Persaingan Dakwah Islam VS Misi Kristen Portugis di Nusantara

J. O. Schrieke, ahli sosiologi Belanda terkemuka, menyatakan bahwa penyebaran Islam di kepulauan Nusantara mengalami percepatan pada abad 16 M sebagai kelanjutan persaingan antara Islam dan Kristen yang sudah berlangsung lama di Arab, Semenanjung Iberia, dan Eropa. Dengan meyakinkan, ia menulis, “Kita tidak mungkin dapat memahami penyebaran Islam di Nusantara tanpa melihat adanya persaingan antara para pedagang Muslim dengan Portugis.” (Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia, Jilid 2, hlm. 318)

 

Pro Kontra Teori Persaingan

Schrieke berpendapat bahwa teori umum tentang Islamisasi Nusantara gagal memberikan penjelasan yang mencukupi mengapa terdapat sedikit sekali kemajuan yang dicapai Islam sebelum abad 16, sementara setelah itu agama ini berkembang sangat pesat. (hlm. 318) Merujuk pada teori umum tersebut, Islam menyebar di tengah masyarakat melalui pernikahan antara pedagang Islam dengan wanita pribumi, kemudian menembus ke lingkaran para pemimpin dan pangeran, dan secara bertahap menjadi agama yang umum ada di seluruh kalangan.

Menurut Schrieke, suatu hal yang musykil bahwa Islamisasi di Nusantara terjadi hanya dan terutama karena pernikahan yang dilakukan sekelompok orang asing yang jumlahnya sangat kecil. Mereka berdiam hanya di beberapa tempat di pesisir, menikmati hak-hak istimewa, mengepalai kelompok mereka sendiri, dan berada di luar komunitas adat, serta kebanyakan mereka hanya tinggal sementara. Apalagi proses ini berjalan selama berabad-abad. (hlm. 315-316)

Sejak Schrieke mengemukakan teorinya, beberapa ilmuwan memberikan tanggapan. Ada yang mendukung dan ada pula yang mengkritiknya. Di antara pendukung Schrieke adalah W. F. Wertheim. Dalam bukunya, Masyarakat Indonesia dalam Transisi, Wertheim menulis bahwa ekspansi Islam di kepulauan Nusantara adalah akibat adanya orang Barat. Kedatangan orang Portugis terutama mendorong sekian banyak raja di Nusantara untuk menganut iman Islam sebagai gerakan politik untuk melawan penetrasi Kristen. (hlm. 153-154)

Baca Juga: Strategi Portugis Melumpuhkan Islam di Nusantara

Pendukung teori Schrieke lainnya adalah Anthony Reid. Ia menyatakan bahwa pada 1540-1600 terjadi polarisasi (pertentangan) antara Islam dan Kristen. Banyak orang di kota maupun desa beralih ke Islam dan menganggap dirinya bagian dari suatu komunitas Islam internasional. Identifikasi yang eksplisit ini terutama disebabkan oleh dua faktor: 1) hubungan pelayaran yang langsung dan padat antara Asia Tenggara dan laut Merah, dan 2) polarisasi yang meningkat antara Darul Islam dan musuh-musuhnya. (Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, Jilid 2, hlm. 169)

Dari pihak pengkritik antara lain adalah Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Ia menolak teori Schrieke tadi. Menurutnya, Islam tidak menganggap agama Kristen sebagai pesaing yang serius di Nusantara. Agama Kristen  baru memberi pengaruh pada abad 19 dan seterusnya. (Preliminary Statement on A General Theory of The Islamization of The Malay-Indonesian Archilepago, hlm. 31)

 

Wujud Persaingan

Terlepas dari pro dan kontra tentang teori Schrieke di atas, persaingan antara dakwah Islam dan misi Kristen memang merupakan fakta tak terbantahkan dalam sejarah Nusantara. Adanya persaingan yang oleh Schrieke ditafsirkan telah mempercepat penyebaran Islam di negeri ini bukan berarti orang Kristen Barat (Portugis) turut berjasa bagi usaha dakwah di Nusantara. Sejak pertama datang, Portugis telah membawa motif menyebarkan agama Kristen Katolik dan menaklukkan Islam. Dengan motif ini, tidak mungkin Portugis secara sengaja dan terencana membantu penyebaran Islam sehingga bisa dikatakan berjasa.

Sebelum Portugis datang, para pedagang Muslim telah berhasil membangun jaringan dakwah antarpulau di Nusantara. Jaringan dakwah yang semula hanya menyentuh daerah pesisir ini kemudian dilanjutkan oleh orang-orang Muslim pribumi ke daerah pedalaman. Proses Islamisasi itu terus bergerak bahkan hingga setelah Portugis meninggalkan Nusantara. Islam sendiri merupakan kekuatan antipenjajah. Kekuatan inilah yang mendorong umatnya untuk merespons kedatangan penjajah Portugis. Respons tersebut bisa berupa respons politik, ekonomi, militer maupun dakwah. Jadi, adanya percepatan penyebaran Islam di Nusantara pada abad 16 adalah imbas yang tidak pernah disengaja oleh Portugis.

Baca Juga: Citra Pribumi di Mata Penjajah Portugis

Sejak penaklukan Malaka pada 1511 dan seterusnya, Portugis menjadikan Nusantara sebagai medan perangnya melawan Islam dan para pedagang Muslim. Berbagai penaklukan mereka dibarengi kegiatan misionaris yang bersemangat. Hal ini membuat lawan mereka bertindak untuk membalasnya. Para pedagang yang terusir dari Malaka kemudian berdiam di Aceh. Setelah pertengahan abad 16, daerah ini menjadi pusat transit terpenting bagi perdagangan di Asia Barat dan negeri-negeri Islam di India dengan Nusantara. Islam mendapatkan simpati dan tersebar dengan sukses di Sumatra. Sebaliknya, Portugis selalu gagal menancapkan pengaruhnya di pulau ini.

Di wilayah timur Nusantara terdapat persaingan antara Islam dan Kristen yang tampak pada perebutan supremasi antara Portugis dengan para pangeran Muslim di Solor, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Ambon, Morotai, Banda, Seram, Guinea Baru, dan seterusnya. Portugis berusaha meluaskan kekuasaannya dengan mengkristenkan penduduk pribumi, sementara para pangeran daerah di sana berusaha memperkuat kedudukan mereka dengan menyebarkan Islam. (Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia, Jilid 2, hlm. 321-323)

Sejak 1550-an pertikaian antara Islam dan Kristen di Ambon dan sekitarnya kian tajam sehingga banyak menghambat laju perkembangan misi Kristen. Meningkatnya pertikaian itu tak lepas dari usaha Sultan Hairun dari Ternate untuk mengintensifkan penyebaran Islam di Ambon dan sekitarnya. Berbagai tindakan curang pihak Portugis sejak pertengahan 1540-an hingga 1557 dan semakin banyaknya kerajaan di Maluku yang bersekutu dengan Portugis, membuat Hairun semakin kehilangan kepercayaan terhadap Portugis dan kian bersikap anti-Kristen. Pada 1558 Sultan Hairun mengirim pasukan untuk menyerang Pulau Buru dan Ambon. Pasukannya memaksa banyak orang Kristen untuk meninggalkan agamanya. (Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam, hlm. 36)

Oleh:  Ust. M. Isa Anshari/Sejarah Islam Indonesia

Strategi Portugis Melumpuhkan Islam Di Nusantara

Ekspansi Portugis ke Nusantara pada abad 16 diwarnai oleh semangat anti-Islam. Sebab, Semenanjung Iberia –negeri mereka– pernah dikuasai oleh pemerintahan Muslim (711-1492). Dengan semangat ini, armada Portugis menjelajahi Laut Merah, Laut Arab dan Samudra Hindia untuk mengkristenkan umat Islam dan melakukan perdagangan. Untuk itu, Pulau Socotra di Selat Aden direbut pada 1505. Pada 1507, Hormuz, salah satu pusat perdagangan di Teluk Persia, juga ditaklukkan. Agar bisa menaklukkan Jeddah, sebuah armada laut Mamluk dihancurkan di Laut Merah pada 1509.

 

Mengkristenkan Pribumi

Pada 1500 dibentuk suatu komite bernama komite Cabral. Komite ini bertugas memberikan informasi kepada penguasa Calicut tentang permusuhan Portugis terhadap Muslim. Komite Cabral mengultimatum umat Islam bahwa Portugis merampas kapal dan harta umat Islam sebanyak mungkin. Jika umat Islam tidak bersedia murtad ke Kristen, mereka akan dihadapi dengan senapan dan pedang. Mereka akan diperangi tanpa kasih sayang.

Alfonso D’Albuquerque berencana membelokkan Sungai Nil untuk melumpuhkan Mesir, salah satu pusat perlawanan Islam. Selanjutnya Portugis akan menaklukkan Aden sehingga terbukalah jalan untuk menghancurkan Mekah untuk selamanya. Meksipun rencana itu tidak berhasil, permusuhan terhadap Islam tetap berlanjut. Mereka merampas dan membakar kapal dagang Muslim dan mengurangi impor Mesir dari Asia sehingga Gujarat dan Aden, dua pelabuhan dagang utama itu, mengalami kerugian.

Mesir sebenarnya sudah diminta untuk mencegah Kristenisasi Muslim secara paksa dan agar Portugis tidak menghalangi pelayaran ke India. Akan tetapi, Portugis rupanya telah bertekad untuk tetap menjalankan program Kristenisasi itu, sebagaimana disampaikan Raja Manuel kepada penguasa Calicut dalam suratnya, “…kami boleh percaya bahwa Tuhan kami tidak menakdirkan sesuatu yang menakjubkan seperti perjalanan kami ke India hanya untuk meningkatkan hubungan duniawi, tetapi juga untuk keuntungan spiritual dan keselamatan jiwa yang kami harus memberikan penghargaan yang lebih tinggi.” (B. J. O Schrieke, Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia, Jilid 1, hlm. 53-54)

Pada 1511 Portugis berhasil menaklukkan Malaka. Setelah peristiwa ini, datanglah kapal-kapal Portugis berikutnya. Orang Portugis yang datang itu membawa misionaris yang giat menyebarkan agama Kristen. Franciscus Xaverius, misionaris yang masyhur, sering mengunjungi Malaka. Gereja Kristen Roma segera berdiri. Jemaatnya tidak hanya terdiri dari orang Portugis, tetapi juga orang Indo-Portugis, India, dan Cina. Orang Melayu Islam dari semula susah menerima agama Kristen. Pada 1557 Malaka sudah menjadi tempat tinggal seorang uskup, tetapi jumlah orang Kristen hanya beberapa ratus. (J. D. Wolterbeek, Geredja-Geredja di Negeri-Negeri Tetangga Indonesia, hlm. 85)

Ekspansi misionaris Portugis kemudian berlanjut ke wilayah lain di Nusantara, seperti Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Di wilayah tersebut, misi Portugis bersaing dengan dakwah Islam. Kedatangan Portugis memang antara lain untuk membendung dakwah Islam. (Jan. S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, hlm. 40-46)

 

Membangun Koalisi Melawan Islam

Untuk menghadapi kekuatan Islam, Portugis sengaja membangun koalisi bersama pihak-pihak yang berseteru dengan umat Islam. Dalam pertarungannya melawan Turki Sunni, Portugis bersekutu dengan Persia Syiah. Upayanya untuk menghancurkan monopoli perdagangan dari para pedagang Muslim di pesisir India mendapat dukungan mayoritas penduduk Hindu. Orang Portugis menyediakan senjata api bagi para penguasa Hindu. Mereka mengimpor kuda dari Arabia dan Persia ke negara-negara di India bagian selatan. Di negara-negara tersebut, binatang-binatang ini tidak dikembangbiakkan walaupun sangat berguna bagi para penguasa Hindu untuk menghadapi ekspansi Muslim di daratan utama India. Oleh karena itu, para Maharaja menjadi bergantung pada orang asing.

Di wilayah Nusantara, orang Portugis juga berupaya menjalin hubungan erat dengan negara-negara Hindu Jawa. Mereka berupaya bersikap baik dengan para pedagang Hindu di wilayah ini. Hasilnya di pelabuhan laut Malaka, elemen Hindu memajukan permukiman Portugis. Setelah penaklukan, mereka menduduki posisi paling penting dalam kehidupan perniagaan di pelabuhan. (M.A.P. Meilink-Roelofsz, Persaingan Eropa dan Asia di Nusantara; Sejarah Perniagaan 1500-1630, hlm. 121-122)

Sejak dikudeta oleh Girindrawardhana pada 1478, hubungan penguasa Majapahit dengan umat Islam di Jawa menjadi buruk. Berbeda dengan raja-raja sebelumnya yang menghormati Islam, Girindrawardhana sangat membenci dan memusuhi Islam. Pada masa pemerintahannya (1478-1498) itulah terjadi perang pertama antara Demak dan Majapahit. (Solichin Salam, Sekitar Walisanga, hlm. 12)

[bs-quote quote=”Untuk menghadapi kekuatan Islam, Portugis sengaja membangun koalisi bersama pihak-pihak yang berseteru dengan umat Islam. Dalam pertarungannya melawan Turki Sunni, Portugis bersekutu dengan Persia Syiah. ” style=”default” align=”center” color=”#1872a5″][/bs-quote]

Raja berikutnya, Prabu Udara, tidak jauh berbeda dengan Girindrawardhana. Karena tidak senang melihat kemajuan Demak, pada 1512 ia mengirim utusan ke Malaka menghadap Albuquerque. Utusan ini menyerahkan hadiah berupa 20 buah gamelan kecil yang terbuat dari logam, 13 batang lembing dan lainnya. Maksud pengiriman utusan tadi adalah meminta bantuan Portugis guna memerangi kerajaan Islam Demak. Hal inilah yang memaksa Demak mengangkat senjata melawan Majapahit kedua kalinya pada 1517. (Solichin Salam, Sedjarah Islam di Djawa, hlm. 43 dan Saefuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, hlm. 331)

Pada 1522 panglima Portugis Henrique Leme mengadakan perjanjian persahabatan dengan raja Pajajaran. Raja Sunda ini menganggap Portugis dapat membantunya dalam perang melawan orang Islam yang di Jawa Tengah telah mengambil alih kekuasaan dari tangan raja Majapahit. Sebelum bantuan Portugis datang, Demak mengirim Sunan Gunung Jati pada 1525 untuk menduduki Banten. Dua tahun berikutnya, Sunda Kelapa berhasil diambil alih juga. Karena tidak tahu peristiwa ini, orang Portugis sempat datang ke Sunda Kelapa untuk mendirikan perkantoran berdasarkan perjanjian pada 1522. Oleh pasukan Sunan Gunung Jati, mereka ditolak dengan kekerasan senjata. (H. J. De Graaf, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, hlm. 134-135)

 

Kolom ini ditulis oleh: Ust. M. Isa Anshari/Sejarah Islam Indonesia