkah kaki ke masjid, menunggu shalat (berikutnya) sesudah menunaikan shalat. Itulah ribath.” (HR Muslim)
Dengan menggunakan kata ribath, beliau memberikan perumpamaan seseorang yang membiasakan diri dalam keadaan wudhu untuk bersiap shalat, melangkahkan kaki ke masjid dan memakmurkan seperti orang yang ribath yang memiliki pahala besar.

Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan makna ribath dalah hadits tersebut, “asal makna ribath adalah al-habsu (menahan) atas sesuatu, seperti menahan dirinya untuk berada dalam ketaatan ini.” Beliau juga mengatakan bahwa hadits ini mengandung pengertian tentang jenis ribath yang lebih mudah dan lebih memungkinkan untuk dikerjakan, sehingga berjaga-jaga untuk shalat merupakan satu jenis dari ribath.” Beliau menukil pendapat tersebut dari al-Qadhi ’Iyadh. Penafsiran ini menguatkan apa yang disampaikan oleh Abdullah bin Mubaarak rahimahullah, bahwa ribath tak hanya dibutuhkan di medan perang saja.

Sedangkan al-Mubaarakfuri dalam Tuhaftul Ahwadzi mengaitkan antara dua jenis ribath ini, “Pengertian asal dari ribath adalah ketika dua kubu saling berjaga di perbatasan yang diperkirakan dari arah situlah lawan akan menyerang. maka membiasakan diri untuk bersuci dan yang semisalnya itu seperti (ribath dalam) jihad. Ada pula pendapat yang menjelaskan maknanya bahwa amal tersebut bisa menahan seseorang dari maksiat dan mencegahnya dari  hal-hal yang haram, begitulah yang disebutkan dalam al-Majma’.”

Di sisi lain, hadits Ini menggambarkan keutamaan menjaga shalat, sekaligus keutamaan ribath  yang dijadikan sebagai kemiripan yang dijadikan sebagai “iming-iming” pahala yang dijanjikan. Karena memang ribath memiliki pahala yang besar, dan keutamaan seperti itu bias diraih di waktu aman.

Banyak fadhilah yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam perihal keutamaan ribath. Di antaranya sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

رِبَاطُ يَوْمٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا

“Ribath (bersiap siaga) satu hari di jalan Allah lebih baik dari dunia dan apa saja yang ada di atasnya.” (HR Bukhari)

Lantas bagaimana denagn orang yang melakukan ribath berhari-hari dan bahkan berbulan-bulan?

Pahala orang yang ribath juga terus mengalir hingga hari Kiamat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

“Ribath (berjaga-jaga di perbatasan) sehari semalam lebih baik daripada puasa dan shalat malam sebulan penuh, jika dia meninggal maka amalannya senantiasa mengalir sebagaimana yang pernah dia amalkan, mengalir pula rizkinya dan terbebas dari fitnah.” (HR Muslim)

Dan faedah yang sangat bermanfaat adalah, bahwa neraka pantang untuk menyentuh mata yang dipergunakan untuk ribath siaga di jalan Allah,

عَيْنانِ لا تَمَسُّهُما النارُ: عينٌ بكَتْ من خشْيةِ اللهِ، وعينٌ باتَتْ تَحرُس في سبيلِ اللهِ

“Dua mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka: (pertama) mata yang menangis karena takut kepada Allah, (kedua) mata yang bermalam dalam keadaan berjaga di jalan Allah.” (HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani)

Jika demikian besar keutamaan ribath di fie sabiilillah, maka besar pula keutamaan amal yang disebutkan memiliki pahala ribath.

Meski secara maupun dalil, hanyaa ada dua jenis ribath yang disebutkan secara definitif; yakni ribath di medan perang fie sabiilillah dan ribath berjaga-jaga untuk shalat, namun hikmah maupun faedah yang terkandung dalam ribath berlaku pula dalam seluruh lini kebaikan, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama di atas.

baca juga: Taat di Saat Ringan dan Berat

Ringkasnya, bahwa ribath itu ada dua macam; pertama, ribath (terikat) di front peperangan untuk membela dan atau menegakkan Islam. Kedua, ribath (terikat) secara ruhiyah yaitu memelihara diri jangan sampai terjatuh ke dalam larangan Allah. Juga berkomitmen untuk mengerjakan amal-amal shalih dan membiasakannya terus menerus. Ribath ini wajib dikerjakan oleh seluruh Muslimin di segala waktu dan tempat. Ribath jenis kedua tidak menggugurkan ribath yang pertama, bahkan umumnya orang-orang yang mampu melakukan ribath dengan jenis yang pertama telah melalui ujian dengan ribath yang kedua. Wallahu a’lam bishawab. (Abu Umar Abdillah)

 

# jalan taat # jalan taat # jalan taat # jalan taat # jalan taat #

Dari Jurang Sengsara Menuju Puncak Bahagia

Perjalanan manusia di akhirat berakhir di finish yang berbeda-beda. Setelah berakhirnya keputusan di Makhsyar, dibagikan catatan amal, dihisab dan ditimbang amalnya, maka ada yang langsung digiring ke neraka tanpa melewati jembatan shirath. Mereka adalah orang-orang kafir dan musyrikin.
Yang Kekal di Neraka

Imaam Ibnul Jauzi رحمه الله, berkata, “Adapun orang-orang yang musyrik maka mereka itu tidak akan melewati jembatan shirath, dan mereka akan dimasukkan ke dalam Jahannam bahkan sebelum dipancangkannya Shirath.”
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

يَجْمَعُ اللَّهُ النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُولُ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ شَيْئًا فَلْيَتَّبِعْهُ. فَيَتَّبِعُ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ الشَّمْسَ الشَّمْسَ وَيَتَّبِعُ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ الْقَمَرَ الْقَمَرَ وَيَتَّبِعُ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ الطَّوَاغِيتَ الطَّوَاغِيتَ

Allah Ta’ala akan mengumpulkan manusia pada Hari Kiamat dan berfirman, “Barangsiapa yang menyembah sesuatu, maka ikutilah dia.” Maka orang yang menyembah matahari akan mengikuti matahari. Siapa yang menyembah bulan maka ia akan mengikuti bulan. Siapa yang menyembah thaghut, maka ia pun akan mengikuti thaghut –orang yang rela diibadahi-.” (HR Bukhari)

Ibnu al-Jauzi رحمه الله melanjutkan keterangannya, “Hadits tersebut dengan jelas menerangkan bahwa siapa saja yang pernah menampakkan penghambaan diri kepada selain Allooh سبحانه وتعالى, misalnya dari kalangan Ahlul Kitab, orang Nashoroyang menyembah Al Masih, dan orang Yahudi yang menyembah ‘Uzair,maka mereka semua akan mengikuti di belakang kaum musyrikin untuk jatuh ke dalam neraka sebelum dihamparkannya Shirath.”

Mereka itulah orang-orang yang kekal di neraka. Mereka tak bisa keluar dari neraka, tak bisa masuk ke dalam jannah seperti mustahilnya onta masuk ke dalam lubang jarum.
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami dan menyombongkan diri terhadapnya, tidak akan dibukakan baginya pintu langit dan tidak pula masuk surga sampai unta masuk lubang jarum” (QS al-A’raf 40)

Ayat tersebut dan juga ayat-ayat sebelumnya menunjukkan, bahwa yang kekal di neraka itu adalah orang-orang kafir dan musyrikin. Adapun orang-orang mukmin yang bermaksiat tidak masuk dalam ketegori ayat tersebut.
Jahannamiyun, dari Sengsara Menuju Bahagia

Adapun orang-orang yang memiliki keimanan, akan menyeberangi shirath dengan tingkat kesulitan dan kemudahan tergantung amalnya di dunia. Ada yang lolos dalam penyeberangan, namun tidak sedikit yang berguguran jatuh ke dalam neraka jahannam yang terletak di bawah shirath.

Mereka akan merasakan pedihnya neraka dengan aneka ragam siksa dan jangka waktu tergantung kadar maksiatnya di dunia. Tapi seringan-ringannya siksa di neraka adalah tatkala diletakkan kerikil di kakinya, maka mendidihlah kepalanya saking panasnya.

Mereka tidak selamanya berada di neraka. Pada akhirnya akan tersudahilah derita yang luar biasa. Mereka dikeluarkan dari neraka sementara wajah mereka telah gosong lantaran terpanggang api neraka. Hingga kemudian diceluplah mereka di sungai Hayat (sungai kehidupan). Dan setelah itu dimasukkanlah mereka ke dalam jannah. Sebagaimana kabar dari Nabi shallallahu alaihi wasallam,

يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ وَأَهْلُ النَّارِ النَّارَ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَخْرِجُوا مِنْ النَّارِ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ فَيُخْرَجُونَ مِنْهَا قَدْ اسْوَدُّوا فَيُلْقَوْنَ فِي نَهَرِ الْحَيَا (أَوْ الْحَيَاةِ) فَيَنْبُتُونَ كَمَا تَنْبُتُ الْحِبَّةُ فِي جَانِبِ السَّيْلِ أَلَمْ تَرَ أَنَّهَا تَخْرُجُ صَفْرَاءَ مُلْتَوِيَةً

“Yang berhak masuk surga akan masuk surga, yang harus masuk neraka akan masuk neraka. Lalu Allah Ta’ala berfirman, “Keluarkanlah mereka yang mempunyi iman walaupun hanya seberat satu biji benih sawi!!! Maka mereka keluar dari neraka dan benar-benar mereka itu sudah gosong hitam pekat kemudian mereka ini dicelup ke dalam sungai Hayat, lalu dia tumbuh seperti benih diujung aliran air…”(HR Bukhari no.21).

Mereka itulah yang dijuluki jahannamiyun, atau mantan penduduk jahannam lantaran mereka pernah menjadi penghuni neraka. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

لَيُصِيبَنَّ أَقْوَامًا سَفْعٌ مِنَ النَّارِ بِذُنُوبٍ أَصَابُوهَا عُقُوبَةً ثُمَّ يُدْخِلُهُمُ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ يُقَالُ لَهُمُ الْجَهَنَّمِيُّونَ

“Dari Anas r.a. bahwa Nabi Saw bersabda, “Akan ada beberapa kaum tampak sangat hitam dari api neraka, karena dosa-dosa yang pernah mereka lakukan sebagai hukuman atas mereka, kemudian Allah memasukkan mereka ke dalam surga dengan kurnia rahmat-Nya, mereka itulah yang dinamakan jahannamiyun (mantan penghuni neraka jahannam).” (HR Muslim)

Maka berubahlah keadaan mereka secara total. Yang sebelumnya berada di jurang kesengsaraan neraka dan disiksa tanpa jeda, akhirnya berpindah ke tempat yang penuh dengan kenikmatan tiada tara. Dimulai sejak dicelupkannya mereka ke dalam sungai Hayat, kelak, hanya dengan sekali celupan saja di jannah, penderitaan orang yang paling sengsara di duniapun akan hilang seketika tanpa bekas, tanpa sisa. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا، مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ، فَيُقَالُ لَهُ: يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ: لَا، وَاللهِ يَا رَبِّ مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ قَطُّ، وَلَا رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ

Kemudian didatangkan seorang penghuni jannah yang paling sengsara sewaktu di dunia, lalu ia dicelupkan sekali celupan di jannah, kemudian ia ditanya,”Adakah engkau merasakan penderitaan? adakah engkau pernah merasakan kesengsaraan?” Ia menjawab,”Tidak, demi Allah wahai Rabbku. Aku tidak merasakan penderitaan sedikitpun dan sama sekali belum pernah mengalami kesengsaraan.” (HR Muslim)

Merekapun tinggal di kediaman kenikmatannya belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar telinga dan belum pernah mereka bayangkan sebelumnya.

Mereka sama sekali tidak menyesal lantaran di dunia belum memliki rumah megah ataupun kendaraan mewah. Karena telah disediakan untuk mereka sebuah rumah, “Yang batu batanya dari perak, dan batu bata dari emas, lantainya dari minyak kasturi yang kuat wanginya, kerikilnya berupa permata dan berlian, dan tanahnya dari za’faron.” Kemahnya, enampuluh mil panjangnya. Seluruh yang dilihat dan dirasakan adalah kenikmatan belaka.

Agar Tak ‘Mampir’ di Neraka
Meskipun penderitaan jahannamiyun tidak kekal dirasakan, bukan berarti kita boleh meremehkannya. Karena siksa neraka tak bisa dialihkan dengan hiburan, tidak pula didapatkan penawarnya selagi masih berada di neraka. Sementara rasa sakitnya dahsyat tiada tara. Maka, semestinya kita berusaha selagi masih ada kesempatan, agar kita tak perlu ‘mampir’ di neraka.

Semua manusia pastipernah meakukan dosa. Dan Allah telah menyediakan sarana bagi mereka untuk membersihakn diri dari dosa-dosa mereka. Bagi pelaku dosa, ada tiga ‘sungai’ tersedia di dunia, sehingga para pendosa bisa membersihkan dosa-dosanya di sana. Jika dosa-dosanya belum bersih dengannya, maka ada kemungkinan dosanya akan dibersihkan di neraka.

‘Sungai’ yang pertama adalah taubat nasuha. Maka barangsiapa yang membersihkan dirinya dengan bertaubat nasuha, dosa-dosanya akan berguguran seperti tidak pernah melakukan dosa. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ، كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

“Orang yang bertaubat dari dosa, seperti orang yang tidak pernah melakukan dosa.” (HR Ibnu Majah, al-Albani mengatakan, “hasan)

Sungai yang kedua adalah “al-hasanah”, atau amal kebaikan yang menghapus dosa-dosa. Sebagaiman wasiat Nabi shallallahu alaihi wasallam,

اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا

“Bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada, dan ikutilah (hapuslah) keburukan dengan amal kebaikan yang bisa menghapus keburukan.” (HR Tirmidzi)

Banyak amal kebaikan yang bisa menghapus dosa-dosa, seperti shaum Arafah, shaum Asyura, dari umrah ke umrah, wudhu, memperbanyak langkah kaki ke masjid dan masih banyak lagi.

Adapun ‘sungai’ ketig adalah bersabar saat ditimpa musibah. Bagi seorang mukmin, musibah sekecil apapun itu bisa berkhasiat menggugurkan dosa-dosa, seperti pohon menggugurkan daun-daunnya. Dengan syarat ia bersabar dalam menjalaninya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُشَاكُ شَوْكَةً فَمَا فٌوْقَهَا إِلَّا كُتِبَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةً وَ مُحِيَتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيْئَةً

“Tidaklah dari seorang Muslim yang tertusuk duri hingga apa-apa yang lebih berat darinya, kecuali dicatat baginya derajat dan dihapus darinya dengan hal itu kesalahan.” (HR Muslim).

Maka jika Allah menghendaki kebaikan hambaNya yang berdosa, Dia akan memasukkannya ke tiga sungai yang ada, hingga ia telah bersih saat menghadap Rabbnya. Tapi jika ketiga sungai itu belum cukup untuk membersihkannya, bisa jadi dosanya akan dibersihkan di neraka, nas’alullahal ‘afiyah. Semoga Allah mengampuni dan menghapus dosa-dosa kita. Amiin. (Abu Umar Abdillah)

Minal Aidin wal Faizin

’Minal Aidin wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin’, rasanya tidak ada yang lebih populer dari kalimat ini saat momen ’idul fithri datang hingga habisnya bulan Syawal. Ada yang menarik untuk dikritisi dari kalimat ini. Tentang susunan kalimatnya, makna yang terkandung di dalamnya, begitupun tentang kebiasaan orang dalam melafalkan dan menuliskannya. Dan termasuk asal usul kalimat ini, sekaligus hukum melafalkannya sebagai ucapan saat datang Idul fithri.

Tentang lafal dan tulisan, kita sering dapatkan ada beberapa versi ungkapan yang terpajang di spanduk, kartu lebaran dan media cetak, begitupun dalam pelafalan. Seperti; minal aidzin wal faidzin, minal aizin wal faidzin atau minal aizin wal faizin. Tak semua memahami asal dari kalimat tersebut, atau sekedar tulisannya dalam versi Arab juga jarang didapatkan.Yang ada biasanya versi tulisan latin dengan pilihan font yang seperti huruf Arab. Sebagian lagi mendapatkan hanya dari mulut ke mulut, sehingga ada sisi kesalahan ucap secara bahasa. Supaya lebih jelas, tulisan dalam bahasa Arab aslinya berbunyi,

مِنَ اْلعَائِدِيْنَ وَ اْلفاَئِزِيْنَ

Yang jika ditransliterasikan ke dalam bahasa Indonesia sekurang-kurangnya berbunyi “Minal ‘aidin wal Faizin”
Yang kedua, dari susunan kalimatnya. Dhahir kalimat tersebut sepertinya tidak menunjukkan sebagai jumlah mufiidah (kalimat sempurna) yang setidaknya memenuhi unsur Mubtada’ dan Khabar jika jumlah ismiyah (kalimat yg diawali dengan kata benda), atau fi’il dan fa’il jika berupa jumlah fi’liyah (kalimat yg diawali dengan kata kerja).
Mungkin benar apa yang dikatakan Qaris Tajudin dalam buku berjudul “Bahasa!” terbitan TEMPO. Di halaman 177 buku ini, Qaris Tajudin mengungkapkan bahwa memang frasa Minal Aidin Wal Faizin “berasal dari bahasa Arab, bahasa yang banyak menyumbang istilah keagamaan di Indonesia, baik agama Islam maupun Kristen.”
Qaris mengatakan bahwa selain tidak dikenal dalam budaya Arab, frasa Minal Aidin Wal Faizin juga hanya dapat dimengerti oleh orang Indonesia. Frasa ini bisa ditemui dalam kamus bahasa Indonesia, tapi tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab, kecuali dalam tema kata per kata.

Ungkapan tersebut seperti penggalan dari sebuah kalimat, atau ada yang tersembunyi di bagian awalnya. Mungkin dengan mengucapkan penggalan kalimat tersebut, yang diajak bicara sudah dianggap paham maksud dan arti secara keseluruhan. Dan sayangnya, kebanyakan kaum muslimin di Indonesia tidak banyak yang mengetahui penggalan awalnya. Karena memang bahasa Arab bukan mnejadi bahasa yang dipahami kebanyakan kita. Sekurang-kurangnya, penggalan awal dari kalimat tersebut berbunyi:

جَعَلَناَ اللهُ وَ إِيَّاكُمْ

Sehingga kalimat komplitnya berbunyi:

جَعَلَناَ اللهُ وَ إِياَّكُمْ مِنَ الْعَائِدِيْنَ وَ اْلفَائِزِيْنَ

Atau ditransliterasikan dalam bahasa Indonesia menjadi, “ja’alanallahu wa iyyakum minal ‘aidin wal faaiziin.”

Makna Kalimat Minal Aidin wal Faizin
Poin ketiga yang menarik untuk dikritisi adalah sisi makna. Dalam survey kecil-kecilan yang Penulis lakukan, masyarakat mengartikan kalimat minal ‘aidin wal faizin dengan ‘mohon maaaf lahir dan batin.’ Silakan Pembaca juga bisa mengecek secara acak bertanya kepada semabarang orang. Mungkin karena kedua kalimat itu sering atau bahkan selalu disandingkan, maka banyak yang mengira keduanya bermakna sama. Padahal, antara keduanya memiliki makna yang jauh. Adapun secara harfiah, makna penggalan kalimat tersebut adalah ‘min’ artinya dari (termasuk dari), ’aidin artinya orang-orang yang kembali (kepada Allah), wa artinya dan, sedangkan al-faizin maknanya golongan orang-orang yang sukses atau memperoleh kemenangan.
Jika digabung dengan penggalan kalimat pertama, maka makna “ja’alanallahu wa iyyakum minal ‘aidin wal faaiziin” adalah, “Semoga Allah menjadikan kami dan juga Anda termasuk golongan orang-orang yang kembali kepada Allah dan sukses (dalam mengisi Ramadhan).”
Jadi kalimat tersebut secara makna tidak ada kaitannya dengan saling meminta maaf dan memaafkan, tapi berupa ungkapan untuk saling mendoakan.

Ucapan Selamat di Hari Idul Fithri
Ungkapan minal ‘aidin wal faizin sama sekali tidak dikenal di zaman salaf, dan tak ada sama sekali riwayat dari Nabi shalallahu alaihi wasallam yang menyebutkan hal itu. Ungkapan tahniah (ucapan selamat) yang disebutkan atsarnya dari para sahabat adalah, “taqabballallahu minna minkum”, semoga Allah menerima amalku dan juga amal kalian.

عَنْ جُبَيْر بْنِ نُفًيْر قَالَ: كَانَ أَصْحاَبُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذاَ الْتَقَوْا يَوْمَ اْلعَيْدِ يَقُوْلُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: تَقَبَّلَ اللهُ مِناَّ وَمِنْكَ. قال الحافظ: إسناده حسن”

Dari Jubair bin Nufair, ia berkata, “Dahulu para sahabat Nabi shalallahu’alaihi wasallam mengucapkan ‘Taqabbalallahu minna wa minkum’ ketika saling bertemu di hari Idul Fitri.” Al-Hafidz (Ibnu Hajar) berkata tentang riwayat ini, “Sanadnya hasan.” Syeikh al-Albani dalam Tamaamul Minnah mengomentari bahwa sanad dari riwayat ini shahih.
Tentang ucapan selamat dengan versi yang lain, di antara ulama seperti Syeikh Muhammad bib Shalih al-Utsaimin membolehkan ucapan selamat dengan ungkapan ‘ied mubarak dan semisalnya. Hanya saja, apa yang menjadi kebiasaan para sahabat tentu lebih baik. Wallahu a’lam. (Abu Umar Abdillah)

Kendala Sirna Karena Takwa

Tak sedikit orang yang berpikir, bahwa hidup tanpa aturan halal haram lebih berpeluang untuk mendapatkan kemudahan. Dengan tanpa aturan mereka merasa memilki lebih banyak pilihan dan jalan. Ingin sukses menjadi pejabat, ingin menjadi orang kaya, ataupun keinginan lain yang disangka mendatangkan kebahagiaan dirinya. Tak peduli dengan cara suap, penghasilan riba, menjual makanan yang haram, menanggalkan syariat demi sebuah karier yang kesemuanya terbebas dari pertimbangan syar’i.

Begitupun dalam menghadapi solusi dari setiap problem yang dihadapi. Tanpa mengindahkan batasan syariat, mereka merasa lebih leluasa untuk mencari jalan keluar. Mereka bisa mencoba semua cara yang pernah dilakukan manusia. Baik tatkala menghadapi problem pekerjaan, terlilit hutang, berurusan dengan perselisihan, atau sakit yang tak kunjung sembuh. Mereka bisa mengenakan jimat, mendatangi dukun, berbohong dan cara-cara lain yang rasional maupun tidak, tanpa dibayang-bayangi oleh norma syar’i, halal ataukah haram.

Begitulah logika hawa nafsu yang tidak mengenal Sang Pencipta. Seakan alam ini berjalan begitu saja tanpa ada yang mengaturnya. Seakan kejadian dan peristiwa itu bisa terjadi tanpa kehendak-Nya.

Urusan Mudah dengan Takwa

Berbanding terbalik dengan logika iman yang Allah ajarkan. Justru dengan takwa, segala urusan menjadi mudah. Dengan membatasi diri dengan yang halal, dan meninggalkan semua cara-cara haram, kemudahan akan didapat. Bukankah Allah yang menciptakan manusia, Dia pula yang paling tahu tentang kebutuhan hamba-Nya, dan jalan apa yang paling mudah untuk meraihnya. Maka Allah menggariskan jalan berupa syariat kepada manusia. Dengannya manusia akan berhasil menemukan keberuntungan dan kemaslahatan yang didambakan, asal mereka sudi menempuh jalannya.

Taat terhadap perintah dan larangan syariat inilah realisasi dari takwa. Makin taat terhadap aturan, makin mulus jalan bagi seseorang untuk meraih tujuan. Tidak mungkin dia akan dikecewakan. Karena mustahil Allah mengingkari janji-Nya, mempermainkan atau menzhalimi hamba-Nya yang telah tunduk dan taat di atas aturan yang digariskan-Nya. Allah telah berjanji,

“Adapun orang yang memberi dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (jannah), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. 92:5-7)

Itulah kabar gembira bagi orang yang berbekal takwa dalam memburu kemaslahatan. Dia akan dimudahkan dalam segala urusan kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Bukan saja kemudahan tatkala mendapatkannya, tapi juga berupa ketenangan, kenyamanan dan kebahagiaan yang menyertainya. Orang yang bermuamalah dengan jujur misalnya, maka Allah akan memudahkan urusannya dan memberkahi usahanya. Dan setelah tujuan itu tercapai, pun tidak menyisakan was-was atau kekhawatiran, karena ash-shidqu thuma’niinah, kejujuran itu membawa ketenangan.

Pada ayat berikutnya, Allah menyebutkan yang sebaliknya. Ada kabar buruk bagi orang yang tak mengindahkan takwa, yakni berupa jaminan kesulitan dan kesukaran yang akan ditemuinya. Allah berfirman,

“Dan Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (QS al-Lail 8-10)

Ada yang menarik dari dua kondisi berkebalikan yang disebutkan di atas. Sudah sangat maklum ketika Allah menyebutkan, kebalikan dari memberi adalah bakhil, kebalikan dari membenarkan adalah mendustakan, dan kebalikan dari kemudahan adalah kesulitan. Tapi, kenapa Allah menyebutkan kebalikan dari ‘ittaqa’ (takwa) adalah ’istaghna’, merasa tidak butuh (terhadap pertolongan Allah)?

Ada jawaban yang memuaskan dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah tentang hal ini, sebagaimana beliau sebutkan dalam kitabnya At-Tibyaan fii Ahkaamil Qur’an. Beliau menyebutkan, bahwa orang yang bertakwa, tatkala menyadari betapa mereka itu fakir di hadapan Allah, dan amat membutuhkan pertolongan Allah, maka dia takut mengundang murka dan kemarahan Allah, takut melanggar apa yang dilarang oleh Allah. Sungguh ini adalah argumen yang sangat tepat. Bagaimana mungkin seseorang berani membuat kecewa dan sengaja memancing kemarahan Dzat yang berwenang dan Kuasa memberikan segala sesuatu atau mencegahnya?

Maka tepat jika disebutkan bahwa kebalikan dari takwa adalah ’istaghna’, merasa tidak butuh pertolongan Allah. Orang yang tidak merasa butuh pertolongan-Nya, maka dia tidak peduli atas segala tindakannya. Dia tidak takut bermaksiat dan mengundang murka-Nya. Maka sebagai balasan dari rasa congkaknya itu, Allah akan menimpakan kesulitan yang senantiasa mengepungnya dari segala arah. Hingga sulit baginya mendapatkan kemaslahatan hakiki yang menenangkan jiwa dan hati.

Sekilas ada yang janggal, karena faktanya banyak orang yang menempuh jalan haram, namun dengan mudah bisa mencapai tujuannya. Mari kita renungkan dengan seksama, apakah benar mereka mendapatkan kemudahan? Karena ukuran kemudahan itu tidak hanya diukur dari start seseorang memulai usaha sampai tujuan teralisasi. Namun juga melihat resiko di belakangnya. Bagaiamana dikatakan kemudahan, jika setelah tujuan tercapai justru membawa efek kegundahan dan kekhawatiran di belakangnya? Atau bahkan resiko yang lebih besar serta berefek pada keruwetan yang berkepanjangan? Mungkin orang bisa cepat kaya dengan korupsi, tapi apakah ini berarti kemudahan? Bukan..! sekali lagi bukan! Karena hati maling tak pernah tenang, takut jika perbuatannya diketahui. Dan tatkala aksinya benar-benar ketahuan, buntutnya adalah problem berkepanjangan. Ini hanya sekedar sampel, namun begitulah ujung dari semua cara meraih tujuan yang tidak memenuhi unsur takwa, sulit dan rumit. Belum lagi kesusahan yang lebih berat dan lebih kekal akan mereka alami di akhirat kelak, nas’alullahal ’aafiyah.

Kendala Sirna Karena Takwa

Di samping memuluskan jalan meraih kebaikan dan kemaslahatan, takwa juga menjadi solusi mujarab atas semua problem yang dihadapi manusia. Abu Dzar radhiyallahu ’anhu menceritakan, bahwa suatu kali Nabi saw membaca firman Allah,

”Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS ath-Thalaq 2-3)

Beliau mengulang-ulang ayat itu kemudian bersabda,

ياَ أَباَ ذَرٍّ لَوْ أَنَّ الناَّسَ أَخَذُوْا بِهاَ لَكَفَتْهُمْ

”Wahai Abu Dzar, seandainya manusia mengambil (cara) ini, niscaya akan mencukupi mereka.” (HR al-Hakim beliau mengatakan, sanadnya shahih. Adz-Dzahabi juga menyebutkan dalam at-Talkhis bahwa hadits ini shahih)

Ayat tersebut tidak menyebutkan jalan keluar dari problem apa, ini menunjukkan keumuman makna. Artinya, bahwa takwa menjadi jalan keluar bagi seluruh problem yang di hadapi manusia. Abu al-Aliyah menafsirkan ayat tersebut, ”Yakni jalan keluar dari segala kesulitan. Ini mencakup segala kesulitan di dunia maupun di akhirat, serta kesempitan di dunia maupun di akhirat.”

Inilah resep paling ampuh untuk mengatasi segala masalah. Solusi yang tak mungkin salah. Karena berasal dari Dzat yang Mahatahu dan Mahakuasa atas segala sesuatu. Banyak sudah bukti yang dirasakan oleh orang-orang yang berusaha merealisasikan takwa. Ibnu al-Jauzi adalah salah satu orang yang telah merasakan khasiatnya. Sebagaimana pengakuan beliau dalam kitabnya ’Shaidul Khaathir’, di mana beliau berkata, ”Suatu kali saya mengalami problem yang rumit. Urusan yang menimbulkan kegundahan berkepanjangan. Lalu aku berpikir keras untuk mencari solusi dari kegelisahan ini. Dari segala solusi yang mungkin, saya kaji dari berbagai sisi, namun saya belum juga mendapat jawaban yang memuaskan. Lalu ditawarkan kepadaku solusi dari firman-Nya,

”Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.” (QS ath-Thalaq 2)

Lalu saya pun tahu, bahwa takwa adalah solusi paling handal untuk menyudahi segala kegundahan. Maka setiap kali saya berusaha merealisasikan takwa, disitulah saya dapatkan jalan keluar.”

Adapun, cara-cara yang dilakukan oleh orang-orang fajir, meski sekilas tampak ada penyelesaian dari satu sisi, namun dampak negatif yang ditimbulkannya lebih luas dan lebih berat lagi. Karena Allah menjanjikan kesulitan bagi mereka yang melanggar rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Allah. Mereka yang lebih percaya dengan jimat, dukun ataupun cara haram yang lain, tak mungkin mendapat solusi yang memadai. Begitupun orang yang tak merasa butuh dengan pertolongan Allah, dan hanya mengandalkan kekuatan fisik dan akalnya semata. Justru rasa takut yang makin akut, depresi yang terus menghantui dan keruwetan yang menjadi-jadi, laksana benang kusut yang tak jelas pangkal dan ujungnya. Belum lagi kesulitan akhirat yang lebih berat dan lebih abadi. Allahumma rahmataka narju, wa laa takilna ilaa anfusina tharfata ’ain. (Abu Umar Abdillah)

Karena Prasangka Menjadi Nyata

Ibnu Hibban meriwayatkan, bahwa Nabi Ayyub AS terjangkit penyakit selama delapan belas tahun. Hingga orang-orang dekat maupun yang jauh mengasingkan beliau. Kecuali dua orang dari saudaranya. Di mana keduanya setiap pagi dan sore menjenguk beliau. Suatu hari, salah seorang dari keduanya berkata kepada yang lain, ”kamu tahu, demi Allah Ayyub telah melakukan suatu dosa yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun di alam ini.” Temannya berkata, ”Apa itu?” Dia menjawab, ”Sejak delapan belas tahun Allah tidak mengasihi dia.” (Silsilah ash-shahihah, al-Albani menyatakan ’shahih’)
Perbincangan itu sampai ke telinga Ayyub AS. Namun, semua itu tidak menyurutkan harapannya kepada Allah. Beliau ridha atas ketetapan Allah, dengan tetap optimis, bahwa Allah akan mengasihi dan menolongnya. Subhanallah, selama delapan belas tahun, beliau menjaga prasangka baiknya kepada Allah, dan tak pernah turun kadarnya dengan interval waktu yang begitu lama. Hal yang barangkali seandainya terjadi di antara kita (nas’alullahal ’aafiyah), harapan segera pupus setelah beberapa lama berusaha dan berdoa. Atau minimal terjadi pergulatan hebat antara keyakinan, keraguan dan bahkan ketidakpercayaan. Namun, tidak demikian dengan Nabi Ayyub AS. Hingga suatu hari, Allah mewahyukan kepada beliau,
”(Allah berfirman): “Hantamkanlah kakimu; Inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum”. (QS. Shaad 42)
Begitulah, kemudian beliau sembuh total, seperti tidak pernah sakit sebelumnya, dan bahkan keadaannya lebih baik dari sedia kala.

Prasangka Menjadi Nyata
Apa yang dialami Nabi Ayyub alaihis salam itu menguatkan kebenaran hadits qudsy, di mana Nabi saw bersabda bahwa Allah Ta’ala berfirman,
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى
”Aku tergantung persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.” (HR Bukhari)
Selagi seseorang berharap sembuh kepada Allah, dan terus terjaga prasangka baiknya kepada Allah, niscaya Allah akan menyembuhkannya. Begitu pula sebaliknya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, di mana ketika Nabi menengok seorang badui yang sedang sakit, beliau mengatakan, “la ba’sa, thahuurun insya Allah!”, tidak apa-apa, menjadi pembersih (dosa) in syaaAllah. Tapi, si badui itu malah menyanggah dengan kata-kata, “(Penyakit ini menjadi) pembersih katamu? Bukan, ini adalah demam tinggi yang menyerang si tua renta dan akan mengantarkannya ke dalam kubur!” Nabi saw menjawab, “na’am idzan”, ya, baiklah kalau begitu. Maka sakit itupun menyebabkan si badui itu wafat. Begitulah, buruk sangka menghasilkan hasil yang buruk, sebagaimana berbaik sangka kepada Allah membuahkan hasil yang diinginkan.
Betapa sering manusia menghadapi masa-masa menentukan seperti itu; antara sembuh dan tidak sembuh, antara selamat atau tidak selamat, antara optimis dan pesimis, antara berharap dan putus asa. Dan kesudahan yang akan terjadi, sangat bergantung dengan persangkaan dalam hatinya.
Dalam hal perolehan manfaat juga seperti itu. Manusia sering diuji persangkaannya kepada Allah, antara berhasil atau gagal, pesimis ataukah pesimis. Kemana arah persangkaannya, di situlah hasil yang akan dipetiknya.
Begitu pentingnya husnuzhan kepada Allah, hingga Ibnu Abid Dunya dalam kitabnya ”Husnuzhan Billah”, menyebutkan 151 dalil baik berupa ayat maupun hadits, yang kesemuanya menghasung kita untuk optimis dalam berpengharapan, meninggalkan pesimistis dan putus asa, dan senantiasa konsisten dengan prasangka yang baik.
Karena Prasangka adalah Doa
Prasangka kepada Allah, tidak sama dengan prasangka kepada selain-Nya. Karena semua makhluk terbatas kemampuannya, sedangkan Allah, kuasa berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Berbaik sangka kepada Allah tidak saja menimbulkan semangat berusaha lantaran luasnya harapan dan kesempatan. Namun hakikatnya, prasangka itu adalah permohonan dan doa. Ibnul Qayyim al-Jauziyah menjelaskan efek prasangka dalam usaha dan pengharapan, “Setiap kali seorang hamba berbaik sangka kepada Allah, maka harapanpun yang muncul adalah yang baik-baik, tawakalnya kepada Allah menjadi kokoh. Maka Allah tidak akan menyia-nyiakan keinginannya sedikitpun. Allah tidak akan menelantarkan orang yang berusaha dengan dilandasi optimis dan prasangka yang baik (kepada-Nya). Maka tidak ada yang lebih melapangkan dada setelah iman kepada Allah, selain percaya penuh kepada Allah, berharap kepada-Nya, dan selalu berbaik sangka kepada Allah.”
Bahkan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu atas dasar hadits qudsy di atas berkata, ”Demi Allah yang tiada ilah yang haq kecuali Dia, tiada seorangpun berbaik sangka kepada Allah, melainkan Allah akan memberikan sesuai yang disangkanya, karena kebaikan ada di tangan-Nya.” (Atz-Tadzkirah, imam al-Qurthubi)
Maka selayaknya seorang muslim tidak pernah melepaskan husnuzhannya kepada Allah dalam meraih segala kemaslahatan, baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam hal perolehan rejeki misalnya. Tak selayaknya seorang muslim khawatir dan takut jatuh dalam kemiskinan. Seakan rejekinya bergantung kepada manusia, musim, atau lingkungan di mana ia tinggal di dalamnya. Buruknya persangkaan ini justru menjadi penyebab sejati, seseorang akhirnya menjadi miskin papa. Karena tatkala ia merasa peluang ma’isyah sempit, menjadi sempitlah harapannya. Kemudian akan menjalar pada lemahnya usaha dia untuk mencari karunia dari Allah. Andai saja dia berbaik sangka, bahwa Allah kuasa membagikan rejeki kepada siapapun, kapapun dan seberapapun, niscaya keadaan akan berubah. Tak ada satu kekuatanpun yang mampu menahan tatkala Allah menghendaki untuk menganugerahkan rejeki kepada kita. Begitupun sebaliknya, tak ada satupun orang hebat, orang kaya, orang yang memiliki lapangan pekerjaan, tidak pula kondusifnya ekonomi sekitar bisa mendatangkan rejeki kepada kita, jika Allah menahannya. Allah berfirman,
”Atau siapakah dia yang memberi kamu rizki jika Allah menahan rizki-Nya? (QS.al-Mulk :21)
Begitupun ketika seseorang berada dalam ancaman, ketakutan dan kekhawatiran atas bahaya yang mengancam. Apa yang menjadi kenyataan pada akhirnya, tergantung persangkaan di awalnya. Orang-orang yang merasa berputus asa untuk berusaha, pun telah pupus harapannya kepada Allah, hanyalah orang yang lemah imannya terhadap kekuasaan-Nya. Merekapun jutsru mendatangi dukun, mengalungkan jimat dan menempuh hal-hal yang jauh dari nalar, jauh dari iman. Allah mencela orang-orang musyrik yang meragukan kekuatan dan kekuasaan Allah, lalu berpaling kepada sesembahan selain Allah,
”Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya pada hal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. (QS az –Zumar 67)
Simaklah bapaknya kau muwahhidin, Khalilullah Ibrahim alaihis salam. Betapa kuat persangkaan baiknya kepada Allah. Bahwa tiada suatu kekuatanpun yang kuasa menahan kehendak-Nya, betapa pula tipu daya manusia itu lemah dan remeh di hadapan kekuasan-Nya. Tatkala Ibrahim alaihis salam dilemparkan ke dalam api yang menyala-nyala, beliau yakin, Allah akan menyelamatkannya dengan cara yang dikehendaki-Nya. Diapun menyerahkan keselamatannya kepada Allah dengan berucap, “hasbunallah wa ni’mal wakil”, cukuplah Allah sebagai penolong, dan Dia adalah sebaik-baik Pelindung. Apa yang terjadi setelahnya? Allah membalas lunas persangkaan baik Ibrahim alaihis salam kepada Penciptanya,
“Kami berfirman:”Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”, mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan itu mereka orang-orang yang paling merugi.” (QS al-Anbiya’ 69-70)
Baik Sangka Hingga Ajal di depan Mata
Husnuzhan kepada Allah, senantiasa berkhasiat sepanjang hayat. Bahkan, di detik-detik akhir kehidupan manusia, husnuzhan lebih dibutuhkan lagi. Karena kegentingan yang dihadapi tak tertandingi. Itulah saat yang paling menakutkan, mengkhawatirkan, sekaligus menentukan apa yang akan terjadi sesudahnya. Maka Nabi saw memperingatkan dengan serius, untuk menjaga husnuzhan sampai titik penghabisan. Beliau bersabda,
لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ
”Janganlah salah seorang di antara kamu mati, kecuali dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah.” (HR Muslim)
Anas bin Malik juga menceritakan, bahwa Nabi saw menjenguk seorang pemuda yang sedang menghadapi sakaratul maut, lalu belia bertanya, “Bagaimana keadaan dirimu?” Orang itu berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, sesungguhnya saya berharap (baik) kepada Allah, dan saya takut akan dosa-dosaku.” Kemudian Rasulullah saw bersabda,
“Tidaklah berkumpul dua hal itu terkumpul dalam hati seorang hamba di saat seperti ini, kecuali Allah memberikan karunia sebagaimana yang diharapkannya dan akan menyelamatkannya dari apa yang dia takuti.” (HR Tirmidzi, Syaikh al-Albani mengatakan, “hasan”)
Begitulah dahsyatnya prasangka kepada Allah, maka silakan berprasangka kepada Allah, sesuai dengan apa yang Anda suka. Wallahu a’lam. (Abu Umar Abdillah)