Zakat Mal Ke Lembaga Sosial

Bolehkah membayarkan zakat mal (harta benda) pada lembaga sosial, untuk dibelanjakan sapi-sapi yang akan disembelih pada hari Raya idul adha dan akan dibagikan kepada para fakir miskin?

Alhamdulillahirabbil’alamin

Pertama:

Diwajibkan mengeluarkan zakat tepat pada waktunya dan tidak boleh diakhirkan, kecuali untuk kemaslahatan yang rajih dan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Kedua:

Dibolehkan membayarkan zakat pada lembaga sosial yang dikenal amanah dan dapat dipercaya, jika dia akan membagikan harta zakat kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan petunjuk syari’at.

Baca Juga: Bolehkah Bersedekah Kepada Non Muslim? 

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya:

“Di daerah kami ada sebuah cabang dari lembaga sosial, apakah saya boleh membayarkan sebagian zakat saya kepada mereka ?”

Beliau menjawab:

“Jika cabang dari lembaga sosial tersebut termasuk lembaga yang bisa dipercaya dalam hal agama dan keilmuan mereka, maka tidak masalah anda membayarkan sebagian zakat anda kepada mereka, dan anda jelaskan bahwa yang anda bayarkan adalah zakat, sehingga tidak dibagikan pada jalur sedekah secara umum”.

Adapun jika anda tidak mengenali mereka, maka yang lebih utama anda salurkan zakat anda sendiri, bahkan secara umum sebaiknya anda salurkan sendiri zakat anda; karena seseorang yang secara langsung menyalurkan zakatnya sendiri akan merasa tenang karena benar-benar sampai kepada yang berhak menerimanya, dia juga akan diberi pahala dari kepenatan untuk menyampaikan zakatnya, tentu hal ini lebih utama dari pada dia wakilkan kepada orang/lembaga untuk menyalurkannya”. (Fatawa Nur ‘Ala Darb dengan sedikit perubahan: 7/408)

Ketiga:

Tidak sah membayarkan zakat kepada lembaga sosial untuk dibelikan beberapa ekor sapi yang akan disembelih pada hari raya untuk dibagikan kepada fakir miskin; karena hukum asal dari zakat adalah agar dibayarkan sesuai dengan harta yang dizakati, maka zakatnya uang dibayarkan dengan uang, zakatnya hasil pertanian dibayarkan dengan hasil pertanian pula.

Para fakir miskin diberikan zakat kepada mereka, lalu mereka sendirilah yang membelanjakannya sesuai kebutuhan mereka, seperti daging atau yang lainnya; karena harta zakat tersebut telah menjadi haknya, dan tidak boleh menggunakan harta orang lain tanpa persetujuan pemiliknya.

Baca Juga: Zakat Mobil & Rumah

Yang diwajibkan pada zakat mal adalah dibayarkan dengan uang, tidak boleh dibayarkan dengan daging atau sembako. Seorang yang fakir dia lebih mengetahui kebutuhannya sendiri dan lebih tahu apa yang lebih dia butuhkan, secara umum bahwa uang akan lebih bermanfaat baginya, bisa jadi dia mempunyai hutang yang ingin dia bayar atau kemaslahatan tertentu yang tidak bisa diraih kecuali dengan uang.

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya:

“Apakah boleh merubah harta zakat menjadi sembako atau barang yang lain, kemudian baru dibagikan kepada fakir miskin?”

Beliau menjawab:

“Tidak boleh, zakat harus dibayarkan dengan uang”. (Al Liqo asy Syahri: 41/12). (arrisalah/islamqa.info/fatwa)

 

Syarah Sullamul Wushul Abu Zufar Mujtaba

Biografi Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami
Penulis Matan Sullamul Wushul

Pengantar Redaksi:
Dengan izin Allah, mulai edisi ke-175 ini, kami akan menyajikan syarah kitab “Sullamul Wushul ila ‘Ilmil Ushul fit Tauhid”. Sebuah kitab kecil yang memuat matan akidah Ahlussunnah wal Jamaah, ditulis secara nazham oleh Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami (1342-1377 H). Syarah akan ditulis oleh Ustadz Abu Zufar Mujtaba yang biasanya menulis Syarah Akidah Thahawiyah dan sudah selesai pada edisi ke 165. Semoga Allah memudahkan kami semua untuk ini.

Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami dilahirkan pada tanggal 24 Ramadhan 1342 H di desa Salam, Jazan. Al-Hakami adalah nisbat kepada al-Hakam bin Sa’ad al-‘Asyirah, salah satu kabilah termasyhur dan terbesar di tanah Arab.
Syaikh Hafizh masih kanak-kanak saat ayahnya mengajaknya dan saudara-saudaranya bermigrasi ke desa Jadhi’ Bani Syubail. Di sinilah Hafizh kecil menghabiskan masa kanak-kanaknya. Pekerjaan sehari-harinya adalah menggembala kambing orang tuanya. Pekerjaan yang ditekuninya sampai ia dewasa.
Saat berumur 7 tahun ia dan kakaknya yang paling besar dimasukkan ke sekolah pengajaran al-Qur`an di desa itu. Hafizh menyimakkan 2 juz, yakni juz 30 dan 29 kepada guru ngajinya, dan setelah itu ia menyelesaikan seluruh al-Qur`an dengan menyimakkannya kepada sang kakak tertua, Muhammad bin Ahmad al-Hakami. Dia masih menggembala kambing sembari belajar sampai pemahamannya baik. Hafizh muda juga belajar menulis dan tulisannya indah. Dia tumbuh di tengah-tengah keluarga yang terkenal shalih dan baik. Dan tak lama kemudian ia sudah hapal al-Qur`an. Ia juga membaca buku-buku fikih, faraidh, tafsir, hadits, dan tauhid.

Kedatangan Syaikh al-Qar’awi
Saat Hafizh menginjak usia yang ke-16 yakni pada tahun 1358 datanglah Syaikh Abdullah bin Muhammad al-Qar’awi  ke wilayah selatan Arab Saudi, dekat tempat tinggal Hafizh muda. Syaikh Abdullah mendengar di wilayah selatan tidak ada juru dakwah yang menyeru kepada ajaran Islam yang benar. Oleh karena itu beliau bernadzar untuk berdakwah di sana, menyebarkan akidah yang benar, membenahi masyarakat dan membersihan bid’ah dan khurafat.
Kedatangan Syaikh al-Qar’awi menjadi keberkahan tersendiri bagi Hafizh muda. Hafizh muda mulai berkenalan dengan Syaikh al-Qar’awi. Semula Hafizh masih belajar sambil menggembala kambing. Jika karenanya ia ketinggalan pelajaran, ia bertanya kepada kawan-kawannya serta meminjam catatan mereka. Barulah pada tahun 1360 Hafizh memfokuskan diri untuk menuntut ilmu. Hapalannya luar biasa. Sering kali Syaikh al-Qar’awi dibuat kagum olehnya. Pernah suatu hari Syaikh Abdullah al-Qar’awiy mendiktekan kitab Tuhfatul Athfal. Majlis ilmu hari itu diakhiri dan didapati Hafizh telah menghapal kitab tersebeut. Sering kali pula Syaikh al-Qar’awi menyampaikan materi, setelah selesai ia meminta Hafizh untuk mengulangnya. Dia mengulangnya persis seperti yang Syaikh sampaikan. Seperti rekaman yang diputar ulang. Hapalannya benar-benar luar biasa.
Pada bulan Rajab tahun itu, ibu Hafizh wafat. Lalu pada bulan haji, ia menunaikan haji bersama ayah, dan sebagian saudaranya. Saat dalam perjalanan pulang ayahnya sakit dan wafat. Setelah itu ia fokus dalam menuntut ilmu siang dan malam. Hafizh muda rajin sekali belajar.  Hanya dalam waktu kurang dari 3 tahun, ia sudah unggul dalam banyak cabang ilmu syar’i. Banyak yang tidak percaya. Hanya orang-orang yang mengenalnya dan pernah hidup dengannya yang percaya.

Mulai Menulis
Di usia Hafizh yang ke-19 Syaikh al-Qar’awi memintanya untuk menyusun sebuah kitab berkenaan dengan tauhid—meliputi akidah as-Salafush Shalih. Hafizh diminta menyusunnya berupa nazham (semacam syair) agar mudah dihapal. Tulisan ini menjadi ujian bagi Hafizh setelah sekian lama belajar bermulazamaah kepada beliau. Penulisannya selesai pada tahun 1362. Sullamul Wushul ila ‘Ilmil Ushul fit Tauhid, demikian judul yang diberikan Hafizh untuk karya pertamanya.
Syaikh al-Qar’awi dan para ulama pada masa itu yang membaca Sullamul Wushul kagum terhadapnya. Setelah itu ia diminta untuk menulis beberapa buku lainnya dalam berbagai disiplin ilmu. Syaikh Hafizh benar-benar menjadi teladan bagi siapa saja yang ingin memiliki produktivitas ilmiah dan ilmu yang bermanfaat.
Syaikh al-Qar’awi mengakui kehebatan Hafizh dan berkata, “Hafizh tidak ada duanya dalam produkivitas ilmiah, penyusunan buku, pengajaran dan manajemen. Semua diuasainya dalam waktu singkat.”
Syaikh Hafizh tidak hanya menguasai ilmu akidah. Beliau juga pakar dalam hadits, musthalah hadits, fikih, ushulfikih, faraidh, tarikh, sirah, dan sastra arab.
Di antara karya beliau:
Sullamul Wushul ila ‘Ilmil Ushul fi Tauhidillah wa Ittiba’ir Rasul..
Ma’arijul Qabul Syarah Sullamul Wushul
Nailus Suul fi Tarikhil Umami wa Siratur Rasul
Wasilatul Hushul ila Muhimmatil Ushul (dalam Ushulfiqh)
As-Subulus Sawiyyah fi Fiqhis Sunan al-Marwiyah (dalam Ushulfiqh)
An-Nurul Faidh in Syamsil Wahyi (dalam ilmu Faraidh)
Dalilu Arbabil Falah fi Thqiqi fannil Ishthilah (Dalam Mushthalah hadits)
Al-Lu’lu al-Maknun fi Ahwalil Asanid wal Mutun (dalam Mushthalah hadts)
Al-Lamiyah fin Nasikh wal Mansukh (dalam Ushulfiqh)
Nashihatul Ikhwan ‘an Ta’athi al-Qaat wasy Syamah wad Dukhan.
Guru Syaikh Hafizh hanya hanya satu, Syaikh ‘Abdullah al-Qar’awi di kota Shamitha, dekat desa tempat tinggalnya bersama orang tuanya dulu. Syaikh Hafizh tidak pernah belajar ke kota lain—apalagi luar negeri. Hanya, ketika Syaikh ‘Abdullah memintanya untuk pergi ke Mekah dan menikahkannya dengan salah satu putri beliau pada tahun 1367, selama di Mekah beliau belajar ke Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi di masjid al-Haram.

Komitmen dan Akhlak Syaikh Hafizh
Kakaknya yang paling besar, Muhammad bin Ahmad yang juga guru al-Qur`an Hafizh berkata, “Hampir seluruh waktunya dia habiskan untuk membaca al-Qur`an, menelaah buku-buku ilmiah, mengajar, menyusun buku dan mengulang-ulang pelajaran.”
“Dia juga rendah hati, senang berolah raga dan senang bercanda dengan kawan-kawannya dan mereka yang mengunjunginya. Inilah yang membuat banyak orang senang bermajlis dengannya dan mengambil faidah darinya,” sambungnya.
Setiap bulan Ramadhan, selepas shalat Zhuhur ia membaca al-Qur`an sebanyak 1 juz yang dijadikannya bacaan shalat Tarawih di masjid. Dia menjadi imam untuk para pelajar yang shalat di masjid al-Asyraf Harah ar-Rahah.
Syaikh Hafizh adalah seorang yang zuhud terhadap dunia. Hampir seluruh waktunya dihabiskannya untuk menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada masyarakat dan penuntut ilmu. Beliau sama sekali tidak tertarik dengan dunia ataupun harta dan kemewahan. Saat beliau ditunjuk menjadi salah satu pengurus di Ma’had, beliau mendapat gaji 150 riyal Saudi (sekitar 500.000 rupiah). Uang yang beliau terima beliau habiskan untuk diberikan kepada para pelajar. Pun ketika ditunjuk sebagai mudir, gaji beliau beliau habiskan untuk memenuhi keperluan keluarga, para pelajar, dan orang-orang fakir.

BACA JUGA : Tauhid Rububiyah

Pendek Usia Panjang Berkahnya
Pada tahun 1373 Syaikh Hafizh menunaikan ibadah haji bersama Syaikh ‘Abdullah al-Qar’awi dan beberapa orang. Di perjalanan Syaikh Hafizh sakit, dan akhirnya meninggalkan alam fana ini untuk selama-lamanya pada tanggal 18 Dzulhijjah setelah menunaikan seluruh rangkaian manasik haji. Usianya baru 35 tahun.
Beliau wafat meninggalkan 4 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Putra-putra beliau adalah Ahmad bin Hafizh Ahmad al-Hakami, ‘Abdullah bin Hafizh Ahmad al-Hakami, Muhammad bin Hafizh Ahmad al-Hakami, dan ‘Abdurrahman bin Hafizh Ahmad a-Hakami.
Syaikh Hafizh adalah satu dari banyak orang yang mendapatkan keberkahan pemberian nama yang baik. Ayahnya memberinya nama Hafizh dan ia pun benar-benar menjadi hafizh. Mari memberi nama yang baik untuk anak-anak kita.

Membaca Alqur’an Dengan Suara Yang Keras Di Masjid

Apa hukum membaca alqur’an dengan suara yang keras di masjid, sedangkan masyarakat sekitar masjid sangat merasa terganggu?
subirman kahar, tanjab barat jambi
Jawab :
bismillah walhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa man tabi’a hudah. Waba’du.
Membaca Alqur’an merupakan ibadah mulia dan agung, baik ketika sedang shalat dan di luar shalat. Setiap muslim perlu mengetahui adab adab yang berkaitan dengan alqur’an. Dari membawanya, mempelajarinya dan ketika membacanya.
Kadang kita perlu mengeraskan bacaan alqur’an karena menjadi imam shalat jahriyah, dan kadang kita juga perlu memperdengarkan alqur’an karena sedang memberikan pelajaran dalam pengajian. Namun terkadang kita perlu melirihkan suara hingga kita saja yang mendengarnya atau orang lain merasa tidak terganggu dengan bacaan kita. hal ini karena kita sedang di masjid dan setiap orang di dalam masjid sedang dalam keadaan beribadah kepada Allah dengan berbagai macam bentuk peribadatan, ada yang dzikir, ada yang shalat dan ada yang membaca alqur’an.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلَاةِ

Dari Abu Sa’id dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di Masjid, lalu beliau mendengar mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan (Al Qur’an). kemudian beliau membuka tirai sambil bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya setiap kalian sedang bermunajat kepada Rabbnya, oleh karena itu janganlah sebagian yang satu mengganggu sebagian yang lain dan jangan pula sebagian yang satu mengeraskan terhadap sebagian yang lain di dalam membaca (Al Qur’an) atau dalam shalatnya.” (HR. Abu Daud, dishahihkan Al Albany)

BACA JUGA : Cara Makmum Masbuk Mengikuti Imam
Jika seseorang di masjid membaca alqur’an dalam shalatnya atau diluar shalatnya saja tidak boleh menggangu saudaranya yang juga berada di masjid, apalagi jika suara itu sangat keras dan mengganggu saudaranya yang dirumah (sekitar masjid) yang juga sedang beribadah, tentu lebih tidak boleh. Bila yang di luar saja terganggu  maka bisa dipastikan yang didalam masjid lebih terganggu, dan ini tidak diperbolehkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.
Jika alqur’an kalamullah saja tidak boleh dibaca dengan keras sehingga mengganggu orang lain yang sedang beribadah, lalu bagaimana dengan selain alqur’an, misalnya yang hari ini diistilahkan dengan puji pujian atau doa yang dilantunkan dengan nada tertentu menggunakan mikrofon (dilakukan setelah adzan), obrolan, canda dan tawa, nada dering HP baik nadanya alqur’an atau selainnya apalagi musik yang jelas terlarang, tentunya semua itu lebih tidak diperbolehkan. Maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah seseorang mengganggu saudaranya yang sedang beribadah kepada Rabbnya, takutlah diri kita bila membaca alqur’an dengan keras akan terjangkiti riya’. Wallahua’lam bis shawab

Hibah
Tanya :
Mohon penjelasan mengenai hibah, hukum dan implementasinya, sebagai contoh orang tua yang menghibahkan rumah kepada anaknya. jazakumullah khairan
jawab :
bismillah walhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa man tabi’a hudah. Waba’du.
Hibah berasal dari kata wahaba, yang berarti pemberian. Dalam kamus lisan arab hibah berarti al athiyah al khaliyah ‘anil a’wadh wal aghrad, pemberian tanpa adanya imbalan imbalan dan bersih dari maksud dan tujuan tertentu.
Ada sedikit perbedaan ta’rif atau definisi hibah diantara para ulama, ada yang mencukupkan dengan mendefinisikan; perpindahan hak kepemilikan tanpa syarat imbalan; ada yang menambahi pemberian itu diberikan ketika pemberi hibah masih hidup (untuk membedakan dengan wasiat dan warisan).
Diantara para ulama ada yang menyamakan antara hibah dan hadiah; ada pula yang membedakannya. Yang membedakan berpendapat bahwa Pemberian hadiah bertujuan memuliakan dan untuk mendapat simpati serta rasa suka dari yang diberi, adapun hibah adalah memberikan suatu manfaat kepada orang lain tanpa mengharap imbalan darinya dan tanpa mengharap simpati atau rasa suka dari orang yang diberi.
Ala kulli hal, para ahli ilmu sepakat akan kesunahannya dan termasuk tolong menolong dalam kebajikan. Imam bukhari dalam shahihnya mengumpulkan beberapa hadits dalam kitab al hibbah wa fadhluha (kitab tentang hibah dan keutamannya). Kemudian diantara babnya adalah; bab hibah untuk anak, tidak boleh memberi hibah untuk sebagian anaknya tetapi harus adil kepada semua anaknya.
(BUKHARI – 2398) : Telah menceritakan kepada kami Hamid bin ‘Umar telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Hushain dari ‘Amir berkata; aku mendengar An Nu’man bin Basyir radliallahu ‘anhuma diatas mimbar berkata: “Bapakku memberiku sebuah pemberian. Maka ‘Amrah binti Rawahah berkata; “Aku tidak ridha sampai kamu mempersaksikannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Maka bapakku menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Aku memberi suatu pemberian kepada anakku dari (istri) ‘Amrah binti Rawahah, namun dia memerintahkan aku agar aku mempersaksikannya kepada anda, wahai Rasulullah”. Beliau bertanya: “Apakah semua anakmu kamu beri pemberian seperti ini?”. Dia menjawab: “Tidak”. Beliau bersabda: “Bertaqwalah kalian kepada Allah dan berbuat adillah diantara anak-anak kalian.”
Faidah dari hadits sahabat Nu’man bin Basyir radhiallahu’anhuma, bila seorang bapak memiliki anak lebih dari satu, apalagi punya dua istri dan memiliki keturunan dari kedua istrinya, wajib bagi seorang bapak untuk adil dalam hibah. Misalnya hibah berupa rumah, maka tidak boleh memberikan hibah berupa rumah kepada sebagian anaknya dan yang lain tidak diberi.
Apakah nilai hibah harus sama? misalanya hibah berupa rumah, maka ulama berbeda pendapat, ada yang berpendapat harus sama, ada yang berpendapat nilainya menganut bagian waris (bagian wanita mendapat setengah bagian laki laki), dan ada yang berpendapat di rinci, bila ada hal yang menuntut untuk dibedakan, misalnya ada anak yang buta dan lumpuh, tidak bisa bekerja dengan maksimal seprti yang lain maka wallahua’lam bisa dilebihkan dalam pemberian hibah.

Puasa dan Zakat

Berzakat Atas Nama Pembantu Rumah Tangga

Pertanyaan :

Apakah wanita yang berprofesi menjadi pembantu rumah tangga diwajibkan mengeluarkan zakat fitri?

Jawab :

Wanita pembantu rumah tangga diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitri karena ia juga seorang muslimah, akan tetapi apakah yang menanggung dirinya sendiri atau boleh ditanggung oleh tuan rumahnya?, maka pada dasarnya zakat firti wanita itu dikeluarkan oleh dirinya sendiri, akan tetapi jika tuan rumahnya mengeluarkan zakat fitri untuk pembantunya tersebut, maka hal ini dibolehkan.

Durus wa fatwa al haram al makki, syaikh ibnu Utsaimin, dinukil dari fatwa fatwa wanita, Darul Haq hal 223.

Berzakat (Mal) Kepada Saudara Perempuan Yang Fakir Yang Telah Menikah

Pertanyaan :

Jika seorang wanita memiliki saudara perempuan, dan saudarnya itu sudah menikah tapi dalam keadaan fakir, bolehkah ia memberikan zakat malnya kepada saudaranya itu?

Jawab :

Nafkah seorang wanita adalah kewajiban bagi suaminya, dan jika suami itu seorang yang fakir maka bagi saudara saudara istrinya hendaklah memberikan zakatnya kepada saudara perempuannya itu, agar ia mendapat nafkah untuk dirinya sendiri dan untuk suaminya serta untuk anak-anaknya.

Bahkan jika istri ini memiliki harta yang wajib dizakati, maka hendaknya ia mengeluarkan zakat hartanya itu kepada suaminya agar suaminya dapat memberi nafkah kepada orang orang yang menjadi tanggungannya.

Majalah al Buhuts al islamiyah, dinukil dari fatwa fatwa wanita, Darul Haq hal 220.

 

Mengqadha Enam Hari Puasa Ramadhan Di Bulan Syawal, Apakah Mendapat Pahala Puasa Syawal Enam Hari Yang Sunnah?

Pertanyaan :

Jika seorang wanita berpuasa enam hari di bulan syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapatkan pahala puasa sunnah enam hari di bulan syawal?

Jawab :

Disebutkan dalam hadist, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan syawal maka ia seperti berpuasa setahun.”

Hadits ini menunjukkan bahwa, wajib menyempurnakan puasa Ramadhan yang merupakan puasa wajib, kemudian ditambah dengan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal untuk mendapatkan pahala puasa setahun. Dalam hadtis lain disebutkan:

“Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari di bulan syawal sama dengan dua bulan.”

Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka berdasarkan hadits ini, barang siapa yang tidak menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan sakit, safat, nifas atau haidh hendaknya ia menyempurnakan puasa Ramadhan, yaitu dengan mendahulukan qadha puasa Ramadhan terlebih dahulu, baru kemudian melaksanakan puasa sunnah di bulan syawal agar mendapat pahala atau kebaikan yang dimaksud. Adapun puasa wajib yang diqadha dibulan syawal yang dilakukan oleh penanya tidaklah berstatus (tidak mendapat pahla) sebagai puasa sunah di bulan syawal.

Fatwa syaikh Abdullah jibrin, dinukil dari fatwa fatwa wanita, Darul Haq hal 270.

 

BACA JUGA: Zakat Mal ke Lembaga Sosial

Hukum Mengucapkan, “Saudaraku ….

Pertanyaan :
Apa hukum mengucapkan kepada orang kafir dengan ucapan ‘saudaraku’, juga ucapan ‘kawanku’ atau ‘temanku’ serta apa hukum tersenyum kepada mereka untuk meraih simpatinya?

jawab :

Ucapan saudaraku kepada orang kafir hukumnya haram, tidak boleh diucapkan kecuali kepada seseorang yang memang saudaranya berdasarkan garis keturunan atau karena susuan. Demikian ini, karena jika tidak ada tali persaudaraan secara garis keturunan atau susuan maka tidak ada lagi tali persaudaraan kecuali persaudaraan karena agama. seorang kafir bukan saudara bagi seorang mukmin dalam agamanya.

Allah pun mengingkari ucapan Nabi Nuh dalam hal ini, sebagaimana firmanNya :

“dan Nuh berseru kepada Rabnya sambil berkata: “Ya Rabku, Sesungguhnya anakku Termasuk keluargaku, dan Sesungguhnya janji Engkau Itulah yang benar. dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya. Allah berfirman: “Hai Nuh, Sesungguhnya Dia bukanlah Termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).”

BACA JUGA : Shalat Tanpa Wudu Karena Lupa

Adapun ucapan ‘kawanku’ atau ‘temanku’ atau yang serupa ini, jika yang dimaksud hanya sebagai sapaan kaena tidak mengetahui namanya, maka ini tidak apa-apa, tapi jika yang dimaksud adalah karena kecintaan dan merasa dekat dengan mereka, maka Allah telah berfirman :

“kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.”

Maka setiap ungkapan halus yang bermaksud kecintaan tidak boleh dilontarkan oleh seorang mukmin kepada orang kafir, Demikian juga tersenyum kepada mereka untuk meraih simpati di kalangan mereka.

Fatawa al ‘aqidah, syaikh Ibnu Utsaimin. dinukil dari fatwa-fatwa terkini, Darul Haq, hal 378-379 .

Menghimpit Orang Kafir Ke Pinggir Jalan

Pertanyaan :

Disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “jika kalian menjumpai salah seorang mereka di suatu jalan, himpitlah ia ke pinggir.” bukankah hal ini akan membuat mereka enggan untuk masuk Islam?

jawab :

Harus kita ketahui, bahwa sebaik-baik pendakwah dan pembimbing ke jalan Allah adalah Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. jika kita mengetahui itu, maka pemahaman apapun yang kita pahami dari ucapan Rasulullah yang ternyata bertentangan dengan hikmah, harus kita akui bahwa pemahaman kita itu patut dikoreksi, dan hendaknya kita ketahui, bahwa pemahaman kita tersebut keliru.

Arti dari hadits tersebut, adalah janganlah kalian berlapang-lapang untuk mereka saat berjumpa sehingga mereka mendapat lahan lebih luas dan kalian lebih sempit, tetapi teruslah berjalan pada arah kalian dan biarkanlah kesempitan terjadi pada mereka. hal ini bukan berarti bila melihat orang kafir langsung memepetkannya ke dinding hingga menyentuhnya, karena Nabi tidak pernah melakukan hal ini terhadap kaum yahudi di Madinah, begitu pula para sahabat juga tidak pernah melakukannya setelah pembebasan berbagai wilayah.

hadits ini tidak berarti membuat mereka lari dari Islam (enggan memeluk Islam), tapi justru ini menunjukkan kemualian seorang muslim, dan bahwa seorang muslim tidak menghinakan dirinya kepada orang lain kecuali pada Rabnya.

Majmu’ah Fatawa wa Rasail, Syaikh Ibnu Utsaimin, dinukil dari fatwa-fatwa terkini, Darul Haq, hal 406-407.

Hukum Meminta Kepada Allah dengan Kedudukan Si Fulan

Apakah hukumnya seseorang yang di dalam doanya mengatakan, “Ya Allah aku meminta kepada-Mu dengan kedudukan si Fulan atau dengan hal si Fulan.” Apakah ada perbedaan antara ucapan itu dengan seseorang yang berkata kepada penghuni kubur, “Wahai Fulan tolonglah aku!

Jawab :
Tidak boleh meminta kepada Allah dengan kedudukan atau hak si Fulan sekalipun dengan kedudukan para nabi dan para rasul atau hak para wali dan orang-orang shalih karena seseorang tidak mempunyai hak Allah. Sehingga tidak boleh meminta kecuali dengan menyebut nama-nama Allah dan sifat-Nya, sebagaimana firman-Nya:

Dan Allah mempunyai nama-nama yang baik (Asmaul Husna) maka berdoalah kalian kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya.” (Q.S. Al A’raf 180).
Adapun bila berkata kepada penghuni kubur, “Wahai Fulan tolonglah aku!” maka ini adalah syirik yang nyata karena hal ini termasuk berdoa kepada selain Allah. Maka meminta kepada Allah melalui kedudukan seseorang merupakan perantara yang bisa menghantarkan kepada syirik, dan berdoa kepada makhluk merupakan syirik dalam hal ibadah, Wallau A’lam.
Syeikh Muhammad Shalih Al-Munajid

Melihat ke atas ketika shalat
Apakah memalingkan pandangan ke atas saat shalat membatalkannya, atau hanya makruh. Dan bagaimana dengan pergerakan di dalam shalat baik yang sedikit maupun yang banyak serta memberi isyarat dalam shalat, bolehkah?

Jawab :
Rasulullah melarang dengan keras bagi orang yang shalat menghadapkan pandangannya ke atas / ke langit. Di dalam shahih bukhari dan selainnya dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

Kenapa orang-orang mengarahkan pandangan mereka ke langit ketika mereka sedang shalat? Suara beliau semakin tinggi hingga beliau bersabda: “Hendaklah mereka menghentikannya atau Allah benar-benar akan menyambar penglihatan mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini adalah pelarangan yang sangat keras dan menunjukkan keharaman perbuatan tersebut, akan tetapi ini tidak membatalkan shalat seseorang.

Adapun melakukan gerakan di dalam shalat, seperti bermain-main dengan tangannya, jenggot, baju dan yang semisalnya maka ini terlarang untuk dilakukan, Kalau bergeraknya banyak dan terus menerus dan bukan merupakan jenis pergerakan dalam shalat, maka bisa membatalkan shalat.

Adapun isyarat dengan tangan maka ini diperbolehkan bila memang dibutuhkan, terdapat hadits dalam shahihain dari Aisyah radhiallahu’anha :

“Saat sakit Rasulullah pernah shalat di rumahnya sambil duduk. Dan segolongan kaum shalat di belakang beliau dengan berdiri. Maka beliau memberi isyarat kepada mereka agar duduk. Ketika shalat sudah selesai beliau bersabda: “Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti, apabila dia rukuk maka rukuklah kalian, bila dia mengangkat kepalanya maka angkatlah kepala kalian. Dan bila dia shalat dengan duduk, maka shalatlah kalian dengan duduk.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Fatwa lajnah daimah: VII/20.

Apa Hukum Menjual Kucing dan Memelihara Anjing

 

Apa Hukum Menjual Kucing

Apa hukum menjual dan membeli kucing?

Jawab :
Alhamdulillah, kebanyakan ulama membolehkan jual beli kucing, namun sebagian Ahli ‘ilmu mengharamkannya. Dan yang rajih (kuat) adalah pendapat yang mengharamkan jual beli kucing, karena terdapat hadits yang melarang menjual kucing dan tidak ada nash lain yang menyelisihinya.

عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ قَالَ سَأَلْتُ جَابِرًا عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ قَالَ زَجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ

Dari Abu Zubair dia berkata; saya bertanya kepada Jabir mengenai uang hasil usaha jual beli anjing dan kucing, dia menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang perbuatan itu.” (HR. Muslim)

Diriwayatkan pula dari Abu daud dan tirmidzi dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhuma, beliau berkata :
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang uang dari hasil penjualan anjing serta kucing.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Imam Syaukani dalam Nailul Authar (6/227) menolak pandangan jumhur yang berpendapat bahwa larangan yang dimaksud dalam hadits adalah larangan lit tanzih (tidak sampai haram), dan begitu pula imam Baihaqi dalam sunannya (6/18) tidak sependapat dengan jumhur.

Ibnu Qoyyim menegaskan keharaman jual beli kucing dalam kitabnya Zadul Ma’ad (5/773), beliau berkata : “ini adalah fatwa dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, dan ini juga madzhabnya Thawus, Mujahid dan Jabir bin Zaid, seluruh ulama dhohiriyah, dan salah satu dari dua riwayat imam Ahmad, dan inilah yang benar karena keshahihan hadits yang melarang harga kucing, serta tidak ada nash yang bertolak belakang dengannya. maka wajib berpendapat dengan pendapat ini. wallahua’lam

Memelihara Anjing di Rumah

Bolehkah jika seorang muslim memelihara anjing sekedar untuk keamanan rumah dan dia ditempatkan di luar di ujung komplek?

Jawab :

Imam Nawawi berkata, “Diperselisihkan memelihara anjing selain untuk tujuan berburu, menjaga ternak dan menjaga pertanian, seperti untuk menjaga rumah atau jalanan. Pendapat yang lebih kuat adalah dibolehkan, sebagai qiyas dari ketiga hal tersebut, karena adanya ‘illah (alasan) yang dapat disimpulkan dalam hadits, yaitu: “Kebutuhan.” (Syarh Muslim, 10/236)

Syaikh Ibn Utsaimin berkata, “Rumah yang terletak di tengah kota, tidak ada alasan untuk memelihara anjing untuk keamanan, maka memelihara anjing untuk tujuan tersebut dalam kondisi seperti itu diharamkan, tidak boleh, dan akan mengurangi pahala pemiliknya satu qirath atau dua qirath setiap harinya. Mereka harus mengusir anjing tersebut dan tidak boleh memeliharanya.

Adapun kalau rumahnya terletak di pedalaman, sekitarnya sepi tidak ada orang bersamanya, maka dibolehkan memelihara anjing untuk keamanan rumah dan orang yang ada di dalamnya. Menjaga penghuni rumah jelas lebih utama dibanding menjaga hewan ternak atau tanaman.” ‘Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 4/246.
Diringkas dari fatwa dalam islamqa, musyrif Syaikh Muhammad Shaleh Munajjid.