Ghirah Cemburu Karena Allah

Di jaman Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. dulu pernah ada juga kejadian dahsyat yang berawal dari suatu peristiwa yang mungkin dianggap kecil saja. Seorang perempuan datang membawa perhiasannya ke seorang tukang sepuh Yahudi dari kalangan Bani Qainuqa’. Selagi tukang sepuh itu bekerja, ia duduk menunggu. Datanglah sekelompok orang Yahudi meminta perempuan itu membuka penutup mukanya, namun ia menolak. Tanpa sepengetahuanny a, si tukang sepuh diam-diam menyangkutkan pakaiannya, sehingga auratnya terbuka ketika ia berdiri. Jeritan sang Muslimah, yang dilatari oleh suara tawa orang-orang Yahudi tadi, terdengar oleh seorang pemuda Muslim. Sang pemuda dengan sigap membunuh si tukang sepuh, kemudian ia pun dibunuh oleh orang-orang Yahudi. Perbuatan yang mungkin pada awalnya dianggap sebagai candaan saja, dianggap sebagai sebuah insiden serius oleh kaum Muslimin. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. pun langsung memerintahkan pengepungan kepada Bani Qainuqa’ sampai mereka menyerah dan semuanya diusir dari kota Madinah.

Itulah ghirah, yang diterjemahkan oleh Buya Hamka sebagai “kecemburuan”, yakni cemburu karena Allah.

Siapapun yang menempuh jalan sebagai penghamba Allah, pasti mengalami fase tumbuhnya ghirah (rasa cemburu) seiring dengan bertambahnya cinta kepada Allah. Karena kecemburuan adalah konsekuensi logis dari cinta. Tak ada cemburu, mustahil ada cinta.

Sebelum memahami seperti apa cemburu yang semestinya dimiliki seorang hamba, perlu dipahami bahwa Allah pun memiliki sifat cemburu.

Allah Cemburu Terhadap Hamba-Nya

Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Madaarijus Saalikin berkata, ghirah itu ada dua; ghairatul Haq Ta’ala ala ‘abdihi (kecemburuan Allah atas hamba-Nya) dan ghairatul abdi Lirabbihi (kecemburuan hamba karena Allah).

 

Baca Juga: 5 Alasan Mengapa Negeri Palestina Begitu Mulia dan Harus Dibela

 

Adapun kecemburuan Allah atas hamba-Nya yakni Allah tidak mau disekutukan dengan makhluk dan makhluk hanya boleh beribadah kepada-Nya semata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، فَلِذَلِكَ حَرَّم الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَر مِنْهَا وَمَا بَطن

“Tiada yang lebih besar cemburunya daripada Allah, dan di antara kecemburuan-Nya adalah Dia mengharamkan perbuatan yang keji; baik yang tampak maupun yang tersembunyi.” (HR Muslim)

Firman Allah Ta’ala,

“Katakanlah, “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi,” (QS al-A’raf 33)

Seorang mukmin memahami, bahwa Allah memiliki sifat cemburu, Dia tidak ingin disekutukan dengan selain-Nya, dan tidak ingin ada yang lebih diutamakan oleh seorang hamba dari-Nya.

Jika kita takut kecemburuan atasan kita yang kita khawatiri akan marah melihat kita malas-malasan dalam bekerja, lantas bagaimana kita berani bermalas-malasan saat beribadah kepada Allah? Padahal ketika Allah marah, Dia Kuasa untuk berbuat apapun yang Dia kehendaki.

Pengetahuan akan ghirah Allah terhadap kemaksiatan yang dilakukan oleh hamba-Nya juga menjadikan orang mukmin takut berbuat maksiat meskipun dalam keadaan sendirian, karena di manapun kemaksiatan dilakukan oleh seorang hamba, maka bagi Allah itu adalah maksiat terang-terangan di hadapan-Nya. Karena tak ada yang tersembunyi sedikitpun dari Allah.

Bagaimana orang berani berzina ketika ingat kecemburuan Allah. Takkan pula seseorang nekad menjamah yang haram karena takut Allah cemburu kepadanya. Karena ia tahu, ketika ia membuat Allah cemburu maknanya mengundang kemurkaan Allah terhadapnya. Bisa saja Allah mencabut semua nikmat seketika, dan alangkah mudah bagi Allah untuk membalikkan keadaan seseorang dalam waktu sekejap mata.

Cemburu Karena Allah

Adapun kecemburuan hamba karena Allah ada dua, yakni cemburu terhadap diri sendiri dan cemburu terhadap orang lain.

Adapun cemburu terhadap diri sendiri adalah ketika seseorang tidak menjadikan perbuatan, perkataan, perilaku, waktu dan jiwanya untuk selain Allah. Inilah pengertian ghirah yang biasa diartikan dengan bersemangat dalam kebaikan. Karena ia tidak ingin terlihat cacat di hadapan Allah, dan berharap Allah memandang ridha kepadanya. Bahkan, ia berharap dan berusaha untuk menjadi orang yang paling dekat dengan Allah. Karena itulah ia siap berlomba dalam sebagala bentuk kebaikan, “wa fie dzaalika fal yatanaafasul mutanaafisuun,” dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. (QS al-Muthaffifin 26)

Ghirah akan membuat seorang hamba bersungguh untuk terus mendekat dan mencari perhatian Allah. Ia menyadari bahwa Allah senantiasa melihat gerak gerik ia dalam ibadah, maka ia berusaha melakukan yang terbaik dan tak ingin terlihat Allah dalam keadaan lalai hatinya atau malas gerak geriknya. Firman Allah Ta’ala

“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk salat), dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (QS asy-Syu’ara 218-219)

Imam al-Harawi menyebutkan di antara contoh ghirah adalah ghirahnya seorang ahli ibadah yang kecewa tatkala kehilangan suatu amal sehingga dia akan berusaha mengganti amal yang setara dengan apa yang ia tinggalkan atau berusuha menyusul apa yang ia terlambat mengerjakannya.

Seperti ghirahnya Umar bin Khathab radhiyallahu anhu menyedekahkan kebun yang menjadi sebab terlambatnya beliau dari shalat berjamaah. Atau seperti putera beliau, Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma yang menghdiupkan malam dengan shalat semalam suntuk lantaran tertinggal satu rekaat shalat Isyak.

Itulah ghirah karena Allah yang berhubungan dengan diri sendiri.

Adapun cemburu terhadap orang lain adalah ia akan marah ketika apa-apa yang dilarang oleh Allah dilanggar oleh manusia dan hak-hak-Nya disepelekan dan dan dilecehkan oleh manusia.

 

Baca Juga: Bila Mengaku Islam Buktikan

 

Ghirah dalam hal ini berarti kepekaan jiwa untuk menolak hal-hal yang membahayakan stabilitas keimanann seseorang. Maknanya, ketika seseorang memiliki ghirah karena Allah, jiwanya akan berontak ketika nafsu membujuk untuk maksiat. Jiwanya juga akan terusik ketika penyimpangan itu dilakukan oleh orang-orang dekatnya. Ia akan tersinggung dan bahkan marah ketika Allah, Rasul-Nya, Islam maupun kaum muslimin dilecehkan. Jiwanya juga tidak suka jika suatu kemungkaran itu tampak di hadapan mata, meskipun pelakunya bukan orang-orang dekatnya.

Inilah ghirah yang merupakan ruh atau nyawa yang menghidupi agama seseorang dan menangkis dari segala penyakit yang hendak menyerangnya. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “bara dan panasnya ghirah ini akan menyaring kejelekan dan sifat tercela, sebagaimana emas dan perak dibersihkan dari kotoran yang mencampurinya. Orang-orang mulia dan tinggi harga dirinya pasti memiliki ghirah yang besar terhadap dirinya dan orang-orang yang dekat dengannya, juga terhadap orang lain secara umum.”

Maka orang yang tidak memiliki ghirah dalam hal ini, sebenarnya ia telah kehilangan agamanya. Karena itulah Buya Hamka menuliskan, “Dan apabila ghirah telah tak ada lagi, ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh ummat Islam itu. Kocongkan kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan.” Ya, karena hakikatnya ia telah mati ketika tak memiliki kecemburuan dan kepedulian.

Sebelum beliau, Ibnul Qayyim rahimahullâh menyebutkan dalam kitabnya ad-Da’u wad Dawa’, “Pokok agama adalah ghairah (cemburu). Siapa saja yang tidak memiliki rasa cemburu, maka nyaris tidak ada agama untuknya.”

Orang yang tak memiliki cemburu,, ia tak merasa memiliki, tak ada pembelaan dan tak ada kepekaan terhadap apa-apa yang membahayakan agamanya. Ini menjadi penanda akan redupnya iman di hatinya. Dan jika iman tak ada, maka jasadnya seakan menjadi kuburan baginya sebelum matinya.

Bagaimana seseorang memiliki iman ketika tak ada kecemburuan sedikitpun di hatinya. Tak ada penolakan hatinya terhadap  kemungkaran, tak ada amarah ketika agamanya dilecehkan dan tak ada pembelaan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pernah bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِّهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ

Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan. Apabila tidak sanggup, maka dengan lisan. Jika tidak bisa, maka dengan hati. Dan itulah (mengubah dengan hati) selemah-lemahnya iman” (HR Muslim)

Maka pertanyakan iman kita tatkala tidak terusik melihat kemungkaran di depan mata, tidak tersinggung ketika Allah dan Rasul-Nya dihina, dan tidak pula marah ketika Islam dinodai dan dicela, wallahu a’lam bishawab.

 

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Motivasi

Buat Para Wanita; Awas Bidadari Marah Padamu

Menyakiti suami dan berperilaku buruk kepadanya merupakan dosa yang harus dijauhi oleh para istri. Karena, hal itu bisa menimbulkan dampak negatif yang sangat merusak, baik berkaitan dengan masa depan kehidupan rumah tangga, maupun masa depan ‘kepribadian’ kedua pasangan. Berapa banyak kemaksiatan dan kasus-kasus perselingkuhan yang membelit kehidupan suami-istri, karena salah satu pihak atau keduanya merasa pasangannya tak lagi mampu memberikan ‘keteduhan’?

 

Protes Sang Bidadari

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasul SAW bersabda, “Aku telah melihat neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita.” Seorang perempuan bertanya, “Wahai Rasul, ada apa gerangan dengan kaum wanita?” Beliau bersabda, “Mereka mengkufuri.” Dikatakan, “Apakah mengkufuri Allah?” Beliau bersabda, “Mengkufuri suami dan banyak melaknat. Apabila kalian (para suami) berbuat baik kepada salah seorang dari mereka seumur hidup, lalu ia melihatmu berbuat satu kesalahan, maka ia akan berkata, ‘Aku tak pernah melihat kebaikan pada dirimu sama sekali’.”

 

Baca Juga: Kabar Gembira Untuk Para wanita

 

Mengkufuri suami dan tidak berterima kasih kepada kebaikannya merupakan salah satu tindakan ‘menyakiti suami’. Dan, hal itu termasuk salah satu faktor yang dapat menjerumuskan para istri ke dalam kobaran api neraka. Wal ‘iyadzu billah.

Bahkan, para bidadari surga pun akan murka kepada seorang istri yang suka menyakiti suaminya. Rasul n bersabda:

 

لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا، إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ : لاَ تُؤْذِيْهِ، قَاتَلَكِ اللهُ، فَإِنَّمَا هُوَ دَخِيْلٌ عِنْدَكَ، يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا

Tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia melainkan istrinya dari kalangan bidadari yang bermata jeli akan berkata, ‘Jangan kau sakiti dia. Semoga Allah membinasakanmu. Sesungguhnya dia di sisimu tak ubahnya seperti orang singgah, yang hampir meninggalkanmu menuju kepada kami’.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, serta dishohihkan oleh Al-Albani)

Wahai Saudariku! Bisa jadi, engkau saat ini bukanlah istri yang hakiki bagi suamimu di dunia ini. Maka, para bidadari pun berujar, “Suamimu laksana tamu bagimu, dan engkau bukanlah istrinya yang hakiki. Sungguh, kamilah istrinya yang sebenarnya. Dia akan segera berpisah denganmu dan berjumpa dengan kami!” Para bidadari itu memprotes keras seorang istri yang suka menyakiti suaminya, “Jangan sakiti ‘suamiku’. Semoga Allah melaknatmu.” (Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jami’it Tirmidzi).

 

Jangan Sakiti Dia!

Terdapat beberapa perilaku dan sikap yang harus dihindari oleh para istri, karena itu bisa memercikkan lelatu kesengsaraan dalam kehidupan rumah tangganya. Antara lain bisa menyebabkan suaminya ‘tersakiti’, baik tersakiti hatinya maupun jasmaninya. Sudah pasti, bahwa sesuatu yang dilarang dalam Islam, tentu memiliki ‘bom keburukan’ yang siap meledak dan merusak tatanan kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan keluarga. Hindarilah dosa-dosa berikut ini, wahai para istri!

Pertama,

Menentang dan membantah suami (nusyuz). Yakni istri tidak menaati perintah suami, padahal suaminya tidak menyuruhnya untuk bermaksiat kepada Allah. Nusyûz artinya adalah ‘naik atau tinggi’. Nusyûz az-zaujah, berarti meningginya istri dari suami, dengan mengabaikan perintahnya dan berpaling darinya. Berbuat nusyuz kepada suami berarti telah berbuat durhaka dan menyakiti hatinya. Rasul n menegaskan pentingnya ketaatan istri kepada suami, hingga beliau bersabda, “Jikalau aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, maka benar-benar akan aku perintahkan istri untuk bersujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi)

Kedua,

Kebutuhan biologisnya ‘terhujat’. Yakni istri enggan melayani keinginan suami untuk berjimak, sehingga kebutuhan biologis suami tak mampu tersalurkan. Hal ini jelas sangat menyakitkan hati suami, dan sangat berpotensi merusak keharmonisan kehidupan rumah tangga. Rasul n bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang lelaki mengajak istrinya ke ranjang, lalu si istri menolaknya, hingga ia bermalam dalam keadaan marah, niscaya para malaikat akan melaknat si istri tersebut hingga pagi tiba.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Baca Juga: Bila Wanita Melamar Pria

 

Ketiga,

Meminta talak tanpa sebab. Istri yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan syara’ berarti telah memutuskan tali pernikahan yang agung. Dan itu terlarang dalam Islam. Disebutkan dalam hadits, “Wanita mana saja yang meminta talak kepada suaminya, maka ia haram mencium aroma surga.” (HR. Ashabus Sunan dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Keempat,

Berkhalwat dengan lelaki yang bukan mahram. Berapa banyak bermula dari ‘lezatnya’ khalwat, hingga akhirnya banyak istri yang terjerumus ke dalam perbuatan terlaknat? Yakni selingkuh, menjalin hubungan asmara dengan lelaki lain. Na’udzubillah. Betapa tersakitinya hati suami, melihat istrinya ‘berkhianat’ kepadanya. Rasul SAW bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikian juga, termasuk perbuatan menyakiti suami, jika istri suka menyebarkan rahasia suaminya, dan membelanjakan harta suami secara tidak benar. Sungguh, Allah akan melaknat istri yang berbuat zhalim kepada suaminya. Sebagaimana juga ‘doa kemurkaan’ akan meluncur dahsyat dari bibir para bidadari yang bermata jeli sebagai sebuah bentuk protes abadi, “Jangan sakiti ‘suamiku’. Semoga Allah membinasakanmu!” Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Oleh: Redaksi/Wanita/Keluarga

 

 

Milikilah Rasa Cemburu

Pagi itu, sepasang suami istri turun dari motornya dipelataran sebuah mall yang cukup besar. Sang istri meraih tangan suaminya dan mencium punggung tangan suaminya. Mesra sekali. Sang istri kemudian masuk ke dalam mall sementara sang suami pergi, mungkin pulang ke rumahnya. Saya lupakan kejadian itu, tapi sekilas kemudian saya berpikir, tidak kah sang suami tadi cemburu melepaskan sang istri bekerja bahkan mengantarnya dari rumah menuju tempat kerjanya sementara tampak riasan tebal dengan beraneka polesan make-up di wajah istrinya. Pakaiannya pun ‘sekadarnya’ dengan menampakkan aurat di sana-sini yang mestinya hanya dimiliki oleh suami. Sudah pudarkah rasa cemburu dari diri suami hingga rela melepaskan istri dalam kondisi seperti tadi.

Ketika cemburu sirna, keruntuhan akhlak akan menimpa. Ketika suami tak lagi memiliki cemburu terhadap istrinya maka tak ada alasan baginya untuk menjaga istrinya dengan baik. Menjaganya dalam istana yang mulia agar tidak terjamah tatapan mata dan sentuhan tangan yang tak memiliki hak atasnya. Rasa cemburulah yang dapat mendorong suami untuk menjaga istrinya agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang Allah.

Cemburu Itu Perlu

Dalam Islam suami dituntut untuk memiliki rasa cemburu kepada istrinya, sehingga ia tidak menghadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan mengeluarkannya dari kemuliaan.

Saad bin ‘Ubadah radhiallahu ‘anhu pernah berkata dalam mengungkapkan kecemburuan terhadap istrinya, “Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang (yang dimaksud bagian yang tajam, red.)…”

Nabi kemudian bersabda,“Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa’d, dan Allah lebih cemburu dariku.” (Sahih, HR. Bukhari dan Muslim).

Asma’ bintu Abi Bakr ash-Shiddiq bertutur tentang dirinya dan kecemburuan suaminya,

“Az-Zubair menikahiku dalam keadaan ia tidak memiliki harta dan tidak memiliki budak. Ia tidak memiliki apa-apa kecuali hanya seekor unta dan seekor kuda. Akulah yang memberi makan dan minum kudanya. Aku yang menimbakan air untuknya dan mengadon tepung untuk membuat kue. Karena aku tidak pandai membuat kue maka tetangga-tetanggaku dari kalangan Anshar-lah yang membuatkannya. Mereka adalah wanita-wanita yang jujur. Aku yang memikul biji-bijian di atas kepalaku dari tanah milik az-Zubair yang diserahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bagiannya. Jarak tempat tinggalku dengan tanah tersebut 2/3 farsakh.

Baca Juga: Doa Untuk Keshalihan Keluarga

Suatu hari aku datang dari tanah az-Zubair dengan memikul biji-bijian di atas kepalaku, maka aku bertemu dengan Rasulullah beserta sekelompok orang dari kalangan Anshar. Beliau memanggilku, kemudian menderumkan untanya agar aku naik ke atasnya.
Namun aku malu untuk berjalan bersama para lelaki dan aku teringat dengan az-Zubair dan kecemburuannya, sementara dia adalah orang yang sangat pencemburu
.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa aku malu maka beliau pun berlalu. Aku kembali berjalan hingga menemui az-Zubair. Lalu kuceritakan kepadanya, ‘Tadi aku berjumpa dengan Rasulullah dalam keadaan aku sedang memikul biji-bijian di atas kepalaku, ketika itu beliau disertai oleh beberapa orang sahabatnya. Beliau menderumkan untanya agar aku dapat menaikinya, namun aku malu dan aku tahu kecemburuanmu’.” (Sahih, HR. Bukhari dan Muslim).

Demikianlah cemburunya orang-orang mulia. Cemburu bukan berarti posesif dan selalu berprasangka buruk kepada istri. Sehingga ia harus selalu mengunci pintu saat pergi dan meninggalkan istrinya di dalam rumah. Sebab istri shalihah tahu batas hak dan kewajibannya sehingga dia akan menjaga harga dirinya dan suaminya.

Bahkan Allah Pun Cemburu

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam ad-Da’ wa Dawa menuturkan bahwa bara dan panasnya cemburu akan menyaring kejelekan dan sifat tercela, sebagaimana emas dan perak dibersihkan dari kotoran yang mencampurinya. Orang-orang mulia dan tinggi harga dirinya pasti memiliki cemburu yang besar terhadap dirinya dan orang-orang yang dekat dengannya, juga terhadap orang lain secara umum. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memiliki rasa cemburu terhadap umatnya. Dan cemburunya Allah ‘azza wa jalla lebih dibanding beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ أَحَدَ أَغْيَرَ مِنَ اللهِ، وَلِذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ ما ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ

“Tidak ada satu pun yang lebih cemburu daripada Allah. Karena cemburu-Nya inilah Dia mengharamkan perbuatan keji baik yang tampak maupun yang tersembunyi.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5220 dan Muslim no. 2760)

Hilangnya Cemburu

Dari paparan Ibnu Qayim diatas, kita bisa mengetahui bahwa barangsiapa mengabaikan sifat cemburu maka ia hidup dengan hati yang rusak dan melenceng dari fitrahnya. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada ad-dayyuts pada hari kiamat, dan tidak akan memasukkannya ke dalam surga.”

Siapakah ad-Dayyuts? Dayuts adalah seorang suami yang tidak memiliki sifat cemburu dan membiarkan isterinya berbuat maksiat. Dan sebaliknya, suami yang terlalu berlebihan rasa cemburunya akan hidup sengsara dan tersiksa, bahkan jarang seorang istri yang mampu hidup lama dengannya, karena selalu merasa diawasi dan merasa tertekan.

Baca Juga: Istri Shalihah Pendukung Dakwah

Cemburu yang tepat akan membawa dampak positif, terpeliharanya harga diri, kehormatan dan tercapainya kehidupan yang berbahagia. Tanpa rasa cemburu akan membawa malapetaka bagi kehidupan rumah tangga.

Peradaban barat yang dapat dengan mudah kita saksikan di televisi banyak dipahami oleh masyarakat sebagai ukuran kemajuan dan keterbukaan. Masyarakatpun mengadopsi budaya tersebut sedikit demi sedikit. Tak jarang seorang suami justru bangga saat kecantikan istrinya bisa dinikmati orang banyak. Alangkah kacaunya rumahtangga saat cemburu tak lagi ada. Wallahu a’lam. (Redaksi/Keluarga/Nikah)

 

Tema Terkait: Pasutri, Keluarga, Fikih Nikah