Batas Waktu Ta’ziyah

          Di tengah-tengah masyarakat masih sering terjadi perdebatan seputar waktu ta’ziyah. Apakah ta’ziyah dilakukan sebelum dikuburkan atau sesudahnya? Dan bagaimana batasannya? Tulisan di bawah ini menjelaskannya.

          Mayoritas ulama membolehkan berta’ziyah sebelum atau sesudah mayit dikuburkan, tetapi yang lebih utama adalah setelah mayit dikuburkan. Imam Nawawi menuliskan di dalam al-Majmu’ Syarh al- Muhadzab: V/306:

Ulama-ulama kami berkata, “Berta’ziyah boleh dilakukan sebelum dikuburkan mayit maupun sesudahnya, tetapi berta’ziyah sesudah dikuburkan lebih baik dan lebih utama, karena sebelum dikuburkan keluarganya sibuk dengan pengurusan jenazah, dan setelah dikuburkan kesepian dan kesedihan mereka setelah ditinggalkan lebih terasa, maka waktu tersebut lebih tepat untuk bert’ziyah.“

Sebagian ulama berpendapat bahwa ta’ziyah setelah mayit dikuburkan hukumnya makruh, karena setelah mayit dikuburkan maka urusannya selesai. Sedangkan tujuan ta’ziyah adalah mengibur dan membantu apa yang dibutuhkan keluarga yang ditinggalkan, hal itu dianggap selesai dengan selesainya penguburan. Tentunya pendapat ini sangat lemah, karena tujuan ta’ziyah bukan sekedar membantu di dalam pengurusan jenazah, tetapi untuk menguatkan hati mereka, agar tetap sabar dan tidak putus asa, dan itu bisa berlangsung sampai selesainya penguburan si mayit.

Selain itu, para ulama juga berbeda pendapat apakah ta’ziyah setelah mayit dikuburkan terbatas sampai tiga hari saja atau tidak dibatasi oleh waktu tertentu ?

Pendapat Pertama : Batasan waktu ta’ziyah adalah tiga hari setelah mayat dikuburkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Imam al-Juwaini berkata bahwa batasan tiga hari ini hanya perkiraan, bukan suatu batasan baku yang tidak boleh dilanggar.

Dalilnya adalah:

Pertama: Tujuan ta’ziyah adalah menenangkan hati orang yang terkena musibah. Setelah tiga hari biasanya hati sudah kembali tenang. Berta’ziyah setelah tiga hari dari musibah, justru bisa memperbarui kesedihannya.

Hal tersebut diterangkan oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab: V/306. Menurutnya, hal ini adalah pendapat yang shahih dan ma’ruf.

Kedua: Mengqiyaskan kepada waktu al-Ihdad (berkabung bagi perempuan) ketika mendapatkan musibah. (lihat al-Bahuti di dalam Syarh Muntaha al-Iradat: I/381). Ini berdasarkan sabda Rasulullah:

لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِالله وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تَحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ ، أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا.

“Tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk berkabung atas suatu kematian melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka dia berkabung atas hal tersebut selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim )

Ketiga: Ini sesuai dengan tabi’at manusia yang sering kaget dan terkejut, serta susah bersabar pada saat-saat pertama terkena musibah. Berbeda jika musibah itu sudah berlalu agak lama, maka dengan sendirinya orang tersebut bisa melupakannya.

Ini sesuai dengan hadist Anas bin Malik yang menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berjalan melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur. Maka Beliau berkata, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.” Wanita itu berkata, “Menjauhlah dari saya, karena kamu tidak mengalami musibah seperti yang aku alami.” Wanita itu tidak mengetahui beliau. Ketika hal itu diberitahu kepadanya, maka wanita tersebut mendatangi rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ternyata beliau tidak ada pengawalnya, dan dia berkata; “Maaf, tadi aku tidak mengetahui Anda.” Maka Beliau bersabda, “Sesungguhnya sabar itu pada saat pertama datang musibah.” (HR.Bukhari dan Muslim)

Hadist tersebut menunjukkan bahwa kesabaran yang sesungguhnya adalah saat-saat pertama terkena musibah, sehingga perlu untuk selalu didampingi dan dihibur.

Keempat: Dalam sebuah penelitian sebagaimana dinukil dalam myhealthnewsdaily.com, seseorang yang sedih karena ditinggal mati orang yang dicintai, pada 24 jam pertama, dia akan mengalami peningkatan risiko serangan jantung sampai 21 kali. Dan selama minggu pertama resiko ini masih dalam level 8 kali di atas normal. Dan meskipun risiko serangan jantung nantinya secara perlahan-lahan menurun dari waktu ke waktu, tetapi tetap saja tinggi paling tidak dalam satu bulan.

Ini semua menunjukkan bahwa disunnahkan untuk segera berta’ziyah kepada orang yang terkena musibah dalam waktu tiga hari, agar kesedihannya tidak berkepanjangan yang akan mengakibatkan berbagai masalah dalam kesehatannya.

Pendapat Kedua: Tidak ada batas tertentu dalam berta’ziyah. Ini pendapat sebagian ulama mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah.

Dalilnya adalah:

Pertama: Hadist Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan tentang keadaan keluarganya setelah meninggalnya Ja’far bin Abdul Muthalib dalam perang Mu’tah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberi waktu tiga hari kepada keluarga Ja’far, kemudian beliau datang kepada mereka, dan bersabda , “Janganlah kalian menangisi saudaraku sesudah hari ini.” (HR Abu Dawud)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah berta’ziyah kepada keluarga Ja’far setelah tiga hari, berarti tidak ada batas waktu tertentu untuk berta’ziyah.

Kedua : Tujuan ta’ziyah adalah mendoakan dan menghibur serta menguatkan hati agar yang tertimpa musibah tetap bersabar dan tidak melakukan ratapan. Hal ini berlaku setiap saat dan dalam jangka waktu yang panjang. Imam Nawawi menjelaskan di dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, “Imam Haramain pendapat lain (dari madzhab Syafi’iyah) bahwasanya tidak ada batasan tertentu di dalam berta’ziyah, maka boleh dilakukan setelah tiga hari, walaupun kadang sudah lama, karena tujuan berta’ziyah adalah mendo’akan dan memberikan motivasi agar tetap bersabar dan jangan sampai berkeluh kesah, dan hal seperti ini bisa dilakukan walau musibahnya sudah berlalu lama.“

Kesimpulan :

Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa ta’ziyah kepada orang yang terkena musibah, terutama musibah kematian, dapat dilakukan sebelum dan sesudah mayit dikuburkan. Jika berta’ziyah setelah mayit dikuburkan sebaiknya dilakukan pada hari itu juga, sampai batas tiga hari, sebagaimana pendapat mayoritas ulama, karena biasanya keluarga korban sangat terpukul selama hari-hari tersebut, maka mereka sangat memerlukan orang-orang yang menghiburnya dan menguatkan serta motivasi mereka agar tetap tegar dan sabar serta tidak berputus asa.

Adapun jika tidak bisa datang pada hari-hari tersebut karena suatu hal, maka dibolehkan untuk berta’ziyah setelah hari itu, karena kadang sebagian orang kesedihannya berkepanjangan sampai berhari-hari lamanya, maka dia masih membutuhkan orang yang bisa menguatkan hati dan menghibur dari dukanya. Wallahu A’lam.

Pondok Gede, 6 Sya’ban 1436 H/ 24 Mei 2015 M

 

Hukum Menabur Bunga di atas Kuburan

Seringkali kita melihat masyarakat Indonesia menabur bunga di atas kuburan ketika menguburkan mayit. Mereka beranggapan bahwa hal itu merupakan bentuk penghormatan kepada si mayit. Bagaimana Islam memandang perbuatan tersebut?

Hadist Terkait

Sebagian kalangan mengaitkan penaburan bunga di atas kuburan dengan hadist Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang menjelaskan bahwa suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua kuburan, beliau bersabda:

إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ

Sesungguhnya kedua penghuni kuburan ini sedang diadzab, mereka berdua diadzab karena dosa besar. Adapun salahsatunya dahulu kalau buang air kecil tidak ditutup ( atau tidak bersuci ). Adapun yang lainnya, dahulu sering berjalan sambil menyebar fitnah.”

Kemudian beliau mengambil pelepah kurma yang masih basah dan dibelah menjadi dua. Masing-masing ditanam pada kedua kuburan tersebut. Para sahabat pun bertanya, “Wahai Rasulullah kenapa Anda melakukan ini?” Beliau menjawab, “Mudah-mudahan ini bisa meringankan adzab keduanya selama belum kering.” (HR. Al-Bukhari: 215).

Perbedaan para Ulama

Para ulama berbeda pendapat dalam menanggapi hadits tersebut.

Pendapat Pertama: Hadits di atas bersifat mutlak dan umum, sehingga dibolehkan bagi siapa saja untuk meletakkan pelepah kurma, bunga, dan semua tumbuhan yang masih basah di atas kuburan. Bahkan sebagian dari mereka mengatakan hal itu dianjurkan. Ini pendapat sebagian ulama Syafi’iyah.

Dalam Nihayah al-Muhtaj, Imam Ar-Ramli menuliskan, “Dianjurkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau di atas kubur karena mengikuti Rasulullah. Begitu pula bunga yang harum dan lainnya, yang terdiri dari tumbuh-tumbuhan yang basah.”

Dalam Fathu al-Bari: III/223, Ibnu Hajar menulis, “Buraidah berwasiat agar di kuburnya diletakkan dua pelepah kurma. Ia wafat di dekat Khurasan.”

Pendapat Kedua: Hadist di atas hanya berlaku bagi Rasulullah dan merupakan kekhususan beliau. Dan Allah meringankan adzab kedua orang tersebut berkat berkah dan syafaat Rasulullah, bukan karena pelepah kurma yang basah. Oleh karena itu, beliau tidak melakukan hal serupa pada kuburan-kuburan yang lain.

Dalam Ma’alim as-Sunan: I/27, Al-Khattabi menulis ketika mengomentari hadits di atas, “Adapun menanam pelepah kurma atau mematahkan menjadi dua dan sabdanya ( mudah-mudahan ini bisa meringankan keduanya selama pelepah ini belum kering ), maka ini bagian dari mengambil berkah dari apa yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan begitu juga dari doanya agar diringankan adzab keduanya. Seakan-akan beliau menjadikan masa kelembaban kedua pelepah kurma tersebut sebagai batas bagi keringanan adzab. Itu bukan karena pelepah kurma yang basah mempunyai kelebihan dibanding pelepah yang kering. Adapun orang-orang awam di banyak negara Islam yang menanam pelepah kurma di kuburan, saya kira mereka berpendapat seperti itu, tetapi apa yang mereka kerjakan sebenarnya tidak mempunyai dasar.”

Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah: I/556 menulis, “Apa yang dikatakan al-Khattabi benar adanya dan inilah yang dipahami oleh sahabat-sahabat Rasulullah, karena tidak pernah ada riwayat dari seorang sahabat pun bahwa mereka meletakkan pelepah kurma dan bunga-bungaan di atas kuburan, kecuali dari Buraidah al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, yang mewasiatkan agar ditanam dua pelapah kurma di atas kuburannya. Dan sangat jauh, kalau meletakkan pelepah kurma ini menjadi hal yang disyariatkan, sedang seluruh sahabat tidak mengetahuinya kecuali Buraidah.”

Pendapat ini dikuatkan dengan hadist Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنِّى مَرَرْتُ بِقَبْرَيْنِ يُعَذَّبَانِ فَأَحْبَبْتُ بِشَفَاعَتِى أَنْ يُرَفَّهَ عَنْهُمَا مَا دَامَ الْغُصْنَانِ رَطْبَيْنِ

“Saya melewati dua buah kuburan yang penghuninya tengah diadzab. Saya berharap adzab keduanya dapat diringankan dengan syafaatku selama kedua belahan pelepah tersebut masih basah.” (HR. Muslim: 7705).

Hadist di atas menunjukkan bahwa penyebab diringankan adzab dari kedua orang tersebut adalah syafaat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan karena pelepah kurma, dan kelembaban pelepah kurma hanya dijadikan patokan tenggang waktu untuk keringanan dari adzab kubur.

Berkata Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari (III/223), Ibnu Rasyid mengatakan, “Apa yang dilakukan oleh al-Bukhari menunjukkan bahwa hal tersebut hanya khusus bagi kedua penghuni kubur tersebut, oleh karena itu al-Bukhari mengomentari perbuatan Buraidah tersebut dengan membawakan perkataan Ibnu Umar (Sesungguhnya seseorang hanya akan dinaungi oleh hasil amalnya). “

Kesimpulan :

Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hadits tentang pelepah kurma hanya berlaku bagi Rasulullah dan merupakan kekhususan beliau. Dan Allah meringankan adzab kedua orang tersebut karena berkah dan syafaat Rasulullah, bukan karena pelepah kurma yang basah.

Adapun yang diriwayatkan dari Buraidah al-Aslami barangkali itu pendapat beliau yang tidak didukung oleh sahabat-sahabat lainnya. Apalagi yang beliau wasiatkan hanyalah penanaman pelepah kurma, bukan menaburkan bunga seperti yang terjadi hari ini. Lebih baik meninggalkan hal-hal yang masih samar. Apalagi dengan berkembangnya zaman, akhirnya menjadi kebiasaan yang menyatu dengan kebiasaan orang-orang kafir.

Harta yang dibelanjakan untuk membeli bunga sebaiknya disedekahkan kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Dalam al-Fatawa al-Hindiyah: 43/439 dijelaskan:

وَضْعُ الْوُرُودِ وَالرَّيَاحِينِ عَلَى الْقُبُورِ حَسَنٌ وَإِنْ تَصَدَّقَ بِقِيمَةِ الْوَرْدِ كَانَ أَحْسَنَ

“Meletakkan bunga dan wewangian di atas kuburan baik, tetapi kalau harganya disedekahkan maka itu tentu lebih baik.” Wallahu A’lam

Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA

Pondok Gede, 30 Rabi’ul Tsani 1436 H/ 20 Pebruari 2015 M

Hukum An-Na’yu, Mengumumkan Kematian

Pengertian an-Na’yu
An-Na’yu secara bahasa artinya adalah mengumumkan sesuatu . Adapun an-Na’yu menurut istilah syar’I mempunyai beberapa pengertian, diantaranya :

Pertama, sebagaimana yang disebutkan Imam at-Tirmidzi di dalam al-Jami’ ( 239 ) : “ An-Na’yu adalah mengumumkan kepada masyarakat bahwa seseorang telah meninggal dunia, agar menghadiri jenazahnya ( mengurusi, mensholatkan dan mendoakannya )

Kedua : sebagaimana yang disebutkan al-Qayubi di dalam Hasyiahnya ( 1/345 ) : “ An-Na’yu adalah mengumumkan kematian seseorang dengan menyebut kemulian-kemuliannya dan kebanggaan-kebanggaannya . “

Ketiga : An-Na’yu mengumumkan kematian seseorang disertai ratapan dengan suara keras. Ini mengandung an-Niyahah yang dilarang, sebagaimana yang disebutkan Ibnu Hajar al-Haitsami di dalam az-Zawajir ( 1/361 ) : “ An-Niyahah adalah memuji-muji kebaikan mayit dengan suara keras dan meratapi kematiannya dengan tangisan yang meraung-raung “

Hukum Mengumumkan Kematian

Mayoritas ulama berpendapat boleh mengumumkan kematian seseorang kepada orang lain dengan tujuan untuk memperbanyak orang yang mendoakan dan mensholatkan jenazahnya. Mereka berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut :

Pertama : hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ، خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا

“ Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumumkan kematian Raja Najasyi pada hari kematiannya, beliau keluar ke tempat shalat, dan membuat shaf bersama para sahabat dan bertakbir empat kali.“ ( HR al-Bukhari 1333 dan Muslim 951)

Berkata an-Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim ( 7/21 ) : “ Di dalam hadist ini ada anjuran untuk memberitahu kematian seseorang, tetapi bukan dengan cara-cara jahiliyah, yaitu sekedar memberitahukan kematian seseorang dengan tujuan agar disholatkan dan diurusi jenazahnya, serta diselesaikan tanggungannya. Adapun mengumumkan kematian yang dilarang bukanlah seperti ini, yang dilarang adalah Na’yu Jahiliyah yang bertujuan berbangga-bangga dan yang sejenisnya. “

Kedua : hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata :

أنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ المَسْجِدَ ، أَوْ شَابّاً ، فَفَقَدَهَا ، أَوْ فَقَدَهُ رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم – ، فَسَأَلَ عَنْهَا ، أو عنه ، فقالوا : مَاتَ . قَالَ : (( أَفَلا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي )) فَكَأنَّهُمْ صَغَّرُوا أمْرَهَا ، أَوْ أمْرهُ ، فَقَالَ : (( دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ )) فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا ، ثُمَّ قَالَ : (( إنَّ هذِهِ القُبُورَ مَمْلُوءةٌ ظُلْمَةً عَلَى أهْلِهَا ، وَإنَّ اللهَ تعالى . يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلاتِي عَلَيْهِمْ

“ Bahwasanya ada seorang perempuan berkulit hitam atau seorang laki-laki dulu sering menyapu masjid. Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjumpainya . Maka beliau menanyakan perihal orang tersebut. Mereka menjawab : “ Dia sudah meninggal dunia “. Kemudian Rasulullah bersabda : “ Kenapa kalian tidak memberitahukan kepadaku ?“. Seakan-akan mereka meremehkan perempuan tersebut. Kemudian beliau bersabda : “ Tunjukkan kepadaku tempat kuburannya“. Maka mereka menunjukkannya, dan Rasulullahpun mensholatkannya di kuburan tersebut. Kemudian beliau bersabda : “ Sesungguhnya kuburan ini sesak dan gelap bagi para penghuninya, dan Allah menyinarinya dengan sholatku atasnya. “ ( HR. al-Bukhari 458 dan Muslim 956)

BACA JUGA: Terlarangakah Mengumumkan Kematian?

Dua hadist di atas menunjukkan tentang kebolehan memberitahukan atau mengumumkan kematian seseorang dengan tujuan untuk mendo’akan dan mensholatkannya. Bahkan hukumnya bisa menjadi sunnah jika hal itu menjadi maslahat bagi si mayit.

Ketiga : hadist Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى زَيْدًا وَجَعْفَرًا وَابْنَ رَوَاحَةَ لِلنَّاسِ قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَهُمْ خَبَرُهُمْ فَقَالَ أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَ جَعْفَرٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَ ابْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ حَتَّى أَخَذَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللَّهِ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ

“ Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian Zaid dan Ja’far serta Abdullah bin Rawahah radhiyallahu ‘anhum kepada para sahabat sebelum datangnya berita tentang hal itu kepada mereka. Beliau bersabda : “ Bendera itu diambil oleh Zaid, lalu dia terbunuh, kemudian bendera itu diambil oleh Ja’far, lalu dia terbunuh, kemudian selanjutnya bendera itu diambil oleh Abdullah bin Rawahah, lalu iapun terbunuh, sedang kedua mata Rasulullah meneteskan air mata, sampai kemudian bendera tersebut diambil oleh pedang dari pedang-pedang Allah ( Khalid bin al-Walid) sampai Allah memberikan kemenangan kepada mereka “ (HR. al-Bukhari 3757 )

Hadist di atas menunjukkan kebolehan seorang pemimpin di dalam khutbahnya memberitahukan tentang kematian seseorang jika di dalamnya terdapat maslahat umum, walaupun bukan untuk mengurus jenazahnya ataupun mensholatinya .

Hal ini dikuatkan dengan khutbah Abu Bakar as-Siddiq ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia :

أمَّا بَعْدُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ

“ Amma Ba’du ( adapun setelah itu ), maka barang siapa diantara kalian menyembah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dunia, dan barang siapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak mati ( HR. al-Bukhari )
Keempat : Atsar dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau suatu ketika melihat beberapa majlis ( perkumpulan ), beliau berkata :

إن أخاكم قد مات فاشهدوا جنازته

“ Salah satu saudara kalian telah meninggal dunia, maka datanglah untuk melayat. “ ( Ibnu Abdil Bar, al-Istidzkar: 3/ 26 )

Adapun pendapat yang mengatakan tidak boleh mengumumkan kematian seseorang secara mutlak dalam bentuk apapun juga, mereka berdalil dengan hadist Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata :

أنَّ رسولَ الله -صلى الله عليه وسلم- كان يَنْهَى عَنِ النَّعْي ، وقال : إياكُمْ والنعي ، فإنه مِن عَمَلِ الجاهلية

“ Bahwasanya Rasulullah melarang untuk mengumumkan kematian seseorang, dan Ibnu Mas’ud berkata : Janganlah kalian mengumumkan kematian karena itu termasuk kebiasaan orang-orang Jahiliyah . “ ( HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad )

Maka jawabannya adalah bahwa yang dilarang pada hadist di atas adalah memberitahukan kematian seseorang dengan cara seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah ketika salah seorang tokoh diantara mereka meninggal dunia, mereka mengutus para penunggang kuda untuk mendatangi kabilah-kabilah dan mengatakan : “ celakah kalian dengan matinya si fulan sambil menangis dan meratapi si mayit.” ( an-Nawawi , al-Adzkar, hal.226 )

Begitu juga mereka berdalil dengan Atsar dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ketika ada yang meninggal dunia dari keluarganya, beliau tidak mau memberitahukannya kepada orang lain, dan beliau berkata :

إِنِّى أَخَافُ أَنْ يَكُونَ نَعْيًا إِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنْهَى عَنِ النَّعْىِ.

“ Saya khawatir ( memberitahukan kematian kepada orang lain ) termasuk na’yun ( yang dilarang ), karena saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya “ ( HR. at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi )
Maka jawabannya bahwa Hudzaifah dalam atsar ini tidak mengatakan bahwa memberitahukan kematian adalah sesuatu yang terlarang, tetapi dia mengkhawatirkan bahwa hal itu akan menyebabkan sesuatu yang dilarang Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ( yaitu Na’yu Jahiliyah ) sebagaimana yang diterangkan di atas.

Kesimpulan :

Dari pembahasan di atas bisa disimpulkan bahwa yang dilarang atau dimakruhkan adalah memberitahukan kematian seseorang yang diiringi dengan tangisan, ratapan dan pujian-pujian yang berlebih-lebihan. Adapun memberitahukan kematian seseorang dengan tujuan agar masyarakat mendoakan dan mensholatkannya, maka hal itu dibolehkan, bahkan dianjurkan. Wallahu A’lam.
Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA
Jati Warna, 27 Muharram 1436 H/ 20 November 2014 M

Hukum Jual Beli Pupuk Kandang

Pengertian Pupuk Kandang

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa Pupuk adalah penyubur tanaman yang ditambahkan ke tanah untuk menyediakan senyawaan unsur yang diperlukan tanaman. Sedangkan Pupuk Kandang adalah : pupuk yang berasal dari kotoran hewan.

Di dalam kamus Wikipedia disebutkan bahwa Pupuk kandang ialah olahan kotoran hewan, biasanya ternak, yang diberikan pada lahan pertanian untuk memperbaiki kesuburan dan struktur tanah. Pupuk kandang adalah pupuk organik, sebagaimana kompos dan pupuk hijau.
Zat hara yang dikandung pupuk kandang tergantung dari sumber kotoran bahan bakunya. Pupuk kandang ternak besar kaya akan nitrogen, dan mineral logam, seperti magnesium, kalium, dan kalsium. Pupuk kandang ayam memiliki kandungan fosfor lebih tinggi. Namun, manfaat utama pupuk kandang adalah mempertahankan struktur fisik tanah sehingga akar dapat tumbuh secara baik.

Hukum Jual-Beli Pupuk Kandang

Sebelum membahas hukum pupuk kandang lebih lanjut, perlu dijelaskan terlebih dahulu, bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai status pupuk kandang itu sendiri. Sebagian ulama seperti Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa seluruh kotoran binatang dan kencingnya adalah najis. Sedangkan ulama-ulama lain seperti Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa air kencing dan kotoran binatang yang boleh dimakan tidaklah najis. Menurut mereka yang najis adalah air kencing dan kotoran yang berasal dari manusia atau dari binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya seperti babi, anjing, keledai dan lain-lainnya.

Adapun dalil-dalil dari kedua pendapat tersebut sudah penulis sebutkan secara panjang lebar di dalam buku Berobatlah dengan yang Halal , Bab : Hukum Berobat dengan Air Kencing Unta ( hlm 73-86 ), silahkan dirujuk ke buku tersebut.

Dengan demikian, jika pupuk kandang tersebut berasal dari binatang yang boleh dimakan dagingnya, seperti ayam, kambing, sapi dan unta, maka hukumnya boleh diperjual-belikan karena memang pupuk tersebut tidak najis menurut Malikiyah dan Hanabilah. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Syafi’yah, walaupun mereka mengatakan pupuk tersebut najis, tetapi sebagian dari mereka membolehkan untuk memperjual-belikan dan menggunakannya karena dianggap bermanfaat bagi para petani.

Untuk lebih jelasnya, perbedaan ulama di dalam menentukan status hukum memperjual-belikan pupuk najis adalah sebagai berikut :

Pendapat Pertama : Boleh menggunakan dan memperjual-belikan pupuk yang najis. Yang tidak boleh diperjual-belikan hanyalah kotoran manusia yang tidak tercampur dengan tanah. Ini adalah pendapat Hanafiyah dan sebagian dari ulama Malikiyah seperti Ibnu Majisyun.
Berkata as-Sarakhsi di dalam al- Mabsuth ( 24/ 27 ) :

وكذلك بيع السرقين جائز وإن كان تناوله حراما والسرقين محرم العين ومع ذلك كان بيعه جائزا

“ Begitu juga dibolehkan jual beli pupuk ( najis ), walaupun hal itu haram untuk dimakan, dan haram dzatnya, walaupun begitu, jual beli pupuk tersebut dibolehkan. “

Dalil-dalil mereka sebagai berikut :

Pertama : Pupuk tersebut sangat bermanfaat bagi para petani dan mereka sangat membutuhkannya.

Kedua : Penggunakan pupuk ini sudah berlangsung lama secara turun temurun di masyarakat, dan tidak ada satupun yang mengingkarinya. Ini menunjukkan kebolehan.

Ketiga : Kaidah Fiqh yang berbunyi :

المشقة تجلب التيسير


“ Suatu kondisi yang susah bisa mendatangkan suatu kemudahan. “

Keempat : Kaidah Fiqh juga :

وإذا ضاق الأمر اتسع


“ Suatu kondisi yang sempit bisa mendatangkan keluasan di dalam perbuatan “

Pendapat Kedua : Tidak boleh menggunakan pupuk najis, tetapi boleh menggunakan sesuatu yang mutanajis ( yang terkena najis ), seperti halnya pupuk najis yang dicampur dengan air, kemudian air tersebut disiramkan ke tanaman. (Muhammad Ulays, Manhu al-Jalil:1/ 55-56 )

Pendapat Ketiga : Tidak boleh memperjual-belikan kotoran hewan yang najis. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Malikiyah menurut riwayat yang masyhur, Syafi’iyah dan Hanabilah.
Untuk Syafi’iyah mereka berpendapat boleh menggunakan pupuk najis, tetapi tidak boleh memperjual-belikannya. Berkata Imam Nawawi di dalam al-Majmu’ ( 4/448 ) :

يجوز تسميد الارض بالزبل النجس

“ Dibolehkan memupuk tanah dengan kotoran binatang yang najis. “

Beliau juga menyatakan di tempat yang sama tentang penggunaan barang-barang najis untuk keperluan umum :

قد ذكرنا أن مذهبنا الصحيح جواز الانتفاع بالدهن المتنجس وشحم الميتة في الاستصباح ودهن السفن ويجوز أن يتخذ من هذا الدهن الصابون فيستعمله ولا يبيعه وله اطعام العسل المتنجس للنحل والميتة للكلاب والطيور الصائدة وغيرها واطعام الطعام المتنجس للدواب هذا مذهبنا وبه قال عطاء ومحمد بن جرير

“ Sudah kita sebutkan di atas, bahwa madzhab kami yang benar ( Syafi’iyah ) : dibolehkan memanfaatkan minyak najis, lemak dari bangkai untuk penerangan lampu, dan untuk mengecat kapal. Dan dibolehkan juga memakai minyak ini untuk dibuat sabun dan dipakainya, tetapi tidak untuk diperjual-belikan. Dibolehkan juga memberikan madu yang terkena najis untuk lebah, dan bangkai untuk makanan anjing dan burung pemburu dn sejenisnya. Begitu juga dibolehkan memberikan makanan yang terkena najis untuk binatang-binatang. Ini adalah pendapat madzhab kami ( Syafi’iyah ), dan ini juga pendapat ‘Atho’ dan Muhammad Jarir. “

Walaupun Syafi’iyah melarang jual-beli barang najis, tetapi mereka membolehkan untuk memberikannya kepada orang lain dengan mengambil upah, mereka menyebutnya dengan isqath al-haq ( menggugurkan hak ) . Di dalam Hasyiatu asy-Syarwani dan al-Abadi( 4/235 ) disebutkan :

ويجوز نقل اليد عن النجس بالدراهم كما في النزول عن الوظائف وطريقه أن يقول المستحق له أسقطت حقي من هذا بكذا فيقول الآخر قبلت

“ Dibolehkan memindahkan kepemilikan sesuatu yang najis dengan imbalan uang dirham, sebagaimana seseorang yang mengundurkan diri dari tugasnya, dan caranya : pemiliknya mengatakan : saya gugurkan hak-ku terhadap barang ini dengan imbalan sekian, yang menerima menjawab : saya terima. “

Berkata Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni ( 4/ 327 ) :

ولا يجوز بيع السرجين النجس. وبهذا قال مالك والشافعي

“ Tidak boleh jual beli pupuk yang najis . Ini adalah pendapat Malik dan Syafi’I juga. “

Mereka beralasan bahwa pupuk tersebut adalah sesuatu yang najis, seperti bangkai maka tidak boleh diperjualbelikan.

Kesimpulan :

Dari beberapa pandangan ulama di atas, maka pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah sebagai berikut :

Jika pupuk kandang dari binatang yang boleh dimakan dagingnya seperti unta,sapi, kambing dan ayam, maka boleh digunakan dan diperjual-belikan.
Jika pupuk tersebut dari binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya, seperti babi dan keledai, atau dari kotoran manusia, jika masih asli dan belum diolah oleh pabrik, maka hukumnya boleh digunakan dan haram untuk diperjual- belikan.
Tetapi jika sudah diolah oleh pabrik dan sudah berubah dzat dan kandungannya, maka boleh digunakan dan diperjual-belikan jika memang hal itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Tetapi jika pupuk yang tidak najis sudah cukup, maka sebaiknya tidak menggunakan pupuk yang lain,walaupun sudah diolah oleh pabrik.
Wallahu A’lam,
Pondok Gede, 6 Syawal 1435 H / 2 Agustus 2014 M

Syarat Dalam Jual Beli

 

Pengertian Syarat Dalam Jual Beli
Syarat dalam jual beli adalah syarat yang disepakati oleh kedua pihak yang sedang melakukan akad jual beli, seperti sang pembeli mensyaratkan bahwa pembayarannya dicicil dan penjual meminta jaminan tertentu dari pembeli, atau si pembeli meminta waktu tiga hari untuk mempertimbangkan pembelian barang tertentu.

Perbedaan Antara Istilah “Syarat Dalam Jual Beli” dan “Syarat Jual Beli.”
Ada beberapa perbedaan antara dua istilah tersebut, di antaranya adalah :
Pertama: Syarat jual beli ditentukan oleh syariat Islam. Sedangkan syarat dalam jual beli yang menentukan adalah salah satu dari dua pihak yang melakukan transaksi.
Kedua: Syarat jual beli merupakan syarat sahnya suatu akad, berbeda dengan syarat dalam jual beli yang bukan merupakan syarat sahnya suatu akad tetapi hanya syarat yang mewajibkan salah satu dari dua pihak yang bertransaksi.
Ketiga: Syarat jual beli tidak bisa digugurkan, sedangkan syarat dalam jual beli bisa digugurkan menurut kesepakatan kedua belah pihak.
Keempat: Syarat jual beli semuanya benar dan berlaku, karena berasal dari syariah, berbeda dengan syarat dalam jual beli, yang sebagiannya sah dan sebagian lainnya tidak sah serta tidak berlaku, karena yang meletakkan adalah manusia yang bisa benar dan salah. (Ibnu al-Utsaimin, asy-Syarhu al-Mumti’: III/ 485).

Macam-macam Syarat Dalam Jual Beli

Syarat dalam jual beli dibagi menjadi dua: syarat yang sah dan syarat yang batil

1. Syarat Yang Sah
Al-Mardawaih di dalam Al-Inshof ( 4/ 245) membagi syarat dalam jual beli yang sah menjadi tiga macam :
Pertama: Syarat yang sesuai dengan tujuan jual beli, seperti mensyaratkan bahwa barang harus bisa diambil, dan pembayaran harus tunai.
Kedua: syarat yang di dalamnya terdapat maslahat akad, seperti orang yang mensyaratkan untuk menjual barangnya dengan cara kredit, atau meminta jaminan dalam pembayarannya, atau pembeli mensyaratkan barangnya harus yang bagus.
Ketiga : syarat tertentu yang bermanfaat bagi penjual atau pembeli, seperti seseorang menjual rumah dengan syarat ditempati terlebih dahulu selama sebulan. ( lihat juga al-Bahuti dalam ar-Raudh al-Murabi’:1/215)
Dalil kebolehan syarat–syarat di atas adalah hadist Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah bersabda kepadanya:

بِعْنِيهِ بِأوقِيَّةٍ ، قُلْتُ: لَا، ثُمَّ قَالَ: بِعْنِيهِ فَبِعْتُهُ بأِوقِيَّةٍ, وَاشْتَرَطْتُ حُمْلَانَهُ إِلَى أَهْلِي

“Juallah untamu padaku dengan satu uqiyyah.” Aku berkata, “Tidak.” Beliau bersabda lagi, “Juallah ia padaku.” Lalu aku menjualnya dengan satu uqiyyah, namun aku memberikan syarat agar unta itu membawa barang-barang yang di atasnya dahulu pada keluargaku. (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Syarat Yang Batil
Syarat yang batil ini dibagi pula menjadi tiga macam:
Pertama: Syarat yang bertentangan dengan tujuan akad jual beli, seperti mensyaratkan adanya akad lain (sewa-penyewa atau akad utang piutang) dalam akad jual beli. Sebagai contoh, seseorang berkata: “Saya menjual rumah kepadamu dengan harga sekian tapi syaratnya kamu harus membeli mobil saya dengan harga sekian.”
Kedua: Syarat yang bertentangan dengan tujuan jual beli, tetapi tidak membatalkan akad, seperti seseorang yang menjual suatu barang dengan mensyaratkan agar tidak rugi dalam jual belinya, atau seseorang yang menjual mobil tetapi mensyaratkan kepada pembelinya agar tidak menjualnya atau memberikannya kepada orang lain.
Syarat –syarat di atas bertentangan dengan tujuan jual beli, karena seseorang yang sudah membeli barang dari orang lain, maka dia berhak memperlakukan barang tersebut sesuai dengan kehendaknya. Kalau hal itu disyaratkan oleh penjual, maka syarat itu adalah syarat yang batil.

Ini berdasarkan hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah bersabda :

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ , وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

“ Setiap syarat yang tidak terdapat di dalam Kitab Allah adalah batil, walaupun seratus syarat.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ketiga: Mensyaratkan jual beli dengan sesuatu yang belum terjadi. Syarat seperti ini batil dan jual belinya juga batil dan tidak sah. Seperti penjual mobil berkata: “Saya jual mobil ini kepadamu jika bapak saya rela, atau saya jual mobil ini, jika saya pergi ke luar kota.”

Hukum Akad dalam Akad Lain
Para ulama sepakat bahwa tidak boleh seseorang membuat akad jual beli yang disyaratkan di dalamnya pinjaman, atau sebaliknya tidak boleh meminjamkan sesuatu kepada orang lain dengan mensyaratkan adanya jual beli.
Larangan ini berdasarkan hadist Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah bersabda :

لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Tidak halal menjual sesuatu dengan syarat memberikan hutang, dan tidak halal dua syarat dalam satu transaksi, dan tidak halal keuntungan menjual sesuatu yang belum engkau jamin, serta tidak halal menjual sesuatu yang bukan milikmu.” ( Berkata Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram (232) : Hadist diriwayatkan oleh al-Khomsah, dan disahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Huzaimah serta Hakim )

Tetapi para ulama berbeda pendapat tentang syarat akad dalam akad selain jual beli yang disyaratkan pinjaman di dalamnya ;
Pendapat Pertama: tidak boleh sama sekali mensyaratkan suatu akad dalam akad lain. Ini pendapat mayorita ulama.
Tetapi mereka sendiri masih berbeda pendapat apakah syarat yang batil, akan mempengaruhi keabsahan akad.
Syekh Al-Bahuti salah satu ulama al-Hanabilah berpendapat bahwa jika syaratnya batil, maka akadnya secara otomatis juga batil.
Sedangkan riwayat lain dari madzhab Hanabilah mengatakan bahwa walaupun syaratnya batil, tetapi akadnya tetap sah, artinya syarat yang batil tidak mempengaruhi keabsahan suatu akad. Disini mereka membedakan antara akad dan syarat.
Dalilnya adalah hadist Barirah, ketika Aisyah ingin memerdekakan Barirah dari perbudakan dengan tebusan sejumlah uang, majikan Barirah tidak mengijinkannya, kecuali dengan syarat bahwa wala’nya untuk mereka. Syarat ini adalah batil, yang benar bahwa wala’nya untuk yang memerdekakannya, yaitu untuk Aisyah.

Karena mereka memaksakan syarat yang batil tersebut, maka Rasulullah menyarankan kepada Aisyah untuk menyetujui syarat yang batil tersebut, tetapi nantinya tidak dianggap, dan akadnya tetap sah. Beliau bersabda :

خُذِيهَا وَاشْتَرِطِي لَهُمُ اَلْوَلَاءَ, فَإِنَّمَا اَلْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ , فَفَعَلَتْ عَائِشَةُ

“Ambillah dan berilah persyaratan wala’ itu kepada mereka, sebab wala’ itu hanya bagi orang yang memerdekakan.” Lalu Aisyah melakukan hal itu. ( HR Bukhari dan Muslim )

Pendapat kedua : tidak boleh berkumpul tujuh akad lain dengan akad jual beli yang teringkas dalam kata : Jusho Musyniq (Ju’alah, Shorof, Musaqoh, Syirkah, Nikah, dan Qiradh).

Pendapat Ketiga : dibolehkan mensyaratkan adanya akad dalam akad selama tidak menyebabkan adanya riba dan penipuan. Ini pendapat Malikiyah, Ibnu al-Arabi, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim.

Mereka beralasan bahwa pada asalnya suatu akad dan persyaratan adalah hal yang dibolehkan, kecuali apa yang telah diharamkan dalam syariat. Ini berdasarkan keumuman firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“ Wahai orang-orang beriman tunaikanlah janji-janjimu. “ ( Qs. al-Maidah : 1 )

Wallahu A’lam,

Pondok Gede, 18 Rabi’ul Awal 1435 H / 20 Januari 2014 M