Hukum Menindik Telinga, Hidung, Lidah dan Pusar

Sebagian besar masyarakat kita sudah terbiasa menindik telinga anak perempuan, khususnya ketika masih kecil. Apa alasan mereka ? Paling tidak, ada tiga jawaban:

 

Pertama, sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa tujuan menindik telinga adalah meletakkan anting-anting di telinganya agar tampil lebih cantik.

Kedua, sebagian lagi melihat dari sisi seksual, bahwa perempuan yang telinganya tidak ditindik, syahwat seksualnya masih kuat. Dikhawatirkan, tidak terkendali, oleh karenanya supaya stabil, telinganya ditindik untuk kebaikan dirinya dan suaminya.

Ketiga, sebagian kecil masyarakat menganggapnya tidak hanya terbatas pada  faktor kecantikan, tetapi diyakini sebagai salah satu ritual yang diwariskan nenek moyang mereka untuk kemashlatan anak perempuan tersebut.

 

Hukum Menindik Telinga

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:

Pendapat Pertama

Mengatakan bahwa menindik telinga anak perempuan hukumnya haram. Ini pendapat Madzab Syafi’iyah, Ibnu al Jauzi dan Ibnu Uqail dari Hanabilah.  (Mughni Muhtaj : 4/296, Tuhfatu al-Habib : 2/ 508, Ihya Ulumuddin : 2/341, Fathu al-Bari : 10/48)

Mereka berdalil sebagai berikut:

 

Dalil Pertama, menindik telinga termasuk dalam katagori merubah ciptaan Allah, karena  telinga pada asalnya utuh, tidak boleh dilubangi kecuali ada mashlahat di dalamnya. Allah berfirman,

وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا (119)

“ Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merobahnya”.  Barang siapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.(Qs. an-Nisa’: 119)

 

Baca Juga: Hukum Mencukur dan Menggundul Rambut Bagi Wanita

 

Ayat di atas menunjukkan haramnya merubah ciptaan Allah, termasuk di dalamnya memotong dan melubangi telinga, hidung dan lidah, walupun untuk menaruh perhiasan, karena itu termasuk bisikan syetan.

 Dalil Kedua, menindik telinga termasuk menyakiti anak perempuan dengan alasan yang tidak benar. Dalam kaidah fiqh disebutkan,

لا ضرر ولا ضرار

“ Tidak boleh memberikan kemudharatan kepada diri sendiri dan kepada orang lain. “

Berkata Imam al-Ghazali di dalam Ihya Ulumuddin : 2/341: “ Saya tidak melihat adanya keringanan di dalam melubangi telinga anak perempuan, hanya untuk sekedar memasangkan anting-anting emas. Karena ini termasuk melukainya sampai sakit,  dan ini wajib diqishas (dibalas).“

Dalil Ketiga, menghiasi anak dengan anting-anting bukan sesuatu yang darurat, sehingga dibolehkan melukai telinganya.

 

Pendapat Kedua

Menindik telinga hukumnya boleh. Ini  Madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. (al-Bahru ar-Raiq : 8/232,  Syareh az-Zurqani : 4/210, al-Inshaf : 1/125)

          Diantara dalil mereka sebagai berikut,

 

Dalil Pertama, hadist Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya beliau berkata,

. خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ – وَلَمْ يَذْكُرْ أَذَانًا وَلا إِقَامَةً – ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ فَرَأَيْتُهُنَّ يَهْوِينَ إِلَى آذَانِهِنَّ وَحُلُوقِهِنَّ يَدْفَعْنَ إِلَى بِلالٍ ثُمَّ ارْتَفَعَ هُوَ وَبِلالٌ إِلَى بَيْتِهِ .

          “ Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar,  maka beliau shalat, kemudian berkhutbah, tanpa terdengar adzan ataupun iqamah, kemudian mendatangi para wanita.  Beliau menasehati dan mengingatkan,  serta memerintahkan mereka untuk bersedekah, maka saya melihat mereka mengulurkan tangan ke telinga-telinga dan leher-leher mereka (untuk mencopot perhiasan) dan mereka berikan kepada Bilal. Kemudian beliau dan Bilal pergi menuju rumah beliau. ( HR. Bukhari, 4951 dan Muslim, 884)

Hadits di atas menerangkan bahwa para sahabiyat memakai perhiasan anting-anting yang ada pada telinga mereka. Ini menunjukkan bahwa melubangi telinga untuk tempat anting-anting hukumnya boleh.

 

Dalil Kedua, hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya beliau berkata,

جَلَسَ إِحْدَى عَشْرَةَ امْرَأَةً فَتَعَاهَدْنَ وَتَعَاقَدْنَ أَنْ لا يَكْتُمْنَ مِنْ أَخْبَارِ أَزْوَاجِهِنَّ شَيْئًا … قَالَتْ الْحَادِيَةَ عَشْرَةَ : زَوْجِي أَبُو زَرْعٍ وَمَا أَبُو زَرْعٍ أَنَاسَ مِنْ حُلِيٍّ أُذُنَيَّ … قَالَتْ عَائِشَةُ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كُنْتُ لَكِ كَأَبِي زَرْعٍ لأُمِّ زَرْعٍ

          “ Terdapat sebelas wanita yang duduk berkumpul, mereka sepakat dan berjanji untuk tidak menyembunyikan sedikitpun tentang sifat-sifat suami-suami mereka…berkatalah wanita yang kesebelas : “ Suamiku adalah Abu Zar’in, siapakah Abu Zar’in itu ? Dialah  yang memberatkan telingaku dengan perhiasan (sampai bergerak-gerak)”. …Berkata Aisyah, bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya :  “ Aku bagimu, seperti Abu Zar’in bagi Ummu Zar’in” (HR. Bukhari, 4893 dan Muslim, 2448).

Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari perbuatan Abu Zar’in yang memberikan perhiasan pada telinga istrinya, bahkan beliau sendiri ingin berbuat seperti perbuatan Abu Zar’in kepada istrinya.

Dalil Ketiga: Menindik telinga untuk memakaikan anting-anting padanya terdapat maslahat bagi wanita. Dan itu tidak terlalu membahayakan baginya, sehingga dibolehkan. Karena wanita  mempunyai fitrah untuk selalu ingin berhias, sebagaimana firman Allah,

أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ

Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.(Qs. az-Zukhruf : 18)

 

Baca Juga: Hukum Menyemir Rambut

 

Ibnul Qayyim di dalam Tuhfatu al-Maudud bi Ahkami al-Maulud (1/209 ) :  “Cukup sebagai dalil bolehnya (menindik telinga anak perempuan) adalah pengetahuan Allah dan Rasul-Nya tentang perbuatan yang dilakukan para sahabat, dan persetujuannya tentang masalah ini. Jika hal itu dilarang , tentu akan dijelaskan di dalam al- Qur’an dan as-Sunnah”

 

Melubangi Hidung, Lidah dan Pusar

Adapun melubangi hidung, lidah dan pusar untuk memakaikan padanya perhiasan, sebagian besar ulama tidak membolehkan, sebagian yang lain membolehkan pada hidung jika hal itu masuk dalam katagori kebiasan masyarakat tertentu. Sedang melubangi pusar dan lidah hampir semua ulama tidak membolehkannya, karena termasuk kebiasaan perempuan-perempuan nakal.

Berkata Syekh Ibnu al-Utsaimin  di dalam Majmu’ al-Fatawa ( 11/no. 69 ) : “ Adapun melubangi hidung, maka saya belum menemukan perkataan ulama yang membahasnya. Tetapi saya berpendapat bahwa melubangi hidung masuk dalam katagori mutilasi dan merusak anggota badan. Barangkali ulama lain mempunyai pendapat yang berbeda. Jika seorang perempuan hidup di negara yang menganggap anting-anting pada hidung sebagai salah satu bentuk berhias dan mempercantik diri, maka tidak apa-apa dia melakukannya.“

 

Baca Juga: Hukum Mendonorkan Organ Tubuh

 

Berkata Syekh Abdul Muhsin al-Abbad di dalam Syareh Abu Daud : “ Adapun melubangi pusar  dan lidah dan sejenisnya dari anggota tubuh,  saya belum mendapatkan perkataan dari para ulama tentang masalah ini. Tetapi yang lebih mendekati kebenaran, bahwa hal itu dilarang, karena dua hal ; pertama, bahwa hal ini masuk dalam katagori mutilasi dan penyiksaan, yang kedua, biasanya perempuan tidak familiar berhias dengan cara seperti ini. Bahkan cara seperti ini dianggap merusak, bukan berhias. Adapun suaminya tidak melarang hal itu, bukanlah suatu alasan syar’i, apalagi jika hal ini dianggap kebiasaan perempuan-perempuan rusak di negara-negara yang  sudah rusak akhlaqnya.

 

Kesimpulan

Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa pendapat yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa menindik telinga anak perempuan untuk memakaikan perhiasan (anting-anting) hukumnya boleh. Namun jika ada sebagian masyarakat tidak mau menindik telinga anak perempuan sebagai sifat kehati-hatian, dan menganggap bahwa menaruh perhiasan di telinga dengan cara menindiknya adalah sesuatu yang tidak penting, maka tentunya ini lebih baik, untuk menghindari perbedaaan pendapat ulama, sebagaimana yang diterangkan di atas.

Adapun melubangi hidung, lidah dan pusar pada umumnya perempuan tidak menganggapnya sebagai tempat memakaikan perhiasan padanya. Sehingga dihukumi makruh pada hidung, dan haram pada pusar dan lidah. Wallahu A’lam.

 

Oleh: Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA/Fikih kontemporer

 

 

 

Transaksi Ribawi Yang Sering Dianggap Bukan Riba

Riba itu haram, semua sepakat. Riba itu buruk dan dosa besar yang ancamannya adalah dimusuhi Allah, sudah banyak yang tahu. Lantas mengapa masih banyak yang melakukan transaksi ribawi?

Faktor paling mendasar adalah perbedaan pemahaman mengenai bentuk-bentuk transaksi ribawi. Ada bentuk-bentuk riba yang dianggap oleh sebagian orang bukan sebagai riba. Jika begini, jangankan berhenti dari riba, menyadari bahwa yang dilakukan riba saja tidak.

Riba secara umum digolongkan menjadi riba duyun dan riba buyu’. Riba duyun (hutang) adalah riba dalam transaksi hutang dan riba buyu’ (jual beli) adalah riba dalam transaksi jual beli. Adapun riba buyu’ dibagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba fadhl adalah riba yang disebabkan adanya penambahan kuantitas sedangkan riba nasi’ah adalah riba yang disebabkan adanya penambahan tempo, dalam transaksi amwal ribawiyah.

Teori tentang riba cukup panjang jika dijelaskan. Pembahasan akan lebih efektif jika langsung to the point pada praktek-praktek riba yang banyak dilakukan namun dianggap bukan riba.

 

Bunga Bank

Hampir semua lembaga fatwa telah memfatwakan bahwa bunga bank haram. Misalnya, Lembaga Riset Islam Al-Azhar di Kairo memfatwakan haramnya bunag bank sejak tahun 1965, Lembaga Fiqh Islam OKI di Jeddah sejak tahun 1985, Lembaga Fiqh Islam Rabithah ‘Alam Islami di Makkah sejak tahun 1406 H, Muktamar Bank Islam Kedua di Kuwait tahun 1983.

MUI (Majelis Ulama Indonesia) juga telah memafatwakan haramnya bunga bank sejak 2003. Sementara Majelis Tarjih Muhammadiyah pada Munas ke-27 di Malang juga menetapkan haramnya bunga bank. Adapun NU dalam Keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Lampung, 1992 masih merincikan hukum bunga bank dan tidak menyatakan haram secara mutlak. Untuk bunga bank pada kepentingan konsumtif hukumnya haram sementara bunga produktif tidak haram.

Jadi, menurut hampir semua fatwa, bunga bank adalah haram. Abaikan saja pendapat-pendapat kaum lberal yang menyatakan bahwa bunga bank halal karena tidak ada unsur eksploitasi. Riba haram bukan karena eksploitasi, berlipat ganda, atau mencekik. Itu bukan illat atau alasan pengharaman riba. Asalkan sudah terpenuhi syarat akad ribawi, maka riba tetaplah riba meski sedikit dan kedua pihak saling ridho.

Adapun bagi warga NU atau anda yang ingin melandaskan pendapatnya pada hasil Munas NU tersebut, silakan pelajari rincian dalam keputusan tersebut. Pasalnya, hasil Munas NU tahun 1992 tersebut memiliki rincian antara bunga bank yang haram dan yang tidak. Rincian ini tidak boleh diabaikan lalu mengambil kesimpulan bahwa bunga bank boleh secara mutlak.

 

Simpan Pinjam Koperasi

Koperasi biasanya menerapkan bunga yang lebih ringan dari bank. Hasil koperasi memang bukan hanya dari simpan pinjam, namun bagaimanapun, sistem simpan pinjam koperasi juga menerapkan bunga. Meskipun kecil dan merupakan pemberdayaan ekonomi rakyat, namun tetap saja bunga yang ditetapkan pada simpan pinjam adalah riba.

Pada Credit Union (UC) bunganya biasanya malah jauh lebih besar. Misalnya pada perkumpulan RT yang mengumpulkan dana dari semua anggota lalu digunakan untuk transaksi simpan pinjam khusus antar anggota. Pinjaman sebesar 1.000.000 rupiah selama 10 bulan akan dikenai 10 % dari cicilan = 10 % x 100.000 = 10.000. Ada juga yang langsung memotong uang pinjaman. Misalnya seorang anggota pinjam 1 juta, maka dia hanya menerima 900 ribu tapi harus mengembalikan 1 juta. 

Meskipun dinamai dengan biaya administrasi, 10% tersebut adalah bunga dari pinjaman. Jika yang dimaksud biaya operasional untuk administrasi, pinjaman 1 juta dengan 1,5 juta semestinya tidak berbeda. Kenyataannya, biayanya jadi beda karena menggunakan prosentase dari pinjaman.

Ada yang beralasan, bunga semacam ini bukan riba karena pada akhirnya, laba pinjaman akan dibagi ke semua anggota.

Perlu diketahui bahwa riba duyun adalah segala bentuk kelebihan dalam pinjaman. Rasulullah bersabda,

 

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ الرِّبَا

“Setiap hutang yang menarik kemanfa’atan adalah perbuatan riba.”

Kepada siapapun keuntungan diberikan, jika ada kelebihan dalam pengembalian pinjaman, statusnya adalah riba. Sama saja apakah dibagi ke sesama anggota atau bukan. Alasan bahwa bunga itu hanya untuk menyejahterakan anggota, tidak bisa diterima. Bagaimanapun, anggota yang kaya tetap akan mendapat keuntungan karena tabungannya bisa selalu bertambah, sementara dia akan sangat jarang melakukan peminjaman. Sebaliknya, orang yang miskin akan lebih sering melakukan peminjaman tapi tabungan konstan.

 

Kredit Emas

Yaitu membeli emas dengan pembayaran berangsur. Menurut jumhur ulama, emas, apapun bentuknya adalah amwal ribawiyah (barang ribawi) yang ketika hendak dijualbelikan harus dilakukan dengan cara kontan. Jika ditukar dengan sesama jenis, gelang emas dengan kalung emas misalnya, beratnya haruslah sama.

Dalam persoalan ini memang ada ikhtilaf. Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyim menyatakan, jika emas dalam bentuk perhiasan, hukumnya tidak lagi menjadi amwal ribawiyah, hanya komoditas biasa yang boleh dikreditkan atau ditukar dengan sesuatu yang beratnya berbeda. Lain halnya jika bentuknya uang.

Namun jumhur ulama menyatakan bahwa emas apapun bentuknya adalah amwal ribawi. Di dalam hadits tentang amwal ribawi, Rasulullah menyebut “dzahab” (emas) dan “Fidhdhoh”(perak), ini unsur bukan mata uang (dinar dan dirham).

Jadi, mengacu pada pendapat jumhur ulama, emas tidak boleh dikreditkan. Pembelian emas dengan cara kredit termasuk riba. Bahkan Dewan Fatwa Saudi Arabia pada fatwa no. 3211 menyatakan bahwa emas tidak boleh dijualbelikan secara online, dimana pembeli membayar dengan transfer, lalu barang baru sampai ke tangannya 3 hari kemudian. Alasannya, pembelian emas benar-benar harus kontan tangan di atas tangan. Uang dan barang diseahkan dalam tempo bersamaan.

 

Akad Pembiayaan yang Mengandung Ribawiyah

Akad ini disebut juga al murabahah lil amir bisy syira’.  Yaitu seseorang mengatakan kepada pemilik dana (perorangan maupun lembaga) untuk membelikan suatu barang secara cash, lalu dia akan membeli barang tersebut secara kredit. Pada dasarnya, akad semacam ini dibolehkan. Namun realitanya, ketidak hati-hatian dalam mempraktikan akad ini menjadikan akad yang seharusnya jual beli menjadi hutang berbunga.

Bentuk praktik pertama: Pembeli datang ke lembaga keuangan (LK), menyatakan ingin beli mobil kijang seharga 100 juta. Lalu pihak LK menyetujui dan menyatakan langsung menjual mobil tersebut secara kredit dengan harga 110 juta selama 1 tahun kepada pembeli. Setelah itu, pihak bank menyerahkan uang sebesar 100 juta kepada pembeli untuk membeli mobil kijang dimaksud.

Ini jelas bukan akad murabahah tapi peminjaman uang dengan bunga. Dalam hal ini tidak ada transaksi pembelian sama sekali, yang ada, pembeli mendapat uang 100 juta, dan harus mengembalikan 110 juta selama 1 tahun. Ini jelas akad riba. Bisa jadi pula pembeli tidak membelanjakan uang tersebut untuk membeli barang dimaksud.

Kedua: sama dengan di atas, tapi pihak lemabaga keuangan langsung menelpon dealer dan mentransfer uang seharga mobil ke dealer. Pembeli diminta ke dealer mengambil barang tersebut. Akad ini juga cacat karena pihak lembaga keuangan belum memiliki mobil tersebut secara penuh. Tidak tahu kondisinya dan resiko masih ada di tangan dealer. Akad ini mirip akad dropship barang di internet.

Masih ada beberapa masalah penting terkait akad pembiayaan ini yang harus diwaspadai. Menyepelekannya hanya akan menjerumuskan kita pada akad riba.

 

Diskon GoPay dan Sejenisnya

GoPay adalah dompet virtual pada layanan Gojek (ojek online). Pengguna layanan melakukan top up atau deposit uang dan akan mendapatkan saldo GoPay yang kemudian dapat digunakan untuk membayar berbagai layanan pada aplikasi Gojek. Keuntungan membayar layanan dengan GoPay adalah pengguna akan mendapatkan potongan harga. Go Ride (jasa ojek) misalnya, jika dibayar dengan cash Rp 18.000 tapi dengan GoPay menjadi Rp 16.000.

Depositn uang yang dibayarkan pengguna pada GoPay adalah pinjaman. Alasannya, dalam FAQ (Frequntly Asking Question) pada pembayaran GoPay dijelaskan bahwa, uang yang dibayar pengguna kepada GoPay dapat dimanfaatkan oleh GoPay untuk semua keperluan. Ini merupakan poin dalam akad hutang, dimana yang orang yang berhutang boleh memanfaatkan uang hutang untuk keperluannya. Adapun uang titipan tidak boleh digunakan oleh rang yang dititipi. Kedua, GoPay akan mengembalikan uang tersebut dalam bentuk layanan dan bisa pula ditransfer ke sesama pengguna atau ditarik kembali dalam bentuk cash via transfer bank. Ini juga merupakan poin dari akad pinjaman.

Padahal seperti dijelaskan di atas, pinjaman tidak boleh menarik suatu manfaat tambahan baik berupa nominal atau jasa. Jadi, jika anda adalah pengguna layanan Gojek dengan GoPaynya, atau Grab dengan GrabPaynya, lakukanlah pembayaran jasa secara cash. Memang sedikit lebih mahal tapi jelas bebas dari riba.

Demikianlah. Persoalan bentuk riba ini memang masuk ranah fikih. Akan ada banyak ikhtilaf dan diskusi lebih dalam. Namun begitu, sikap hati-hati sangatlah bermanfaat bagi kita mengingat ancaman riba yang luar biasa mengerikan. Hendaknya kita tidak bosan mempelajari dan mewaspadai akad-akad yang kita lakukan agar terhindar dari riba. Wallahulmusta’an.

 

Oleh: Ust. Taufikanwar, Lc

 

Baca Juga:

Hukum Menyemir Rambut

Kini, menyemir rambut bukan hanya ditujukan untuk menutupi uban, tapi sudah menjadi trend. Sekedar gaya dan untuk tampil beda. Seperti biasanya, sesuatu berubah menjadi trend dan ditiru jika para selebritis mulai gemar memakainya, demikian pula trend mewarnai rambut. Apalagi alat-alat kosmetik yang bisa dipakai pun semakin mudah didapat dengan harga terjangkau.

Bukan perkara krusial memang, tapi tentunya sebagai muslim kita tidak bisa sekadar ikut-ikutan. Perlu dikaji dulu, bagaimana syariat menilainya. Perlu juga pertimbangan mashlahat dan madharat yang proporsional karena beberapa perkara berkaitan erat dengan situasi, kondisi atau ‘urf , kebiasaan juga norma masyarakat setempat.

Dalam tinjauan fikih, menyemir rambut untuk menutupi uban pada dasarnya adalah sunnah. Lebih rincinya sebagai berikut:

 

Pembahasan bisa dibagi menjadi beberapa point:

 

Pertama, menyemir rambut dengan warna hitam.

Ada dua kondisi: Dibolehkan dalam jihad dan peperangan. Ibnu Hajar mengatakan, ” Dan dikecualikan dari larangan itu bagi seorang mujahid menurut kesepakatan.” Pendapat serupa dinyatakan al Qusthulani dalam Irsyadul Bari lisyarhi Shahihil Bukhari, juga Ibnu Allan dalam kitab Dalilul Falihin. Tujuannya adalah untuk irhab, atau meneror musuh. Karena musuh akan mengira pasukan Islam terdiri dari kaum muda semua.

Kondisi kedua dilarang jika digunakan untuk menipu. Misalnya seorang wanita yang menyemir saat akan dilamar. Ulama sepakat dalam hal ini seperti dinyatakan oleh Imam al Mabarkafuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan at Tirmidzi.

Selain dua kondisi itu, para ulama berselisih pendapat, ada yang berpendapat makruh dan dilarang.  Malikiyah dan Hanabilah berpendapat makruh demikian pula beberapa pendapat dari kalangan Syafi’iyah. Seperti disebutkan dalam kitab Hasyiah al Adawi, al Iqna’ Li Thalibil Intifa’ dan lainnya. Pengikut Madzhab Syafi’i berpendapat haram, seperti dijelaskan dalam kitab al Majmu’ Syarhul Muhadzab, karya Imam An Nawawi. (Makalah Hukmu Syibghisy Syi’ri bis Sawad, Syaikh Shalih bin Muhammad al Asmiri).

 

Kedua, menyemir rambut dengan selain warna hitam.

Jika rambut telah beruban maka disunahkan menyemirnya dengan warna selain warna hitam. Meski ada perbedaan pendapat, namun Syaikh Ibnu Bazz, Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid, Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin dan Syaikh Shalih Al-Fauzan memfatwakan haramnya menyemir dengan warna hitam. Sedang selain warna hitam adalah sunah.

Dalam kitab kitab Fatawa Al Mar’ah (1/520-522), Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin dan Syaikh Shalih Al Fauzan ketika ditanya tentang hal ini mengemukakan bahwa menyemir rambut yang telah beruban dengan menggunakan inai atau pacar atau yang selainnya merupakan sunnah yang diperintahkan dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi dan Nashrani. Sebab mereka membiarkan ubannya dan tidak menyemirnya. Rasulullah SAW bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya Yahudi dan Nashrani tidak menyemir ubannya, maka selisihilah mereka” (HR. Bukhari dan Muslim)

Adapun rambut yang belum beruban, beliau berdua menjelaskan bahwa sebaiknya dibiarkan sebagaimana aslinya dan tidak dirubah. Kecuali jika warna rambutnya tersebut dianggap jelek maka boleh disemir dengan warna yang sesuai, sekadar menghilangkan warna yang jelek tersebut. Sedangkan rambut lainnya yang tidak ada masalah padanya maka hendaknya dibiarkan sebagaimana aslinya karena tidak ada keperluan untuk mengubahnya.

Syaikh Ibnu Jibrin menjelaskan, mewarnai rambut dengan warna yang bermacam-macam adalah suatu mode yang sedang trend, orang-orang menyebutnya dengan semir. Sebagian pelancong wanita dari negara-negara barat tampil di hadapan kaum laki-laki dengan kepala dan muka terbuka (tanpa kain penutup). Sebagian mereka menyemir rambutnya dengan warna merah, kuning biru dan lainnya. Tujuannya untuk memalingkan atau mengundang perhatian serta menyebarkan fitnah kepada anak-anak muda. Sayangnya, penampilan dan keburukan tersebut ditiru oleh kaum wanita di negara-negara Arab dan negara-negara lain yang penduduknya mayoritas muslim, bahkan terkadang suami mereka memerintahkannya, karena suami mereka melihat wanita dari negara barat yang berpenampilan demikian sangat mempesona hatinya, sehingga suami mereka merasa senang.

Dalam hadits telah dijelaskan mengenai larangan menyemir rambut dan larangan memakai rambut palsu, dilarang menyemir uban dengan warna hitam, tetapi boleh menyemirnya dengan warna merah, dan penyemirannya itu hanya dilakukan dengan pohon pacar dan pohon katam (jenis tumbuh-tumbuhan) saja. Dengan demikian penyemiran rambut itu diperbolehkan apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui (disarikan dari Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 3, Fatwa dari Syaikh Ibnu Jibrin).

Dalam hal ini, Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin dan Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan,  dikhawatirkan hal itu menyerupai wanita kafir jika model demikian bersumber dari mereka, sementara ada larangan untuk menyerupai mereka. Rasulullah SAW bersabda (yang artinya), “Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka” (HR. Abu Dawud. Syaikh Al Albani berkata dalam Jilbabul Mar’ah Al Muslimah hal 204: “isnadnya shahih”)

Baca Juga: Hukum Mencukur & Menggundul Wanita

Kesimpulannya, yang disunahkan adalah menyemir rambut yang telah beruban dengan warna selain hitam. Bahan yang digunakan pun, menurut Syaikh Ibnu Jibrin, haruslah sesuai dengan yang terdapat dalam hadits. Adapun menyemir rambut yang belum beruban, dari beberapa fatwa yang ada memang tidak ada yang melarang. Namun tidak selalunya, yang dibolehkan dalam syariat selalu layak dilakukan. Dalam beberapa kondisi, ada beberapa hal yang dibolehkan syariat, namun kurang pantas menurut ‘urf  atau persepsi masyarakat setempat juga situasi dan kondisi.

Tentunya kita akan merasa aneh jika melihat seorang da’i tapi rambutnya disemir warna-warni. Para ulama sendiri sangat mengkhawatirkan jika hal itu dilakukan hanya karena ingin meniru budaya orang kafir. Contoh lain, memanjangkan rambut juga tidak dilarang. Tapi sedikit kurang pantas kiranya seorang ustadz atau kyai berambut gondrong layaknya perempuan.

Kita bisa menimbang dan mengukur sejauh mana manfaat dan kekurangan dari apa yang kita kerjakan. Jika memang tak pantas dan hanya sia-sia, untuk apa kita melakukannya? Wallahua’lam bish shawab.

 

Oleh: Taufik Anwar/Fikih Kontemporer