Hartamu Milik Bapakmu

Abdullah bin Amru bin ‘Ash menuturkan bahwa Rasulullah pernah didatangi seorang lelaki lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku punya harta dan juga anak, namun ayahku membutuhkan hartaku.” Beliau kemudian bersabda:

“Dirimu dan hartamu adalah milik milik ayahmu. Dan sesungguhnya anak-anakmu adalah bagian dari hasil upayamu yang terbaik, maka makanlah dari hasil upaya anak-anakmmu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

Dalam riwayat Abu Hanifah, dari Aisyah ra bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya anak-anakmu adalah bagian dari upayamu dan juga hibah Allah yang diberikan kepadamu. Allah menganugerahkan anak perempuan kepada siapa yang dikehendaki oleh-Nya dan juga memberikan anak laki-laki siapa saja yang Ia kehendaki.”

BACA JUGA : BERSIH JIWA BERSIH HARATA

Rasulullah juga pernah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah, “Sesungguhnya makanan terbaik yang kamu makan adalah dari hasil jerih payahmu, dan sesungguhnya anak-anakmu adalah bagian dari jerih payahmu pula.”

Ada satu kisah menarik tentang seorang tua dengan anaknya yang dikisahkan oleh Imam Qurthubi. Diriwayatkan secara bersambung dari Jabir bin Abdillah ra bahwa ia berkata: Seseorang datang menghadap Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku mengambil hartaku.”
Nabi kemudian berkata kepada lelaki itu, “Datangkan ayahku ke sini.”

Jibril kemudian turun untuk menemui Nabi dan berkata, “Allah Azza wa Jalla menyampaikan salam kepadamu serta berfirman: “Jika datang orang tua itu kepadamu, maka tanyakanlah mengenai sesuatu yang ia katakan dalam hatinya sebagaimana yang didengar oleh kedua telinganya.”

Ketika orang tua itu telah datang, maka beliau bertanya: “Ada apa gerangan dengan anakmu yang mengadukanmu? Apakah kamu hendak mengambil hartanya?”

Ia menjawab: “Tanyakanlah kepadanya, ya Rasulullah, apakah aku akan membelanjakannya keculai untuk kepentingan salah satu dari bibinya dari pihak ayah atau bibinya dari pihak ibu atau untuk diriku sendiri.”

Rasulullah kemudian berkata: “Tinggalkan hal itu, dan sekarang beritahukan kepadaku mengenai sesuatu yang engkau katakan dalam hatimu sendiri yang hanya bisa didengar oleh kedua telingamu.”
Orang tua itu berkata: “Demi Allah, ya Rasulullah, Allah masih saja terus menambahkan kepada kami keyakinan kepadamu. Sungguh aku telah mengucapkan di dalam hatiku apa yang hanya didengar oleh kedua telingaku.”

Nabi berkata: “Katakanlah, dan saya akan mendengarnya.” Ia berkata: “Aku katakan dalam hatiku:

Wahai anakku, telah kuberi engkau makan sejak kecil
dan kunafkahi dirimu hingga tumbuh dewasa seperti ini
serta dari air yang kuberikan enkau minum
Yang telah kukatakan adalah apabila kau ditimpa kahancuran
dan jiwaku pun tahu bahwa suatu saat maut akan pasti datang
Dan kini, setelah engkau menjadi besar sebagaimana yang kucita-citakan sejak dahulu
kau balas semua ini dengan kekerasan
Seakan engkau pemberi segala nikmat itu
Maka sesungguhnya bila engkau tidak menunaikan hak-hakku sebagai ayahmu
Perlakukanlah aku sebagai tetangga yang mempunyai hak atas dirimu
Tetapi engkau telah menyia-nyiakan hak tetangga
Engkau kikir membelanjakan hartamu kepadaku

Saat itu pula Nabi saw mengambil kerah baju anak tersebut dan bersabda: “Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.” (Tafsir Al-Qurthubi: X/245)

Orangtua juga mempunyai hak untuk menarik kembali pemberian yang sebelumnya telah diberikan kepada anak-anaknya.

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw bersabda: “Tidak dihalalkan bagi seorang pun untuk memberikan suatu pemberian, lalu ia menarik kembali pemberiannya itu kecuali (pemberian) seorang ayah kepada anaknya.” Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqi.
Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Baihaqi, dan Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ra bahwa Nabi saw bersabda: “Tidak dihalalkan seseorang untuk memberikan suatu pemberian, atau memberikan hibah, kemudian ia menariknya kembali, kecuali seorang ayah yang memberikan sesuatu kepada ayahnya. Perumpamaan orang yang melakukan hal itu adalah seperti seekor anjing yang makan. Jika ia kenyang, maka ia memuntahkannya, kemudian ia kembali menjilati muntahannya itu.”

Muhammad bin Sirin berkata: “Pada zaman Utsman bin Affan ra, pohon kurma naik harganya hingga mencapai seribu dirham. Namun Usamah bin Zaid rela mencocoknya dan mengeluarkan (mengambil) sarinya. Seseorang kemudian bertanya kepadanya. “Apa yang menyebabkanmu berbuat seperti ini, sedangkan engkau sendiri tahu bahwa harga satu pohon kurma mencapai harga seribu.” Ia menjawab: “Sesungguhnya ibuku memintanya, dan tidaklah ia meminta sesuatu kepadaku yang aku mampu melainkan pasti akan aku beri.” Diriwayatkan oleh Hakim dalam Mustadrak-nya (3/597) tanpa memberi komentar. Sedangkan Dzahabi mengatakan: Ibunya meninggal para zaman Abu Bakr As-Shiddiq sehingga hadits ini mursal.

Membayar Utang Orang tua

Di zaman dahulu, ketika masih ada perbudakan, terkadang ada seorang anak yang merdeka dan kaya, sedangkan ayah atau ibunya masih menjadi budak dan tidak punya harta untuk menebus dan membebaskan dirinya. Adapun bentuknya yang serupa pada zaman sekarang adalah adanya orangtua yang mempunyai banyak utang karena adanya suatu sebab. Lalu bagaimana sikap Rasulullah saw terhadap keadaan seperti ini? “Tidaklah seorang anak akan bisa membalas (kebaikan) seorang ayah kecuali jika sang anak mendapati ayahnya sebagai seorang budak lalu ia membeli dan membebaskannya.”

Dengan demikian yang menjadi kewajiban anak dalam keadaan seperti itu adalah segera mengorbankan harta demi memerdekakan ayahnya atau membayarkan utang-utangnya. Sebab, sebagaimana yang dinyatakan oleh hadits di atas: “Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda:
“Siapa yang berhaji untuk kedua orangtuanya, atau melunasi utang-utangnya, maka pada hari kiamat nanti Allah akan membangkitkannya bersama dengan golongan orang-orang yang baik.” (HR. Daruquthni: II/260).

Jalan Mulia Menuju Surga

Dr. Hamid Ahmad Ath Thahir menyebutkan sebuah kisah dalam bukunya, “Min Washaya Ar Rasul lil Athfal.” Pada zaman dahulu ada seorang anak lelaki yang memukuli ayahnya dan menyeretnya hingga sampai di depan toko penjual makanan. Ketika orang ini sudah lanjut usia sedangkan ayahnya telah meninggal dunia, pemilik toko itu kembali menyaksikan kejadian yang sangat menakjubkan.

Lelaki yang dulu pernah memukul ayahnya datang lagi. Akan tetapi kali ini ia datang bersama anaknya. Alangkah mengherankan, ternyata anak tersebut juga memukul ayahnya sebagaimana ayah tersebut memukul kakeknya. Ketika anak dan ayahnya sampai di depan toko makanan, sang anak berteriak, “Cukup wahai anakku, ayahmu dulu menyeret kakekmu hanya sampai di sini saja, jangan kau tambah lagi!

Al jaza’ min jinsil ‘amal, balasan itu setimpal dengan perbuatan. Demikianlah, Allah Maha Adil, kedurhakaan kepada orang tua dibalas dengan kedurhakaan anak kepada dirinya. Rasulullah saw bersabda : “Ada dua pintu (amalan) yang disegerakan balasannya di dunia; kezaliman dan durhaka (pada orang tua).” (HR. Hakim dan dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah)

Hal ini dikarenakan doa orang tua itu mustajab, apalagi saat terzalimi. Ketika ia menengadahkan tangannya ke langit, mengadukan sakit hatinya kepada Allah, maka doa orang tua ini akan bergerak menembus awan, mencapai langit, dan diamini oleh para malaikat, kemudian Allah mengabulkannya.

Rasulullah bersabda, “Takutlah terhadap doa orang-orang yang teraniaya, sebab tidak ada hijab antara dirinya dengan Allah.” (HR. Muslim)

Itulah di antara sekian ancaman dan balasan di dunia bagi orang yang durhaka pada orang tuanya. Karena itulah Rasulullah memerintahkan kepada umatnya untuk berbakti kepada orang tua agar kelak anaknya berbakti kepadanya:

بَرُّوا آباءَكُمْ تَبَرُّكُمْ أَبْنَاؤُكُمْ ، وَعِفُّوا تَعِفُّ نِسَاؤُكُمْ

Berbaktilah kepada bapak-bapak kalian niscaya anak-anak kalian kelak akan berbakti kepada kalian. Jagalah kesucian kalian, nicaya istri-istri kalian akan menjaga kesucian dirinya.” (Hadis hasan diriwayatkan oleh At-Thabrani).

Tidak Sepadan Dengan Jasa Mereka
Sesosok anak tidak akan dapat terlepas dari ayah dan ibunya. Bagaimanapun keadaannya, ia adalah bagian dari diri keduanya. Dia adalah darah daging keduanya. Rahim ibu adalah tempat buaiannya yang pertama di dunia ini. Air susunya menjadi sumber makanan yang menumbuhkan jasadnya.

Saat masih kecil hingga kita dewasa orang tua merawat kita dengan penuh kesabaran dan ketelatenan. Saat kita sakit, orang tua menjaga kita siang dan malam. Sehingga kalaulah ditawarkan antara hidup atau mati, ibu kita akan memilih mati agar kita tetap hidup! Inilah jasa seorang ibu terhadap anaknya.

Namun begitu sedikitnya orang muda jaman sekarang yang memberikan perhatian kepada orang tuanya, apalagi merawat orang tuanya tatkala sakit atau sudah tidak berdaya. Rata-rata anak-anaknya akan menyerahkan perawatan orang tuanya di sebuah panti jompo atau diserahkan ke suster perawat. Mereka merasa punya uang dan tidak cukup punya waktu untuk merawat orang tuanya. Bahkan untuk bercengkerama saja, sang anak harus mengeluarkan uang untuk memasukkan orang tuanya ke sebuah perkumpulan komunitas lansia (lanjut usia). Karena menurutnya, orang tua lebih baik kumpul sama orang tua.

Padahal sebanyak apapun perbuatan yang kita kerjakan untuk orang tua kita, sama sekali tidak mampu untuk membalas kebaikan yang selama ini mereka kerjakan.

Ibnu Umar pernah melihat lelaki menggendong ibunya dalam thawaf. Ia bertanya, “Apakah ini sudah melunasi jasanya (padaku), wahai Ibnu Umar?” Beliau menjawab, “Tidak, meski hanya satu jeritan kesakitannya (saat bersalin).”
Karena itulah, para salaf berusaha untuk melakukan suatu amalan yang dengannya ia akan mendapatkan keridhaan dari orang tua. Mereka amat berhati-hati saat bersama orang tuanya karena khawatir akan menyakiti atau mengecewakan hati mereka, sehingga dianggap telah durhaka.

Haiwah bin Syuraih yang dikenal dengan panggilan Abu Zur’ah adalah seorang ulama besar dan ahli hadits. Pada suatu hari ketika sedang duduk di majelisnya untuk mengajarkan ilmu kepada murid-muridnya yang datang dari berbagai daerah, tiba-tiba ibunya memanggilnya, “Berdirilah wahai Haiwah dan berikan makan kepada ayam!” Tanpa rasa malu, gengsi dan jengkel, Haiwah berdiri dan meninggalkan majelis tersebut untuk memberi makan ayam yang dipelihara oleh ibunya.

Ali bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib tidak makan bersama ibunya padahal ia adalah orang yang paling berbakti kepada ibunya. Lalu, ditanyakan kepadanya tentang hal itu. Maka, ia menjawab, “Aku takut jika aku makan bersama ibuku lantas matanya memandang pada suatu makanan dan aku tidak tahu pandangannya tersebut, lalu aku memakan makanan yang dipandangnya itu. Maka aku telah durhaka kepadanya.

Pahala Bakti pada Orang Tua
Berbakti kepada orang tua bisa menghapus dosa besar. Dari Atha’ bin Yasar dari Ibnu Abbas, “Bahwasanya ada seorang laki-laki menemuinya dan berkata, “Aku melamar seorang wanita dan ia menolak untuk menikah denganku. Lalu datang orang lain melamarnya, ia mau menikah dengannya. Maka, aku pun cemburu dan aku bunuh wanita itu. Apakah aku masih bisa bertaubat?” Ibnu Abbas berkata, “Apakah ibumu masih hidup?” Laki-laki itu berkata, “Tidak”. Ibnu Abbas berkata, “Bertaubatlah engkau kepada Allah dan dekatkanlah dirimu kepada Allah sekuat Engkau”. Lalu, pergilah orang itu dan aku pun (Atha` bin Yasar) bertanya kepada Ibnu Abbas mengapa ia menanyakan apakah ibu orang tersebut masih hidup.” Ibnu Abbas berkata, “Aku tidak mengetahui ada suatu amalan yang lebih dekat kepada Allah daripada berbakti kepada ibu” (HR. Bukhari dalam Al Adab Al Mufrad )

Berbakti kepada orang tua, juga akan mendatangkan banyak kebaikan; terangkatnya musibah, lenyapnya masalah dan kesedihan. Buktinya, kisah tiga orang yang terperangkap di sebuah goa sempit karena sebongkah batu besar menutupi mulut goa. Mereka berdoa dan bertawasul dengan amal shalih yang pernah mereka kerjakan. Salah seorang di antara tiga orang itu, bertawasul dengan baktinya kepada kedua orang tua. Dia memanjatkan doa kepada Allah, dengan lantaran baktinya tersebut, hingga akhirnya menjadi sebab sirnanya kesengsaraan yang menghimpit. Pintu gua yang tertutup rapat akhirnya terbuka sehingga mereka bisa keluar.

Sebagai penutup, kita harus memahami bahwa bakti kepada orang tua merupakan jalan indah dan mulia yang mengantarkan seorang anak menuju surga. Sebaliknya, kedurhakaan kepada mereka, bisa menyeret sang anak menuju lembah kehinaan, neraka.

Nabi saw bersabda:

الْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الجَنّةِ، فإِن شِئْتَ فأَضِعْ ذلكَ البابَ أو احْفَظْهُ

“Orang tua itu adalah pintu surga yang paling tengah. Jika kalian mau memasukinya maka jagalah orang tua kalian. Jika kalian enggan memasukinya, silakan sia-siakan orang tua kalian” (HR. Tirmidzi, ia berkata hadits ini shahih).