Aqiqah dan Hukum Dropship

Tidak Aqiqah Terhalang Syafaat

Ustadz, benarkah orang tua terhalang dari syafaat anak yang tidak diaqiqahi sebagaimana pendapat yang pernah saya baca? Atas jawabannya saya ucapkan, “Jazakumullah khairan.” (Fatah—Sukoharjo)

الْحَمْدُ لِلهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum aqiqah bagi yang mampu. Sebagian fuqaha berpendapat hukumnya wajib. Menurut jumhur fuqaha madzhab yang empat hukumnya sunnah muakkad. Ada pula yang berpendapat hukumnya makruh. Para ulama kontemporer mengkaji pendapat-pendapat ini dan menjelaskan bahwa pendapat yang menyatakan hukumnya makruh adalah pendapat yang sangat lemah. Pendapat yang paling kuat adalah yang menyatakan hukumnya sunnah muakkad.

Dalil-dalil yang dijadikan pijakan, di antaranya:

Dari Salman bin ‘Amir adh-Dhabbiy bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ada kewajiban aqiqah untuk setiap anak. Maka, alirkan darah atasnya (sembelihlah aqiqahnya) dan hilangkanlah gangguan darinya (cukur gundul rambutnya)!” (HR. Al-Bukhari, no. 5154)
Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah saw memerintahkan para sahabat untuk menyembelih aqiqah anak laki-laki berupa dua ekor kambing dan aqiqah anak perempuan berupa seekor kambing. (HR. At-Tirmidzi, no. 1513, shahih)
Dari Samurah bin Jundub dari Nabi saw, beliau bersabda, “Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya. Aqiqahnya disembelih pada hari ketujuh, dia dicukur gundul, dan dia diberi nama.” (At-Tirmidziy, no. 1522 dan Ibnu Majah, no. 4165, shahih)

Para ulama berbeda pendapat mengenai makna sabda Nabi, “Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya.” Sebagian berpendapat, maknanya adalah jika seorang anak tidak diaqiqahi lalu ia meninggal dunia saat kanak-kanak, ia tidak bisa memberi syafaat untuk kedua orang tuanya. Ada pula yang mengatakan, aqiqah menjadi salah satu faktor terbebasnya anak dari setan dan menjadi benteng bagi si anak dari gangguan setan. Tentang terhalanginya seorang anak dari suatu kebaikan disebabkan kedua orang tuanya, ada contoh lain. Jika saat berhubungan badan ayah ibunya tidak berdoa kepada Allah, tidak ada penjagaan Allah dari gangguan setan. (Lihat: Zadul Ma’ad 2/325 dan asy-Syarhul Mumti’ 7/535)

Perlu kita pahami bahwa tidak ada satu kewajiban pun dalam Islam yang tidak dikaitkan dengan kemampuan. Demikian pula halnya dengan aqiqah ini. Apalagi menurut pendapat yang paling kuat, hukumnya sunnah muakkad. Ditambah lagi, penjelasan dari para ulama mengenai syafaat untuk orang tua terkait jika anak meninggal dunia sewaktu masih kanak-kanak. Maka, jika seseorang tidak mengaqiqahi anaknya lantaran tidak mampu, insya Allah ia tidak terhalangi dari syafaat anaknya. Wallahu a’lam.

Hukum Transaksi Dropship

Bagaimana hukum jual beli secara dropship? Yaitu penjual menampilkan gambar barang-barang yang hendak dijualnya dalam situs yang dia kelola. Jika ada konsumen yang tertarik untuk membelinya, terlebih dahulu ia membayar secara tunai atau transfer ke rekening dropshipper, kemudian dropshipper membeli barang itu ke supplier sesuai harga beli yang telah mereka sepakati berdua disertai ongkos kirim barang ke alamat konsumen. Terakhir, supplier mengirim barang yang telah dibeli dropshipper kepada konsumen. Terima kasih atas jawabannya. (Abdullah—Solo)

الْحَمْدُ لِلهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ

Dari deskripsi yang Antum sampaikan dan yang saya baca dari berbagai sumber tentang transaksi dropship, setidaknya ada dua problem serius yang terjadi dalam transaksi ini.

Pertama, penjual atau dropshipper menjual barang yang belum penuh menjadi miliknya. Hal itu dilarang dalam syariat. Sebab ada hadits shahih yang berbunyi,

عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِى الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّى الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِى أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ فَقَالَ لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Dari Hakim bin Hizam ra ia bertanya, “Wahai Rasulullah, ada orang yang mendatangiku. Orang itu ingin membeli barang yang tidak aku miliki. Bolehkah aku membelikan barang yang dia inginkan di pasar setelah bertransaksi dengan orang itu?” Rasulullah saw menjawab, “Janganlah kamu menjual barang yang belum kamu miliki!” (HR. Abu Daud, no. 3505; dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani)

Kedua, penjual mengaku memiliki barang—meskipun secara implisit—dengan memasang gambar barang-barang yang dijualnya di situs miliknya. Padahal, dalam transaksi dan dalam segala hal, seorang yang beriman kepada Allah diharamkan berdusta.
Selain itu, dalam transaksi dropship penjual atau dropshipper mengambil keuntungan sekehendaknya tanpa menanggung risiko apa pun. Jika barang rusak atau hilang di jalan, yang menanggung adalah suplier. Ini juga tidak diperkenankan dalam syariat.
Ada solusi yang ditawarkan oleh para ulama pemerhati perkembangan transaksi kontemporer. Penjual bisa memosisikan diri sebagai broker (semacam calo), hal mana ia hanya meminta fee atau upah kepada suplier karena berhasil menarik pembeli. Dalam hal ini ia tidak perlu menanggung risiko.

Solusi kedua, penjual mesti membeli barang terlebih dahulu dari suplier. Dia tentukan barang yang dibelinya, lalu ia menawarkannya kepada khalayak di situsnya. Jika ada yang tertarik untuk membelinya, ia dapat melayaninya. Dalam hal ini ia bebas menentukan keuntungan sebagaimana ia juga harus siap menanggung semua risiko yang terjadi.
Rumit dan ribet? Dalam kerumitan dan keribetan itu ada pahalanya. Wallahu a’lam.

Kurban sambil Aqiqah

Pertanyaan: 

Assalamualaikum warahmatullah wabaraktuh

Apakah boleh berkurban dengan satu ekor hewan sembelihan dengan dua niat, yaitu niat untuk qurban ‘iedul adha sekaligus untuk aqiqah anaknya?

 

Jawaban :

Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam kepada Rasulullah SAW, keluarga beserta shahabat-shahabatnya,

Terdapat kaidah fiqhiyah yang disebutkan oleh imam al Hafidz Ibnu Rajab yang menyatakan bolehnya menyatukan dua niat dalam satu ibadah :

“Jika berkumpul dua ibadah yang sejenis pada waktu yang sama, yang salah satu diantara keduanya bukan merupakan qadha’ dan bukan merupakan ibadah yang waktu dikerjakannya bersambung dengan ibadah yang lain, maka keduanya dapat dikerjakan dalam satu ibadah saja.”(Taqrirul Qawaid wa Tahrirul Fawaid).

Untuk lebih jelasnya,perhatikan contoh berikut:

Bila kita dalam kondisi Junub di pagi hari, sedang hari itu adalah hari Jumat, kita bisa melakukan mandi sekali dengan niat mandi junub sekaligus mandi sunah di hari Jumat. Contoh lain, seorang wanita suci dari haidh maka ia wajib mandi, namun sebelum mandi ia mimpi basah yang juga mewajibkan mandi. Maka mandi sekali dengan dua niat sudah mencakup untuk kedua kewajiban tersebut. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, Imam an Nawawi (al majmu’ 3/326) al Mawardi (al Haawi al Kabir1/375) dan Ibnu Qudamah al Maqdisiy (al Mughni 1/163).

Tapi jika salah ibadah adalah qadha’, maka tidak boleh digabung dengan yang lain. Misal: mengqadha’ Ramadhan sekaligus diniatkan shaum syawal. Seharusnya qadha’ dahulu baru shaum syawal, sebab hadits tentang shaum syawal yang menyatakan ibadah syawal waktunya bersambung setelah berakhirnya shaum Ramadhan:

Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang berpuasa Ramadlan kemudian diiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa.” (HR Muslim)

Adapun pertanyaan bolehkah melakukan Qurban untuk ‘iedul Adha sekaligus aqiqah? maka ulama berbeda pendapat, dan pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur (kebayakan para ulama) yaitu pendapatnya Imam Malik, Imam Syafi’ie dan riwayat dari Imam Ahmad yang menyatakan tidak boleh.

Para ulama tidak membolehkan karena kedua ibadah tersebut sebabnya berbeda, dan maksud dari keduanya pun berbeda; satu untuk anaknya dan satu untuk dirinya dan ini adalah pendapat Imam al Haitami (Tuhfatu al Muhtaj Syarh al Minhaj9/371), al Hatthab (Mawahib al Jalil3/259) menyatakan, bila seorang ibu melahirkan dua anak perempuan kembar kemudian bapaknya mengaqiqahi kedua putrinya yang keluar dari satu perut ibunya dengan satu sembelihan saja tidak diterima, lalu bagaimana bila menyembelih untuk dua maksud berbeda; yang satu untuk anaknya dan satunya untuk dirinya dalam satu hewan qurban, tentu ini lebih tidak boleh. Wallahu a’alam bi ash shawab.