Sayang Anak, Antara Tabiat dan Ujian

Anak adalah anugerah sekaligus amanah yang Allah hibahkan kepada orangtua. Keberadaan anak sangat dinanti-nantikan oleh orangtua sebagai penyempurna kebahagiaan dalam keluarga. Sudah lumrah ketika orangtua itu mencintai dan menyanyangi anaknya. Buah hati termasuk di antara deretan perhiasan dunia sebagaimana firman Allah Ta’ala,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّـهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ ﴿١٤

“Dijadikan indah pada pandangan (manusia) kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali-Imran: 14)

Sebagai perhiasan dunia, keberadaan anak juga sekaligus menjadi ujian bagi orangtuanya. Kecintaan orangtua kepada anaknya pun akan dinilai kadar, sebab maupun bagaimana cara orangtua menyanyangi anaknya.

Dengan cinta yang benar, maka anak bisa menjadi penyejuk pandangan mata orangtua, sebagaimana cita-cita seorang muslim yang tersirat dalam doa,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا ﴿٧٤

“Wahai Tuhan kami, anugerahkan kepada kami pasangan kami dan anak keturunan kami sebagai penenang hati.” (QS. al-Furqon: 74)

Imam Hasan al-bashri ketika ditanya makna penyejuk pandangan mata dalam ayat ini beliau berkata, “Yakni ketika Allah memperlihatkan kepada hamba-Nya yang muslim di mana istri, saudara dan anaknya dalam keadaan taat kepada Allah.

Demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang muslim melebihi ketika ia melihat anaknya, cucunya, saudaranya atau istrinya mentaati Allah Azza wa Jalla.”

Anak bisa menjadi ‘mesin produksi’ pahala bagi orangtuanya. Yakni ketika orangtua mendidik anaknya dengan keshalihan, maka orangtua yang mendidiknya mendapatkan pahala setiap amal shalih yang dikerjakan anaknya. Sebagimana ia juga mendapat keberuntungan doa yang dipanjatkan anak yang shalih untuk orangtuanya.

Bahkan karenanya, orangtua diangkat derajatnya di jannah kelak, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

إنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي اْلجَنَّةِ, فَيَقُوْلُ: أنَّي لِي هَذَا؟ فَيُقَالُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

Sesungguhnya seseorang akan diangkat derajatnya di surga, maka ia berkata,”Dari manakah balasan ini?” Dikatakan,” Dari sebab istighfar anakmu kepadamu”. (HR. Ibnu majah dan Ahmad)

Begitu pula orangtua akan dikumpulkan di surga bersama para kekasih dan anaknya, di tempat paling tinggi levelnya di antara mereka. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ ۚ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ ﴿٢١

“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.” (QS Ath Thur:21).

Mereka akan disatukan di level yang sama, sedangkan Allah berjanji tak akan mengurangi sedikitpun keutamaan mereka, maka mereka ditempatkan di level tertinggi yang diraih dalam anggota keluarga, sebagaiman pendapat dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma.

Begitulah ketika orang tua mencintai anaknya dengan tulus dan benar, ia menjadi anugerah dan pahala bagi orangtua. Akan tetapi, ia juga bisa menjadi sumber petaka dan musuh bagi orang tua. Cara mencintai yang salah, bisa memposisikan anak sebagai musuh yang akan mencelakakan orangtuanya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّـهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿١٤

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri kalian dan anak-anak kalian adalah musuh bagi kalian, maka berhati-hatilah terhadap mereka.” (QS. ath-Thagabun 14).

Menjadi musuh yang dimaksud bukan berarti bermusuhan atau saling berhadadapan untuk saling mencelakakan secara fisik. Bisa jadi keduanya sejalan dalam kebiasaan dan kesenangan. Tetapi
maksudnya ketika anak membujuk, mengajak atau meminta kepada orangtuanya untuk memberikan fasilitas kemaksiatan, maka dalam kondisi seperti ini, anak adalah layaknya musuh yang mencelakakan orangtuanya. Bukankah banyak di antara orangtua gemar memperturutkan setiap keinginan anak dengan alasan sayang, padahal apa yang diminta itu sesuatu yang merusak agamanya.

Allah Ta’ala juga mengingatkan agar anak-anak tidak melalaikan kita dari mengingat-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّـهِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ ﴿٩

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah.” (QS. al-Munafiqun: 9)

Walhasil, anak adalah aset bagi orangtua. Lantas orangtua memiliki obsesi yang berbeda bagi anak-anaknya. Ada yang menginginkan anaknya kelak menjadi orang kaya, ini yang menjadi prioritasnya.
Padahal, belum tentu ketika kelak anaknya menjadi orang kaya orangtua masih hidup. Atau taruhlah ketika orangtua masih hidup saat anaknya menjadi orang kaya, tanpa didikan takwa maka anak takkan berbakti kepadanya.

Begitupun dengan orang yang berambisi anaknya menjadi pejabat. Belum tentu orangtua masih hidup saat anaknya menjadi pejabat. Atau kalaupun masih hidup, belum tentu anaknya berbakti dan memuliakan orangtua.

Maka rasa cinta kepada anak seharusnya mengarahkan buah hati tersebut kepada keshalihan, sebagaimana doa Nabi Ibrahim, “Rabbi habli minash shaalihin, Wahai Rabbi, anugerahkanlah kepadaku seorang putera yang shalih.”

Keshalihan anak secara otomatis mengundang pertolongan Allah kepadanya. Sebagaimana janji Allah Ta’ala, “wahuwa yatawallash shaalihin, dan Dia Allah menolong orang-orang yang shalih.” (QS. al-A‘raf: 196)

Wallahu a’lam.

 

Oleh: Redaksi/Keluarga

Mengajarkan Syahadat agar Anak Selamat

Syahadat, Laa ilaaa illallah dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, merupakan kunci Islam. Ini adalah kalimat thayyibah (yang baik), yang lebih berat dalam timbangan daripada seluruh langit dan bumi. Kita mengajarkannya kepada anak-anak kita, pertama kali yang dia katakan, dan lafazh-lafazhnya mengetuk pendengaran-pendengaran mereka pada waktu pertama kali dia keluar dari perut ibunya.

Ibnul Qayyimrahimahullahdalam kitab Ahkam al-Maulud mengatakan: “Di awal waktu ketika anak-anak mulai bisa berbicara hendaklah mendiktekan kepada mereka kalimat la ilaha illallah Muhammad Rasulullah, dan hendaklah sesuatu yang pertama kali didengar oleh telinga mereka adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan mentauhidkan-Nya. Juga diajarkan kepada mereka bahwa Allah berada di atas singgasana-Nya yang senantiasa melihat dan mendengar perkataan mereka dan Ia senantiasa bersama dengan mereka di mana pun mereka berada. Adalah Bani Israil dahulu sering sekali memperdengarkan kepada anak-anak mereka kata-kata “Imanuel” yang berarti “Tuhan bersama kita”. Oleh karena itu nama yang paling dicintai oleh Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman. Sebab, jika anak kelak sudah paham dan mengerti, ia akan tahu bahwa ia adalah hamba Allah dan bahwa Allah adalah Tuannya.”

Baca Juga: Ayah Galau, Anak Move On!

Ibnu Zhafar Al-Makki membawakan sebuah kisah menarik mengenai kecintaan anak untuk mengulang-ulang kalimat syahadatain. Beliau mengatakan: Telah sampai kepadaku sebuah kisah bahwa Abu Sulaiman Dawud bin Nushair At-Tha’i -rahimahullah- ketika berumur lima tahun dipasrahkan oleh ayahnya kepada seorang pendidik. Sang guru memulai mengajarinya dengan mendiktekan ayat-ayat Al-Qur’an. Ketika si anak telah mempelajari surat Hal ata ‘alal-Insan (surat Al-Insan) dan telah menghafalkan, maka suatu hari di hari Jumat sang ibu melihatnya sedang menatap ke tembok dengan merenung sambil menunjuk sesuatu dengan tangannya. Ibunya pun akhirnya mengkhawatirkan mentalnya lalu memanggilnya: “Wahai Dawud, bangkit dan bermainlah dengan anak-anak yang lain!” Ia tidak mau memenuhi saran ibunya dan akhirnya ibunya menariknya secara paksa dan mengancamnya. Ia kemudian berkata: “Ada apa dengan ibu? Ada yang tidak berkenan pada ibu?” Sang ibu balik bertanya: “Di mana pikiranmu?” Ia menjawab: “Akalku bersama hamba-hamba Allah ?” “Di mana mereka?”, tanya ibunya lagi. Ia menjawab: “Di surga?” Ibunya bertanya lagi: “Sedang apa mereka?” Ia menjawab:

مُتَّكِئِينَ فِيهَا عَلَى الْأَرَائِكِ لَا يَرَوْنَ فِيهَا شَمْسًا وَلَا زَمْهَرِيرًا

“Di dalamnya mereka bertelekan di atas dipan. Di dalamnya mereka tidak merasakan teriknya matahari dan tidak pula merasakan dingin yang menusuk.” (QS. Al-Insan: 13)

Ia terus membaca ayat-ayat selanjutnya dengan perenungan yang mendalam hingga sampai pada firman Allah :

هَذَا كَانَ لَكُمْ جَزَاءً وَكَانَ سَعْيُكُمْ مَشْكُورًا

“Dan perbuatanmu tentu akan disyukuri (diberi balasan).” (QS. Al-Insan: 22)

Sesudah itu sang anak melontarkan pertanyaan kepada ibunya: “Wahai ibukku, tahukah engkau apa sebenarnya yang telah mereka perbuat dahulu?” Sang ibu tidak bisa menjawab, dan akhirnya ia berkata kepadanya: “Biarkan aku sejenak hingga aku selesai bertamasya menjelajahi mereka!” Setelah itu sang ibu pergi mebawanya ke hadapan sang ayah untuk memberitahukan perihal anaknya. Ayahnya kemudian berkata kepadanya: “Wahai Dawud, amalan mereka dahulu adalah mengucapkan la ilaha illallah Muhammad Rasulullah.” Maka Dawud pun akhirnya mengisi sebagian besar waktunya dengan ucapan kalimat ini.

Rasulullah sejak pertama kali mendapatkan risalah tidak pernah menjauhkan anak-anak dari beriman kepada seruan beliau. Beliau berangkat menemui Ali bin Abi Thalib ra, sedangkan ketika itu usianya tidak lebih dari sepuluh tahun, lalu beliau menyerunya untuk beriman dan akhirnya ia pun beriman kepada beliau dan menemani beliau dalam melaksanakan shalat secara sembunyi-sembunyi di lembah Mekah sehingga tidak diketahui oleh keluarga dan ayahnya sekalipun.

Baca Juga: Saat-saat Berharga Bersama Anak

Ayah Ali, Abu Thalib, pernah mendapati anaknya dan Nabi sedang mengerjakan shalat, lalu ia bertanya kepada beliau: “Wahai keponakanku, agama apakah yang engkau peluk ini?” Beliau menjawab: “Wahai pamanku, ini adalah agama Allah, agama para malaikatnya, agama para rasulnya, dan agama bapak kita Ibrahim. Allah  telah mengutusku sebagai seorang rasul kepada para hamba, dan engkaulah orang yang paling berhak untuk aku ajak kepada petunjuk dan yang paling berhak untuk memenuhi seruanku ini serta membantuku dalam urusan agama ini.”

Orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan budak yang dimerdekakan adalah Zaid bin Haritsah. Ia dibawa oleh paman Sayidah Khadijah, yaitu Hakim bin Hizam, dari Syam sebagai tawanan, lalu ia diambil sebagai pembantu oleh Khadijah. Rasulullah kemudian memintanya dari Khadijah lalu memerdekakannya dan mengadopsinya sebagai anak dan mendidiknya di tengah-tengah mereka.

Demikianlah Rasulullah memulai dakwahnya yang baru di dalam menegakan masyarakat Islam dengan menfokuskan perhatian terhadap anak-anak, dengan cara memberikan proteksi, dengan menyeru dan mendoakan sehingga akhirnya si anak kelak memperoleh kemuliaan sebagai ‘tameng’ Rasulullah dengan tidurnya si ananda di rumah beliau di malam hijrah ke Madinah. Ini merupakan buah dari pendidikan yang ditanamkan oleh Nabi kepada anak-anak yang lagi tumbuh berkembang agar menjadi pemimpin-pemimpin di masa depan dan menjadi pendiri masyarakat Islam yang baru. Wallahu a’lam (Redaksi/Pendidikan Anak/Keluarga)

 

Tema Terkait: Pendidikan Anak, Syahadat, Sirah Nabawiyah

 

Agar Kebersamaan Tak Hanya di Dunia

Alangkah bahagianya Nabiyullah Yakub mendengar jawaban anak-anaknya. Bahwa kelak mereka masih akan terus menyembah Rabbnya dan tunduk kepada-Nya. Bukankah itu tujuan utama dari pendidikan yang ia tanamkan kepada anak-anaknya.

أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَـٰهَكَ وَإِلَـٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَـٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ 

“Adakah hamu hadir ketika Yakub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab: ‘Kami akan menyembah Rabbmu dan Rabb nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk kepada-Nya. “  (QS. al-Baqarah: 133).

Apalagi yang ditakutkan saat anak-anaknya berikrar bahwa kelak sepeninggalnya ia akan menyembah illah yang maha melindungi, maha memberi rezeki, maha pengasih dan maha penyayang. Yakub tak gelisah dengan kehidupan dunia anak-anaknya, seberapa mapan pekerjaan mereka, berapa penghasilan mereka, bisakah mereka mendapatkan kehidupan yang layak seperti saat ayahnya masih ada. Tidak. Karena ia yakin Rabb yang ia sembah tak akan menyia-nyiakan hamba yang tunduk menyembah kepada-Nya.

Jawaban anak-anak nabi Yakub bukanlah hasil tanpa usaha. Ada tarbiyah berkelanjutan dan dakwah tak kenal lelah yang ia patrikan di hati anak-anaknya. Bahkan, dari jawaban anak-anaknya kita bisa melihat kedekatan sang ayah dengan mereka. Mereka tidak menjawab, “kami akan menyembah Allah,” tapi mereka menjawab, “kami akan menyembah Rabbmu,” yang menunjukkan betapa dekat mereka dan betapa bangga mereka kepada ayahnya.

Demikian pula kehidupan anak-anak kita mendatang, sebakda kematian kita hari ini menentukannya. Tugas kita sebagai orang tua memberikan pendidikan agar kelak ketika mereka ditanya memberikan jawaban sebagaimana putra nabi Yakub.

Rasulullah telah menjelaskan bahwa pendidikan adalah persoalan yang sangat krusial dan faktor terkuat dalam membentuk kepribadian anak-anak. Rasulullah SAW bersabda, “Tiada seorang manusia pun, kecuali terlahir dalam keadaan fitrah. Lalu orangtuanya menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi.

Lalu Abu Hurairah membaca ayat, “Wahai Muhammad, teguhkanlah hatimu mengikuti Islam sebagai ciptaan Allah, Allah ciptakan manusia sesuai dengan ajaran agama Allah. Tidak ada yang berubah dalam ciptaan Allah. Islam itu adalah agama yang benar. Akan tetapi sebagian besar manusia tidak mau menyadari kebenaran Islam.” (QS. Rum: 30).

Kewajiban setiap mukmin melindungi dan membentengi dirinya dan keluarganya dari neraka, sebelum kesempatan itu sirna dan sebelum alasan dan uzur itu tidak bermanfaat lagi diutarakan. Jangan seperti orang kafir yang mengemukakan uzur mereka pada saat itu, padahal mereka sedang berdiri menghadapi azab itu. Sehingga, alasan dan uzur mereka tidak diterima lagi dan mereka pun ditimpa oleh keputusasaan.

Keluarga Sampai di Surga

Semua tentu berharap hubungan ayah anak tak berbatas di kehidupan dunia. Namun hubungan itu kekal hingga di akhirat.

“Orang-orang mukmin masuk ke dalam surga dan merasakan kenikmatan. Penghuni surga menikmati segala kelezatan yang diberikan oleh Tuhan mereka. Tuhan mereka menyelamatkan penghuni surga dari adzab nereka Jahim. Para malaikat berkata kepada penghuni surga, “Makanlah dan minumlah dengan senang hati. Ini semua merupakan balasan amal shalih yang kalian lakukan di dunia dahulu. Para penghuni surga duduk bersandar pada dipan-depan yang tertata rapi. Mereka ditemani bidadari yang berkulit putih bersih dan bermata indah. Orang-orang mukmin berada di dalam surga disusul oleh anak keturunan mereka yang beriman. Kami kumpulkan orang-orang mukmin bersama dengan anak keturunan mereka. Kami tidak mengurangi sedikitpun pahal atas amal mereka. Setiap orang mendapatkan pahala sesuai aaml shalih yang dilakukan didunia. Kami karuniakan kepada para penghuni surga buah-buahan, sayur mayur dan daging yang mereka inginkan. Di dalam surga, mereka saling mengulurkan gelas berisi minuman. Di dalam surga tidak ada ucapan sia-sia dan tidak pula ada perbuatan dosa. Para penghuni surga di kelilingi pelayan-pelayan muda. Mereka itu putih bersih laksana mutiara dan berjajar rapi. Para penghuni surga duduk saling berhadapan untuk bercengkrama membicarakan keadaan mereka di dunia dahulu. Sungguh, Kami dahulu berada ditengah keluarga kami yang selalu takut akan adzab Allah. Lalu Allah memberikan karunia kepada kami. Allah menjauhkan kami dari adzab yang membinasakan di akhirat.” (QS. At-Thuur: 17-28)

Demi agar kelak anak-anaknya menjadi keluarga di surga, Setiap pagi yang masih gelap, Rasulullah selalu berjalan di depan rumah Ali bin Abi Thalib. Ia ketuk pintu rumahnya setiap kali hendak mendirikan shalat subuh. “Shalat, shalat, wahai keluargaku, sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa-dosa kalian dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.”   

Ali dengan kualitas keimanannya yang luar biasa. Seorang pemuda generasi awal yang mengimani kenabian Muhammad saw. Seorang yang rela tidur diranjang Rasulullah saat peristiwa Hijrah sementara orang-orang kafir mengelilingi rumah dengan menghunuskan pedang. Dan, ia adalah satu dari sepuluh orang yang telah dijanjikan surga (al-Asrah al mubassaruna bil jannah). Rasulullah tetap mengetuk pintu rumahnya, tetap mengajaknya untuk shalat berjamaah.

Demikian juga yang dilakukan oleh shahabat Abu Bakar as-sidik. ia lewati rumah putranya, Abdullah, ketika hendak pergi kemasjid. Di dengarnya sang putra masih bercengkrama dengan sang istri yang baru dinikahi. Tak tega ia mengganggu pasangan baru itu. Dengan permakluman, ia tinggalkan sang putra dengan harapan sang putra akan segera menyusulnya ke masjid. Ia tunggu putranya di masjid, sampai ketika iqamah telah dikumandangkan, tetap sosok yang ditunggunya tak kunjung tampak. Berulang kejadian serupa, hingga ayah yang shalih ini terpaksa memerintahkan sang putra untuk menceraikan istrinya. Demikianlah bila sebuah keluarga mendamba surga.