Dusta Ditempuh, Malang Direngkuh

Zaman di mana akhlak tak lagi dijunjung tinggi, kedustaan menjadi cara yang diandalkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ada yang menginginkan kekayaan lalu berbisnis dengan modal dusta. Ada yang ingin menjadi pejabat lalu cari dukungan bawahan dan menjilat atasan dengan cara dusta. Ada yang ingin terkenal dan ditokohkan, juga dengan cara menyebarkan kedustaan untuk mengundang imej bahwa diirnya adalah orang hebat. Bahkan untuk menjatuhkan orang lain dan melambungkan dirinya berani mengarang cerita dusta. Begitulah, sepertinya dusta sudah dianggap senjata pamungkas dan paling ampuh menuju kesuksesan.

 

Ketika Dusta Menjadi Pilihan yang Ditempuh

Padahal, ketika dosa dan maksiat menjadi pilihan manusia dalam upaya dan ikhtiyar untuk menggapai keberhasilan, maka yang didapat pada akhirnya adalah kesialan dan kemalangan. Karena sejatinya inti problem itu adalah dosa, bagaimana seseorang menganggap sumber problem sebagai jalan keluar dan alat menuju keberhasilan?

Seperti orang yang menggunakan kedustaan sebagai jalan untuk memperoleh keberuntungan, ia tidak akan mendapatkan selain  kemalangan dan kerugian. Telah kokoh kaidah yang Allah firmankan,

وَقَدْ خَابَ مَنِ افْتَرَى

“Dan sesungguhnya telah merugi orang yang mengada-adakan kedustaan.” (QS Thaha: 61)

Dusta adalah mengabarkan sesuatu yang berbeda dengan hakikatnya. Raghib al-Ashfahani rahimahullah sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fathul baari berkata, “Asal mula jujur dan bohong adalah dalam perkataan, baik tentang perkara yang telah lampau, akan datang, atau berupa sebuah janji.”

Namun modus dan variasi dusta bisa dilakukan dengan berbagai macam sarana dan media. Seperti menulis berita yang berbeda dengan kenyataan, maka itu juga dusta, meskipun yang melakukan adalah tangan danbukan lisan. Begitupun ketika ada yang merekayasa tempat lalu diberitakan sebagai kabar tertentu yang tidak sesuai kenyataan, maka ini juga dusta.

Jika demikian, TV, dunia maya, socmed semisal whatsApp, facebook, twitter dan yang semisalnya bisa menjadi alat untuk berdusta, dan kedustaan adalah senjata andalan orang yang di hatinya ada penyakit untuk memuluskan tujuan. Dan tentu saja ini sangat meresahkan dan bisa memicu segala bentuk keburukan. Bagi pelaku, kerugian yang dialaminya berlapis, berkesinambungan di dunia hingga akhirnya disiksa di akhirat. Efek dan dampak kerusakan yang ditimbulkan karena dusta juga dahsyat mengganas dalam berbagai aspek. Petaka karena dusta juga menjadi sejarah kelam dari masa kemasa sepanjang kehidupan manusia.

Sangat buruk efek keburukan bagi masyarakat, hingga Allah menghukum para pendusta baik di dunia maupun di akhirat. Meskipun sebagian pelaku tidak menyadari sangsi yang berlaku di dunia. Yang jelas, berlaku atasnya kaidah al-Qur’an, “Sungguh merugi orang-orang yang mengadakan kedustaan.”

Ibnul Qayyim al-Jauziyah memberikan penekanan tentang kaidah ini dalam ash-Shawa’iq al-Mursalah, “Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjamin kepastian bahwa orang-orang yang suka mengada-adakan kedustaan pastilah merugi dan Allah tidak menunjuki mereka serta akan membinasakan mereka dengan adzabnya.”

 

Hanya Kemalangan yang Bisa Direngkuh

Di antara siksa di dunia adalah kegelisahan dan keraguan yang terus menyelimuti hati. Setiap kebohongan adalah racun, atau ia seperti duri di dalam dada, kenikmatannya tak pernah dirasa. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ

“Kejujuran adalah ketenangan, sedangkan kebohongan adalah kegelisahan.” (HR Tirmidzi, beliah mengatakan hadits hasan shahih)

Sudah maklum bahwa ketika seseorang berlaku dusta maka kekhawatiran akan segera hadir. Khawatir jika kedustaannya tersingkap, takut jika ia akan dituntut dan gelisah menyiapkan jawaban-jawaban untuk menutupi kedustaan awalnya. Begitupun kegalauan akan ketidakpastian nasibnya lantaran kebohongan yang telah dibuatnya. Jikalaupun seseorang bisa melupakan kedustaannya, rasa was-was tidak otomatis tercabut dari hatinya.

Di samping kegelisahan hati yang didapati, tujuan yang diingini pun juga tak akan tercapai. Karena makna “khaba” adalah merugi, malang dan juga gagal. Sebagaimana penjelasan Imam ath-Thabari tentang ayat tersebut, “Yakni tidak akan berhasil seseorang yang membuat kedustaan dan berkata dusta demi mendapatkan apa yang dibutuhkannya dan apa yang diinginkannya.”

Memang dengan berbohong seseorang bisa saja menjadi pejabat papan atas, dengan berdusta bisa mendapatkan kekayaan, dengan tipu-tipu bahkan bisa tersohor. Akan tetapi ia tidak akan bisa meraih kedudukan pejabat yang terhormat, tak bisa menjadi orang kaya yang merengkuh kebahagiaan dan tidak bisa menjadi tokoh yang dijadikan panutan kebaikan. Maka secara hakiki, tujuan yang ingin didapatkan dengan kedustaan itu tidak tercapai.

Belum lagi jika yang terjadi adalah berkebalikan dengan tujuan. Di mana secara fisik dan tampak mata usahanya gagal dan kandas. Dan inilah yang paling sering terjadi, sebagai balasan dan sangsi yang menguatkan ketetapan Allah bahwa pendusta senantiasa merugi. Jikalau ada yang terangkat martabatnya di dunia dengan cara dusta, itu tak lebih karena dengan mengangkatnya tinggi-tinggi, Allah hendak menjatuhkan ia dari ketinggian. Tentu ini lebih menakakutkan, wal ‘iyadzu billah.

Yang lebih mengerikan lagi adalah kondisi orang yang hobi dusta saat berada di dalam kuburnya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menceritakan apa yang beliau temui dalam mimpinya, sedangkan mimpi Nabi itu adalah wahyu,

“Kemudian kami berangkat lagi mendatangi orang yang terlentang pada tengkuknya. Ternyata ada orang lain yang berdiri di atasnya sambil membawa pengait dari besi. Tiba-tiba ia datangi sebelah wajah orang yang terlentang itu, lalu ia robek (dengan kait besi tersebut) mulai dari sebelah mulutnya hingga tengkuknya, mulai dari lubang hidungnya hingga tengkuknya, dan mulai dari matanya hingga tengkuknya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian bersabda: “Selanjutnya orang itu berpindah ke sebelah wajah lainnya dari orang yang terlentang tersebut dan melakukan seperti yang dilakukannya pada sisi wajah yang satunya. Belum selesai ia berbuat terhadap sisi wajah yang lain itu, sisi wajah pertama sudah pulih kembali seperti sedia kala. Maka ia mengulangi perbuatannya, ia lakukan seperti yang dilakukannya pada kali pertama.”

Di penghujung hadits dijelaskan dosa yang diperbuat oleh laki-laki tadi, “Sesungguhnya laki-laki itu setiap keluar dari rumahnya ia berdusta (berbohong) yang kebohongannya sampai ke kaki-kaki langit (tersebar ke mana-mana,-terj)” (HR. Al-Bukhari) dalam riwayat lain, “Ia disiksa demikian hingga tiba hari Kiamat.”

Begitulah dusta, ia adalah sumber berbagai keburukan dan kendaraan menuju neraka. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ كَذَّابًا

Dan sesungguhnya dusta menunjukkan kepada perbuatan dosa, dan perbuatan dosa menunjukkan kepada neraka, dan sesungguhnya seseorang yang biasa berdusta ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (Muttafaq ‘Alaih)

Maka selayaknya seorang muslim meninggalkan kebiasaan dusta, karena dusta juga menjadi tabiat yg melekat pada diri orang-orang munafik dan menjadi salah satu ciri mereka yang paling menonjol. Ini sesuai dengan firman Allah, “Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al-Munakikun: 1)

Jangan pula terlibat dalam penyebaran hoax atau berita palsu. Tak semua informasi yang mampir di telinga atau terbaca oleh mata harus disebarkan. Bisa jadi informasi tersebut dusta, atau dengan tersebarnya menimbulkan malapetaka. Karena itulah Nabi shallallahu alaihi wasallam memvonis sebagai pendusta bagi orang yang menceritakan setiap hal yang didengarnya.

Semoga Allah menjaga kita dari kedustaan yang kita lakukan dengan lisan dan perbuatan kita, aamiin.

(Abu Umar Abdillah)

 

 

Para Pendusta

Ada saja berita terbaru yang menginformasikan seseorang yang mengaku sebagai nabi dan mengajak kepada manusia untuk mengakuinya. Belum lama ada al qiyadah islamiyah dan gavatar, kemudian baru baru ini muncul di jombang seorang lelaki yang mengklaim dirinya sebagai representasi nabi Isa dan sudah memiliki pengikut. Para pengikutnya mengimani bahwa anak dari orang yang ‘mengaku nabi’ ini adalah imam mahdi.

Ketika tidak bisa dibodohi dengan mengaku sebagai nabi terakhir karena nabi terakhir adalah Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, maka syitan mencoba mengalihkan dengan syubhat mengaku sebagi nabi yang terakhir akan turun di akhir zaman, yaitu Nabi Isa ‘alaihissalam.

Baca Juga: Syirik, Mengharap Syafaat Peroleh Laknat

 

Up datenya berita orang yang mengaku nabi merupakan tanda kebenaran Nabi Kita Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, sebagai nabi yang terakhri diutus oleh Allah dan penutup dari seluruh Nabi dan rasul. Beliau bersabda :

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَنْبَعِثَ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ قَرِيبًا مِنْ ثَلَاثِينَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ

“Tidak akan terjadi hari kiamat sehingga muncul Dajjal Dajjal pendusta, jumlah mereka kurang lebih tiga puluh orang dan semuanya mengaku sebagai utusan Allah.” (HR. Bukhari)

Sabda Rasulullah ini bukanlah menjadi dalil bolehnya mengaku menjadi Nabi atau sebagai utusan Allah, ini merupakan fitnah yang akan melanda hingga akhir zaman yang setiap muslim harus menepis fitnah ini dan tidak mengikuti para pendusta pengaku nabi.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Abu Daud

“ Tidak akan datang kiamat hingga sebagian dari umatku menjadi musyrik dan menyembah berhala, sesungguhnya akan ada para pendusta dalam umatku, jumlah mereka tiga puluh orang, semuanya mengaku bahwa dirinya adalah Nabi. (padahal) aku adalah penutup para Nabi, tidak ada Nabi setelahku.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud)

Dan akhir dari para pendusta pengaku nabi ini adalah dajjal sebagaimana terdapat dalam riwayat Imam Ahmad

“Demi Allah, tidak akan terjadi kiamat hingga munculah tiga puluh pendusta dan yang paling terakhir di antara mereka adalah si celek (picek) Dajjal..” (HR. Ahmad)

 

Baca Juga: Dusta Direngkuh Malang Ditempuh

 

Bila telah muncul dajjal maka Allah akan menurunkan Nabi Isa ‘alaihissalam, bukan kemudian mengirim cahaya yang masuk pada diri seseorang kemudian menjadi representatif dari Nabi Isa ‘alaihissalam, bahkan bila hari ini ada orang yang mengaku menjadi nabi Isa seharusnya seorang muslim sudah bisa mengetahui bahwa ia adalah pendusta dan bukan malah mengikutinya.

Karena, orang yang hari ini mengaku menjadi nabi isa adalah orang yang dilahiran dari hubungan bapak dan ibu sedangkan Nabi Isa ibnu maryam adalah Manusia pilihan yang diciptakan Allah terlahir dari Ibu mulia tanpa bapak. Dan Allah yang akan menurunkan dari langit bukan dimunculkan dari sosok manusia pada hari ini.

Dalam riwayat imam Muslim, Setelah Rasulullah menyebutkan sifat sifat dajjal, beliau bersabda : “tiba-tiba ‘Isa putra Maryam turun di sebelah timur Damaskus di menara putih dengan mengenakan dua baju berwantek za’faran seraya meletakkan kedua tangannya diatas sayap dua malaikat, bila ia menundukkan kepala, air menetas dan bila ia mengangkat kepala keringat bercucuran seperti mutiara, tidaklah orang kafir mencium bau dirinya kecuali mati dan bau nafasnya sejauh matanya memandang. Isa mencari Dajjal hingga menemuinya di pintu Ludd lalu membunuhnya.

Coba dicocokkan mana yang sama, tidak ada sedikitpun yang cocok? Maka bagaimana orang bisa mengaku menjadi Nabi Isa dan bagaimana bisa orang-orang mengikutinya?

 

Baca Juga: Kisah Pasangan Harmonis yang Paling Tragis

 

Dari sejak zaman Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan sepeninggal beliau sudah ada orang orang yang mengku mandapat wahyu, misalanya musailamah al kadzzab yang hidup di masa Nabi, yang ia membacakan wahyunya kepada ‘Amr bin ‘ash yang ketika itu belum masuk islam. ketika ditanya oleh musailamah bagaimana menurutmu (tentang wahyu yang barusan dibacakannya), maka spontan ‘Amr bin ‘Ash yang belum masuk Islam pun menjawab, “demi Allah, sesungguhnya engkau pasti tahu, dan akupun mengetahui kalau engkau adalah pendusta.” (tafsir ibnu katsir surat al ‘ashr)

Disebutkan dalam kitab aunul ma’buud, 8/10. Ibnu Abbas pernah ditanya, “Wahai Ibnu Abbas, sesungguhnya Al-Mukhtar bin Abi Ubaid mengaku bahwa tadi malam dia mendapatkan wahyu.” Ibnu Abbas berkata, “Dia benar.” Abu Zumail yang saat itu berada di dekat Ibnu Abbas langsung tersentak. Dia bangun dan berkata, “Ibnu Abbas mengatakan Al-Mukhtar benar telah mendapatkan wahyu?”

Kata Ibnu Abbas, “Sesungguhnya wahyu itu ada dua macam; wahyu dari Allah dan wahyu dari setan. Wahyu Allah diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Sedangkan wahyu setan diturunkan kepada kawan-kawannya.” Lalu, Ibnu Abbas pun membaca ayat, “Sesungguhnya setan itu memberikan wahyu kepada kawan-kawannya untuk membantah kalian.” (QS. Al-An’am: 121).

Menjadi kelaziman bagi setiap muslim untuk mempelajari agamanya dengan benar, mendapatkan aqidahnya dari kitabullah dan sunnah rasulullah yang shahih, bukan dari perkatan orang dan kabar burung. Supaya tidak mudah terkena syubhat yang hari ini datang seperti gulungan ombak lautan yang terus bergerak dan tidak berhenti. Nasalullaha al ‘afiyah was salamah..

 

Tipu Daya Setan

“Dan demikianlah Kami jadikan untuk setiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). (QS al-An’am:11)

Prof. Hamka, dalam Tafsir al-Azhar, membuat uraian menyangkut ayat tersebut:

“Seorang Rasul diutus Allah untuk menyeru manusia menempuh Shirathal Mustaqim, jalan yang lurus. Maka segala syaitan-syaitan manusia dan jin itu menyusun pula kata-kata yang penuh tipu daya untuk membelokkan perhatian orang daripada jalan yang lurus itu. Mereka mencoba manggariskan jalan yang lain, memujikan, mempropagandakan supaya orang merasa bahwa yang mereka kemukakan itulah yang benar. Inilah tipudaya! Karena kalau sudah diselidiki kelak dengan seksama, akan ternyata bahwa rencana yang mereka kemukakan itu hanya semata-mata zukhrufal-qauli, yaitu kata-kata yang dihiasi. Zukhruf artinya perhiasan, lebih besar bungkusnya daripada isinya, reklame yang kosong penuh tipu.” (Hamka, Tafsir al-Azhar, Juzu’ VIII).

 

Baca Juga: Jebakan Setan Untuk Orang Awam

 

Kita ingat, bahwa setelah terusir dari surga, Iblis kemudian bertekad bulat untuk menyesatkan sebanyak-banyaknya manusia. Salah satu caranya, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur`an adalah menghiasi (mengemas) kebathilan menjadi sesuatu yang indah, sehingga menarik perhatian manusia untuk mengikutinya.“Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis diantara mereka.” (QS. al-Hjir: 39).

Tentu, peringatan Allah SWT dalam al-Qur`an ini wajib kita camkan. Hidup di era globalisasi dan kebebasan informasi mengharuskan kita bekerja keras untuk mampu menyaring dan menilai, mana informasi yang benar dan mana informasi bikinan para setan. Sebab, betapa banyaknya orang tertipu dengan kata-kata indah tetapi salah dan menyesatkan.

Lihatlah, banyak orang yang masih mengaku Islam tetapi meletakkan paham kebebasan di atas ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Ada yang berteriak lantang agar agama dan negara tidak ikut campur tangan dalam urusan pakaian. Mereka menganggap tubuh mereka adalah milik mereka sendiri. Tidak ada yang berhak mengatur urusan pakaian, baik negara atau pun Tuhan sekali pun. Mereka merasa berdaulat penuh atas tubuh mereka. Mereka mau telanjang atau melacurkan dirinya, itu adalah urusan mereka, dan tidak ada urusan dengan Tuhan atau agama. Manusia-manusia seperti ini tampil begitu menawan di layar televisi, sambil menyombongkan diri, bahwa mereka adalah orang-orang yang berbuat kebaikan di muka bumi, karena telah menjaga dan memperjuangkan kebebasan dan hak asasi manusia.

Kata-katanya indah! Tapi, tujuannya untuk menipu. Terhadap orang-orang yang berkeinginan agar soal pakaian diatur, mereka dengan lantang menuduhnya sebagai orang yang kolot, sok moralis, anti-kebhinekaan, melanggar HAM, munafik dan sebagainya. Ada yang menyatakan, bahwa yang harus dipersoalkan bukan objeknya, tapi pikiran manusia itu yang kotor. “Jangan salahkan gambar-gambar yang telanjang. Tapi, salahkan pikirannya yang kotor!” ujarnya.

Kata-katanya semacam itu tampak indah! Tapi untuk menipu!

Ketika MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa paham sekularisme, liberalisme, dan pluaralisme agama adalah bertentangan dengan Islam, maka ada yang langsung menuduh MUI tidak menghargai kemajemukan bangsa! Begitu juga saat MUI menegaskan bahwa Ahmadiyah sesat, langsung muncul tudingan MUI merasa benar sendiri, MUI melampaui kewenangan Tuhan, karena berani menyesatkan manusia. Padahal, katanya, yang berhak menyatakan sesat atau tidaknya seseorang adalah Tuhan dan bukan manusia.

Banyak sekali kata-kata indah dengan tujuan untuk menipu manusia!

Tahun 2008, Yayasan Wakaf Paramadina menerbitkan edisi kedua buku karya Farag Fouda berjudul Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslimin. Judul aslinya adalah al-Haqidah al-Ghaibah. Simaklah, judul buku ini sangat indah: “Kebenaran Yang Hilang!” Jadi, seolah-olah, selama ini, umat Islam telah kehilangan satu kebenaran, yang kemudian diungkap oleh Farag Fouda, seorang tokoh liberal dari Mesir.

Tapi, jika ditelaah dengan cermat, yang dimaksud sebagai “kebenaran” oleh Farag Fouda adalah sederet fakta palsu tentang para sahabat Nabi Muhammad SAW. Salah satu sahabat Nabi yang digambarkan begitu buruk dalam buku ini adalah Usman bin Affan RDL. Sampai-sampai, dalam salah satu kolomnya di Majalah TEMPO yang dijadikan epilog buku ini, Goenawan Mohammad menulis:

“Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya terpaksa “bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan.” Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang menyalatinya. Jasad orangtua berumur 83 tahun itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi. Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada seorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda mengutip kitab al-Tabaqat al-Kubra karya sejarah Ibnu Saád yang menyebutkan satu data menarik: khalifah itu agaknya bukan seorang bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar.”

Tulisan itu jelas-jelas fitnah besar terhadap Sayyidina Usman RDL. Pakar sejarah INSISTS, Asep Sobari, telah membongkar kecurangan Farag Fouda dalam mengutip bahan-bahan cerita dari sejumlah kitab klasik. (Lihat: CAP ke-246 Adian Husaini di www.hidayatullah.com). Fitnah keji terhadap sahabat Nabi itu dikemas dengan kata-kata indah, dengan tujuan untuk menipu manusia. Maka, bukan hanya orang awam yang bisa tertipu oleh buku Fouda, tetapi sejarawan terkenal seperti Prof. A. Syafii Maarif pun ikut-ikutan tertipu, sampai-sampai dia menulis di sampul belakang buku ini:

”Terlalu banyak alasan mengapa saya menganjurkan Anda membaca buku ini. Satu hal yang pasti: Fouda menawarkan ”kacamata” lain untuk melihat sejarah Islam. Mungkin Fouda akan mengguncang keyakinan Anda tentang sejarah Islam yang lazim dipahami. Namun kita tidak punya pilihan lain kecuali meminjam ”kacamata” Fouda untuk memahami sejarah Islam secara lebih autentik, obyektif dan komprehensif”.

Padahal, jika seorang Muslim mau berpikir jernih: tidaklah mungkin Nabi Muhammad SAW telah berbohong dengan memuji-muji Usman bin Affan, jika ternyata Usman bin Affan adalah manusia bejat seperti digambarkan Fouda dan Goenawan Mohammad. Karena itu, dalam berbagai ayat al-Quran, Allah SWT mengingatkan, bahwa setan itu adalah musuh manusia yang nyata. Dan setiap waktu kita berdoa: Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk!.