Ayah Ideologis, Tak Skeptis Menghadapi Krisis

Banyak di antara kita, para ayah, yang akhir-akhir ini bermuka masam. Nilai tukar dollar naik, imbasnya harga sembako melambung, kebutuhan meningkat, namun uang semakin tipis saja yang tertinggal di kantong. Boro-boro menyisihkannya untuk ditabung, hidup sederhana saja terasa demikian sulit. Bayangan masa depan yang suram, sulit, dan lesu telah menjadi trauma bagi mereka. Merosostnya ekonomi nampaknya menjadi kambing hitam yang dituding menjadi biang penyebab masalah. Benarkah krisis ini serupa monster mengerikan yang akan melumat kita bulat-bulat?

Seperti kehilangan akidah, banyak yang sedih, murung, stress, skeptis hingga depresi menghadapi hari-hari. Hingga kita lupa bahwa Allah-lah yang menjadi penentu segalanya, bukan asing dan aseng, merosotnya rupiah, atau apapun nama makhluk yang bisa kita sebut. Padahal, Sang Mahakaya yang memiliki seluruh perbendaharaan yang ada, bahkan dalam semua yang tidak pernah kita duga, telah menjamin rezeki bagi seluruh makhluk-Nya yang melata. Lalu, adakah jalan keluar?

Pertama

Harus kita sadari, bahwa melambungnya harga, bahan pokok dan melemahnya rupiah saat ini adalah buah dari kecongkakan manusia dengan sistem ekonomi ribawinya. Sistem zhalim yang penuh kecurangan itu benar-benar telah terbukti menyengsarakan umat manusia. Hal yang akan membuat kita tahu bahwa solusinya, mestinya, adalah kembali kepada sistem ekonomi syariah yang menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Sistem yang jauh dari kezhaliman antar sesama; lebih adil, manusiawi, menguntungkan, dan barakah.

Kedua

Insyaallah, inilah saatnya merenung tentang tujuan pernikahan yang sebenarnya. Bahwa ia bukan semata mencari kemapanan finansial belaka, hal yang memang seringkali dianggap sebagai indikator keberhasilan, bahkan harga diri seseorang. Hingga segalanya tampak mudah dan selesai dengan uang. Yang berarti pula, semua masalah akan muncul dengan ketiadaannya. Jika tanpa krisis saja, kita sudah pontang-panting mengumpulkan materi, apa jadinya kita di masa kritis begini?

Padahal, tujuan pernikahan jelas lebih luas daripada itu. Kemapanan mental emosional, sosial, bahkan spiritual juga sangat dihajatkan. Saat-saat seperti ini sangat tepat jika kita pergunakan untuk mengatur ulang prioritas hidup. Melancarkan komunikasi dan meneguhkan peran serta masing-masing anggota keluarga. Seberapa sebenarnya jumlah materi yang kita butuhkan, dan seberapa yang kita inginkan. Kemudian, hal lain apa yang ingin kita capai dengan keluarga ini? Inilah yang akan membuat hidup menjadi selaras seimbang, dan tidak terjebak menjadi penghamba materi. Hal yang akan menyeret kita ke dalam pusaran pencarian yang melelahkan dan mengorbankan banyak hal.

Mereka yang fokus pada kemapanan materi, sebenarnya melalaikan fakta bahwa banyak kebutuhan non finansial, dan banyak masalah yang tidak akan pernah selesai dengan uang. Ia terpendam menjadi bom waktu yang mengancam keharmonisan dan keutuhan rumah tangga, dan akan meledak saat krisis finansial datang. Apalagi bagi mereka yang mengidap sindrom ingin lebih, berapapun capaian materi yang mereka dapatkan, selalu ada keinginan untuk menambahnya. Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, ia tiada berkesudahan kecuali jika kematian datang. Terus, bagaimana dengan mereka yang gagal mencapai keinginan materinya? Jelas lebih mengerikan!

Ketiga

Kita harus belajar berhemat; hanya membeli hal-hal yang benar-benar kita butuhkan. Demi untuk keberhasilannya, selain komitmen yang tinggi, teladan dari orangtua dan dukungan seluruh anggota keluarga mutlak diperlukan. David Hochman, seorang penulis barat, pernah berlatih hidup sederhana, dan dalam sebulan, dia bisa menghemat uang belanja keluarga hingga 2000 dollar. Nilai yang sangat besar, tentu saja. Nah, kalau David bisa, kenapa kita tidak? Meski dengan jumlah uang yang jauh lebih kecil, penghematan tetaplah pilihan yang cerdas dan terpuji. Dan kalau ternyata ada sisa uang belanja, kita harus menabungnya, seraya memikirkannya agar kelak bisa kita gunakan sebagai modal investasi.

Satu hal yang harus kita ingat, bahwa apa yang akan terjadi besok adalah hal ghaib yang tidak kita ketahui, hingga tidak ada alasan untuk takut menghadapinya. Agar siap menghadapi apapun keadaan yang akan kita temui nanti, kita harus menambah kadar keimanan. Bukankah keadaan orang yang beriman itu sangat menakjubkan? Bersyukur di saat mendapatkan kelapangan, dan bersabar saat menemui kesempitan. Alangkah indahnya!

Jangan lupakan untuk membangun komunitas muslim yang saling berta’awun dalam kebaikan dan ketakwaan, termasuk dalam perekonomian. Sebab menurut Ibnu Abbas, loyalitas sesama muslim yang dilandasi kecintaan dan kebencian karena Allah, akan menjadi jalan tergapainya pertolongan Allah.

Selain itu, kita harus tetap berbuat kebaikan sebanyak mungkin. Karena kita percaya sunatullah, bahwa mereka yang menanam kebaikan akan memanen kebaikan, dan demikian juga sebaliknya. Karena Allah Mahaadil yang tidak mungkin berbuat zhalim terhadap hamba-hamba-Nya, inilah saatnya kita memperbanyak tabungan kebaikan.

Jadi, tetap optimis menghadapi krisis. Semoga Allah memudahkan urusan kita semua!

Oleh: Redaksi/Keluarga

Wasiat Sang Pemimpin Kepada Anaknya

Dr. Muhammad Harb dalam al-Utsmaniyyun fi at-Tarikh wal Hadharah mencatat wasiat khalifah Utsman ketika menghadapai kematiannya kepada putranya.

Wahai anakku. Janganlah kamu sibuk melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah, Rabb semesta alam. Jika kamu menghadapi suatu kesulitan dalam pemerintahan, bermusyawarahlah dengan para ulama agama ini.

Wahai putra kesayanganku. Lingkupilah orang yang menaatimu dengan pemuliaan. Berilah kecukupan karunia kepada para tentara. Janganlah setan membuat kamu tertipu oleh tentaramu dan hartamu. Janganlah kamu menjauhi para ulama syariat.

Wahai putra kesayanganku. Kamu mengetahui bahwa tujuan akhir kita adalah mencapai keridaan Allah, Rabb semesta alam dan bahwa dengan jihad cahaya agama kita menjadi tersebar di setiap penjuru, sehingga menyebabkan keridaan Allah.

Wahai putra kesayanganku. Kita bukanlah orang-orang yang mengobarkan peperangan-peperangan untuk syahwat kekuasaan atau menguasai orang-orang. Dengan Islam kita hidup dan dengan Islam kita mati. Dan kamu wahai putraku adalah orang yang ahli terhadap urusan ini.

Itulah wasiat seorang ayah kepada putranya sekaligus wasiat pemimpin kepada calon pemimpin. Wasiat yang kemudian menjadi dasar perjalanan Bangsa Utsmani.

Nasihat pertama,

Seruan untuk konsisten kepada syariat Allah dalam segala urusan yang besar dan yang kecil dan agar hukum Allah dan perintah-Nya itu mendominasi segala sesuatu. Utsman memberikan wasiat kepada anaknya dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan setelahnya untuk sebuah negara Islam agar terikat kepada hukum Allah dalam perbuatan-perbuatannya. Karena dia mengetahui bahwa menegakkan hukum Allah melalui penguasa yang beriman itu adalah sebuah perjanjian yang sudah disebutkan oleh Allah,

Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan: “Kami dengar dan kami taati”. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mengetahui isi hati(mu)” (Al-Mâidah [6]: 7).

Ini adalah peringatan dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman terhadap nikmat-Nya kepada mereka di bidang syariat yang telah ditetapkan kepada mereka dalam agama yang mulia ini, yang telah diutus seorang Rasul yang mulia untuk membawanya, mengambil perjanjian kepada mereka agar mengikutinya dan menyampaikannya serta mengamalkannya.

Baca Juga: Salah Kaprah Mendidik Anak

Ini adalah konsekuensi baiat yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah untuk senantiasa mendengarkan dan taat, baik pada waktu giat maupun dalam keadaan yang tidak disuka. Sebagaimana menodai perjanjian penghakiman itu adalah merupakan suatu bentuk jahiliyah. Allah telah berfirman:

Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin (Al-Mâidah [6]: 50).

Pemahaman yang luas terhadap ibadah itu mencakup hubungan-hubungan dan perbuatan-perbuatan yang banyak. Di antaranya ada yang dapat dilakukan oleh para personal dan di antaranya ada yang tidak dapat dilakukan secara sempurna kecuali dalam naungan sebuah Negara Islam. Makna-makna yang luhur ini adalah jelas pada diri pendiri Daulah Utsmaniyah. Karena itu Sang Pemimpin berwasiat dengan sebuah kalimat yang prinsip ini: “Wahai anakku, janganlah kamu sibuk melakukan sesuatu yang tidak perintahkan oleh Allah, Tuhan semesta alam.”

Nasihat kedua, 

Jika kamu menghadapi suatu kesulitan dalam pemerintahan maka bermusyawarahlah dengan para ulama. Agama ini Allah telah menetapkan sistem permusyawaratan karena ada hikmah mendalam dan tujuan-tujuan yang mulia. Dan karena di dalamnya adalah keuntungan-keuntungan yang besar dan kaidah-kaidah yang agung yang menjadikan umat, negara dan masyarakat itu terbiasa untuk melakukan kebaikan dan keberkahan. Karena itu Utsman menyuruh putranya untuk menjadikan para ulama sebagai patner dalam memecahkan urusan-urusan yang pelik.

“Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (Âl-Imrân [3]: 159).

Islam menegaskan prinsip musyawarah sebagai sebuah sistem yang kokoh. Bahkan Rasulullah sendiri melaksanakannya.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Utsman memerintahkan kepada putranya agar mengikuti pendapat para ulama. Dia berkata: “Ikutilah petunjuk mereka. Karena mereka itu tidak memerintahkan kecuali kepada kebaikan …..”

Seolah-oleh Utsman bependapat bahwa bermusyawarah merupakan suatu keharusan bagi seorang penguasa. Yang berpendapat demikian ini di antara para ulama modern pada masa ini adalah Abul A’la Al-Maudûdi. (Redaksi/Parenting/Keluarga

 

Tema Terkait: Keluarga, Parenting, Kisah Sahabat

Siapakah Wali Nikah Ketika Tidak Ada Ayah?

Saya menikahi seorang wanita dan telah menceraikannya dua kali. Ayahnya kini telah wafat, sedangkan semua saudara laki-laki sekandungnya lebih muda darinya. Saya sekarang ingin merujuknya kembali setelah perceraian sekitar dua tahun lalu. Apakah keberadaan wali merupakan suatu keharusan untuk kesempurnaan pernikahan. Padahal bapak telah wafat, sementara adik laki-laki sekandungnya masih kecil? Ataukah dibenarkan merujuknya tanpa perlu wali?

 

Jawaban :

Kalau suami telah menceraikan istrinya dan selesai masa iddahnya, maka dia tidak halal baginya kecuali dengan akad baru. Dan wali merupakan salah satu syarat sah akad nikah. Tidak sah pernikahan tanpanya.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Kitab ‘Al-Mughni, “Nikah tidak sah kecuali dengan adanya wali. Wanita tidak memiliki wewenang menikahkan dirinya atau orang lain, begitu juga tidak sah mewakilkan orang lain selain walinya untuk menikahkannya. Kalau dilangsungkan, maka nikahnya tidak sah.”

Dalil akan hal itu adalah sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, “Tidak (sah) pernikahan kecuali dengan adanya wali.” (HR. Abu Daud, no. 2085. Tirmizi, no. 1101. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Tirmizi)

Karena Anda telah menceraikannya dua tahun, maka telah selesai iddanya. Bagi mantan suami ketika mantan istri telah selesai masa iddahnya maka dia menjadi orang asing seperti laki-laki lainnya. Karenanya, tidak halal bagi Anda dengannya kecuali dengan melangsungkan akad baru. Dan akadnya harus dilakukan oleh walinya, atau sang wali mewakilkan seseorang untuk menikahkannya. Apabila  tidak ada bapak, kakeknya adalah walinya. Kalau tidak ada, maka saudara laki-laki adalah walinya. Tidak mengapa meskipun lebih muda umurnya. Akan tetapi disyaratkan baligh dalam perwalian. Maka, kalau salah seorang dari saudaranya telah baligh, dia adalah walinya meskipun lebih muda dari dirinya.

Telah disebutkan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 18/14: “Tidak boleh menikahkan seorang wanita kecuali mukallaf (sudah terkena beban kewajiban agama) dan matang kejiwaan. Kalau tidak ada, maka hakim (yang menikahkan). Karena penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali. Hakim adalah penggantinya dalam kondisi seperti ini.”

Kalau semua saudara laki-lakinya masih kecil dan tidak ada seorang pun yang baligh. Maka perwaliannya pindah kepada orang setelahnya. Mereka adalah para paman. Kalau tidak ada seorang pun, maka anak-anak paman. Kalau tidak ada seorang pun dari mereka sebagai wali. Maka yang melaksanakan akan nikahnya adalah hakim agama.

Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alai wa sallam,“Kalau mereka (para wali) berselisih, maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali.” (HR. Abu Daud, 2083, Tirmizi, no. 1102. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud)

Dengan demikian, jika anda ingin menikah dengan wanita itu, sementara tidak ada seorang pun walinya. Maka anda merujuk kepada hakim agama di pengadilan untuk melangsungkan akad pernikahannya.

Hartamu Milik Bapakmu

Abdullah bin Amru bin ‘Ash menuturkan bahwa Rasulullah pernah didatangi seorang lelaki lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku punya harta dan juga anak, namun ayahku membutuhkan hartaku.” Beliau kemudian bersabda:

“Dirimu dan hartamu adalah milik milik ayahmu. Dan sesungguhnya anak-anakmu adalah bagian dari hasil upayamu yang terbaik, maka makanlah dari hasil upaya anak-anakmmu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

Dalam riwayat Abu Hanifah, dari Aisyah ra bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya anak-anakmu adalah bagian dari upayamu dan juga hibah Allah yang diberikan kepadamu. Allah menganugerahkan anak perempuan kepada siapa yang dikehendaki oleh-Nya dan juga memberikan anak laki-laki siapa saja yang Ia kehendaki.”

BACA JUGA : BERSIH JIWA BERSIH HARATA

Rasulullah juga pernah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah, “Sesungguhnya makanan terbaik yang kamu makan adalah dari hasil jerih payahmu, dan sesungguhnya anak-anakmu adalah bagian dari jerih payahmu pula.”

Ada satu kisah menarik tentang seorang tua dengan anaknya yang dikisahkan oleh Imam Qurthubi. Diriwayatkan secara bersambung dari Jabir bin Abdillah ra bahwa ia berkata: Seseorang datang menghadap Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku mengambil hartaku.”
Nabi kemudian berkata kepada lelaki itu, “Datangkan ayahku ke sini.”

Jibril kemudian turun untuk menemui Nabi dan berkata, “Allah Azza wa Jalla menyampaikan salam kepadamu serta berfirman: “Jika datang orang tua itu kepadamu, maka tanyakanlah mengenai sesuatu yang ia katakan dalam hatinya sebagaimana yang didengar oleh kedua telinganya.”

Ketika orang tua itu telah datang, maka beliau bertanya: “Ada apa gerangan dengan anakmu yang mengadukanmu? Apakah kamu hendak mengambil hartanya?”

Ia menjawab: “Tanyakanlah kepadanya, ya Rasulullah, apakah aku akan membelanjakannya keculai untuk kepentingan salah satu dari bibinya dari pihak ayah atau bibinya dari pihak ibu atau untuk diriku sendiri.”

Rasulullah kemudian berkata: “Tinggalkan hal itu, dan sekarang beritahukan kepadaku mengenai sesuatu yang engkau katakan dalam hatimu sendiri yang hanya bisa didengar oleh kedua telingamu.”
Orang tua itu berkata: “Demi Allah, ya Rasulullah, Allah masih saja terus menambahkan kepada kami keyakinan kepadamu. Sungguh aku telah mengucapkan di dalam hatiku apa yang hanya didengar oleh kedua telingaku.”

Nabi berkata: “Katakanlah, dan saya akan mendengarnya.” Ia berkata: “Aku katakan dalam hatiku:

Wahai anakku, telah kuberi engkau makan sejak kecil
dan kunafkahi dirimu hingga tumbuh dewasa seperti ini
serta dari air yang kuberikan enkau minum
Yang telah kukatakan adalah apabila kau ditimpa kahancuran
dan jiwaku pun tahu bahwa suatu saat maut akan pasti datang
Dan kini, setelah engkau menjadi besar sebagaimana yang kucita-citakan sejak dahulu
kau balas semua ini dengan kekerasan
Seakan engkau pemberi segala nikmat itu
Maka sesungguhnya bila engkau tidak menunaikan hak-hakku sebagai ayahmu
Perlakukanlah aku sebagai tetangga yang mempunyai hak atas dirimu
Tetapi engkau telah menyia-nyiakan hak tetangga
Engkau kikir membelanjakan hartamu kepadaku

Saat itu pula Nabi saw mengambil kerah baju anak tersebut dan bersabda: “Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.” (Tafsir Al-Qurthubi: X/245)

Orangtua juga mempunyai hak untuk menarik kembali pemberian yang sebelumnya telah diberikan kepada anak-anaknya.

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw bersabda: “Tidak dihalalkan bagi seorang pun untuk memberikan suatu pemberian, lalu ia menarik kembali pemberiannya itu kecuali (pemberian) seorang ayah kepada anaknya.” Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqi.
Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Baihaqi, dan Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ra bahwa Nabi saw bersabda: “Tidak dihalalkan seseorang untuk memberikan suatu pemberian, atau memberikan hibah, kemudian ia menariknya kembali, kecuali seorang ayah yang memberikan sesuatu kepada ayahnya. Perumpamaan orang yang melakukan hal itu adalah seperti seekor anjing yang makan. Jika ia kenyang, maka ia memuntahkannya, kemudian ia kembali menjilati muntahannya itu.”

Muhammad bin Sirin berkata: “Pada zaman Utsman bin Affan ra, pohon kurma naik harganya hingga mencapai seribu dirham. Namun Usamah bin Zaid rela mencocoknya dan mengeluarkan (mengambil) sarinya. Seseorang kemudian bertanya kepadanya. “Apa yang menyebabkanmu berbuat seperti ini, sedangkan engkau sendiri tahu bahwa harga satu pohon kurma mencapai harga seribu.” Ia menjawab: “Sesungguhnya ibuku memintanya, dan tidaklah ia meminta sesuatu kepadaku yang aku mampu melainkan pasti akan aku beri.” Diriwayatkan oleh Hakim dalam Mustadrak-nya (3/597) tanpa memberi komentar. Sedangkan Dzahabi mengatakan: Ibunya meninggal para zaman Abu Bakr As-Shiddiq sehingga hadits ini mursal.

Membayar Utang Orang tua

Di zaman dahulu, ketika masih ada perbudakan, terkadang ada seorang anak yang merdeka dan kaya, sedangkan ayah atau ibunya masih menjadi budak dan tidak punya harta untuk menebus dan membebaskan dirinya. Adapun bentuknya yang serupa pada zaman sekarang adalah adanya orangtua yang mempunyai banyak utang karena adanya suatu sebab. Lalu bagaimana sikap Rasulullah saw terhadap keadaan seperti ini? “Tidaklah seorang anak akan bisa membalas (kebaikan) seorang ayah kecuali jika sang anak mendapati ayahnya sebagai seorang budak lalu ia membeli dan membebaskannya.”

Dengan demikian yang menjadi kewajiban anak dalam keadaan seperti itu adalah segera mengorbankan harta demi memerdekakan ayahnya atau membayarkan utang-utangnya. Sebab, sebagaimana yang dinyatakan oleh hadits di atas: “Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda:
“Siapa yang berhaji untuk kedua orangtuanya, atau melunasi utang-utangnya, maka pada hari kiamat nanti Allah akan membangkitkannya bersama dengan golongan orang-orang yang baik.” (HR. Daruquthni: II/260).

Komitmen Seorang Ayah

Di luar sana, ada keruntuhan hebat yang sedang terjadi. Gerakan baru menyeruak keluar, membabat habis norma-norma tradisional yang dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Hebat dalam penampilan, lezat dalam penawaran, cepat dalam gerakan. Melindas makna pernikahan, keluhuran moral dan kerendahan hati, juga nilai-nilai agama. Dan karenanya, banyak di antara kita kehilangan arah, bahkan tujuan hidup!

51 % remaja putri tidak lagi perawan, bukanlah angka yang bisa diremehkan. Belum jumlah aborsi yang bisa diatas 2,5 juta pertahun, penggunaan narkoba yang kian menjangkau kota-kota kecil, atau aneka bentuk geng dan kenakalan yang makin memprihatinkan. Semuanya dengan jumlah riil yang kita yakini jauh melampaui angka-angka yang dilaporkan.

Budaya populer yang tidak sejalan dengan akal sehat dan kebutuhan batin menjadi panutan, bahkan agama baru. Memunculkan kebingungan, kebebasan tanpa batas, sinis terhadap agama, hingga kesendirian akut tanpa kepedulian akan perasaan dan keinginan orang lain.“Aku tidak hidup untuk menjadi polisi bagi orang lain,” begitu kata mereka. Hingga kemudian, banyak di antara mereka yang kehilangan nyaman dan hangatnya hubungan emosionaldengan orang lain. Dan itu sangat merusak mental.

Dalam perjalanan waktu yang panjang, pada akhirnya, kita akan menyadari bahwa kehangatan, kebahagiaan, penerimaan, dan kenyamanan batin adalah kebutuhan asasi. Dan di sanalah keluarga mengambil peran pentingnya. Tempat ideal yang menyenangkan untuk saling terhubung secara emosional, memperoleh kasih sayang tak terputus, berbicara satu dengan yang lain, saling menghargai, menikmati keberadaan, juga dukungan penuh saat datang masalah.

Karena itulah, kualitas hidup berkeluarga berpengaruh besar pada kesejahteraan emosional, kesehatan mental, dan kebahagiaan anggotanya. Pun sebaliknya, keluarga amburadul, menyumbang saham yang signifikan terhadap berbagai masalah sosial di masyarakat.

Keluarga yang sehat, adalah tempat di mana kita memasukinya untuk memperolah kenyamanan, pengembangan diri, dan regenerasi, serta dari mana kita merasa diperbaharui dan diberi energi untuk bangkit secara positif, kala terpuruk. Pelabuhan yang akan melindungi anggota keluarga dari berbagai perusak mental; ketakutan, kekhawatiran, penolakan, dan kesepian.Benteng pertahanan dari amukan kerusakan moral yang makin merapat ke batas-batas teritorial keluarga.

Karena itu, keluarga idaman bukan sekedar menyatukan dua jenis kelamin yang membutuhkan penyaluran biologis. Ia juga bukan ikatan sesaat untuk hari ini atau besuk pagi saja,tanpa kegembiraan, tanpa keamanan, penerimaan, dan tanpa arti. Karenanya ia harus bermula dari visi yang jelas; beribadah kepada Allah, bertujuan jelas; meraih sakinah mawaddah wa rahmah, serta berkomitmen tinggi akan keberhasilannya sebagai keluarga bahagia dengan anak-anak yang shalih yang mendoakan orangtuanya.

Komitmen inilah yang kini mulai memudar, bahkan hilang. Begitu mudah kita menemukan pasangan, mengucap janji pernikahan, kemudian bercerai ketika merasa tidak ada lagi kecocokan. Atau bahkan ada yang sekedar mencari teman tidur, memasrahkan tubuh kepada lawan jenis tanpa jaminan ikatan pernikahan, pada pertemuan pertama di sebuah pesta, bahkan meski kita tidak tahu alamat dan nama lengkapnya. Sedih, sebab fakta ini begitu transparan terbaca dari gaya hidup dancara berfikir mereka.

Membangun keluarga yang sehat dan bahagia adalah sebuah pekerjaan besar, pondasi dari peradaban bermartabat dan bernilai tinggi. Dengan pekerjaan kecilnya berupa pengurangan sumber masalah di dalam keluarga, juga di masyarakat. Dan ia akan sulit berhasil jika tidak disertai komitmen yang tinggi untuk berbagi sumber daya, kehangatan dan perhatian.

Komitmen terhadap pernikahan bermula dari kesadaran akan sebuah pilihan bertanggung jawab. Bahwa kita mengambil penghalalan persetubuhan itu dengan sejumlah konsekuensi kepemimpinan yang akan dipertanggungjawabkan. Sebuah ikatan yang kuat, mitsaaqan ghaliizhan, medan perjuangan mewujudkan surga dunia yang sangat peduli terhadap pikiran, perasaan, dan keberadaan setiap anggota keluarga. Seringkali, hal itu merubah prioritas hidup, pengorbanan yang besar, juga kedewasaan yang cukup.

Komitmen terhadap keluarga adalah tekad untuk senantiasa hadir dan memberi dukungan saat diperlukan, kapan pun itu terjadi, kecuali ada udzur syar’i yang bisa dibenarkan. Berjanji untuk menerima, mendengarkan, merasakan, dan memberi dukungan, hingga setiap anggota merasa diterima sebagai bagiannya, dimiliki, dan dihargai. Karena setiap komponennya adalah manusia yang berperasaan dan setiapnya adalah penting adanya.

Kalau perlu, komitmen ini mewujud pada sejumlah tradisi yang bisa mewadahi makna kesetiaan dan kehadiran itu, serupa makan bersama, waktu khusus untuk keluarga, atau apalah namanya. Semua merasa terlibat untuk saling berbicara membagi visi dan mendengarkan. Dan tidak ada yang boleh mengabaikan dan mengalahkannya kecuali untuk kepentingan yang lebih besar.

Percayalah, anak-anak akan merasa aman, modal penting dalam tumbuh kembang mereka,  jika melihat kedua orangtua mereka saling mendukung dan mencintai.

Tapi kenapa kita sulit menempatkan urusan keluarga di tempat yang layak? Berpura-pura melakukan kegiatan lain yang, kita anggap, penting. Zaman berganti, waktu berputar, pekerjaan bisa berubah, lalu kita bertanya kepada diri sendiri, “Apa yang telah terjadi terhadap keluargaku?” Semua boleh pergi dan berganti, tetapi aku akan tetap menjadi suami dan ayah. Aku tetap pemimpin keluarga yang akan ditanya!