Hukum Wanita Karir

Pendahaluan.

Perkembangan teknologi dan perubahan sosial dunia modern telah mempengaruhi gaya hidup manusia, tidak terkecuali wanita. Hidup sukses dengan harta yang melimpah, hidup mandiri dan dihormati masyarakat merupakan impian wanita masa kini. Mereka mengejar impian itu melalui jalur pendidikan tinggi, agar setelahnya bisa mendapatkan pekerjaan yang prestise dengan gaji yang melimpah. Selain itu, wanita yang bekerja kadang didorong kebutuhan yang mendesak, karena penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Padahal wanita tidak bisa lepas dari predikat Ibu Rumah Tangga (IRT), yang mengharuskannya menyisihkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk melayanai keperluan suami dan pendidikan anak-anaknya. Tidak sedikit dari wanita karir yang belum bisa membagi waktunya untuk dua kewajiban tersebut, sehingga menyisakan banyak problematika keluarga, dan berdampak kepada perselisihan suami istri, dan tidak sedikit yang berakhir pada perceraian. 

Oleh karenanya, perlu penjelasan yang utuh tentang hukum wanita yang bekerja di luar rumah, atau yang lebih dikenal dengan wanita karir.

Pengertian Wanita Karir

Wanita Karir sebagaimana di dalam translate.com dan dictionary.cambridge adalah seseorang wanita yang menjadikan pekerjaan atau karirnya sebagai prioritas utama dibandingkan hal-hal lainnya. Sebagian wanita karir menghabiskan waktu dan kegiatannya dengan pekerjaannya, Penampilan dan fashion merupakan salah satu hal yang penting oleh seorang wanita, selain memberikan sebuah identitas, fashion juga menunjang untuk memikat daya tarik lawan jenis.

Hukum Wanita Karir

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berprofesi menjadi  wanita  karir :

Pendapat Pertama,

Seorang wanita tidak boleh berprofesi menjadi wanita karir. Ini berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut :

  • Pertama : Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

 Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. (Qs. al-Baqarah: 233)

Ayat diatas menunjukkan bahwa suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istri dan anak. Maka, istri tidak perlu bahkan tidak boleh keluar rumah untuk mencari nafkah karena segala kebutuhan sudah dipenuhi oleh suami.

  • Kedua : Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.“ (Qs. al-Ahzab: 33)

Ayat di atas menunjukkan bahwa wanita seharusnya di rumah mengurusi keperluan suami dan mendidik anak-anak, dan tidak  boleh keluar rumah untuk bekerja. Tabbaruj Jahiliyah menurut Mujahid dan Qatadah adalah seorang wanita dengan perhiasan dan dandanannya berjalan lenggak-lenggok di depan para laki-laki. ( Tafsir Ibnu Katsir: 6/410)   

  • Ketiga : Hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ ، وَكُلُّكُمْ مسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتهِ : الإمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، والرَّجُلُ رَاعٍ في أهْلِهِ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالمَرْأةُ رَاعِيَةٌ في بيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا ، وَالخَادِمُ رَاعٍ في مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

 “Masing-masing kalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Pimpinan negara adalah pemimpin, dan akan ditanya tentang rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan ditanya tentang keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya, dan akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang pembantu adalah yang bertanggung jawab tentang harta tuannya dan akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Maka masing-masing kalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas menunjukkan bahwa istri bertanggung jawab untuk mengurusi kebutuhan suami dan keluarga, serta mendidik anak-anak di rumah. Jika dia keluar setiap hari untuk mencari nafkah, maka keperluan suami dan pendidikan anak akan terbengkalai. Maka tidak boleh menjadikan pekerjaan di luar rumah sebagai perhatian utamanya.

  • Keempat : Hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

المرأةُ عورة ، فَإِذا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشيطانُ    

“Wanita itu aurat, apabila ia keluar (dari rumahnya) setan senantiasa mengintainya.” (HR. Tirmidzi. Berkata Syuaib al-Arnauth dalam Tahqiq Ibnu Hibban (12/ 413): Sanadnya shahih sesuai dengan syarat Imam Muslim) .

Hadits di atas menunjukkan bahwa wanita adalah aurat, sehingga tidak boleh keluar rumah, kecuali dalam keadaan darurat.

Pendapat Kedua :

Wanita boleh bekerja di luar rumah jika hal itu diperlukan dan masih dalam koridor syariah.

Diantara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut :

  • Pertama, Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ (23)

Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”. (QS. al-Qashash: 23)

Ayat di atas menunjukkan bolehnya seorang wanita bekerja di luar rumah, jika hal itu diperlukan, seperti jika orangtuanya sudah udzur atau sakit, sebagaimana dalam kisah dua wanita anak nabi Syu’aib di atas.

  • Kedua, hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata :

   كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَغْزُو بِأُمِّ سُلَيْمٍ ، وَنِسْوَةٍ مِنَ الأَنْصَارِ مَعَهُ ، إِذَا غَزَا ، فَيَسْقِينَ الْمَاءَ ، وَيُدَاوِينَ الْجَرْحَى

“Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam berperang bersama Ummu Sulaim dan beberapa wanita Anshar, maka mereka memberi minum dan mengobati orang yang terluka. (HR. Muslim)

Hadits diatas menunjukkan wanita pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut juga berperang dengan tugas mengobati orang-orang yang sakit dan memberi minum yang haus.

  • Ketiga, hadits  Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘laihi wa sallam bersabda:

لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

 “Janganlah kamu mencegah perempuan-perempuan untuk pergi ke Masjid, sedangkan rumah mereka itu lebih baik bagi mereka”.(HR. Abu Daud. Berkata Hakim: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim.”)

Hadits diatas menunjukkan bahwa wanita diperbolehkan keluar rumah untuk pergi ke masjid, demikian juga untuk pergi ke tempat kerja jika memang diperlukan.

  • Keempat, hadist Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kepada Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha,

إذا خفضت فأشمي ولَا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ

”Apabila engkau mengkhitan wanita potonglah sedikit, dan janganlah berlebihan, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami.”(HR. Abu Daud dan Baihaqi.Berkata Abu Daud: “Hadits ini dhoif.”)

Hadits diatas menunjukkan bahwa sebagian wanita pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berprofesi sebagai dokter khitan wanita. Ini berarti mereka juga bekerja di luar rumah

  • Kelima, sejarah menjelaskan bahwa Khadijah radhiyallahu ‘anha, juga bekerja sebagai saudagar. Ini menunjukkan kebolehan wanita bekerja selama dalam koridor syariah.   

 

Kesimpulan :

 Dari dua pendapat ulama di atas, bisa disimpulkan bahwa pendapat yang  lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan wanita boleh bekerja di luar rumah dengan syarat-syarat tertentu, diantaranya adalah :

Pertama: Ada izin dari orang tua jika masih belum menikah, atau dari suami jika sudah menikah.

Kedua: Tidak ikhthilat (bercampur baur) dengan laki-laki yang bukan mahramnya.

Ketiga: Tidak berkhalwat (berduaan) dengan laki-laki yang bukan mahramnya, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لايخلون بامرأة رجل فإن ثالثهما الشيطان

“ Janganlah sekali kali seorang laki – laki berkhalwat (berduan) dengan wanita, karena yang ketiganya adalah syaithan”. (HR. Tirmidzi)

Keempat: Tidak menampakkan auratnya di depan laki-laki yang bukan mahramnya.

Kelima: Tidak menggunakan parfum yang bisa menggoda laki-laki lain. Sebagaimana sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كل عين زانية والمرأة إذا استعطرت فمرت بالمجلس فهى زانية

“Setiap mata adalah penzina dan bahwa wanita apabila mengenakan wewangian kemudian dia berlalu melewati majlis, maka dia adalah penzina”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Keenam: Pekerjaan tersebut sangat dibutuhkan.

Ketujuh: Pekerjaan tersebut sesuai dengan kodrat wanita.

Kedelapan: Pekerjaan tersebut tidak menyebabkan terbengkalainya kewajibannya sebagai istri dalam melayani kebutuhan suami dan mendidik anak-anak.  Wallahu A’lam

 

Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA

Pondok Melati,  4 Jumadal Ula 1438/1 Februari 2017

Bersaing dengan Para Lelaki

Seperti yang dipaparkan Syaikh Khalid Abu Syadi dalam salah satu karya terbaiknya Sibaq Nahwal Jinan (berlomba Menuju Surga) bahwa sebenarnya kita, orang-orang yang beriman tengah berada dalam sebuah perlombaan. Ya, perlombaan menuju jannah, surga.  Hanya saja, tidak semua orang sadar bahwa mereka tengah berada di sirkuit perlombaan. Malah ada yang duduk-duduk di pinggir jalan dibawah pohon, padahal yang lain tengah sibuk berlari memerah keringat menuju garis finis. Ibnul Qayim mengibaratkan orang-orang seperti itu seperti orang yang memilih duduk dibawah pohon sampai pohon itu kering dan mati, dan akhirnya ia kepanasan. Padahal kawan-kawannya yang start bersamanya telah sampai di tujuan, lalu beristirahat.

Memang benar, hidup ini sebenarnya adalah perlombaan dan kita barangkali tidak sadar jika Allah mengingatkan berkali-kali akan hal ini. Allah berfirman, “Berlomba-lombalah kalian untuk mendapatkan ampunan dari rabb kalian dan jannahnya…” (QS. Al Hadid 21), “dan untuk yang demikian itu hendaknya manusia berlomba-lomba.” (QS. Al Muthaffifin;26)

Rasulullah SAW juga selalu menyadarkan para shahabat agar senantiasa berlomba, meskipun pemenangnya hampir selalu bisa ditebak, Abu Bakar ash Shidddiq. Tapi mereka semuanya berlomba berebut poin pahala terbanyak.

Nah, yang paling asyik dari perlombaan ini adalah, untuk mengikutinya tidak ada dibedakan antara laki-laki dan wanita dari segi peluang untuk menang. Artinya, wanita memiliki peluang yang sama dengan laki-laki untuk memenangi lomba. Benarkah?

Kalau ini perlombaan menuju surga dengan berbagai amal kebaikan, bukankah wanita tidak seperti lelaki yang bisa melakukan hampir semua amal-amal besar seperti Jihad, mengiring jenazah, memimpin kaum muslimin, shalat jumah dan sebagainya?

Memang benar, secara poin-poin amal, ada amalan tertentu yang memang wanita tidak mendapat porsi sebesar lelaki. Tapi sebenarnya peluang untuk menang selalunya sama karena meskipun pada satu poin amal tertentu wanita tidak bisa melakukannya, tapi pada poin yang lain justu kebalikannya, laki-lakilah yang tidak mungkin berpeluang mendapatkannya. Coba kita simak riwayat berikut;

Dari Asma binti Zaid berkata, ’“Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah utusan bagi seluruh wanita muslimah yang ada di belakangku, seluruhnya mengatakan sebagaimana yang aku katakan dan seluruhnya berpendapat sesuai dengan pendapatku. Sesungguhnya Allah Ta’ala mengutusmu bagi laki-laki dan wanita, kemudian kami beriman kepada anda dan bersumpah setia kepada anda. Adapun kami para wanita terkurung dan terbatas gerak langkah kami. Kami menjadi penyangga rumah tangga kaum lelaki, dan kami adalah tempat melampiaskan syahwat mereka, kamilah yang mengandung anak-anak mereka, akan tetapi kaum lelaki mendapat keutamaan melebihi kami dengan shalat Jumat, mengantarkan jenazah dan berjihad. Apabila mereka keluar untuk berjihad kamilah yang menjaga harta mereka, yamg mendidik anak-anak mereka, maka apakah kami juga mendapatkan pahala sebagaimana yang mereka dapat dengan amalan mereka?”

Mendengar pertanyaan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menoleh kepada para sahabat dan bersabda :

“Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang dien yang lebih baik dari apa yang dia tanyakan?”

Para sahabat menjawab,”Benar, kami belum pernah mendengarnya ya Rasulullah!”

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :

“Kembalilah wahai Asma’ dan beritahukanlah kepada para wanita yang berada di belakangmu bahwa perlakuan baik salah seorang diantara mereka kepada suaminya, meminta keridhaan suaminya, dorongan dan persetujuannya itu dapat mengimbangi seluruh amal yang kamu sebutkan yang dikerjakan oleh kaum lelaki.”

Maka kembalilah Asma’ sambil bertahlil dan bertakbir merasa gembira dengan apa disabdakan Rasulullah SAW.

Seharusnya ‘persamaan gender’ seperti inilah yang dimunculkan. Yaitu semangat untuk menyamai lelaki dalam hal mencari ridha ilahi. Bukan protes emansipasi yang emosional terhadap segala sesuatu yang berorientasi materi dan kadang tidak rasional. Tuntutan agar bisa sama-sama boleh bekerja di luar rumah, derajat yang sama dengan suami dalam keluarga, jatah yang sama dari warisan atau malah hak untuk sama-sama memiliki empat suami sebagaimana lelaki yang dibolehkan memiliki empat istri. Persamaan derajat semu yang sebenarnya adalah racun musuh-musuh Islam untuk merusak para muslimah.

Selain amal yang disebutkan dalam hadits tersebut masih ada lagi point emas yang bisa diraih oleh para muslimah dalam amal-amal shalih seperti menjaga janin, menyusui anak, mendidik mereka, juga berbagai ibadah yang diwajibkan atau disunahkan kepada manusia secara umum.

Kabar gembiranya, meskipun Asma mengatakan bahwa wanita tidak banyak diberi kesempatan berjihad, namun dalam kondisi tertentu, mereka dapat pula ikut berjihad dan mengambil poin dari amal paling mulia ini. Pada perang Yarmuk, para wanita muslimah banyak yang ikut andil dalam jihad sebagaimana yang disebutkan oleh Al Hafidh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, beliau membicarakan tentang perjuangan mujahidan mukminin. Beliau berkata,” Mereka berperang dengan perang besar-besaran hingga para wanita turut berperang di belakang mereka dengan gagah berani.” Dalam bagian lain beliau berkata, ”Para wanita menghadang mujahidin yang  lari dari berkecamuknya perang dan memukul mereka dengan kayu dan melempari mereka dengan batu.”

Sekali lagi peluang untuk menang bagi muslimah sama dengan pria. Tinggal seberapa kuat semangat dan motivasi kita untuk menang ada dalam jiwa.

Nah, para muslimah, hendaknya kita segera kembali ke sirkuit dan bersiap untuk melesat. Wallahua’lam.