Dakwah Ala Total Football

Pembahasan ini perlu saya angkat ke permukaan, karena sangat penting dan sangat genting. Sepenting apa dan segenting apa? Hal ini tentu saja ukurannya bisa sangat berbeda. Penting karena ini menyangkut kepentingan dakwah itu sendiri. Bagaimana dia bisa bertahan, berkembang dan melakukan banyak hal. Genting karena tuntutan tantangan zaman membuat kita harus terus menyesuaikan diri dengan keadaan.

Bukan Konten Tapi Konteks

Konten yang dibawa dalam dakwah selamanya akan sama. Yakni mengajak kepada kebenaran dan kebaikan. Bagaimana manusia kembali kepada Allah. Sehingga kalimat Allah menjadi tinggi di muka bumi.

Allah berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَـٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ 

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Ilah (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian” (QS. Al-Anbiya: 25).

Semua rasul yang diutus oleh Allah tugasnya adalah mengajak kepada tauhid. Konten ini harus terus dijaga dengan baik. Tidak boleh melenceng dari apa yang menjadi amanah dakwah ini.

Allah berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّـهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut’” (QS. An-Nahl: 36).

Konten ini lah yang akan terus dipegang teguh. Karena apa apa yang kita sampaikan kepada umat selalunya pada ajakan untuk tauhid. Menjadikan Allah sebagainya satu satunya tujuan dan bukan kepada yang lain.

Tetapi perkembangan zaman sudah mulai berubah. Masyarakat sudah sangat terikat dengan hape dan android. Kebutuhkan mereka akan informasi sangat tinggi. Sehingga dibutuhkan pendekataan konteks yang agak berbeda.

Baca Juga: Istri Shalihah pendukung Dakwah

Produsen ponsel terkemuka sempat mengadakan penelitian kecil-kecilan tentang dampak gadget bagi kehidupan.

Rata-rata orang memeriksa ponsel mereka setiap enam setengah menit. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Nokia, seperti yang dikutip Huffington Post terungkap bahwa dalam waktu 16 jam, dimana orang beraktivitas, mereka  memeriksa ponsel rata-rata 150 kali per hari.

Studi Nokia menemukan, satu dari empat orang mengakui menghabiskan lebih banyak waktu online setiap hari daripada tidur.

Menurut survei terhadap lebih dari 1.500 orang dewasa oleh OnePoll, orang Inggris menghabiskan sekitar 62 juta jam setiap hari di media sosial.

Survei yang sama menemukan, lebih dari seperempat (26 persen) dari wanita di Inggris memeriksa Facebook setidaknya 10 kali sehari, sementara satu dari lima laki-laki (18 persen) memeriksa Facebook 10 kali sehari.

Kecanduan Twitter dan Facebook lebih besar daripada merokok. Sebuah studi yang dilakukan oleh ECigaretteDirect.co.uk menanyai lebih dari 700 orang tentang aspek kecanduan mereka terhadap teknologi dan sebagian besar mengaku ingin berhenti dari kecanduan teknologi.

Hampir 70 persen anak berpikir bahwa orang tua mereka menghabiskan terlalu banyak waktu untuk ponsel, iPad atau perangkat lain yang sejenis. Sebuah studi yang dilakukan oleh Opinion Matters menemukan, lebih dari sepertiga anak khawatir orang tua mereka tidak mampu mematikan kecanduan mereka terhadap teknologi.

Menurut laporan pemerintah, proporsi anak muda bermain game komputer selama dua jam atau lebih malam selama seminggu di Inggris meningkat dari 42 persen menjadi 55 persen di antara anak laki-laki, dan 14 – 20 persen di antara anak-anak perempuan pada rentang waktu 2006 dan 2010.

Kondisi ini jelas membuat kita perlu membuat terobosan mekanisme dakwah yang sesuai dengan zamannya. Orang tidak lagi konvensional. Tetapi orang sudah mulai sangat lekat dengan teknologi. Para dai harus menemukan pendekatan pendekatan yang baik kepada masyarakat.

Dakwah Total Football

Pernah denger istilah total footbal ya? Segala kekuatan dikerahkan, segala lini dimainkan. Semua potensi dijadikan satu menjadi sebuah kekuatan. Semua bidang, semua wilayah digerakkan. Itulah gambaran apa yang disebut dengan total football itu.

Para dai sudah harus mulai memerhatikan soal bagaimana mengemas, bukan lagi hanya sekedar bagaimana memproduksi dakwah yang benar. Karena kemasan kemasan dakwah yang taktis bisa sangat efektif mendakwahi kalangan kalangan milenial. Tidak hanya bagaimana menghadirkan dalil, tetapi juga bagaimana dalil itu sampai kepada orang yang dituju.

Baca Juga: Dakwah Viral, Positifkah?

Karena dakwah tidak boleh asyik sendiri. Kita merasa sudah melakukan dakwah, tetapi ternyata sama sekali tidak menyentuh obyek dakwah. Kita bicara bukan pada ruang mereka. Kita asyik dengan diri kita sendiri tanpa pernah bisa menyentuh sisi mereka sebagai obyek dakwah. Sehingga tidak ada perubahan yang terjadi.

Dakwah yang ada di masjid-masjid harus mampu hadir di layar layar hape ummat Islam. Karena hampir semua waktu mereka habiskan untuk memandangi android android yang mereka miliki. Setiap saat menikmati apa apa yang nampak di sana. Tidak peduli apakah akan menyita waktu atau tidak. Tapi semua waktu hampir dihabiskan di depan layar-layar hapenya.

Itulah kenapa kemudian dakwah ini harus selalu melihat zamannya. Lalu dengan sekuat tenaga kita arahkan dakwah ini menjadi sebuah pengubah yang sangat siginfikan. Tidak kaku dan tidak jumud (mati). Tetapi terus melakukan perubahan perubahan dengan tidak melanggar syariat yang sudah ditentukan.

 

Oleh: Ust. Burhan Shadiq/Metode Dakwah

 

Dakwah Viral, Positifkah?

Dunia dakwah kita dikejutkan dengan beberapa fenomena menarik. Beberapa ustadz muda tersandung kalimat yang tidak mengenakkan hati ummat. Mereka pada akhirnya minta maaf dan kemudian umat pun memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.

Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya adalah ketimpangan antara teks dan konteks. Di saat teks berdiri sendiri tanpa konteks maka teks akan mudah disalahpahami. Sementara jika orang hanya melihat pada teksnya saja, mereka akan selalu mudah untuk memvonis hal hal yang mereka tidak ketahui.

Saat seorang dai berceramah dengan metode live, lalu dengan metode ini dakwahnya langsung bisa dinikmati melalu saluran internet, tentu saja para pemirsa online ini tidak secara menyeluruh mengetahui bagaimana konteks itu dibangun. Mereka tidak mengikuti dari awal. Mereka hanya menyimak potongan-potongan video saja. Alhasil mudah sekali bagi mereka untuk mengambil kesimpulan yang keliru.

Tak dapat dipungkiri akhirnya sering muncul salah sikap yang berlebihan. Apalagi jika sang dai memang selama ini ditunggu tunggu kesalahannya. Sehingga saat sang dai melakukan kesalahan, pihak pihak yang tidak suka dengan sangat mudah melakukan sebuah penyerangan.

majalah ar-risalah, ustadz viral
Ustadz Hanan at-Taqi, salah satu ustadz viral di kalangan anak muda

Dakwah Online

Satu sisi memang dakwah online adalah sebuah kebutuhan. Namun di sisi lain para dai harus berhati-hati dengan fenomena ini. Konten yang disampaikan di sebuah masjid dengan pendengar terbatas, tentu sangat berbeda dengan konten yang disebarluaskan secara massif. Apa apa yang disampaikan di dalam masjid tentu saja aman karena tidak tersebar secara bebas. Selain itu juga sangat minim untuk berpeluang disalahpahami. Sedangkan ketika konten dakwah itu keluar masjid dan disebarluaskan tanpa editing, maka penyebutan nama dan yang lainnya bisa menyentuh ranah pelanggaran hukum.

Minimal ketika ada pihak-pihak yang tidak suka, mereka dengan mudah melakukan penyerangan terhadap sosok dai tersebut. Penyerangan yang terjadi bisa dalam bentuk pemberian gelar gelar yang buruk yang tidak produktif untuk keberlangsungan dakwah islam.

Maka ke depan perlu ditata ulang bagaimana mekanisme dakwah via online. Jangan sampai semangat dalam dakwah online membuat para dai lengah dan tidak mempersiapkan diri dengan baik. Memviralkan video itu baik, tetapi juga video yang diviralkan tidak disertai dengan pemahaman akan resiko dan yang lainnya, maka akan menumbuhkan persoalan yang baru.

Setiap dai harus sadar sesadar-sadarnya bahwa ketika mereka berdakwah via online, akan ada banyak orang yang mendengar ucapannya. Akan ada banyak pihak yang mungkin terkena dakwahnya. Sehingga reaksi akan mungkin sangat muncul setelah dakwah disampaikan. Jika para dai sudah mengukur resiko itu maka tidak akan menjadi masalah. Namun, jika ternyata para dai tidak memahami resiko tersebut, dan justru malah memilih serampangan dalam dakwahnya, maka hal ini tentu saja menimbulkan masalah-masalah baru.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf: 18).

Kecepatan viral sebuah konten dakwah akan berpengaruh pada sikap masyarakat terhadap dakwah itu sendiri. Jika dai dalam berdakwah melalui dunia maya hanya mementingkan faktor popularitas, maka ini merupakan sebuah tujuan yang salah. Apalagi saat ini banyak dai yang sangat melek dalam dunia medsos. Mereka satu sisi ingin konten dakwah mereka diterima secara luas. Tapi sisi lain mereka harus berani melawan keinginan nafsu mereka untuk terkenal.

Maka ada beberapa dai yang sangat serius menggarap konten dakwahnya dengan memilih tema-tema yang sedang hangat di masyarakat. Bahkan tidak jarang mereka memilih menjadi dai yang penuh kontroversi. Sehingga dampaknya mereka menjadi mudah sekali dikenal dimasyarakat melalui video-video dakwahnya. Hal ini baik baik saja selama niatnya memang semata mata untuk dakwah. Maka setiap dai yang melakukan ini harus terus berupaya membersihkan hatinya dari niat niat yang tidak perlu.

Disaring Sebelum Disharing

Ada baiknya setiap lembaga dakwah memerhatikan soal editing dalam dakwahnya. Memerhatikan apakah jika konten dakwah itu disebar secara viral akan menyebabkan sebuah masalah ataukah tidak. Sebab, prinsip dakwah adalah menyampaikan kebenaran dan bukan mengolok-olok sebuah kesalahan. Jangan sampai kebenaran belum sempat tersampaikan, akan tetapi dakwah sudah terlanjur ditolak oleh pihak pihak lain.

Penyaringan konten dakwah juga dalam rangka untuk menjembatani ketimpangan antara teks dan konteks yang saya sebutkan di awal. Ketika orang hadir dalam majelis bersama dengan ustadz yang menyampaikan, tentu saja berbeda dengan orang yang hanya menyimak secara online. Mereka yang menyimak secara online tidak akan merasakan atmosfer kajian yang ada di masjid itu. Mereka tidak mendapatkan kehangatan dan semangat yang sama.

Lalu apa yang terjadi? Orang-orang yang berada dalam satu majelis bisa jadi merasakan bahwa kesalahan sang ustadz dalam ceramah adalah bagian dari bumbu retorika karena terbawa suasana. Sedangkan orang yang hanya menyimak via online memiliki semangat yang berbeda. Mereka menyimak bukan untuk mencari kebenaran, tetapi mencari kesalahan kesalahan yang mungkin saja dilakukan ustad tersebut.

Harapan ke depan dakwah kita semakin lama semakin banyak menjangkau berbagai kalangan. Tentu saja dengan meminimalkan masalah dan membesar maslahat yang ada. Karena jika yang dibesarkan adalah masalahnya, maka dakwah hanya akan jalan di tempat saja dan tidak ada progress yang berarti.

 

Oleh: Ust. Burhan Shadiq/Realitas