Menikah Lagi Sebelum Resmi Cerai

Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Ustadz yang saya hormati, saudara laki-laki saya saat ini dekat dengan seorang wanita. Tampaknya hubungan mereka serius dan mengarah kepada pernikahan. Secara pribadi saya setuju saja, hanya saja ada satu masalah yang mengganjal, yaitu wanita itu berstatus istri orang yang belum memiliki surat cerai yang sah menurut negara. Mereka sudah berpisah selama satu tahun lebih, dan kabarnya sudah ada perceraian secara lisan dari si suami.

Bagaimana hukumnya jika pernikahan saudara saya dilakukan sebelum wanita itu resmi
bercerai secara hukum? Dan bagaimana pula status wanita itu jika suaminya tidak mau mengurus surat cerai di Pengadilan Agama?
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Hamba Allah

Wa’alaikum salam warahmatullahi wa barakatuh
Hamba Allah yang baik, di antara wanita yang haram dinikahi oleh laki-laki muslim adalah wanita yang masih memiliki suami, yaitu yang belum diceraikan secara syar’i oleh suaminya. Sedang masalah suami istri yang sudah tidak seranjang, tidak cinta lagi, bahkan tidak ada nafkah yang diberikan suami, hal-hal itu tidak ada kaitannya dengan perceraian secara syar’i.

Hamba Allah yang budiman, di dalam syariat Islam, perceraian itu hanya terjadi jika suami menjatuhkan lafazh cerai, baik yang sharih atau jelas maknanya dan tidak bisa ditafsirkan dengan arti yang lain, maupun yang kinayah atau ghairu sharih, yaitu kalimat cerai yang menggunakan bahasa simbolis, atau ungkapan multi tafsir namun disertai niat cerai oleh suami.

Satu lagi yang harus difahami adalah setelah jatuhnya cerai oleh suami kepada istrinya, maka si istri masih harus menjalani masa iddah agar dirinya halal untuk menikah lagi dengan orang lain. Adapun lamanya masa iddah bukan berdasarkan hari, minggu atau bulan, melainkan berdasarkan hitungan lama masa haidh dan lama masa suci dari haidh, yaitu 3 kali.

Dan jika selesainya masa iddah tidak ndisertai rujuknya mereka berdua, maka secara syariat, wanita tersebut halal untuk menikah dengan orang lain, dan jika ingin rujuk dengan suami pertama maka harus dengan akad nikah lagi, beserta syarat-syaratnya.

Kalau benar si suami wanita itu pernah mengucapkan cerai secara lisan dan masa iddah sudah berlalu tanpa rujuknya mereka berdua, maka sah dan halal, insyaallah pernikahan saudara laki-laki Anda dengan wanita itu. Namun alangkah baiknya jika suami wanita itu diminta untuk mengurus perceraian mereka di Pengadilan Agama, atau saudara Anda yang membantu pengurusan surat-suratnya. Agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan di kemudian hari.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Anugerah Terindah

Aku berdiri di depan murid-muridku, mengajarkan pelajaran agama. Ini adalah pekerjaan pertamaku yang alhamdulillah Allah mudahkan untuk mendapatkannya, usai pendidikan di bangku kuliah. Bidang yang memang sesuai dengan jurusanku.

 Setelah melewati masa beberapa bulan mengajar agama Islam, ada rasa ketidaknyamanan dalam diriku. Bukannya tidak nyaman dengan pekerjaan yang mulia ini, bukan pula tidak nyaman karena mengajarkan materi agama yang subhanallah sekaligus sebagai dakwah yang merupakan sebaik-baik perkataan. Justru ketidaknyamananku dikarenakan aku yang sebagai guru agama, akan tetapi minim sekali pengetahuan agama dan bahasa Arabnya.

Akhirnya, aku memutuskan untuk menambah pengetahuanku dengan belajar lagi, terutama orientasiku adalah bisa membaca kitab gundul. Pekerjaan aku lepaskan, demi menggapai dorongan jiwa. Demi ilmu, aku rela menempuh onak durinya, meski usia sudah tak muda lagi.

Aku menyiapkan segala keperluanku untuk keberangkatanku ke tempat menuntut ilmu, yaitu disebuah pondok pesantren di Jawa. Mudah saja bagiku untuk langsung menentukan tujuan di manakah tempat aku harus mondok, karena memang sebelumnya aku sudah pernah survey ke tempat tersebut bersama seorang teman yang merupakan alumninya, dan dia pula yang menjadi perantara aku untuk bisa  sampai dan berada dalam pengembaraan suci untuk menuntut ilmu di pondok tersebut.

Begitu memasuki gerbang pondok, aku langsung disambut dengan senyum ramah dan jabat tangan erat serta  hangat dari para penghuninya. Ucapan salam bertebaran dari lisan mereka. Subhanallah, pikirku, ini hal yang baru bagiku, nuansa berbeda aku rasakan. Ternyata ini kebiasaan pondok, selalu menyebar salam dan menjabat tangan setiap kali bertemu dengan sesama saudaranya muslim, entah itu santri maupun ustadz ataupun orang lain yang datang bertamu. Bagiku sih, ketika dulu aku di luar aku juga biasa mengucap salam atau berjabat tangan, tapi itu hanya sesekali atau kadang kalau lagi suka saja, tidak seperti yang dijalankan di pondok ini.

Kali pertamannya aku canggung harus mengucap salam dan menyalami setiap orang yang aku bertemu dengannya. Kenapa sih harus berlaku seperti ini? Kepada saudara muslim yang kita bertemu dengannya kita mengucapkan salam dan tasofah (berjabat tangan). Tapi lama-lama akhirnya aku terbiasa juga.  Seiring waktu, aku semakin mengerti. Ternyata ini bukanlah sekedar kebiasaan yang biasa saja. Ini adalah sunnah Nabi shallahu’alaihiwasalam yang banyak dilupakan. Mengucap salam adalah doa dan berjabat tangan akan menggugurkan dosa-dosa, menyatukan hati yang renggang dan menumbuhkan rasa kasih sayang di dalam jiwa kaum muslimin. Subhanaallah, betapa agungnya syariat-Mu. Aku tergugu menyadarinya.

Apabila malam tiba, rata-rata santri hanya tidur beralaskan matras, selembar sarung atau sajadah. Kesenangan nikmatnya tidur di atas kasur ditinggalkan. Bukannya tidak boleh, iklim yang tercipta untuk hidup apa adanya, “memaksa” semua penghuninya untuk tidak memiliki gaya hidup yang berbeda, agar tidak tercipta jarak antara golongan yang berpunya dan yang biasa. Pembelajaran yang sempurna, metode pendidikan yang datangnya dari mana lagi kalau bukan dari Islam.

Demikian juga yang menyangkut dengan persoalan makan. Kesederhanaan betul-betul ditonjolkan. Kesederhanaan itulah yang kurasakan ingin diterapkan kepada santri, agar mereka menjadi pribadi yang tidak rakus dan bisa melewati hari-hari dengan selalu penuh syukur, seberapa pun nikmat yang diterima. Maka istilah makan dengan “sate” tidaklah asing bagi santri. Sate yaitu sayur terong. Menu lain yang kerap menjadi hidangan sehari-hari yaitu goreng tempe, tahu, mie, sayur kangkung, kubis, berputar seputar itu saja dengan di masak begitu sederhana. Meski makan dengan kesederhanaan, namun terasa berkah. Buktinya, makan nasi putih dengan garam saja dilidah rasanya tetap saja sedap, sementara menu yang enak-enak di rumah, tidak terlalu berselera seperti waktu di pondok. Kenangan makan berjamaah di pondok dengan duduk nyunnahnya tetap tidak terlupakan. It is sweet memory!

Selain semua hal luar biasa itu, tentunya pelajaran agama yang lebih mendalam serta pelajaran bahasa Arab juga didapatkan. Di pesantren, Bahasa Arab berusaha dijadikan bahasa keseharian, selain bahasa pelajaran.

Dua tahun di pondok akhirnya kelar juga. Ada perasaan kehilangan sewaktu tapak-tapak kaki beranjak melangkah meninggalkan pondok yang penuh kenangan, yang telah memberikan pembelajaran yang begitu bernilai. Terima kasih dari diri yang terdalam kepadamu wahai para ustadz, jasamu abadi sampai ke akhirat, insyaallah. Dan untuk teman-teman, perjuangan tak mengenal ujung, sehingga senyum bidadari siramkan kebahagiaan. Tatkala Islam telah dikecap dari sumbernya, saat itulah kita telah meraih dan merasakan  anugerah terindah dalam hidup. Percayalah! (M. Wahyudin, Pembuang Hulu, Kalimantan)