Khutbah Jumat: Keagungan Kalimat Tauhid

KEAGUNGAN KALIMAT TAUHID

 Oleh: Majalah ar-risalah

 

الْحَمْدُ للهِ الكَرِيمِ المَنَّانِ، صَاحِبِ الفَضلِ وَالجُودِ وَالإِحْسَانِ، يَمُنُّ وَلا يُمَنُّ عَلَيْهِ، سُبْحَانَهُ لا مَلْجَأَ مِنْهُ إِلاَّ إِلَيْهِ، أَحْمَدُهُ بِمَا هُوَ لَهُ أَهلٌ مِنَ الْحَمْدِ وَأُثْنِي عَلَيْهِ، وَأُومِنُ بِهِ وَأَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، حَثَّ عِبَادَهُ عَلَى الإِخْلاصِ فِي العَطَاءِ، وَنَهَاهُمْ عَنِ المَنِّ وَالرِّيَاءِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، قَدَّرَ نِعَمَ اللهِ حَقَّ قَدْرِهَا، وَأَجْهَدَ نَفْسَهُ بِالقِيَامِ بِشُكْرِهَا، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ، وَرَضِيَ اللهُ عَنِ التَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا المُؤْمِنُونَ

أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ تَعاَلَى ، وَصِيَّةُ اللهِ لَكُمْ وَلِلأَوَّلِيْنَ. قَالَ تَعَالَى: ( وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُواْ اللَّهَ وَإِن تَكْفُرُواْ فَإِنَّ للَّهِ مَا فِى السَّمَاواتِ وَمَا فِى الأرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيّاً حَمِيداً) (النساء:131)

 

Jamaah Jumat yang dimuliakan oleh Allah,

Tiada kata henti untuk bersyukur, karena banyaknya nikmat Allah tak terukur. Adalah keliru jika seseorang itu memandang nikmat sebatas pada makanan, minuman, tempat tinggal maupun kemewahan. Betapa seseorang akan sulit merasakan kebahagiaan jika tak mengenali nikmat selain pada kelezatan ragawi dan kenikmatan materi. Imam Hasan al-Bashri berkata, ”Barangsiapa yang tidak mengenali nikmat Allah selain pada makanan, minuman dan pakaian, maka sungguh dangkal ilmunya, dan amat berat penderitaannya.” Tentu saja ia menderita, karena ketika seseorang tidak mengenali nikmat, ia pun tidak mampu merasakan kelezatannya.

Maka jaminan kebahagiaan bukan dari sisi kekayaannya, begitu juga derajat kemuliaan seorang hamba di sisi Allah. Hanya saja, budaya materialistis telah mendorong manusia memandang kemuliaan melulu berdasarkan harta dan kelebihan secara fisik.

 

Jamaah shalat Jumat Rahimakumullah,

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

إِنَّ اللَّهَ سَيُخَلِّصُ رَجُلًا مِنْ أُمَّتِي عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَنْشُرُ عَلَيْهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ سِجِلًّا كُلُّ سِجِلٍّ مِثْلُ مَدِّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَقُولُ أَتُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا أَظَلَمَكَ كَتَبَتِي الْحَافِظُونَ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّ فَيَقُولُ أَفَلَكَ عُذْرٌ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّ فَيَقُولُ بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَةً فَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتَخْرُجُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ فَيَقُولُ احْضُرْ وَزْنَكَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ فَقَالَ إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ قَالَ فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كَفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كَفَّةٍ فَطَاشَتِ السِّجِلَّاتُ وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ فَلَا يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ اللَّهِ شَيْءٌ

“Sesungguhnya, Allah akan membebaskan seorang lelaki dari umatku di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat. Akan dibentangkan padanya 99 lembaran (catatan amal keburukan), tiap-tiap lembaran seukuran sejauh pandangan mata. Kemudian Allah bertanya, “Apakah engkau mengingkari sesuatu dari lembaran (catatan amal keburukan) ini? Apakah para (malaikat) penulis–Ku al-Hafizhun (yang mencatat) menzhalimimu?”

Maka, hamba tadi menjawab, “Tidak wahai Rabbku.” Allah bertanya lagi, “Apakah engkau memilik alasan?” Maka, hamba tadi menjawab, “Tidak wahai Rabb-ku.” Maka, Allah berfirman, “Benar, sesungguhnya di sisi Kami engkau memiliki satu kebaikan. Sesungguhnya pada hari ini engkau tidak akan dizhalimi.  Kemudian, dikeluarkan sebuah bithaqah (karcis) yang bertuliskan: Asyhadu alla ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu warasuluhu (Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah adalah hambaNya dan Rasul-Nya. Allah berfirman, “Datangkanlah timbanganmu.”  Hamba tadi berkata, “Wahai Rabb-ku, apa (pengaruh) karcis ini terhadap lembaran-lembaran ini.” Maka, Allah berfirman, “Sesungguhnya engkau tidak akan dizhalimi.” Rasulullah bersabda, “Maka, lembaran-lembaran itu diletakkan di atas satu daun timbangan, dan satu karcis tersebut diletakkan di atas satu daun timbangan yang lain. Maka, ringanlah lembaran-lembaran itu, dan beratlah karcis tersebut. Maka, sesuatupun tidak berat ditimbang dengan nama Allah.” (HR. Tirmidzi)

Demikianlah, tidak ada sesuatu pun yang lebih berat bila ditimbang dengan kalimat Laa ilaaha illallah. Siapa yang bertemu Allah dan mengimaninya maka Allah akan menyelamatkannya dari Azab neraka meskipun sebelumnya dia diazab lantaran dosa yang dilakukan. Sebaliknya, siapa yang bertemu dengan Allah tanpa kalimat itu dan mengkufurinya, kelak dia akan menyesal tidak mendapatkan rahmat-Nya.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah,

Kalimat Laa ilaaha illallah adalah inti dakwah para Nabi. Allah berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS. Al-Anbiya: 25).

Tidaklah seorang Nabi dibenci dan dimusuhi melainkan karena mereka menyampaikan dan mengajak semua orang untuk mengagungkan kalimat tersebut. Kalimat Laailaaha illallah adalah kalimat pembuka jannah sebagaimana sabda Rasulullah,

“Barang siapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah dengan penuh keikhlasan, maka dia akan masuk surga.“ (HR. Ahmad).

Namun, tidak setiap yang mengucapkannya bisa mengambil manfaat dari kalimat tersebut. Iman Bukhari meriwayatkan bahwa seseorang pernah bertanya kepada Imam Wahab bin Munabbih, seorang Tabi’in dari Shan’a, “Bukankah Laa ilaaha illallah itu kunci surga?”  Wahab menjawab, “Benar, akan tetapi setiap kunci pasti bergerigi. Jika engkau membawa kunci yang bergerigi, maka pintu surga itu akan dibukakan untukmu.”

Apakah gerigi-gerigi itu? Gerigi itu adalah syarat-syarat Lailaha illallah. Demikian pula keterangan Hasan Al Bashri rahimahullah, ketika ia ditanya, “Orang-orang mengatakan bahwa barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallah pasti akan masuk surga.” Hasan al-Bashri berkata:

من قال « لا إله إلا الله » فأدَّى حقها وفرضها دخل الجنة

“Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallah, lalu menunaikan hak dan kewajibannya (konsekuensinya), pasti akan masuk surga“.

Rasulullah juga bersabda,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

“Sesiapa yang akhir ucapannya adalah kalimat Lailaha illallah maka Allah akan memasukkannya ke dalam jannah.” (HR. Abu Dawud).

Oleh karena itu Rasulullah mengajarkan kepada umatnya untuk menalqinkan kalimat tersebut pada orang yang hendak meninggal.

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

“Talqinkanlah (tuntunkanlah) orang yang akan meninggal di antara kalian dengan kalimat, ’laa ilaha illallah’.” (HR. Muslim)

 

Jamaah jumat Rahimakumullah,

Itu pulalah yang diinginkan Rasulullah dari paman beliau, Abu Thalib. Paman yang telah berjuang membela dan melindungi Rasulullah ketika kaum kafir menginginkan kecelakaan pada beliau. Beliau ingin pamannya mengucapkan kalimat tersebut di akhir hayatnya. Maka pada saat pamannya berada pada detik-detik akhir hidupnya, beliau berdiri di sisi dipan sambil berkata, “Wahai pamanku, ucapkan Laa ilaaha illallah, kalimat yang dengannya aku akan berhujjah (membelamu) di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla.”  (HR. Al-Bukhari)

Namun sayang, pamannya enggan mengucapkan kalimat tersebut. Karena bujukan dan hasutan dari kedua saudaranya Abu Jahal dan Abu lahab, yang turut serta mendampinginya di akhir hayatnya.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah,

Belum setelah wafatnya Rasulullah, Umar Ibnu Khatab pernah mendapati sahabat Thalhah bin Ubaidillah sedang duduk berteduh dan bersedih. Lantas umar bertanya kepada Thalhah, “Wahai Thalhah, apa yang membuatmu bersedih? apakah istrimu?”

Jawabnya, “Bukan, tapi yang membuatku sedih adalah aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebelum beliau meninggal, ‘Sungguh aku tahu, ada satu kalimat, tidaklah seorang hamba mengucapkannya disaat kematiannya melainkan kalimat itu akan menjadi cahaya diwajahnya sehingga warnanya cerah dan Allah mudahkan urusannya. Dan sungguh jasad dan ruhnya akan mendapat kenyamanan dan rahmat di saat kematian’.

Thalhah melanjutkan ucapannya, “Aku ingin menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam, namun beliau jatuh sakit. Dan aku tidak sempat menanyakannya hingga beliau wafat. Dan ini yang membuatku sedih.”

Umar pun mengatakan, “Aku tahu kalimat itu wahai Thalhah, yaitu kalimat yang beliau ingin agar pamannya Abu Thalib mengucapkannya (yaitu kalimat laa ilaaha illallah).”

 

Jammah Jumat rahimakumullah,

Begitu berharganya kalimat Laa ilaaha illah, sehingga para Nabi dan orang-orang shalih mewasiatkan hal ini kepada anak-anaknya. Dalam sebuah hadits Rasulullah menceritakan Nabi Nuh alaihissalam di masa akhir hidupnya. Ia berpesan kepada anaknya,

“Wahai anakku, aku perintahkan kepadamu melazimi kalimat laa ilaaha illallah …kalaulah kiranya tujuh lapisan langit dan bumi diletakkan dalam satu timbangan. Kemudian kalimat laa ilaaha illallah diletakkan pada timbangan yang satu. Sungguh kalimat laa ilaaha illallah itu lebih berat. Kalaulah kiranya dunia langit seisinya itu terbentuk menjadi sebuah rantai yang kokoh, sungguh kalimat laa ilaaha illallah dapat memotongnya“.

Nabi Nuh telah diberikan umur yang panjang oleh Allah. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa umur beliau mencapai 950 tahun. Sepanjang usianya ia habiskan untuk mendakwahkan kalimat Lailaha illallah. Beliau menyaksikan bagaimana Allah menolong dan menyelamatkan orang-orang yang berpegang dengan kalimat tauhid dan ia menyaksikan kebinasaan penduduk bumi yang hanyut tenggelam lantar kekufuran mereka terhadap kalimat laa ilaaha illallah. Begitu agungnya kalimat ini, sehingga tak ada nilainya seberapapun dunia yang kita miliki bila di dalam hati kita tidak ada keimanan dan tidak ada pengagungan kepada kalimat tauhid ini.

Kalimat ini pulalah yang dipesankan oleh Nabi Yaqub kepada putra-putrinya. Allah mengisahkan tentang Nabi Ya’kub,

أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (QS. Al-Baqarah: 133).

Nabi Ya’kub tidak mengkhawatirkan kehidupan dunia anak-anaknya. Ia tidak khawatir dengan apa yang mereka makan kelak, yang mereka pakai kelak, di mana kelak mereka akan tinggal. Yang ia khwatirkan adalah apa yang akan mereka sembah, yang akan mereka taati, yang akan mereka ibadahi sepeninggal beliau. Itu yang beliau khawatirkan.

 

Jamaah rahimakumullah,

Semoga Allah memudahkan kita dalam melaksanakan konsekuensi dari kalimat tauhid sehingga kita dimudahkan dalam mengucapkan kalimat Laa ilaaha illah di penutup usia kita. Kemudian Allah memasukkan kita ke dalam Jannah bersama para ahli tauhid.

 

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Khutbah Jumat

 

Hukum Shalat Di Atas Sajadah Bergambar Ka’bah dan Gambar Lainnya

Pertanyaan:

Apakah menginjak Ka’bah dan tempat-tempat suci yang ada dalam sajadah shalat itu haram? Ada propoganda yang mengajak embargo tidak membeli sajadah shalat yang ada gembar tempat-tempat suci agar tidak menginjaknya dengan kaki. Apa pendapat syar’i dalam masalah ini? Terimakasih

 

Jawaban:

Alhamdulillah

Menggambar yang tidak ada ruh baik benda mati atau tumbuhan serta semisalnya tidak mengapa. Termasuk dalam hal ini Ka’bah dan tempat-tempat suci selama tidak ada gambar orangnya. Akan tetapi hendaknya jamaah shalat tidak shalat di hadapan gambar atau di sajadah yang ada gambarnya agar tidak mengganggunya.

Telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Aisyah sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam mempunyai kelambu yang ada gambarnya, maka beliau melihat sepintas gambar tersebut, lalu ketika selesai beliau mengatakan,

 

اذْهَبُوا بِخَمِيصَتِي هَذِهِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَأْتُونِي بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلَاتِي وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُنْتُ أَنْظُرُ إِلَى عَلَمِهَا وَأَنَا فِي الصَّلَاةِ فَأَخَافُ أَنْ تَفْتِنَنِي

“Pergilah kalian dengan kain ini ke Abu Jahm dan datangkan kain kasar Abu Jahm. Karena ia barusan melenakan dalam shalatku. Hisyam bin Urwah mengatakan dari ayahnya dari Aisyah, Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Saya barusan melihat gambarnya, sementara saya dalam shalat, saya khawatir menggangguku.”

Kata ‘Khomishoh’ adalah baju bergaris dari sutera atau wol

Kata ‘Al-A’lam’ adalah ukiran dan hiasan

Kata ‘Anbajaniyah adalah kain tebal tidak ada gambar dan ukiran.

Dimakruhkan shalat di atas sajadah yang bergambar dan ada ada hiasannya karena dapat mengganggu dan melalaikan jamaah shalat. Bukan seperti yang disebutkan dalam pertanyaan yaitu karena ada penghinaan tempat suci dengan menginjaknya. Yang nampak hal itu tidak ada penghinaan dalam hal ini. Bahkan sajadah-sajadah ini sangat dijaga oleh pemiliknya dan biasanya menjadikan ruang kosong untuk tempat pijakan kaki.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya tentang sajadah yang ada gambar masjid apakah shalat di atasnya?

Maka beliau menjawab, “Pendapat kami, hendaknya tidak menaruh sajadah untuk Imam yang ada gambar masjidnya. Karena terdakang mengganggu dan memalingkan pandangannya dan ini mengurangi kekhusyukan shalat. Oleh karena itu ketika Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam shalat dengan kain yang ada gambarnya, beliau melihat selintas gambarnya. Ketika selesai beliau mengatakan, “Pergi dengan kain bergambar ini ke Abu Jahm. Dan datangkan kepadaku dengan kain kasar yang  tidak bergambar karena ia berusan melalaikan shalatku.” Muttafaq ‘alaihi dari hadits Aisyah radhiallahu anha.

Kalau seorang Imam shalat di atas sajadah bergambar sedangkan ia tidak tergangu dengan hal itu, karena buta atau karena hal ini seringkali dilewati sehingga tidak ada perhatian dan tidak mengalihkan pandangannya, maka kami berpendapat tidak mengapa shalat di atasnya. Wallahu muwafiq. Selesai dari ‘Majmu Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, (12/362).

 

Oleh: Ust. Taufik al-Hakim/Fatwa

 

Baca Fatwa Lainnya Tentang:

Hukum Menjadikan Bekam Sebagai Pekerjaan Tetap, Hukum Mengucapkan “al-marhum” Bagi Orang Meninggal, Gaya Rambut Terlarang

Antara Pamer dan Pencitraan

Rajin beramal saat dilihat orang, tapi malas saat dalam kesendirian adalah satu di antara sekian gejala riya’ (pamer). Suatu aib yang masing-masing kita pernah dah mungkin sering terjerembab ke dalamnya. Di samping aib, dosa riya’ ini bisa merembet kepada dosa lain. Seperti yang dikatakan oleh ulama tabi’in kenamaan, Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Aku mendapati ada orang-orang yang awalnya suka riya’ (pamer) dengan apa yang dikerjakannya. Lambat laun mereka akhirnya memamerkan apa yang sebenarnya bukan merupakan amal atau hasil karyanya.

Ini adalah pengamatan yang jeli dan jelas, bagaimana penyakit riya’ menjalar dan berproses hingga membuahkan dosa baru yakni kedustaan demi mendapat pujian orang. Atau yang lazim disebut dengan pencitraan dengan konotasi negatif.

Baca Juga:
Menjadi Muslim Serba Bisa

Awalnya seseorang berlaku riya’ baik dalam hal ibadah ataupun umumnya amal shalih dan ketaatan. Dia ingin orang lain melihat dirinya sebagai sosok ahli ibadah, dermawan atau gigih dalam membantu sesama. Setidaknya, tatkala ia sedang melakukan aktifitas itu, ia berharap ada orang lain atau bahkan banyak orang bisa menyaksikannya. Sebenarnya, pada batasan ini sudah berbahaya, karena ibadah atau amal tidak diterima ketika dimaksudkan riya’. Dan ini masuk dalam kategori syirik meskipun ashghar (kecil). Riya’ memang tercela, tapi sebatas membahayakan pelakunya saja.

Berawal dari riya’ saat beramal ini, seseorang cenderung ingin menaikkan rating pujian orang terhadapnya. Karena yang penting baginya adalah pujian orang, tak peduli dengan cara yang ia lakukan. Ketika kemampuan dan kemauannya terbatas untuk meraup banyaknya pujian, maka ia akan mengklaim suatu hasil, program, proyek atau keberhasilan suatu dakwah ataupun pembangunan yang dilakukan oleh orang lain sebagai usaha keras dia.

Baca Juga:
Pandai-pandailah Merasa Berdosa

Atau dengan cara menampakkan ibadah tertentu di momen tertentu agar orang lain menilai bahwa aktivitas itu sudah melekat dengan dirinya, sudah menjadi kebiasaan hariannya. Padahal aktifitas itu bukan kebiasaan aslinya. Inilah pencitraan yang mengandung kedustaan yang berbaur dengan riya’. Bahayanya tidak hanya mengenai pelakunya, tapi mengecoh banyak orang hingga mereka mengikuti ambisi pelaku berikutnya, nas’alullahal ‘aafiyah.

Ini berkebaikan dengan orang shalih, yang ketika ia dipuji atau dipandang orang di atas apa yang dilakukannya maka akan beristighfar, mohon ampunan atas keteledoran sekaligus memohon kepada Allah agar diberi kemampuan melakukan amal lebih baik lagi. Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad meriwayatkan, “Dulu ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang apabila dia dipuji mengucapkan, “Ya Allah, jangan Engkau menghukumku disebabkan pujian yang dia ucapkan, ampunilah aku, atas kekuranganku yang tidak mereka ketahui. Dan jadikan aku lebih baik dari penilaian mereka terhadapku.” (HR Bukhari dalam Adabul Mufrad)

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Muhasabah

khutbah Jumat: Keluarga, Fondasi Utama kekuatan Umat

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ

,أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ

اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ

ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ

وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan tali pernikahan sebagai tali yang kuat dalam menjalin hubungan antara lelaki dan perempuan. Segala puji Bagi Allah yang telah menjadikan keluarga sebagai wadah yang penuh ketenangan, cinta dan kasih sayang guna melahirkan generasi yang baik dan shalih. Dan segala puji bagi Allah yang sangat membenci perceraian meski halal dilakukan agar setiap pasangan berusaha keras untuk menjaga rumah tangganya dari kehancuran.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada nabi Muhammad, Nabi yang telah mencontohkan cara berkeluarga yang baik, cara mendidik anak yang baik dan cara menyelesaikan setiap persoalan rumah tangga dengan baik. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salamnya kepada Beliau, juga kepada keluarga Beliau, para shahabat dan para pengikutnya sampai hari kiamat.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Ingatkah kita mengenai kisah Ayah Shalahuddin al-Ayubi saat hendak menikah? Ayah Shalahuddin yang bernama Najmuddin tak hentinya berdoa dan berusaha agar bisa menikah dengan wanita yang dapat diajak bersama-sama mendidik anaknya menjadi pejuang yang mampu membebaskan Baitul Maqdis dari tangan Yahudi.

Beliau menolak setiap wanita yang ditawarkan kepadanya, sampai suatu ketika Beliau mendengar ada seoang wanita yang memiliki cita-cita yang sama persis dengannya. Tanpa pikir panjang, Najmudiin pun menikahi wanita tersebut meskipun wanita tersebut adalah wanita dusun. Lalu benarlah, dari pasangan ini, lahirlah sosok shalahuddin al Ayyubi, Panglima paling disegani sepanjang sejarah pertempuran antara Islam dan Salibis. Panglima Islam yang mampu membebaskan Baitul Maqdis dari cengkeraman Yahudi.

 

 Jamaah Jumat Rahimakumullah

Di sisi lain, kita juga mendengar ada sebuah hadits Nabi yang menyatakan bahwa godaan setan atas manusia yang paling disukai oleh Iblis sebagai pemimpin mereka adalah menceraikan pasangan suami isteri. Rasulullah SAW bersabda:

 

إِنَّ إِبلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْماَءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيءُ أَحَدُهُم فَيَقُولُ: فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: مَا صَنَعْتَ شَيْئًا. ثُمَّ يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ. قَالَ: فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ: نِعْمَ أَنْتَ

“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian Dia mengirim tentara-tentaranya. Setan yang jabatannya paling dekat dengan Iblis adalah yang paling besar fitnah yang ditimbulkannya. Datang salah seorang dari anak buah iblis menghadap iblis seraya berkata, “Aku telah melakukan ini dan itu.” Iblis menjawab, “Engkau belum melakukan apa-apa.” Lalu datang setan yang lain melaporkan, “Tidaklah aku meninggalkan dia (anak Adam yang diganggunya) hingga aku berhasil memisahkan dia dengan istrinya.” Maka iblis pun mendekatkan anak buahnya tersebut dengan dirinya dan memujinya, “Engkaulah yang terbaik.” (HR. Muslim no. 7037)

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Poin penting yang dapat kita simpulkan dari dua kisah di atas adalah betapa urgennya peran keluarga dalam membangun umat. Keluarga adalah batu penyusun benteng kekuatan umat. Jika keluarga rapuh, umat pun rapuh, jika keluarga hancur, umat pun akan hancur.

Pantas saja jika iblis sangat menyukai setan yang mampu memisahkan pasangan dan menceraiberaikan rumah tangga padahal cerai (talaq) hukumnya legal menurut syariat. Hal ini karena dampak negatif yang ditimbulkan dari rusaknya keluarga sangatlah besar dan bersifat turun temurun karena yang paling terkena dampaknya adalah anak-anak. Anak-anak dari keluarga broken home sangat berpotensi mudah dirusak karena tak mendapat perhatian dan pendidikan yang baik dari kedua orang tuanya. Bagaimana bisa mendapatkan pendidikan yang baik sementara dua orang yang bercerai biasanya saling membenci dan menjauhi?

Mencerai-beraikan rumah tangga benar-benar menjadi investasi setan yang laur biasa dalam merusak manusia. Bukankah jika generasi berikutnya rusak, maka setan seakan sudah tak perlu berusaha keras untuk menggoda manusia agar bermaksiat? Jika generasi muda rusak, maka di masa berikutnya, akan muncul setan-setan baru dari kalangan manusia yang bahkan bisa lebih setan daripada setan itu sendiri?

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Setan akan berusaha keras menghancukan rumah tangga kaum muslimin dengan beragam cara. Membuat sang suami selingkuh, membuat isteri selingkuh juga atau membuatnya sangat boros terhadap harta suaminya hingga suaminya menceraikannya, memicu timbulnya pertikaian dan kesalah pahaman, dan beragam cara yang dapat merusak hubungan rumah tangga.

Ini demi investasi masa depan dan demi pangkat yang dijanjikan Iblis. Akan sangat merepotkan jika keluarga muslim berhasil menjaga rumah tangga mereka. Satu keluarga Najmuddin yang utuh saja mampu memporak-porandakan pasukan salibis. Satu keluarga rakyat Palestina yang baik mampu menghasilkan para penghafal al-Quran sekaligus mujahid pejuang yang kenal takut akan kematian dan siap menghancurkan kesombongan Yahudi. Keluarga-keluarga yang terjaga dengan baik melahirkan para ulama dan dai-dai yang senantiasa meredam berbagai bentuk propaganda maksiat yang dibuat setan dan tak henti-hentinya mengingatkan umat agar jangan terpedaya rayuan setan.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Oleh karenanya, marilah kita berusaha sekuat tenaga menjaga keutuhan keluarga kita. Kita tingkatkan ketakwaan diri dan keluarga dan kita eratkan hubungan kasih sayang karena Allah agar rumah tanga kita dapat melahirkan generasi yang laur biasa. Kita ingatkan diri bahwa tujuan berkeluarga bukanlah sekadar agar dapat melampiaskan kebutuhan biologis dan mempunya anak. Lebih dari itu, rumah tangga adalah madrasah-madrasah kecil, tempat para pejuang Islam, ulama, pejuang nahi mungkar, dan tokoh-tokoh Islam dilahirkan.

Mungkin kita sebagai bagian dari fase generasi belum mampu memberi kontribusi besar bagi Islam dan kaum muslimin. Namun jika kita mampu melahirkan generasi muda Islam yang baik, kita telah mengambil peran yang besar dalam perjuangan menegakkan dienul Islam.

Jamaah Jumat rahimakumullah

Demikianlah khutbah yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat.

 

 وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿2﴾ إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

 

Khutbah Kedua

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْن، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا

عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِمَامُ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى

إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Oleh: Redaksi/Khutbah Jumat

Materi Khutbah Jumat Lainnya:  Minder Taat Akhirnya MaksiatKandas Karena Malas,Pejabat; Orang yang Paling Butuh Nasihat

 


Belum Baca Majalah Ar-risalah Edisi Terbaru? Dapatkan Di Sini

Majalah hati, majalah islam online yang menyajikan khutbah jumat, artikel islam keluarga dan artikel islam lainnya

Sabar dan Shalat, Kunci dari Semua Maslahat

Hidup memang tak mudah. Dengan kelemahan manusia, banyak kewajiban yang senantiasa menunggu untuk ditunaikan. Godaan dan rayuan dunia, berikut setan yang selalu menggoda sewaktu-waktu bisa menjerusmukannya ke dalam dosa. Tentu, untuk mampu menjalani hidup dengan selamat dan aman hingga tujuan, membutuhkan bekal dan sarana yang tidak ringan.

Dalam hal dunia, tidak gampang pula bagi manusia untuk menggapai apa yang menjadi cita-cita dan harapannya. Sementara musibah dan perkara yang tak dikehendaki, justru datang bertubi-tubi. Untuk ini, manusia juga membutuhkan alat bantu untuk menggapai tujuannya, juga sarana yang membuatnya tegar dan tidak goyah saat menghadapi peristiwa yang tak diharapkan terjadinya.

 

Sabar dan Shalat, Kunci dari Semua Maslahat

Di antara bukti kasih sayang Allah kepada manuasia, Dia telah menunjukkan dua sarana untuk itu. Jika kita memiliki keduanya, segalanya akan menjadi mudah. Dua hal itu adalah sabar dan shalat. Allah berfirman,

 

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya (yang demikian itu) sulit, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 45)

Secara eksplisit bahwa sabar dan shalat adalah dua instrumen yang bisa kita gunakan sebagai alat penolong. Dalam hal apa? Tidak ada keterangan khusus. Ini menunjukkan bahwa sabar dan shalat bisa menjadi sarana penolong kita dalam hal apa saja. Dalam menjalani ibadah, mencegah maksiat, menggapai cita-cita, dan menjauhkan dari marabahaya, baik di dunia maupun di akhirat. Ibnu Katsier rahimahullah menafsirkan ayat tersebut, “Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong dalam mencapai kebaikan dunia dan akhirat.” Artinya, dengan sabar dan shalat, segala hal menjadi mudah.

 

Sabar Sebagai Penolong

Makna sabar adalah al-habsu, menahan diri. Yakni menahan diri terhadap perkara yang tidak disukai, dan maupun menahan diri dari kemauan hawa nafsunya. Demikian urgen arti kesabaran, hingga kata ini disebut tidak kurang dari 90 tempat dalam al-Qur’an, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah. Bahkan saat kita menelusuri kebaikan, keutamaan serta tuntutan keimanan, maka kita akan menemukan bahwa sabar selalu menjadi ruh dan nyawanya. Shaum misalnya. Inti shaum adalah kesabaran. Karena dia  harus menahan diri dari makan, minum, ‘bercampur’ dengan istri di siang hari dan hal-hal lain yang disukai hawa nafsunya.

Jihad fie sabilillah juga hanya mampu dikerjakan oleh orang yang memiliki kesabaran. Sabar dalam meninggalkan keluarga yang dicintainya, melawan rasa takut di dada, dan dalam bersusah payah tatkala harus menghadapi musuh. Birrul walidain juga membutuhkan kesabaran, apalagi jika orangtua telah lemah dan pikun. Sabar dalam merawatnya, menerima sikapnya yang kembali seperti anak-anak, juga ucapannya yang makin tua makin ngelantur. Begitulah, segala amal kebaikan dan tuntutan iman membutuhkan kesabaran untuk menjalaninya. Tepat sekali jika shahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menggambarkan sabar dengan ungkapan,

 

وَاعْلَمُوا أَنَّ مَنْزِلَةَ اْلصَّبْرِ مِنَ الْإِيْماَنِ كَمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ اْلجَسَدِ فَإِذاَ ذَهَبَ الرَّأْسُ ذَهَبَ الْجَسَدُ فَإِذاَ ذَهَبَ الصَّبْرُ ذَهَبَ اْلإِيْماَنُ

“Ketahuilah bahwa kedudukan sabar bagi iman laksana kedudukan kepala bagi jasad. Jika kepala hilang, lenyaplah (tiada bernyawa) jasad, jika sabar lenyap, lenyap pula keimanan.” (Mukhtashar Tarikh Dimasyq).

Kesabaranlah yang membuat seseorang mampu menahan beratnya cobaan. Dengannya, orang menjadi tidak berputus asa, tidak stress, tidak mencela takdir, tidak berprasangka buruk kepada Allah dan tidak terhalang mendapatkan pahala kesabaran yang tak terhitung banyaknya (bighairi hisab).

Baca Juga: Bahagia di Penghujung Usia

Dengan kesabaran pula seseorang akan mampu mencegah dirinya dari dosa dan maksiat. Andai seseorang tidak memiliki kesabaran, maka tak ada lagi alat penahan bagi nafsu untuk melampiaskannya. Dengan ringan mengumbar pandangan mata, atau bahkan berzina, ia akan makan dan minum sepuasnya yang ia bisa hingga yang haram sekalipun, atau akan berbicara dan berbuat sesukanya. Belum lagi jika ada kondisi yang memantik amarahnya, caci maki, pukulan atau bahkan membunuh menjadi kemungkinan yang tak jauh darinya. Sejauh mana tingkat kesabaran yang dimiliki seseorang, sejauh itulah ia mampu meninggalkan dosa dan maksiat.

Ringkasnya, kesuksesan manusia dalam menjalani misi hidup di dunia tergantung pada tingkat kesabaran. Termasuk hasil akhirnya kelak, kesabaran menjadi penentu utama. Kesabaran akan menuntun pemiliknya ke dalam Jannah. Karena itulah, ucapan selamat malaikat penjaga Jannah bagi mereka yang masuk Jannah adalah,

Salamun `alaikum bima shabartum (Selamat atas kalian, karena kalian telah bersabar).” (QS. ar-Ra’du: 24).

 

Shalat Sebagai Penolong

Makin sempurna sarana untuk meraih multi maslahat, ketika kesabaran dipadu dengan shalat. Karenanya, tidak hanya di satu ayat Allah menggandengkan sabar dengan shalat. Para sahabat juga berusaha mempraktekkan keduanya secara beriringan untuk merealisasikan ayat tersebut. Seperti Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Zaid bin Ali mengisahkan, ketika dalam perjalanan, ada kabar yang sampai kepada beliau bahwa seorang anaknya meninggal. Beliaupun turun dari kendaraan, shalat dua rakaat kemudian membaca istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un), lalu beliau berkata, “Kami melakukan sebagaimana yang Allah perintahkan, “ Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.

Shalat merupakan sarana paling efektif untuk teguh di atas ketaatan. Ia memengaruhi seseorang dalam segala aktivitas. Tidak heran jika Umar bin Khathab mengatakan, “man dhayya’ash shalah, fahuwa limaa siwaaha adhya’,” barangsiapa yang meremehkan shalat, pasti untuk urusan lain lebih meremehkan. Makna sebaliknya, jika shalatnya baik, urusan yang lain akan ikut baik.

Baca Juga: Masuk Surga Bermodal Cinta

Hal ini tak terbatas pada baiknya karakter di dunia, tapi juga pahala di akhirat, shalat menempati urutan pertama yang akan dihisab, sekaligus menjadi penentu bagi amal-amal yang lain. Bila shalat baik, ia akan selamat. Jika tidak baik, apalagi tidak shalat, siksa neraka menanti di hadapannya. Allah menceritakan apa yang akan terjadi besok di hari Kiamat, “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat,” (QS. al-Mudatsier: 42-43)

Shalat juga menjadi pencegah paling efektif dari dosa. Allah berfirman,

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. al-Ankabut: 45)

Abu al-Aliyah menjelaskan kronologinya, mengapa shalat bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Beliau berkata, “Sesungguhnya pada shalat itu terdapat tiga unsur, maka setiap shalat yang tidak mengandung tiga unsur ini, bukan shalat namanya. Ketiga unsur itu adalah ikhlas, khasyyah (rasa takut) dan dzikrullah. Ikhlas akan mendorongnya untuk berbuat baik, rasa takut akan mencegahnya dari perbuatan mungkar, sedangkan dzikrullah akan memerintah yang baik dan mencegah dari keburukan sekaligus.”

Jika dalam suatu kasus, ada orang yang shalat, namun ia belum berhenti dari perbuatan keji, bukan berarti resepnya yang salah. Allah tidak mungkin salah. Hasil yang sempurna akan didapat dengan usaha yang sempurna, begitupun sebaliknya. Perbuatan mungkar yang dilakukannya otomatis menunjukkan bahwa shalatnya belum beres.

Mungkin dari sisi kaifiyah (tata cara) atau dari kekhusyu’an dan keikhlasannya. Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah, bahwa seseorang datang melapor kepada Rasulullah SAW, “Sesungguhnya si fulan shalat malam, tapi pagi harinya dia mencuri!” Maka beliau bersabda, “Sesungguhnya shalat yang ia lakukan itu akan mencegah ia dari apa yang kamu katakan itu.” Artinya, jika memang ia benar-benar shalat, dan shalatnya benar-benar betul, maka pasti ia tidak akan mencuri. Shalat membuatnya mudah untuk menghindar dari perbuatan mungkar. Wallahu a’lam bishawab.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Telaah

 


tags: majalah islam online, majalah islam di indonesia, majalah islam wanita, majalah islam remaja, majalah islam pdf, majalah islami, media islam update, media cetak islam, majalah muslim 212, produk kaum muslimin, majalah islam semua usia, majalah keluarga muslim, artikel islami masa kini, artikel keluarga muslim

Merdeka dari Perbudakan Hawa Nafsu

Beberapa waktu yang lalau, beredar berita bahwa masyarakat menuntut agar sebuah tempat pelacuran di Jakarta ditutup. Anehnya, hotel dan tempat hiburan yang pada dasarnya adalah tempat pelacuran ini tidak takut. Mereka merasa aman dan yakin tidak ada yang berani menutup, bahkan pemerintah sekalipun. Mengapa? Ternyata mereka sudah mengantongi nama-nama pejabat tinggi yang sudah menjadi pelanggan. Jika berani menutup, mereka mengancam akan menyebarkan nama-nama  para pelanggan dari kalangan pejabat. 

Perbudakan yang sesungguhnya adalah perbudakan hati oleh syahwat. Jika hati telah dikuasai syahwat ia akan menuruti segala keinginannya dan tertawan olehnya. Lihatlah kasus di atas, bahkan para pejabat yang memiliki wewenang, memiliki legalitas untuk menutup tempat maksiat tersebut, memiliki polisi bersenjata yang siap membela jika pemilik tempat hiburan melawan, tetap tak mampu berkutik. Seperti kerbau yang telah dicokok hidungnya, mereka menuruti pihak yang telah memenuhi syahwatnya. 

Baca Juga: Qalbun Salim, Hati yang Selamat dari Syubhat dan Syahwat

Perbudakan oleh syahwat adalah perbudakan terkeji. Sebagian Salaf mengatakan, Tuhan terburuk yang disembah manusia adalah syahwat. (Nadhrotun Naim IX/3770). Syahwat akan memperbudak manusia sebudak-budaknya. Memaksanya bertekuk lutut hingga wajahnya tersungkur sujud ke bumi. Dan akhirnya, membenamkannya di lembah kehinaan dunia dan akhirat. Sebaliknya, memerdekakan diri dari syahwat adalah sebuah kemerdekaan hakiki. Kebebasan yang membahagiakan dan menjadikan jiwa benar-benar menjadi pemimpin bagi dirinya.  

Mengapa saat orang kafir menawarkan kepada Nabi Muhammad jabatan, harta dan wanita, beliau menolaknya? Bukankah beliau bisa menggunakan jabatan itu menyebarkan dakwah secara lebih bebas karena beliaulah pemimpinnya? Bukankah harta itu bisa digunakan untuk membantu pengikutnya yang masih menjadi budak dan disiksa majikannya karena beriman? Dan bukankah beliau bisa menyuruh isteri-isterinya berdakwah kepada wanita Quraisy dan bisa sukses dakwahnya karena suaminya adalah pemimpin Makkah?

Tidak. Apa yang ditawarkan orang kafir tak lain adalah belenggu dan penjara jiwa. Mashlahat itu hanyalah asumsi yang tidak memiliki pendukung selain nafsu. Persis seperti jebakan tikus, memang ada sedikit makanan di dalamnya, tapi ketika dimakan, besi-besi berduri akan menjepit hingga membuat tikus tak bisa lari. Jika nabi menerima tawaran itu, yang akan terjadi adalah beliau bakal diperbudak oleh orang kafir dengan jabatannya, hartanya dan isteri-isterinya.

Mengapa saat isteri al-Aziz memaksa Yusuf untuk menuruti syahwatnya, Yusuf memilih menghindar? Bukankah itu keinginan si wanita cantik itu? Bukankah ia dipaksa? Bukankah jika pun terjadi, keduanya bisa menutupinya agar tidak ketahuan oleh siapapun? Dan bukankah Nabi Yusuf sendiri juga sudah mulai terpancing?

Atau ketika Abu Bakar al-Miski dipaksa masuk ke dalam kamar oleh seroang wanita cantik lalu dikatakan bahwa jika dia tidak mau menuruti syahwat si wanita, si wanita akan teriak bahwa Abu Bakar mau memperkosanya.  Mengapa Abu Bakar tak menuruti saja, bukankah dia dipaksa? Tapi Abu Bakar malah masuk ke dalam toilet lalu melumuri tubuhnya dengan kotoran manusia. Si wanita pun jijik dan akhirnya mengusirnya. 

Baca Juga: Cara Menepis Godaan Kemaksiatan

Jika Yusuf dan Abu Bakar al-Miski menuruti keinginan si wanita, keduanya pun akan menjadi budaknya. Setiap kali isteri al-Aziz tersulut syahwatnya, dia akan memaksa Yusuf dan Yusuf pun akan menurutinya. Demikain pula Abu Bakar al-Miski, akan menjadi budak si wanita dan tidak mendapatkan gelar al-Miski karena tubuhnya selalu berbau harum. 

Begitulah hawa nafsu. Dia adalah musuh yang suka memperbudak. Sesiapa yang menurutinya, berarti seperti memberikan apa yang diinginkan musuhnya. Dan sesuatu yang akan dibunuh oleh awa nafsu adalah akal. Jika nafsu dituruti, akal akan mati. Al-Hakim berkata, “Akal itu kawan yang sering dihindari sementara hawa nafsu adalah musuh yang sering diikuti.” (Adabud Dunya wad Dien: 12)

Agar bisa terbebas dari perbudakan hawa nafsu, ada beberapa nasehat yang perlu kita camkan yang kami sarikan dari kitab Dzammul Hawa, karya Ibnul Jauzi:

Pertama,

merenungi tujuan penciptaan. Kita diciptakan bukan sekadar untuk bersenang-senang menuruti hawa nafsu. Ada tugas penghambaan yang berat yang harus dilaksanakan. Sekiranya kita memang diciptakan untuk sekadar menuruti hawa nafsu, Allah tidak akan mencela nafsu dalam al-Quran hingga berulang kali. Alangkah remehnya hidup jika hanya untuk makan, memuaskan kemaluan dan menuruti keinginan.

Kedua,

memikirkan akibat menuruti hawa nafsu berupa kehinaan-kehinaan yang bakal didapat. Silakan kumpulkan semua perbuatan yang masuk kategori menuruti hawa nafsu, pasti akan kita dapatkan semuanya adalah perbuatan rendah dan merendahkan martabat pelakunya. 

Penyair berkata, “Sesungguhnya kata hawan (kehinaan) berasal dari kata hawa tapi terbalik, maka jika menuruti hawa sungguh kamu telah menemui hawan (kehinaan).”

Lihatlah para pejabat yang terjerat dalam perbudakan nafsu oleh pemilik hotel dalam kasus di atas. Jabatan yang semestinya membuat dirinya mulia, tak mampu menghapus kehinaan yang ditimpakan pemilik tempat hiburan.

Lihatlah para pemabuk dan pemakai narkoba, mereka hanya akan dilihat sebagai sampah masyarakat yang tak berguna. Dijauhi dan tidak disukai. 

Ketiga,

membandingkan antara kenikmatan yang didapat dari menuruti nafsu dengan akibat buruk setelahnya. Akan didapati bahwa kesengsaraan akibat menuruti nafsu selalu lebih menyiksa berkali lipat daripada kenikmatan saat menurutinya. Kenikmatan berzina yang paling hanya beberapa menit tentu tidak akan sebanding dengan derita sakit akibat HIV. Rusaknya organ tubuh aibat miras tentu tak sebanding dengan nikmatnya rasa miras dan perasaan mabuk yang juga hanya beberapa saat. Hancurnya rumah tangga tentu akan jauh lebih menyiksa daripada nikmatya selingkuh. Karena setelah rumah tangga hancur, perselingkuhan tidak akan pernah memberikan sakinah mawadah dan rahmah.

Baca Juga: Menghamba Separuh Jiwa

Keempat,

merengungi akibat baik dari memusuhi hawa nafsu. Bersabar sebentar dari godaan hawa nafsu akan memberikan kemuliaan abadi. Kenikmatan meninggalkan nafsu jauh lebih nikmat daripada kenikamatan yang ditawarkan nafsu. Kenikmatan menjalani rumah tangga bahagia yang diridhai Allah tentu jauh lebih nikmat dan menyenagkan daripada kenikmatan zina yang hanya sesaat. Kenikmatan sehat dan bisa menikmati berbagai hal di dunia ini, tentu jauh lebih baik daripada nikmatnya tegukan miras atau mabuknya narkotik. Nikmatnya hidup bebas dari perebutan jabatan tentu jauh lebih luar biasa daripada nikmatnya mendapat jabatan tapi selalu cemas terhadap rival-rivalnya. Nikmatya hidup sederhana dan berkah karena bebas dari riba, tentu jauh lebih enak dibanding hidup bergelimang harta tapi harus pusing memikirkan cicilan bunga. 

Kelima,

memikirkan Allah dan akhirat. Dan inilah iman. Sebuah keyakinan tentang keberadaan dan kekuasaan dari Dzat yang Maha kuasa. Keyakinan bahwa hukuman neraka itu nyata. Persisi seperti yang digambarkan Allah dalam kalam-Nya. Bukan sekadar majaz sebagaimana diyakini ahlul bidah. Kebesaran Allah dan akhirat adalah pertimbangan utama dalam segala hal bagi setiap mukmin. Melangkah atau berhenti, belok kanan atau kiri, terus atau kembali, Allah dan akhirat adalah pemandu utama bagi seorang mukmin.

Semoga Allah menguatkan iman dan hati kita. Menjauhkan kita dari perbuatan mengikuti hawa nafsu karena hal itu hanya akan menimpakan kehinaan dan kebinasaan bagi kita. “… dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. 38: 26). Wallahualam.

 

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Telaah

 


Ingin berlangganan Majalah Islami yang bermutu dan asyik dibaca? Hubungi Keagenan Majalah ar-risalah terdekat di kota Anda, atau hubungi kami di nomer: 0852 2950 8085