Merdeka dari Perbudakan Hawa Nafsu

Beberapa waktu yang lalau, beredar berita bahwa masyarakat menuntut agar sebuah tempat pelacuran di Jakarta ditutup. Anehnya, hotel dan tempat hiburan yang pada dasarnya adalah tempat pelacuran ini tidak takut. Mereka merasa aman dan yakin tidak ada yang berani menutup, bahkan pemerintah sekalipun. Mengapa? Ternyata mereka sudah mengantongi nama-nama pejabat tinggi yang sudah menjadi pelanggan. Jika berani menutup, mereka mengancam akan menyebarkan nama-nama  para pelanggan dari kalangan pejabat. 

Perbudakan yang sesungguhnya adalah perbudakan hati oleh syahwat. Jika hati telah dikuasai syahwat ia akan menuruti segala keinginannya dan tertawan olehnya. Lihatlah kasus di atas, bahkan para pejabat yang memiliki wewenang, memiliki legalitas untuk menutup tempat maksiat tersebut, memiliki polisi bersenjata yang siap membela jika pemilik tempat hiburan melawan, tetap tak mampu berkutik. Seperti kerbau yang telah dicokok hidungnya, mereka menuruti pihak yang telah memenuhi syahwatnya. 

Baca Juga: Qalbun Salim, Hati yang Selamat dari Syubhat dan Syahwat

Perbudakan oleh syahwat adalah perbudakan terkeji. Sebagian Salaf mengatakan, Tuhan terburuk yang disembah manusia adalah syahwat. (Nadhrotun Naim IX/3770). Syahwat akan memperbudak manusia sebudak-budaknya. Memaksanya bertekuk lutut hingga wajahnya tersungkur sujud ke bumi. Dan akhirnya, membenamkannya di lembah kehinaan dunia dan akhirat. Sebaliknya, memerdekakan diri dari syahwat adalah sebuah kemerdekaan hakiki. Kebebasan yang membahagiakan dan menjadikan jiwa benar-benar menjadi pemimpin bagi dirinya.  

Mengapa saat orang kafir menawarkan kepada Nabi Muhammad jabatan, harta dan wanita, beliau menolaknya? Bukankah beliau bisa menggunakan jabatan itu menyebarkan dakwah secara lebih bebas karena beliaulah pemimpinnya? Bukankah harta itu bisa digunakan untuk membantu pengikutnya yang masih menjadi budak dan disiksa majikannya karena beriman? Dan bukankah beliau bisa menyuruh isteri-isterinya berdakwah kepada wanita Quraisy dan bisa sukses dakwahnya karena suaminya adalah pemimpin Makkah?

Tidak. Apa yang ditawarkan orang kafir tak lain adalah belenggu dan penjara jiwa. Mashlahat itu hanyalah asumsi yang tidak memiliki pendukung selain nafsu. Persis seperti jebakan tikus, memang ada sedikit makanan di dalamnya, tapi ketika dimakan, besi-besi berduri akan menjepit hingga membuat tikus tak bisa lari. Jika nabi menerima tawaran itu, yang akan terjadi adalah beliau bakal diperbudak oleh orang kafir dengan jabatannya, hartanya dan isteri-isterinya.

Mengapa saat isteri al-Aziz memaksa Yusuf untuk menuruti syahwatnya, Yusuf memilih menghindar? Bukankah itu keinginan si wanita cantik itu? Bukankah ia dipaksa? Bukankah jika pun terjadi, keduanya bisa menutupinya agar tidak ketahuan oleh siapapun? Dan bukankah Nabi Yusuf sendiri juga sudah mulai terpancing?

Atau ketika Abu Bakar al-Miski dipaksa masuk ke dalam kamar oleh seroang wanita cantik lalu dikatakan bahwa jika dia tidak mau menuruti syahwat si wanita, si wanita akan teriak bahwa Abu Bakar mau memperkosanya.  Mengapa Abu Bakar tak menuruti saja, bukankah dia dipaksa? Tapi Abu Bakar malah masuk ke dalam toilet lalu melumuri tubuhnya dengan kotoran manusia. Si wanita pun jijik dan akhirnya mengusirnya. 

Baca Juga: Cara Menepis Godaan Kemaksiatan

Jika Yusuf dan Abu Bakar al-Miski menuruti keinginan si wanita, keduanya pun akan menjadi budaknya. Setiap kali isteri al-Aziz tersulut syahwatnya, dia akan memaksa Yusuf dan Yusuf pun akan menurutinya. Demikain pula Abu Bakar al-Miski, akan menjadi budak si wanita dan tidak mendapatkan gelar al-Miski karena tubuhnya selalu berbau harum. 

Begitulah hawa nafsu. Dia adalah musuh yang suka memperbudak. Sesiapa yang menurutinya, berarti seperti memberikan apa yang diinginkan musuhnya. Dan sesuatu yang akan dibunuh oleh awa nafsu adalah akal. Jika nafsu dituruti, akal akan mati. Al-Hakim berkata, “Akal itu kawan yang sering dihindari sementara hawa nafsu adalah musuh yang sering diikuti.” (Adabud Dunya wad Dien: 12)

Agar bisa terbebas dari perbudakan hawa nafsu, ada beberapa nasehat yang perlu kita camkan yang kami sarikan dari kitab Dzammul Hawa, karya Ibnul Jauzi:

Pertama,

merenungi tujuan penciptaan. Kita diciptakan bukan sekadar untuk bersenang-senang menuruti hawa nafsu. Ada tugas penghambaan yang berat yang harus dilaksanakan. Sekiranya kita memang diciptakan untuk sekadar menuruti hawa nafsu, Allah tidak akan mencela nafsu dalam al-Quran hingga berulang kali. Alangkah remehnya hidup jika hanya untuk makan, memuaskan kemaluan dan menuruti keinginan.

Kedua,

memikirkan akibat menuruti hawa nafsu berupa kehinaan-kehinaan yang bakal didapat. Silakan kumpulkan semua perbuatan yang masuk kategori menuruti hawa nafsu, pasti akan kita dapatkan semuanya adalah perbuatan rendah dan merendahkan martabat pelakunya. 

Penyair berkata, “Sesungguhnya kata hawan (kehinaan) berasal dari kata hawa tapi terbalik, maka jika menuruti hawa sungguh kamu telah menemui hawan (kehinaan).”

Lihatlah para pejabat yang terjerat dalam perbudakan nafsu oleh pemilik hotel dalam kasus di atas. Jabatan yang semestinya membuat dirinya mulia, tak mampu menghapus kehinaan yang ditimpakan pemilik tempat hiburan.

Lihatlah para pemabuk dan pemakai narkoba, mereka hanya akan dilihat sebagai sampah masyarakat yang tak berguna. Dijauhi dan tidak disukai. 

Ketiga,

membandingkan antara kenikmatan yang didapat dari menuruti nafsu dengan akibat buruk setelahnya. Akan didapati bahwa kesengsaraan akibat menuruti nafsu selalu lebih menyiksa berkali lipat daripada kenikmatan saat menurutinya. Kenikmatan berzina yang paling hanya beberapa menit tentu tidak akan sebanding dengan derita sakit akibat HIV. Rusaknya organ tubuh aibat miras tentu tak sebanding dengan nikmatnya rasa miras dan perasaan mabuk yang juga hanya beberapa saat. Hancurnya rumah tangga tentu akan jauh lebih menyiksa daripada nikmatya selingkuh. Karena setelah rumah tangga hancur, perselingkuhan tidak akan pernah memberikan sakinah mawadah dan rahmah.

Baca Juga: Menghamba Separuh Jiwa

Keempat,

merengungi akibat baik dari memusuhi hawa nafsu. Bersabar sebentar dari godaan hawa nafsu akan memberikan kemuliaan abadi. Kenikmatan meninggalkan nafsu jauh lebih nikmat daripada kenikamatan yang ditawarkan nafsu. Kenikmatan menjalani rumah tangga bahagia yang diridhai Allah tentu jauh lebih nikmat dan menyenagkan daripada kenikmatan zina yang hanya sesaat. Kenikmatan sehat dan bisa menikmati berbagai hal di dunia ini, tentu jauh lebih baik daripada nikmatnya tegukan miras atau mabuknya narkotik. Nikmatnya hidup bebas dari perebutan jabatan tentu jauh lebih luar biasa daripada nikmatnya mendapat jabatan tapi selalu cemas terhadap rival-rivalnya. Nikmatya hidup sederhana dan berkah karena bebas dari riba, tentu jauh lebih enak dibanding hidup bergelimang harta tapi harus pusing memikirkan cicilan bunga. 

Kelima,

memikirkan Allah dan akhirat. Dan inilah iman. Sebuah keyakinan tentang keberadaan dan kekuasaan dari Dzat yang Maha kuasa. Keyakinan bahwa hukuman neraka itu nyata. Persisi seperti yang digambarkan Allah dalam kalam-Nya. Bukan sekadar majaz sebagaimana diyakini ahlul bidah. Kebesaran Allah dan akhirat adalah pertimbangan utama dalam segala hal bagi setiap mukmin. Melangkah atau berhenti, belok kanan atau kiri, terus atau kembali, Allah dan akhirat adalah pemandu utama bagi seorang mukmin.

Semoga Allah menguatkan iman dan hati kita. Menjauhkan kita dari perbuatan mengikuti hawa nafsu karena hal itu hanya akan menimpakan kehinaan dan kebinasaan bagi kita. “… dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. 38: 26). Wallahualam.

 

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Telaah

 


Ingin berlangganan Majalah Islami yang bermutu dan asyik dibaca? Hubungi Keagenan Majalah ar-risalah terdekat di kota Anda, atau hubungi kami di nomer: 0852 2950 8085

Islam Adalah Darah Daging Kita, Takkan Hidup Manusia Tanpanya

Ada nasihat indah dari seorang ulama tabi’in yang tak asing di telinga, Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Wahai saudaraku, sesungguhnya Islam adalah darah dagingmu…”

Betapa tepatnya perumpamaan beliau tentang agama sebagaimana darah dan daging, karena agama yang benar adalah ruh manusia dan intinya. Apabila Islam itu lenyap dari diri seseorang, maka ia seperti bukan lagi manusia yang hidup. Sebagaimana jika manusia telah hilang darah dan dagingnya, dapatkah ia disebut sebagai manusia?

Seorang muslim yang telah menjadikan Islam sebagai darah dagingnya, hidupnya tak bisa dipisahkan dari Islam. Seluruh aktivitasnya tak bisa lepas dari bimbingan Islam. Ini sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Ra’sul amri al-Islam, pokok dari segala urusan adalah Islam.” Memandang apapun, melihat dari sudut pandang Islam, bukan yang lain. Baik baginya adalah apa yang dianggap baik oleh Islam. Buruk baginya adalah apa yang buruk dalam sudut pandang Islam, meksipun kebanyakan manusia berpendapat sebaliknya.

Baca Juga: Cara Allah Menjaga Iman Hamba-Nya

Siapa yang dianggap saudara atau kawan menurut Islam, itulah saudara ataupun kawan. Siapa yang menjadi musuhnya adalah siapapun yang memusuhi Islam dan dianggap musuh oleh Islam.

Jika dia mencari maisyah (pendapatan), Islam menjadi pedoman; mana yang halal dan mana yang haram. Jika ingin berkeluarga, maka Islam juga menjadi panduan memulai dan bagaimana mendidik keluarga. Ringkasnya, segala hal dipandang dari sudut pandang Islam.

Jika setiap muslim menggunakan sudut pandang ini, kemuliaan umat Islam akan terwujud, dan ukhuwah Islamiyah akan terjalin dengan baik. Bagaimana ukhuwah tegak jika yang sebagian menjadikan Islam sebagai pijakan dan sebagian lagi menjadikan selain Islam sebagai patokan?

Lagi pula, Islam adalah jaminan keselamatan, komplit pula mengatur segala urusan, jalan hidup terbaik yang telah Pencipta gariskan. Adakah yang lebih paham tentang kita, dunia dan akhirat kita selain dari Sang Pencipta?

Baca Juga: Yang Menyenangkan Belum Tentu Membuat Bahagia

Sangat disayangkan, ketika sebagian yang menisbahkan dirinya muslim lalu terprovokasi oleh para libearlis maupun atheis, hingga merendahkan martabat Islam, melecehkan orang-orang yang berpegang teguh dengannya.

Sekali-kali umat Islam ini tidak akan kembali berjaya, tegak, berkuasa dengan lurus bagi manusia melainkan jika mereka kembali mengambil pelajaran sebagaimana yang dikatakan oleh Imam ini, menguatkan ikatannya terhadap Islam dan meletakkannya pada tempat yang semestinya dalam rangka membina pribadi dan mengatur masyarakat.

Maka tak ada alasan untuk mengelak dari aturan-Nya, apa-apa yang belum Islam dari bagian hidup kita, segera kita sempurnakan agar makin semurna pula kebahagiaan kita dan jaminan akhir kita. Wallahu a’lam bishawab.

 

Oleh: Abu Umar Abdillah/Muhasabah