Download Booklet Pdf: Panduan Praktis Ibadah Udhiyah

Imam an-Nawawi berkata, ”Udhiyah yang berarti penamaan untuk hewan yang disembelih di hari nahar, memiliki empat bentuk bahasa; pertama udhiyah, kedua idhiyah dengan bentuk pluralnya adhaahi, ketiga dhahiyyah dengan bentuk pluralnya dhahaayaa, dan keempat adhaahatun dengan bentuk pluralnya adhi. Maka oleh karenanya dinamakan Yaumul Adha”.

Yaitu sesuatu yang disembelih pada hari-hari nahr, yang disebabkan hari raya sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah.

Yaitu kambing yang disembelih pada waktu dhuha di hari Iedul Adha sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah.

Para ulama telah berselisih pendapat tentang hukum udhhiyah, apakah hukumnya wajib ataukah sunnah? Kebanyakan ulama seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Suwaid bin Ghoflah, Said bin Musayyib, Al Qomah, Al Aswad, Atho’, Ishaq, Abu Tsaur, Ibnu Mundzir, Al Ghozali berpendapat hukum udhhiyyah adalah sunnah muakkadah.

Sebagian ulama lain seperti Rabi’ah, Malik, ats-Tsauri, al-Auza’i, al-Laits, dan Abu Hanifah berpendapat hukum udhiyyah adalah wajib. Lalu mana yang lebih rajih?

Download juga: Khutbah Iedul Adha: Taat Saat Ringan dan Berat

Bagaimana tata-cara pelaksanaan kurban? kapan waktunya, berapa jumlah dan minimal umurnya? Kepada siapa dagingya nanti diberikan?

Pertanyaan yang sering kita dengarkan dari masyarakat umum saat menjelang hari raya kurban.

Apakah anda juga termasuk yang menanyakan seputar hal-hal tersebut?

Temukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan seputar kurban secara lengkap namun ringkas dalam booklet ini.

 

Download Ebook Pdf nya di sini: Panduan Praktis Ibadah Udhiyah

 

 

Hukum Shalat Di Atas Sajadah Bergambar Ka’bah dan Gambar Lainnya

Pertanyaan:

Apakah menginjak Ka’bah dan tempat-tempat suci yang ada dalam sajadah shalat itu haram? Ada propoganda yang mengajak embargo tidak membeli sajadah shalat yang ada gembar tempat-tempat suci agar tidak menginjaknya dengan kaki. Apa pendapat syar’i dalam masalah ini? Terimakasih

 

Jawaban:

Alhamdulillah

Menggambar yang tidak ada ruh baik benda mati atau tumbuhan serta semisalnya tidak mengapa. Termasuk dalam hal ini Ka’bah dan tempat-tempat suci selama tidak ada gambar orangnya. Akan tetapi hendaknya jamaah shalat tidak shalat di hadapan gambar atau di sajadah yang ada gambarnya agar tidak mengganggunya.

Telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Aisyah sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam mempunyai kelambu yang ada gambarnya, maka beliau melihat sepintas gambar tersebut, lalu ketika selesai beliau mengatakan,

 

اذْهَبُوا بِخَمِيصَتِي هَذِهِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَأْتُونِي بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلَاتِي وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُنْتُ أَنْظُرُ إِلَى عَلَمِهَا وَأَنَا فِي الصَّلَاةِ فَأَخَافُ أَنْ تَفْتِنَنِي

“Pergilah kalian dengan kain ini ke Abu Jahm dan datangkan kain kasar Abu Jahm. Karena ia barusan melenakan dalam shalatku. Hisyam bin Urwah mengatakan dari ayahnya dari Aisyah, Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Saya barusan melihat gambarnya, sementara saya dalam shalat, saya khawatir menggangguku.”

Kata ‘Khomishoh’ adalah baju bergaris dari sutera atau wol

Kata ‘Al-A’lam’ adalah ukiran dan hiasan

Kata ‘Anbajaniyah adalah kain tebal tidak ada gambar dan ukiran.

Dimakruhkan shalat di atas sajadah yang bergambar dan ada ada hiasannya karena dapat mengganggu dan melalaikan jamaah shalat. Bukan seperti yang disebutkan dalam pertanyaan yaitu karena ada penghinaan tempat suci dengan menginjaknya. Yang nampak hal itu tidak ada penghinaan dalam hal ini. Bahkan sajadah-sajadah ini sangat dijaga oleh pemiliknya dan biasanya menjadikan ruang kosong untuk tempat pijakan kaki.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya tentang sajadah yang ada gambar masjid apakah shalat di atasnya?

Maka beliau menjawab, “Pendapat kami, hendaknya tidak menaruh sajadah untuk Imam yang ada gambar masjidnya. Karena terdakang mengganggu dan memalingkan pandangannya dan ini mengurangi kekhusyukan shalat. Oleh karena itu ketika Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam shalat dengan kain yang ada gambarnya, beliau melihat selintas gambarnya. Ketika selesai beliau mengatakan, “Pergi dengan kain bergambar ini ke Abu Jahm. Dan datangkan kepadaku dengan kain kasar yang  tidak bergambar karena ia berusan melalaikan shalatku.” Muttafaq ‘alaihi dari hadits Aisyah radhiallahu anha.

Kalau seorang Imam shalat di atas sajadah bergambar sedangkan ia tidak tergangu dengan hal itu, karena buta atau karena hal ini seringkali dilewati sehingga tidak ada perhatian dan tidak mengalihkan pandangannya, maka kami berpendapat tidak mengapa shalat di atasnya. Wallahu muwafiq. Selesai dari ‘Majmu Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, (12/362).

 

Oleh: Ust. Taufik al-Hakim/Fatwa

 

Baca Fatwa Lainnya Tentang:

Hukum Menjadikan Bekam Sebagai Pekerjaan Tetap, Hukum Mengucapkan “al-marhum” Bagi Orang Meninggal, Gaya Rambut Terlarang

Hukum Menjamak Mandi Junub Dengan Mandi Jumat

Mandi Jumat dan mandi junub adalah dua amalan yang sama-sama bertujuan untuk mensucikan diri namun memiliki perbedaan faktor penyebab, hukum, dan konsekuensi. Meski demikian, apa benar mandi Jumat dan mandi junub itu boleh dijamak menjadi satu?

Seorang muslim yang hendak melaksanakan shalat Jumat disyariatkan untuk melaksanakan mandi Jumat. Mandi Jumat yang hukumnya sunnah ini dilaksanakan mulai sejak terbit matahari sampai sebelum berangkat menuju ke masjid.

Karena mandi Jumat ini hukumnya sunnah, maka ini berimbas pada konsekuensi hukumnya. Bagi seorang muslim yang telah melaksanakan mandi Jumat, tetap wajib untuk melaksanakan wudhu jika ingin melaksanakan shalat. Mandi Jumat tidak bisa mengangkat hadats yang ada pada tubuh.

Dalil syariat mandi Jumat dapat dijumpai dalam kitab-kitab hadits. Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ

“Mandi di hari Jumat wajib bagi setiap muhtalim (orang yang telah mimpi basah; dewasa).” (HR. Al-Bukhari no. 879 dan Muslim no. 846).

Dalam hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ

“Apabila salah seorang di antara kalian akan mendatangi shalat Jumat, hendaklah dia mandi.” (HR. Muslim no. 1399)

Dalam kesempatan lain beliau bersabda,

مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ

“Barangsiapa berwudhu di hari Jumat, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih utama.” (HR. An-Nasai no. 1380, At-Tirmidzi no. 497 dan Ibnu Majah no. 1091). Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah.

Baca Juga: Hukum Membangunkan Orang di Sela-sela Khutbah Jumat

Lain halnnya dengan mandi junub atau mandi janabah. Mandi junub dilakukan untuk mengangkat hadats besar yang ada pada tubuh karena sebab keluar mani, melakukan hubungan suami istri, selesai haidh, selesai nifas, orang kafir masuk Islam, dan muslim yang meninggal. Sehingga, mandi junub ini hukumnya wajib. Disebut juga dengan mandi wajib.

Dalilnya, firman Allah ‘Azza wa Jalla,

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al-Maidah: 6)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Fathimah binti Abi Hubaisy tentang perintah mandi setelah haidh berhenti. Beliau bersabda,

فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى

“Apabila kamu mendapati haidh, tinggalkanlah shalat. Apabila darah haidh berhenti, segeralah mandi dan mendirikan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 320 dan Muslim no. 333)

Karena dalam tata cara mandi junub telah ada wudhu, maka bagi orang yang telah mandi junub jika hendak melaksanakan shalat tidak perlu wudhu lagi.

Berkaitan dengan menjamak mandi Jumat dengan mandi junub menjadi satu, mayoritas Ulama Fikih membolehkan seseorang yang menjamak niat mandi Jumat dan mandi junub dalam satu mandi.

Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa meskipun ketika mandi seseorang meniatkan diri untuk mandi junub dan mandi Jumat, maka ia akan mendapat keduanya dan sah. (Al-Majmu’, 1/368)

Senada dengan itu, Imam Ibnu Qudamah juga berpendapat bahwa jika mandi dengan dua niat; mandi Jumat dan mandi junub, itu boleh. Beliau melihat tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam masalah tersebut. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 2/257)

Salah seorang ulama kontemporer, syaikh Abdul Aziz Ibnu Baz rahimahullah, juga pernah ditanya tentang masalah hukum menjamak mandi Jumat dengan mandi junub. Jawaban beliau sama, boleh, jika dilakukan di siang hari (sebelum shalat Jumat).

Baca Juga: “Sunnah Rasul Malam Jumat”, Katanya

Beliau menegaskan bahwa yang lebih utama adalah tetap meniatkan dengan dua mandi; mandi Jumat dan mandi junub. Dengan demikian, dia mendapat pahala keutamaan mandi Jumat juga. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 12/406)

Sementara itu, syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan lebih rinci lagi hukum menjamak mandi Jumat dengan mandi junub. (ar.islamway.net)

Jika seseorang mandi di hari Jumat dengan niat mandi junub, maka ia tak perlu melakukan mandi Jumat. Asalkan mandi dilakukan setelah terbitnya matahari. Kemudian jika meniatkan untuk dua mandi; mandi Jumat dan mandi junub, maka ia akan mendapat pahala keduanya.

Namun jika dia hanya meniatkan mandi Jumat saja, itu belum cukup untuk mengganti mandi junub. Sebab mandi junub itu hukumnya wajib yang bertujuan untuk mengangkat hadats, sehingga harus ada niat. Jika demikian, ia harus mandi lagi dengan niat mandi junub. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 16/137) Wallahu a’lam.

 

Oleh: Redaksi/fikih

Klik Di Sini Untuk Membaca Artikel Serupa

Hukum Kotoran Kucing

Akhir-akhir ini masyarakat dihebohkan dengan pernyataan seorang da’I yang menyebut bahwa kotoran kucing itu suci. Apakah pernyataan ini benar? Dan bagaimana pandangan ulama terhadap kotoran kucing? Tulisan bawah ini menjelaskannya.

 

Hukum Memelihara Kucing

Dibolehkan memelihara kucing dengan syarat diberi makanan secukupnya, sebagaimana yang tersebut di dalam hadits  Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ لَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا ، وَلَا سَقَتْهَا إِذْ حَبَسَتْهَا ، وَلَا هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ

“Seorang wanita disiksa karena seekor kucing yang dia kurung sampai mati. Dia masuk Neraka karenanya. Dia tidak memberinya makan dan minum sewaktu mengurungnya. Dia tidak pula membiarkannya dia makan serangga bumi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Air Liur Kucing tidak Najis

Air liur kucing suci, sehingga jika ia menjilat air di bejana atau minuman di gelas, maka air tersebut tetap suci, boleh berwudhu dengannya. Ini sesuai dengan hadits Kabsyah binti Ka’ab bin Malik,

 

عَنْ كَبْشَةَ بِنْتِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ وَكَانَتْ تَحْتَ ابْنِ أَبِى قَتَادَةَ : أَنَّ أَبَا قَتَادَةَ دَخَلَ عَلَيْهَا فَسَكَبَتْ لَهُ وَضُوءًا ، فَجَاءَتْ هِرَّةٌ تَشْرَبُ مِنْهُ فَأَصْغَى لَهَا أَبُو قَتَادَةَ الإِنَاءَ حَتَّى شَرِبَتْ – قَالَتْ كَبْشَةَ – فَرَآنِى أَنْظُرُ إِلَيْهِ فَقَالَ : أَتَعْجَبِينَ يَا ابْنَةَ أَخِى؟ قَالَتْ فَقُلْتُ : نَعَمْ. فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ :« إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ ، إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ ».

Dari Kabsyah binti Ka’ab bin Malik, bahwa beliau menjadi istri salah satu anak Abu Qatadah. Suatu ketika sahabat Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu datang menjenguknya, diapun menyiapkan air wudhu untuk bapak mertuanya. Tiba-tiba datang seekor kucing ingin minum air itu. Abu Qatadah-pun membiarkan kucing itu untuk minum. Kabsyah melihat kejadian ini keheranan. Kemudian Abu Qatadah berkata: “Apakah kamu merasa heran dengan hal ini, wahai anak saudaraku?” Kabsyah menjawab: “ Iya “. Kemudian Abu Qatadah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Kucing itu tidak najis. Kucing adalah binatang yang sering berkeliaran di tengah-tengah kalian.” (HR. Ahmad, Nasai, Abu Daud dan Tirmidzi. Hadits ini shahih).

Dalam riwayat lain dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan:

 

وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ بِفَضلها

Saya melihat Rasulullah berwudhu dengan air sisa minum kucing.” (HR. Abu Daud. Hadist ini shahih)

Dari hadist di atas disimpulkan bahwa air liur kucing hukumya suci, tidak najis. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’yah dan Hanabilah. Adapun Abu Hanifah dan Muhammad al-Hasan mengatakan bahwa air liur kucing hukumnya suci tapi makruh.  

 

Hukum Kotoran Kucing

Mayoritas ulama menyatakan bahwa kotoran dan air kencing kucing hukumnya najis. Tetapi mereka berbeda pendapat di dalam menghukumi kotoran hewan selain kucing.

Pertama, mazhab Hanafi berpendapat bahwa air kencing kucing dan tikus hukumnya najis. Ini adalah kesepakatan ulama Hanafiyah di dalam Dhahir Riwayat. Adapun di dalam riwayat yang lemah, terdapat perbedaan pendapat.   

Di dalam al-Bahru ar-Raiq (1/242), Ibnu Nujaim al-Hanafi berkata: “Dari sini diketahui bahwa yang dimaksud kesepakatan ulama bahwa air kencing kucing itu najis dalam perkataan mereka: “Jika seekor kucing kencing di sumur, maka harus dikuras semuanya, karena air kencingnya najis, sesuai dengan kesepakatan riwayat, begitu juga jika terkena baju maka menjadi najis, maksudnya kesepakatan riwayat yang dhahir, tetapi tidak semua riwayat, karena terdapat perbedaan di dalamnya.“ 

Kedua, madzhab Syafi’I menyatakan bahwa seluruh seluruh kotoran dan air kencing yang keluar dari hewan, hukumnya najis, baik yang dagingnya boleh dimakan seperti ikan, burung, ayam, dan kambing. Ataupun dari hewan yang tidak boleh dimakan seperti anjing dan babi. Begitu juga kotoran binatang yang tidak mempunyai darah mengalir, seperti nyamuk.

Berkata Abu Syujak asy-Syafi’I di dalam al-Ghayah wa at-Taqrib (hal.10): “Mencuci seluruh air kencing dan kotoran hukumnya wajib“ ( termasuk di dalamnya air kencing kucing)

Berkata Imam an-Nawawi di dalam al-Majmu’ ( 2/550): “Madzhab kami menyebutkan bahwa seluruh kotoran dan air kencing yang keluar dari hewan, hukumnya najis, baik yang dagingnya boleh dimakan, ataupun tidak, seperti burung. Begitu juga kotoran ikan dan belalang. Begitu juga kotoran binatang yang tidak mempunyai darah mengalir, seperti nyamuk, maka air kencing dan kotorannya tetap najis menurut madzhab (Syafi’i).”

Ketiga, madzhab Hanbali membedakan antara hewan yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan.

Berkata Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni (1/768):  “Sesuatu yang sulit dihindari ada dua macam;

-pertama, makhluk yang menjadi najis jika mati, seperti kucing dan yang lebih kecil bentuknya dari itu. Maka seperti ini hukumnya mengikuti hukum pada diri manusia. Apa-apa yang kita hukumi najis dari manusia, maka kita hukumi najis juga yang berasal dari kucing tersebut. Begitu juga sebaliknya, apa yang kita hukumi dari manusia suci, maka kita hukumi dari kucing tersebut suci juga, kecuali air maninya, maka hukumnya tetap najis. Karena mani manusia adalah bahan penciptaannya, maka menjadi mulia dengan statusnya yang suci. Berbeda dengan air mani kucing dan sejenisnya. 

-Kedua(sesuatu yang sulit dihindari) adalah binatang yang memiliki darah tidak mengalir (seperti lalat, semut dll), maka hukumnya suci seluruh anggota badannya, termasuk kotorannya. 

Sebagian kecil ulama berpendapat bahwa kotoran dan air kencing kucing tidak najis, karena sulitnya menghindar darinya. Dasarnya adalah hadist Kabsyah bin Ka’ab bin Malik di atas tentang sucinya kucing. Tentunya pendapat ini lemah, karena yang dimaksud sucinya kucing adalah air liurnya dan badannya, bukan air kencing atau kotorannya, sebagaimana manusia suci badan dan air liurnya, tetapi air kencingnya tetap najis.

Berkata Syekh al-Utsaimin: ”Segala sesuatu yang tidak boleh dimakan dagingnya, maka air kencing dan kotorannya najis, walaupun badannya suci. Seperti manusia, air kencing dan kotorannya najis, walaupun badannya suci ketika hidup dan ketika mati. Begitu juga kucing, badannya suci, tetapi air kencing dan kotorannya najis.“ Wallahu A’lam.

 

Oleh: Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA/Fikih Kontemporer

 

Baca Juga: 

Hukum Menindik Telinga, Hidung dan Pusar

Hukum Mendonorkan Sebagian Organ Tubuh

Hukum Nikah Sirri dalam Islam

 

Yang Dilakukan Makmum Masbuk Saat Shaf Sudah Penuh

Pertanyaan:

Assalaamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh, Ustadz, saya mau tanya :

  1. Apa yang harus dilakukan makmum masbuk ketika shaf shalat sudah penuh. Apakah boleh menarik mundur makmum lain agar berdiri bersamanya, atau berdiri sendirian di belakang shaf shalat?
  2. Lalu apakah sah shalatnya orang sendirian di belakang shaf, karena pernah ada yang bilang bahwa Rasulullah memerintahkan untuk mengulanginya?

Abdullah, Masaran Sragen

 

Jawaban:

Ketika seorang makmum masbuk datang, dan melihat shaf sudah penuh, hendaknya mencari celah shaf dengan menembus shaf bila memungkinkan. Bila dia tidak mendapatkan celah atau kelonggaran shaf, dalam hal ini ada dua pendapat:

Pertama, dia tetap berdiri sendiri dan tidak menarik salah satu dari jama’ah shalat, sehingga tidak menghalangi dari keutamaan shaf yang terdahulu, ini pendapat al-Qadhi Abu Thayib. 

kedua, disunahkan baginya menarik salah satu jama’ah shalat dari shaf, dan bagi yang ditarik disunahkan menolongnya, sehingga ia terbebas dari pendapat ulama, bahwa shalat sendirian di belakang shaf tidak sah, ini adalah pendapat kebanyak dari ulama Syafi’iyyah juga Abu Hamid.

Adapun pertanyaan kedua, kebanyakan ulama tetap menghukumi shalatnya sah dan diterima, walaupun menurut Ahmad dan Abu Tsur shalatnya rusak. Perselisihan mereka disebabkan oleh perselisihan atas keshahihan hadits Wabisah bin Ma’bad:

 

عَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَدٍ أَنَّ رَجُلاً صَلَّى خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعِيدَ الصَّلاَةَ

Dari Wabisah bin Ma’bad, ia berkata, “Ada seorang laki-laki shalat sendirian di belakang shaf. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar ia mengulangi shalatnya.” (HR. Tirmidzi)

Imam Syafi’i berpendapat, bahwa hadits ini bertentangan dengan hadits Anas yang menjelaskan, pernah ada seorang yang tua sendirian di belakang shaf. Menurut Ahmad, hadits ini tidak bisa dijadikan alasan, karena termasuk dari sunah wanita, adalah berdiri shalat di belakang imam, walaupun dia sendirian.

Dan kebanyakan ulama, berdasarkan dengan hadits Abu Bakrah, bahwa Abu Bakrah pernah berdiri dan ruku’ di belakang shaf, tapi Rasulullah SAW tidak memerintahkan mengulangi shalatnya.

Lalu Ibnu Taimiyah menengahi dalam hal ini, “Bahwa shalat makmum sendirian di belakang shaf karena tidak mendapatkan kelonggaran hukumnya makruh dan tidak sesuai dengan sunnah. Tapi shalatnya tetap sah, karena semua kewajiban shalat bisa gugur karena ketidakmampuan. (Fatawa Kubra:2 /327, Bidayatul Mujtahid:1/108, Al-Majmu:4/255)

 

Oleh: Redaksi/Konsultasi

 

Baca Juga: 

Tak Shalat Berjamaah Karena Sibuk Bekerja

Kapan Diwajibkan Bermadzhab?

Hukum Menjalin Jemari Saat Menunggu Shalat

Tak Shalat Berjamaah Karena Sibuk Bekerja

Pertanyaan:

Bapakku seorang kuli bangunan. Terkadang ia tidak pergi ke masjid untuk shalat berjamaah karena pekerjaannya. Apakah hal tersebut dibolehkan?

 

 

Jawaban

Seorang muslim hendaknya menjaga shalat berjamaah di masjid dalam semua waktunya. Jangan sampai kesibukan dunia menghalangi dirinya dari shalat berjamaah.

Allah berfirman,

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ 

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9)

Cobalah memberi nasihat kepada Ayah Anda dengan cara yang bijak dan mengingatkannya dengan dalil-dalil yang sahih.

Seorang muslim tidak boleh bersusah payah bekerja untuk dunia namun mengorbankan ibadah dan shalatnya. Salah satu ciri orang beriman telah disebutkan oleh Allah yaitu tidak terbuai oleh perdagangan mereka dan jual beli mereka sehingga lupa berzikir kepada Allah dan menegakkan shalat. Sebagaimana firman-Nya,

 

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالآَصَالِ . رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأَبْصَارُ . لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ  

“(Mereka) bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.  (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan Balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (QS. an-Nur: 36-38)

Dan kumpulan ayat-ayat tersebut ditutup dengan firman Allah Ta’ala,

 

وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”

Hal ini sebagai isyarat bahwa hendaknya bagi orang yang sibuk berdagang dan bekerja dengan mengabaikan ketaatan kepada Rabbnya menyadari bahwa rezeki itu ada di tangan Allah, Dia yang memberi rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki tanpa batas.

Kita memang dianjurkan untuk menjemput rezeki dengan bekerja, akan tetapi seorang muslim tak boleh berlebihan dalam bekerja sehingga menghabiskan seluruh waktunya dengan mengorbankan ketaatan, kesehatan, dan pendidikan anak-anaknya. Hendaknya dia bersungguh-sungguh dan selalu mendekat kepada Allah.

Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua dan memberikan rezeki yang baik dan barokah. Wallahua’lam.

 

Oleh: Redaksi/Konsultasi

 

Baca Konsultasi Yang Ini Juga: 

 

Menjadi Suami Rumah Tangga Seperti Nabi

Banyak suami merasa pekerjaan rumah tangga seperti menyapu, memasak, mencuci piring, momong anak adalah pekerjaan domestik istri. Banyak suami yang tak mau menyentuh ranah ini. “Saya paling tidak suka bila tidur saya terganggu, apalagi untuk mengganti popok anak,” ujar seorang bapak. Ada juga yang mengatakan, “Saya sudah sibuk seharian bekerja. Urusan rumah tangga urusan istri.”  Padahal, suatu hal yang baik apabila suami mau membantu pekerjaan rumah yang biasa dilakukan istri untuk meringankan pekerjaan dan beban keseharian istri.

Ummul mukminin, Aisyah pernah ditanya, “Apa yang dilakukan Nabi di rumah?” Beliau menjawab, “Beliau ikut membantu melaksanakan pekerjaan keluarganya.” (HR. Bukhari).

Dalam hadits ibunda Aisyah yang lainnya, beliau berkata, “Nabi saw menjahit kainnya, menjahit sepatunya, dan mengerjakan apa yang biasa dikerjakan oleh kaum wanita di rumah mereka.” (HR. Ahmad).

Baca Juga: Kisah Pasangan Harmonis Yang Paling Tragis

Tentu tak ada yang meragukan kesibukan Rasulullah, bukan? Beliau seorang Nabi dengan kesibukan dakwah yang luar biasa dan beliau juga seorang pemimpin. Namu, beliau sangat senang membantu pekerjaan istri beliau. Hal itu beliau lakukan kapan saja selagi beliau di rumah bersama istrinya.

Al-Aswad pernah bertanya kepada ibunda Aisyah, istri Rasulullah, mengenai apa yang dilakukan Nabi di rumah. Beliau mengatakan, “Beliau biasanya suka membantu urusan keluarganya, lalu ketika waktu shalat tiba, beliau pergi ke masjid untuk mengerjakan shalat.”

Catatan penting bagi para suami bahwa ketika tiba waktu shalat, Nabi meninggalkan pekerjaan rumahnya untuk pergi ke masjid. Rasulullah meninggalkan pekerjaannya saat panggilan adzan berkmandang di masjid. Tak ada istilah kena tanggung, pakaian masih kotor, dan lain sebagainya.

Nabi telah memberi teladan kepada para suami bahwa mengerjakan pekerjaan rumah bukanlah hal yang tabu. Suami harus menyadari bahwa meskipun tampak sepele, pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan yang berat. Istri dituntut untuk bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu demi untuk berbakti kepada suaminya. Membuatnya senang dan betah di rumah.

 

Mari kita Tengok Kembali Kisah Fathimah, Putri Rasulullah

Fathimah merasa lelah dengan banyaknya pekerjaan rumah tangga yang harus ditanganinya. Dia pun pergi menemui Rasulullah untuk meminta seorang pembantu, yakni seorang wanita yang bisa membantunya.

Tatkala Fathimah memasuki rumah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, dia tidak mendapatkan beliau. Dia hanya mendapatkan Aisyah, Ummul Mukminin. Lalu Fathimah menyebutkan keperluannya kepada beliau. Tatkala Rasulullah tiba, ibunda Aisyah mengabarkan urusan Fathimah.

Beliau mempertimbangkan permintaan Fathimah. Kebetulan memang beliau mempunyai beberapa orang tawanan perang, di antaranya wanita. Tetapi tawanan-tawanan ini akan dijual dan hasilnya akan disalurkan kepada orang-orang Muslim yang fakir, yang tidak mempunyai tempat tinggal dan makanan. Lalu beliau pergi ke rumah Fatimah. Saat itu Fatimah dan suaminya hendak tidur. Beliau masuk rumah putrinya dan bertanya, “Saya mendapat kabar bahwa kamu datang untuk meminta satu keperluan. Apakah keperluanmu?”

Fathimah menjawab, “Saya mendengar kabar bahwa beberapa pembantu telah datang kepada engkau. Maka aku ingin agar engkau memberiku seorang pembantu untuk membantuku membuat roti dan adonannya. Karena hal ini sangat berat bagiku.”

Beliau berkata, “Mengapa engkau tidak datang meminta yang lebih engkau sukai atau lebih baik dari hal itu?” Kemudian beliau memberi isyarat kepada keduanya, bahwa jika keduanya hendak tidur, hendaklah bertasbih kepada Allah, bertakbir dan bertahmid dengan bilangan tertentu yang disebutkan kepada keduanya. Lalu akhirnya beliau berkata. “Itu lebih baik bagimu daripada seorang pembantu.”

Baca Juga: Saat Konflik Mendera Dalam Bahtera Keluarga

Ali tidak melupakan wasiat ini, hingga setelah istrinya meninggal. Hal ini disebutkan dalam hadits riwayat Muslim.

Oleh karenanya, ketika ada waktu, suami hendaknya berusaha membantu pekerjaan istri, semampu yang ia bisa.

Mengerjakan pekerjaan rumah bagi suami bukan berarti bertukar peran sebagaimana yang kita saksikan di dalam sinetron. Suami menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga, sementara istri duduk bermalas-malasan sambil bermain HP atau menonton TV. Karena salah satu tugas utama suami sebagai qowam keluarga adalah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun, seorang suami selayaknya menunjukkan bahwa ia siap membantu istrinya bila mampu. Bila belum mampu tunjukkan minat untuk membantu. Kehadiran suami saat istri sedang melakukan pekerjaan rumah saja terkadang sudah cukup membahagiakan istri. Apalagi ikut mengiris bawang atau memasukkan bumbu ke dalam air yang terjerang panas untuk mematangkan hidangan, sungguh momen yang berkesan.

Jika suami tidak dapat melakukan hal ini, setidaknya ia memberikan pujian kepada istrinya dan memberikan senyuman tanda keridhaan kepadanya. Ketika ada sedikit kekurangan dari apa yang dilakukan istri, maklumi saja, tak perlu memarahi apalagi sampai memaki. Wallahu a’lam.  

 

Oleh: Redaksi/Keluarga 

Kapan Diwajibkan Bermadzhab?

Pertanyaan:

Kapan seseorang wajib/diharuskan bermadzhab dan kapan tidak diharuskan, Bagaimana adab dan etika dalam bermadzhab?

Hamba Allah, via email.

 

Jawaban:

Alhamdulillah was shalatu wassalamu’ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa man tabi’a hudah, wa ba’du.

Seorang muslim tidak diwajibkan untuk mengikuti salah satu dari 4 madzhab yang ada. Dalam hal pengetahuan, pemahaman dan kemampuan menyimpulkan hukum, setiap muslim berbeda dan bertingkat. Diantara mereka ada yang dibolehkan untuk mengikuti salah satu pendapat dari madzhab yang ada, bahkan wajib mengikutinya karena keterbatasan pemahaman, sedang yang lain tidak diperbolehkan karena memiliki kemampuan untuk beristinbath (mengambil kesimpulan) dari al-qur’an dan sunnah.

Setiap kita wajib bertanya kepada ahlu dizkr (orang yang memiliki ilmu/ulama’) bila tidak mengetahui suatu permasalahan dalam agama, sebagaimana firman Allah: “Fasaluu ahla dzikr in kuntum laa ta’lamuun, “Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Anbiya: 7)

 

Belajar Madzhab Dianjurkan

Seseorang dianjurkan untuk belajar fiqih dengan madzhab tertentu sehingga ia mendapatkan kemudahan dalam memahami dalil dan dapat menyimpulkan hukum dari dalil tersebut.

Adapun Adab dan etika dalam belajar madzhab adalah tidak berlebih-lebihan; menganggap bahwa perkataan madzhab adalah perkatan yang paling benar, fanatik buta terhadap imam madzhab sehingga menimbulkan pertikaian di masjid- masjid yang memiliki perbedaan pendapaat dalam fikih. Seharusnya setiap penuntut ilmu tetap menjaga kesatuan kalimat tauhid dan kesatuan hati serta mengambil manfaat dari seluruh ulama Islam.

Baca Juga: Menjadi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Yang Hakiki

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Adapun berafiliasi kepada satu imam dalam urusan cabang agama, tidaklah tercela, karena perbedaan pendapat dalam masalah cabang adalah rahmat yang luas dan kesepakatan mereka merupakan hujjah yang kuat.” (Lum’atul I’tiqod, hal. 42)

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Perkumpulan yang menyebabkan berpecah belahnya persatuan umat dan hatinya saling berselisih, maka dia adalah jamaah yang batil. Adapun perkumpulan yang tidak menyebabkan hal tersebut, seperti perbedaan antara mazhab fiqih, yang ini mazhabnya Hambali, yang ini Syafii dan yang ini Maliki, yang ini Hanafi, maka hal ini tidak bermasalah, selama hatinya masing-masing tetap bersatu dan persatuan umat tidak tercerai-berai.” (Liqo Al-Bab Al-Maftuh, 19/87, maktabah syamilah), wallahua’lam bis shawab.

 

Oleh: Taufik el-Hakim,Lc

Terkait: Konsultasi, Fatwa

Rincian Pemanfaatan Bunga Bank

Banyak masyarakat yang bertanya tentang pemanfaatan dari bunga bank, apakah haram secara mutlak, atau boleh dimanfaatkan untuk kepentingan umum?

 

Hukum Bunga Bank

Sebelum menjawab pertanyaan di atas perlu disampaikan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwanya Nomor 1 Tahun 2004, tentang Bunga (Interest atau Fa’idah) telah menyatakan keharaman Bunga Bank. Diantara bunyi fatwa tersebut adalah sebagai berikut:

“(1). Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  , yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.

(2). Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.”

         

Rekening di Bank Konvensional

Jika kita mengetahui bahwa bunga bank adalah riba, maka tidak boleh membuka rekening di bank-bank yang masih menggunakan sistem riba di dalamnya, yaitu bank-bank konvensional.

Bagaimana kalau dia seorang PNS atau pegawai kantor yang tidak mendapatkan gaji kecuali melalui bank konvensional, apakah boleh membuka rekening di bank tersebut? Jawabannya: kalau memang tidak mendapatkan uang tersebut kecuali melalui bank konvensional, maka dalam keadaan seperti ini hukumnya dibolehkan karena darurat, dan darurat membolehkan yang pada asalnya haram. Ini sesuai dengan firman Allah:

 

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ 

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Baqarah: 173 )

Dan sesuai dengan kaidah fiqh,

 

 الضرورات تبيح المحظورات

“Dalam keadaan darurat membolehkan sesuatu yang (pada dasarnya) dilarang.” (as-Suyuti, al-Asybah wa an-Nadhair, hlm. 83)

Sebagaimana pada ayat di atas, kedaruratannya tidak boleh dicari-cari (غَيْرَ بَاغٍ) dan tidak boleh berlebihan dalam menggunakannya (وَلَا عَادٍ). Oleh karenanya setelah mendapatkan uang tersebut, harus segera dipindahkan ke rekening Bank Syariah.

 

Di dalam Fatwa Majelis Ulama Nomor 1 Tahun 2004, tentang hukum bermu’amalah dengan Lembaga Keuangan Konvensional:

1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor atau jaringan Lembaga Keuangan Syari’ah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga.

2. Untuk wilayah yang belum ada kantor atau jaringan Lembaga Keuangan Syariah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat atau  hajat.

 

arrisalahnet arrisalahnet aarrisalahnet arrisalahnet Rincian Halal-Haram Dalam Memanfaatkan Bunga Bank

 

Memanfaatkan Uang Riba

Orang yang menyimpan dan membuka rekening di Bank Konvensional tidak lepas dari beberapa keadaan:

Keadaan Pertama: Dia membuka rekening karena keinginannya sendiri, dan mencari keuntungan darinya, karena menganggap bunga yang dia dapat dari Bank Konvensional jauh lebih tinggi daripada kalau dia menyimpan di Bank Syariah. Sebagian orang beralasan karena service dan fasilitasnya lebih bagus dari Bank Syariah.

Keadaan seperti ini bukumnya haram, karena tidak ada darurat di dalamnya. Seandainya uang hasil bunga dari riba disalurkan kepada kepentingan sosialpun, dia tetap berdosa.

Keadaan Kedua: Dia membuka rekening karena darurat, sebagaimana yang dijelaskan di atas. Hukumnya boleh sebatas kebutuhan saja.

Keadaan Ketiga: Dia membuka rekening atau menyimpan uang di Bank Konvensional bertahun-tahun lamanya karena ketidaktahuannya tentang keharaman riba, kemudian dia mulai paham karena belajar dan mengaji, kemudian ingin bertaubat dari riba. Inilah yang dimaksud dalam fatwa para ulama bahwa uang hasil riba ( yang sudah terlanjur), dianjurkan untuk diambil dan disalurkan kepada kemashlahatan umat Islam, seperti pembangunan jalan, pembangunan wc umum, perbaikan jembatan, bantuan korban bencana alam dan sejenisnya.

Ada dua pertanyaan terkait poin ketiga di atas:

1. Kenapa bunga riba dianjurkan untuk diambil, bukankah itu uang haram. Apakah tidak lebih baik dibiarkan saja di Bank Konvensional?

Jawabannya: dianjurkan diambil karena kalau dibiarkan tersimpan di Bank Konvensional, maka akan menjadikan keuntungan bagi merekadan akan dipergunakan untuk membesarkan Bank tersebut dan melanggengkan sistem riba. Seakan-akan orang yang membiarkan bunganya di bank tersebut, telah membantu bank untuk membesarkan sistem riba, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2.

Maka dengan mengambil bunga dari bank , kemudian disalurkan kepada kemaslahatan umat Islam, telah melemahkan bank yang menggunakan sistem riba.

2.Kenapa bunga tersebut disalurkan kepada kemashlatan umat Islam?

Jawabannya, karena bunga bank tersebut diambil dari orang-orang yang berutang kepada bank tersebut, sedang kita tidak tahu siapa saja mereka itu. Oleh karenanya, bunga tersebut kita kembalikan kepada kemashlatan umat Islam.

Adapun kriteria kemaslahatan umat Islam adalah setiap manfaat yang bisa dinikmati oleh umat Islam secara umum, tidak terbatas pada seseorang, seperti membangun jembatan, memperbaiki jalan umum yang rusak, mendirikan wc dan toilet umum, membantu korban bencana alam dan lain-lainnya.

Apakah boleh disalurkan untuk pembangunan masjid?  Para ulama berbeda pendapat, sebagian melarangnya, dan sebagian lain membolehkannya, karena masjid termasuk kepentingan umat Islam secara umum. Imam an-Nawawi berkata di dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (9/351) menukil perkataan Imam al-Ghazali: “Jika (uang haram) tersebut tidak diketahui pemiliknya, dan susah untuk mencarinya, maka hendaknya disalurkan kepada kemashlahatan umum umat Islam,  seperti membangun jembatan, penghubung jalan, mendirikan masjid, dan perbaikan jalan menuju ke Mekkah  dan hal-hal serupa yang merupakan kemashlatan umat Islam. Jika tidak bisa juga, maka dibagikan kepada para fakir miskin.” 

 

Pertanyaannya, bukankah uang riba adalah uang haram, kenapa boleh diinfakkan kepada fakir miskin? Bukankah infak itu harus dari harta yang halal, sebagaimana firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ 

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (Qs. al-Baqarah: 267)

 

Jawabannya, menyalurkan uang hasil riba kepada mashlahat umum dan kepada fakir miskin tidak masuk dalam katagori “infak“ sebagaimana yang diperintahkan Allah pada ayat di atas, tetapi masuk dalam katagori membersihkan uang haram dari diri kita dan disalurkan kepada yang bermanfaat. Sekali lagi bukan berniat infak, tetapi berniat untuk membuang harta haram, tetap tetap bermanfaat bagi orang banyak.

Hal itu juga karena tidak ada cara lain untuk membersihkan uang haram tersebut dari diri kita, kecuali dengan cara di atas. Uang tersebut, tidak boleh dibakar atau disobek, atau dibuang ke laut, karena termasuk dalam tindakan mubadzir  yang dilarang oleh Allah, sebagaimana dalam firman-Nya:

 

وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا 

 “..dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (Qs. al-Isra’: 26-27)

 

Tidak boleh juga dibiarkan di Bank Konvensional, karena akan menguatkan mereka dan membudayakan riba.  

Berkata Imam an-Nawawi berkata di dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (9/351 : ” Hal itu, karena kita tidak boleh memusnahkan uang haram tersebut dan membuangnya ke laut, maka tidak ada cara lain kecuali disalurkan kepada kemaslahatan umat Islam. “

Apakah fakir miskin yang menerima uang haram itu termasuk dalam katagori orang-orang yang memakan uang haram juga?

Jawabannya, bagi fakir miskin tidak termasuk haram. Para ulama meletakkan sebuah kaidah fiqh yang berbunyi,

ما كان محرما لكسبه، فإنما إثمه على الكاسب لا على من أخذه بطريق مباح من الكاسب

“Harta yang didapat dengan cara haram, maka  dosanya bagi yang berbuat, bukan bagi yang mengambil darinya dengan cara yang benar.”

Ini seperti uang hasil riba, maka dosanya bagi yang bertransaksi dengan cara riba, bukan bagi yang mendapatkan dari orang tersebut dengan cara yang benar. Artinya orang yang bekerja di Bank Konvensional itu membeli makanan dari sebuah warung, maka uang yang didapat dari pemilik warung tersebut halal, walaupun itu berasal dari uang riba. Karena pada hakikatnya yang haram itu bukan pada uangnya, tetapi pada cara mendapatkannya.

Ini berbeda dengan barang yang dzatnya haram, seperti khamr, babi, dan narkoba, maka kita tidak boleh menerimanya, atau disalurkan kepada orang miskin. Wallahu A’lam.

Oleh: Dr. Ahmad Zain an-Najah

 

Materi Fikih Lainnya: 

 

Hukum Kopi Luwak

Kopi Luwak adalah kopi yang diproduksi dari biji kopi yang telah dimakan dan melewati saluran pencernaan luwak. Luwak adalah sejenis musang, karenanya biasa dikatakan musang luwak. Binatang karnivora ini juga suka mencari buah-buahan yang baik dan masak, termasuk buah kopi. Luwak memilih buah kopi yang betul-betul masak sebagai makanannya. Kemudian, biji kopi yang dilindungi kulit keras dan tidak tercerna akan keluar bersama kotoran luwak.

Berdasarkan keterangan di atas, menentukan hukum kopi luwak dikembalikan kepada dua masalah: Pertama, apakah musang itu halal dimakan atau haram? Kedua, apakah kotorannya suci atau najis?

 

Hukum Daging Luwak

Musang luwak adalah hewan mamalia yang termasuk suku musang dan garangan. Hewan ini juga dipanggil dengan berbagai sebutan lain seperti, careuh (Sunda), luak atau luwak (Jawa), serta musang pulut dalam bahasa malaysia. Di desa-desa, luwak dikenal sebagai binatang yang suka memangsa ayam, sehingga sering diburu oleh manusia. Tetapi sebenarnya, luwak lebih sering memakan aneka buah-buahan di kebun dan pekarangan, seperti buah  pepaya, pisang, bahkan coklat. Luwak juga suka makan serangga, cacing tanah, kadal serta bermacam-macam hewan kecil lain yang bisa ditangkapnya, termasuk mamalia kecil seperti tikus.

Pertanyaannya, apakah luwak termasuk binatang buas yang haram untuk dimakan?   Para ulama berbeda pendapat:

  Pendapat Pertama: daging luwak haram, karena termasuk binatang buas yang bertaring, sebagaimana di dalam hadist Abu Hurairah RA bahwasanya Nabi SAW bersabda:

كُلُّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ

 “Setiap binatang buas yang bertaring maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim)

  Pendapat Kedua: mengatakan walaupun luwak binatang pemakan daging dan buas, tetapi tidak menyerang manusia, sehingga dagingnya halal dimakan.  Luwak ini seperti adh-dhobu’(hyena) yang halal dimakan. Sebab, hyena tidak menyerang manusia, walaupun termasuk binatang pemakan daging. Dalilnya hadist Jabin bin Abdillah:


عن جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الضَّبُعِ فَقَالَ هُوَ صَيْدٌ وَيُجْعَلُ فِيهِ كَبْشٌ إِذَا صَادَهُ الْمُحْرِمُ

Dari  Jabir bin Abdillah, ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hyena? Beliau menjawab: Hyena adalah binatang buruan, dan bila seorang yang sedang berihram memburu binatang ini, dia dikenakan denda dengan menyembelih seekor domba.” (HR Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad)

 

Hukum Kopi Luwak

Sebagaimana diterangkan di atas bahwa kopi luwak bukanlah kopi yang berasal dari kotoran luwak, tetapi berasal dari biji kopi yang tidak dicerna di dalam perut luwak, kemudian keluar bersama kotoran luwak. Pertanyaannya adalah apakah kotoran luwak itu najis? Kita kembalikan kepada perbedaan ulama di atas, jika luwak adalah binatang yang haram dimakan, maka kotoran luwak adalah najis, kalau kotorannya najis, maka biji kopi yang keluar bersama kotorannyapun menjadi najis. Agar halal untuk dikonsumsi, maka biji kopi tersebut harus disucikan terlebih dahulu. Setelah suci, maka biji kopi tersebut siap untuk diproses menjadi kopi luwak.

Hal seperti ini pernah disebutkan di dalam fiqh madzhab Syafi’i, sebagaimana yang ditulis Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’:

Para sahabat kami (dari ulama madzhab Syafi’i) RHM:  mengatakan: “Jika ada hewan memakan biji-bijian (dari tumbuhan) dan keluar lagi dari dari perutnya dalam keadaan masih baik,  jika kerasnya masih utuh, yaitu jika biji tersebut ditanam kembali, akan dapat tumbuh, maka biji tersebut dikatakan suci, tetapi harus dibersihkan luarnya karena terkena najis.

Baca Juga: Hukum Jual-Beli Anjing

Pendapat ini diambil oleh  MUI (Majlis Ulama Indonesia) di dalam sidang fatwanya pada hari Selasa (20/ 7/ 2010) yang menetapkan bahwa biji kopi yang keluar bersama kotoran binatang tersebut statusnya halal setelah adanya proses pensucian.

Adapun jika kita mengambil pendapat kedua yang mengatakan bahwa luwak adalah binatang yang halal dimakan, secara otomatis kotoran kopi luwak tersebut tidak najis. Ini  menurut pendapat ulama yang mengatakan bahwa luwak adalah binatang yang boleh dimakan dagingnya, secara otomatis kotorannya tidak najis. Ini dikuatkan dengan dalil-dalil sebagai berikut:

Pertama: hadist ‘Urayinin:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلِقَاحٍ وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا فَانْطَلَقُوا فَلَمَّا صَحُّوا قَتَلُوا رَاعِيَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتَاقُوا النَّعَمَ فَجَاءَ الْخَبَرُ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ فَبَعَثَ فِي آثَارِهِمْ فَلَمَّا ارْتَفَعَ النَّهَارُ جِيءَ بِهِمْ فَأَمَرَ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ وَأَرْجُلَهُمْ وَسُمِرَتْ أَعْيُنُهُمْ وَأُلْقُوا فِي الْحَرَّةِ يَسْتَسْقُونَ فَلَا يُسْقَوْنَ

Dari Anas bin Malik berkata, “Beberapa orang dari ‘Ukl atau ‘Urainah datang ke Madinah, namun mereka tidak tahan dengan iklim Madinah hingga mereka pun sakit. Beliau lalu memerintahkan mereka untuk mendatangi unta dan meminum air kencing dan susunya. Maka mereka pun berangkat menuju kandang unta (zakat), ketika telah sembuh, mereka membunuh pengembala unta Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan membawa unta-untanya. Kemudian berita itu pun sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelang siang. Maka beliau mengutus rombongan untuk mengikuti jejak mereka, ketika matahari telah tinggi, utusan beliau datang dengan membawa mereka. Beliau lalu memerintahkan agar mereka dihukum, maka tangan dan kaki mereka dipotong, mata mereka dicongkel, lalu mereka dibuang ke pada pasir yang panas. Mereka minta minum namun tidak diberi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadist di atas menunjukan bahwa air kencing unta tidak najis, karena Rasulullah SAW memerintahkan ‘Urayinin yang terkena sakit untuk berobat dengan meminum air susu dan air kencing unta. Beliau tidak akan menyuruh untuk meminum sesuatu yang najis. Adapun air kencing hewan-hewan lain yang boleh dimakan juga tidak najis dengan mengqiyaskan kepada air kencing unta.

  Kedua: hadist Anas bin Malik,

عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي قَبْلَ أَنْ يُبْنَى الْمَسْجِدُ فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ

“Dari Anas berkata, “Sebelum masjid dibangun, Nabi SAW shalat di kandang kambing.” (HR. Bukhari)

Dibolehkannya sholat di dalam kandang kambing dalam hadist di atas menunjukkan bahwa air kencing kambing adalah suci tidak najis, karena biasanya kandang kambing itu tidak bisa terlepas dari air kencing dan kotoran kambing.

Baca Juga: Hukum Rokok Herbal

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa binatang yang boleh dimakan termasuk di dalamnya binatang luwak, status kotorannya tidak najis.  Jika kotoran luwak tidak najis, tentunya biji kopi tersebut menjadi halal dengan sendirinya.

Dari keterangan di atas, baik dengan mengambil pendapat yang mengatakan bahwa luwak adalah binatang buas yang tidak boleh dimakan, maupun pendapat yang mengatakan bahwa luwak halal dimakan, tetap saja kopi luwak hukumnya halal. Wallahu A’lam

 

Oleh: Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA

 

Tema Lainnya:

 

Berpuasa Untuk Mayit

Orang-orang yang meninggalkan puasa wajib, seperti puasa Ramadhan, Nadzar, dan yang lainnya, kemudian meninggal dunia, mereka terbagi dalam 3 golongan :

Golongan Pertama: Orang yang tidak berpuasa karena meremehkan ajaran Islam, padahal dia mampu berpuasa. Orang seperti ini telah melakukan perbuatan dosa besar, karena meninggalkan salah satu rukun Islam. Jika dia meninggal dunia, maka wali dan kerabatnya tidak boleh berpuasa untuknya.  

Golongan Kedua: Orang yang tidak berpuasa karena udzur, seperti sakit dan safar, kemudian meninggal dunia dalam keadaan sakit atau safar, atau kemudian meninggal dunia pada waktu Idul Fitri, sehingga tidak bisa mengqadha’ puasanya. Dalam keadaan seperti ini, kewajiban berpuasa atasnya menjadi gugur, dan dianggap tidak ada utang puasa atasnya.  Maka, tidak boleh berpuasa untuk si mayit tersebut. Ini merupakan kesepakatan para ulama.

Golongan Ketiga: Orang yang tidak berpuasa karena suatu udzur, seperti sakit, safar, dan haid, kemudian sembuh dari sakitnya, atau telah datang dari safarnya, atau telah bersih dari haidnya, tetapi dia tidak langsung meng-qadha’ puasanya, padahal ada waktu dan kesempatan, hanyasaja dia mengundur-undurkannya sehingga meninggal dunia, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, apakah walinya berkewajiban berpuasa untuknya atau cukup membayarkan fidyah?

 

Pendapat Pertama: Disunnahkan wali (kerabat) mayit berpuasa untuknya. Jika tidak mampu berpuasa, maka boleh membayarkan fidyah untuknya. Ini adalah pendapat Thawus, Hasan Bashri, Zuhri, Qatadah, Abu Tsaur dan  Syafi’i dalam al-Qaul al-Qadim. (An-Nawawi, al-Majmu’: 6/368 dan Syarh Shahih Muslim, 8/25)

Mereka berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut:

 

Pertama: Hadits ’Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“ Barang siapa yang meninggal dunia, sedangkan dia  mempunyai kewajiban berpuasa, maka hendaknya walinya berpuasa untuknya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas bersifat umum mencakup semua puasa, kemudian dikhususkan hanya pada puasa wajib, seperti puasa Ramadhan dan Nadzar, sebagaimana di dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang akan disebutkan kemudian.

 

Kedua: Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا؟ قَالَ: ” نَعَمْ، قَالَ: فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى “

“ Datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya ibuku meninggal dunia, dan dia mempunyai kewajiban satu bulan berpuasa, apakah saya bisa membayarkan puasa untuknya?” Beliau bersabda: “Ya.” Lalu bersabda: “Utang kepada Allah lebih pantas lagi untuk dibayarkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Pendapat Kedua: Tidak ada kewajiban berpuasa untuknya, tetapi yang wajib hanyalah membayarkan fidyah untuknya. Ini pendapat mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’i di dalam al-Qaul al-Jadid. ( al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an : 2/ 285)

Mereka berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut :

 

Pertama: Hadits  Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

 مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعِمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

“ Barang siapa yang meninggal, sedangkan dia mempunyai kewajiban puasa satu bulan Ramadhan, maka hendaklah (walinya) memberi makan untuknya, setiap harinya  satu orang miskin.”  (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Baihaqi dan Daruquthni.)

 

Tanggapan: Hadist di atas tidak sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi hadits mauquf yang berhenti sampai Ibnu ‘Umar saja.   Berkata Tirmidzi : “ Hadist Ibnu ‘Umar kita tidak mengetahuinya marfu’ kecuali dari jalan ini. Dan yang shahih bahwa hadits ini mauquf.”

 

Kedua: Atsar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya ia berkata,  

لاَ تَصُومُوا عَنْ مَوْتَاكُمْ وَأَطْعِمُوا عَنْهُمْ.

“ Janganlah berpuasa untuk orang yang meninggal dunia, tetapi bayarlah makanan untuk mereka. “ ( HR. Baihaqi )

 

Tanggapan: Dalil kedua ini, bukanlah hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , tetapi hanya pendapat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu saja. Dan ini bertentangan dengan hadits-hadits shahih.

Berkata Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra (4/256): “ Adapun riwayat dari keduanya (Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah) yang melarang berpuasa untuk mayit adalah pendapat yang perlu dikritisi. Sedangkan hadits-hadits yang marfu’ lebih shahih sanadnya, dan lebih masyhur para perawinya. Bahkan Bukhari dan Muslim telah menyebutkannya di dalam kitab shahih mereka. Seandainya Imam Syafi’i rahimahullahu mengetahui jalan-jalan haditsnya dan hadist-haditsnya yang semitsal, tentunya beliau tidak akan menyelesihinya insya Allah Ta’ala. Wa Billahi at-Taufiq. “ 

Berkata an-Nawawi di dalam  Syareh Shahih Muslim (8/25-26) :

“ Adapun hadits yang menjelaskan bahwa orang yang mati dan mempunyai kewajiban puasa, maka dibayarkan fidyah untuknya, adalah hadits yang tidak shahih. Seandainya hadits tersebut shahih, maka bisa digabung dengan hadits-hadits ini ( hadits ‘Ibnu Abbas di atas), yaitu dengan mengatakan dibolehkan kedua-duanya. Karena sesungguhnya yang berpendapat boleh berpuasa untuk mayit, mereka juga membolehkan membayarkan fidyah untuknya. Dari sini diketahui, bahwa  pendapat yang benar adalah boleh berpuasa untuk mayit dan boleh juga membayarkan fidyah untuknya. Walinya memilih salah satunya. “ 

 

Pendapat Ketiga: Tidak boleh membayarkan puasa Ramadhan untuk mayit, tetapi boleh membayarkan puasa Nadzar untuk mayit. Ini adalah pendapat Hanabilah. (Ibnu Qudamah, al-Mughni : 4/398 )

Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata, 

جاءت امرأة إلى النَّبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله ، إن أمي ماتت وعليها صوم نذر، أفأصوم عنها؟ قال: “أفرأيت لو كان على أمك دين فقضيته، أكان يؤدي ذلك عنها”؟ قالت: نعم. قال: “فصومي عن أمك

“Datang seorang perempuan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya ibuku meninggal dunia, dan dia mempunyai kewajiban puasa nadzar, apakah saya meng-qadhakan untuknya?” Beliau bersabda: “ Apakah jika ibumu mempunyai utang, kemudian engkau bayarkan utangnya, apakah itu dianggap sah ? Dia menjawab : Iya. Kemudian beliau bersabda : Berpuasalah untuk ibumu.”  (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadist di atas menunjukkan bahwa yang boleh dibayarkan puasanya hanyalah puasa nadzar, bukan puasa Ramadhan.

 

Tanggapan: Terdapat riwayat lain dari hadits Ibnu ‘Abbas yang menyebutkan bahwa yang ditanyakan adalah puasa Ramadhan, sebagaimana yang disebutkan oleh pendapat pertama. Ini menunjukkan bahwa kedua-duanya ( puasa Ramadhan dan Nazar) bisa dibayarkan oleh walinya.

Berkata Muhammad al-Amin al-Mukhtar asy-Syenqithi di dalam Adhwau al-Bayan (18/280) :  “ Perbedaan riwayat di dalam hadits ini tidak termasuk idhthirab (riwayat yang kacau), karena berbeda kejadiannya ; seorang perempuan bertanya kepada beliau, kemudian dijawabnya, dan seorang laki-laki bertanya kepada beliau, dan dijawabnya sama dengan jawabannya kepada perempuan tadi. Inilah yang diterangkan oleh para ulama.

Dan ini adalah nash yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjelaskan secara gamblang kebolehan menggabungkan sesuatu yang sejenis karena alasan hukumnya sama.” 

Berkata Ibnu Daqiq al-‘Ied  di dalam Ihkamu al-Ahkam (1/280) : “ Adapun hadits Ibnu ‘Abbas, disebutkan di dalamnya secara mutlak bahwa ibu laki-laki tersebut meninggal dunia, sedang dia ada kewajiban puasa Ramadhan, dan tidak disebutkan puasa Nadzar. Dan ini menunjukkan bahwa kebolehan mewakili puasa untuk mayit, tidak terbatas pada puasa nadzar saja. Inilah yang disampaikan Syafi’iyah dengan mengambil dari al-Qaul-al-Qadim dan ini berbeda dengan pendapat Ahmad.”  

 

Kesimpulan:

Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa pendapat yang lebih kuat, adalah pendapat pertama yang membolehkan, bahkan menganjurkan kerabat mayit untuk berpuasa untuknya. Berkata an-Nawawi di dalam  Syareh Shahih Muslim (8/25) :

“ Dan ini pendapat yang shahih dan terpilih yang kami menyakininya. Dan pendapat ini shahihkan juga oleh para  peneliti dari kalangan sahabat-sahabat kami (Syafi’iyah) yang menggabungkan antara fikih dan hadits. Ini semua berdasarkan hadist-hadits shahih dan jelas.“ Wallahu A’lam.

Oleh: Dr. Ahmad Zain an-Najah

 

Fikih Lainnya: 

 

Hukum Menghadiri Walimah Orang Kafir

Pengertian Walimah

Walimah secara bahasa berasal dari al-Walmah yang berarti sesuatu yang telah sempurna dan terkumpul. (Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Washith, 2/1057) Makanan dalam pernikahan disebut walimah, karena kedua pasangan suami istri berkumpul dan telah menyempurnakan agamanya.

Adapun makna walimah secara istilah adalah setiap makanan yang disediakan karena pernikahan. Berkata Imam Syafi’i: “ Walimah bisa digunakan untuk setiap makanan yang disediakan karena peristiwa yang menggembirakan “ (Ibnu Qasim al-Ghazzi, Fathu al-Qarib, hal. 76)

Menurut pendapat Imam Syafi’i di atas, walimah mencakup walimah nikah, walimah khitan, walimah safar, walimah karena menempati rumah baru, walimah karena khatam al-Qur’an dan seterusnya. 

Hukum Menghadiri Walimah

Hukum menghadiri walimah pernikahan menurut madzhab syafi’i hukumya fardhu ain kecuali terdapat udzur. Adapun menghadiri walimah selain pernikahan seperti walimah khitan, walimah safar, hukumnya mustahab.  ( lihat al-Khatib asy-Syarbini, al-Iqna’, 2/427 )

Dalilnya adalah hadist Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda,

إِذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا

“Jika salah satu di antara kalian diundang untuk menghadiri walimah, maka hendaknya dia hadir.” (HR. Bukhari no. 4878 dan Muslim no. 1429).

Yang dimaksud walimah pada hadits di atas adalah walimah pernikahan. Pada hadits tersebut terdapat perintah dan hukum asal dari perintah adalah wajib.

Baca Juga: Pesta Pernikahan Tidak Islami

Ini dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

            شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ ، يُمْنَعُهَا مَنْ يَأْتِيهَا ، وَيُدْعَى إِلَيْهَا مَنْ يَأْبَاهَا ، وَمَنْ لَمْ يُجِبِ الدَّعْوَةَ ، فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُولَهُ

“Sejelek-jelek makanan adalah makanan pada walimah yang datang dicegah, dan justru yang tidak mau datang malah diundang. Siapa yang tidak mendatangi undangan tersebut, maka ia telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 1432 dan lafadh di atas adalah miliknya).

Hukum Menghadiri Walimah Orang Kafir

Perayaan atau pesta yang diselenggarakan orang kafir, terbagi menjadi dua bagian,

Pertama: Perayaan Keagamaan, seperti perayaan hari Natal (Kristen), Nyepi ( Hindu), Waisak ( Buddha), Imlek (Cap Go Meh) , maka tidak boleh menghadirinya, bahkan tidak boleh juga mengucapkan selamat untuk acara tersebut.

Berkata Ibnu Qayyim (w.751) di dalam Ahkam Ahli adz-Dzimmah (3/211): “Adapun mengucapkan selamat untuk hari raya agama orang kafir, hukumnya haram menurut kesepakatan ulama.”

Kesepakatan ini juga disampaikan oleh Imam adz-Dzahabi (w. 748) di dalam Tasyabbuh al Khasis bi Ahli al-Khamis (hal. 28)

Kedua: Perayaan khusus untuk pribadi mereka, seperti pernikahan, kelahiran anak, kesembuhan dari penyakit dan yang sejenisnya.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mendatangi walimah pernikahan orang kafir, 

Pendapat Pertama, mengatakan tidak boleh menghadiri undangan walimah orang kafir. Ini pendapat sebagian ulama Syafi’iyah dan ini yang dipilih oleh Abu Bakar al-Hishni di dalam Kifayatu al-Akhyar (hal. 376). Mereka beralasan bahwa mendatangi walimah orang kafir termasuk dalam katagori mencintai mereka. Hal ini dilarang, sebagaimana firman Allah, 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang. “( Qs.al-Mumtahanah:1)

Begitu juga firman Allah,

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, ( Qs.al-Mujadilah: 22 )

Begitu juga hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu  bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا، وَلاَ يَأْكُلُ طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِيٌّ

“Janganlah bersahabat kecuali dengan orang beriman. Janganlah yang memakan makananmu melainkan orang bertakwa.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Hadist ini Hasan sebagaimana di dalam Shahih al Jami’ : 2/7341)

Pendapat Kedua, mengatakan tidak wajib menghadiri undangan walimah orang kafir. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Berkata Abu Bakar al-Hishni di dalam Kifayatu al-Akhyar  hal. 376 : “  Syarat ke tujuh : hendaknya yang mengundang adalah seorang muslim. Jika yang mengundang orang kafir dzimmi, maka tidak wajib untuk mendatanginya, sebagaimana pendapat mayoritas ulama. “

Kemudian mereka berselisih tentang hukumnya, apakah boleh atau makruh ?

Sebagian mengatakan bahwa menghadiri undangan walimah orang kafir hukumnya makruh. Ini pendapat madzhab Hanbali. (al-Mardawai, al-Inshaf : 8/236)

Sebagian yang lain mengatakan bahwa menghadiri walimah orang kafir hukumnya boleh, bahkan menjadi sunnah jika diharapkan keislamannya dengan syarat hatinya tidak boleh cenderung kepadanya. Ini madzhab Syafi’iyah (Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, 6/371)

Syarat-syarat Kebolehan

Adapun syarat-syarat kebolehan menghadiri walimah orang kafir sebagaimana disebutkan para ulama adalah sebagai berikut,

Pertama: Berniat untuk berdakwah

Kedua: Tidak ada kemungkaran atau acara maksiat, seperti dangdutan, menampilkan wanita-wanita yang membuka aurat, bercampur baur laki-laki dan wanita dan lain-lain, kecuali jika datang sebelum acara dimulai atau sesudah acara selesai.

Ketiga: Tidak boleh mendoakan mereka dengan berkah tetapi mendoakan agar mereka mendapatkan hidayah dari Allah.

Keempat: Dihindari untuk mendatangi undangan pendeta atau tokoh agama tertentu, karena sulit untuk mendakwahi mereka, bahkan kedatangan seorang muslim pada acara mereka, merupakan kebanggaan dan kemenangan mereka.

Jika dikatakan, bukankah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjunguk orang Yahudi ketika sedang sakit untuk mendakwahinya.

Baca Juga: Harga Mati Keshalihan Pasangan

Jawabannya, bahwa beliau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk anak kecil Yahudi yang pernah membantu beliau, sehingga lebih mudah untuk didakwahi dan terbukti beliau berhasil. Ini berbeda jika menghadiri para pendeta atau tokoh agama mereka. ( Majmu’ al-Fatawa Syekh al-‘Utsaimin 3/47)

Kesimpulan

Menghadiri walimah orang muslim, hukumnya wajib, barang siapa yang tidak mendatanginya, dia berdosa, kecuali  ada udzur. Jika di dalam walimah tersebut terdapat kemungkaran dan maksiat atau walimah hanya dikhususkan orang-orang kaya saja, maka tidak wajib hadir. Begitu juga jika walimahnya berlangsung lebih dari satu hari.

Adapun menghadiri walimah orang kafir, jika diniatkan untuk berdakwah dan muamalat, hukumnya boleh dengan syarat-syarat tertentu yang disebutkan di atas.

Jika mengadiri walimah orang kafir tidak ada niat dakwah dan muamalat, hukumnya haram, karena termasuk di dalam katagori mencintai mereka. Selain itu akan lebih banyak mendatangkan kemadharatan daripada kemaslahatan. Wallahu A’lam. 

Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA

Pasar Kecapi, 9 Rajab 1438 H/ 6 April 2017 M

 

Tema  Terkait: Pernikahan, Fikih Kontemporer, Akidah

 

 

.

 

 

Mencoba Saling Memahami

Hampir satu tahun berlalu ketika saya mendapat undangan untuk membedah sebuah buku tentang curhat seorang istri di ibukota. Beberapa bulan kemudian membedah ‘pasangan’ buku itu sebagai pembanding. Secara umum, isinya tentang keinginan masing-masing ingin agar pasangannya bisa memahami dirinya dengan baik, agar hubungan mereka semakin berkualitas.

Sekarang hal ini menjadi trend dalam kajian-kajian bertemakan keluarga sakinah. Jadwal saya padat dengan permintaan kajiaan bertemakan ‘suamiku dengarkanlah curhatku’, sampai beberapa bulan ke depan. Gejala apa ini? Kesadaran untuk bisa memahami pasangan dengan lebih baik sedang tumbuh, atau banyak keluarga yang merasa tidak dimengerti karena gagal berkomunikasi, atau keduanya?

 

Baca Juga: Bila Rasa Bosan Dengan Pasangan Mulai Menjangkiti

 

Yang saya bedah, sebenarnya, bukan buku baru. Namun tema yang cenderung ‘abadi’ tentang rahasia pernikahan bahagia, yaitu pemahaman yang baik tentang pasangan, jelas punya nilai kekinian yang sangat cukup untuk selalu dikaji. Dan buku ini bisa menjadi batu loncatannya. Apalagi faktanya, banyak pasangan suami istri yang gagal mewujudkan keluarga bahagia meski mereka sama-sama memiliki niat baik. Sehingga terasa aneh jika kedua belah pihak yang sama memiliki niat untuk bahagia, namun akhirnya gagal meraihnya.

Tapi fakta menunjukkan fenomena itu. Bahwa kebahagiaan keluarga tak cukup dibangun hanya dari niat baik semata. Selain faktor ilmu yang memadai sebagai bekal, faktor pamahaman akan pasangan memiliki saham yang kuat untuk mencapai kebahagiaan yang didambakan itu. Bukan saja akhirnya, masing-masing lebih bisa memahami, mengerti, dan menghargai pasangan, namun juga menjadi lebih sehat dalam berkomunikasi.

Mendudukkan persoalan secara benar dan proporsional dan bukan hanya berdasarkan asumsi. Sebab kenyataan yang harus diterima dengan baik oleh pasangan suami istri adalah bahwa lelaki dan perempuan tidak sama, dan tidak akan pernah sama, sampai kapanpun.

Para perempuan yang secara alami memiliki kecenderungan ‘keluar gua’, atau tidak sabar untuk membagi persoalan yang dihadapinya kepada orang lain, nyatanya tidak mudah membaginya justru kepada para suami mereka. Keenganan itu muncul, entah karena suami memang terlihat sangat sibuk sampai tidak memiliki waktu untuk sekedar berbincang ringan dan santai, atau adanya kekhawatiran jika gayung tak bersambut sehingga menambah luka hati, atau malah khawatir jika pembicaraan yang diinginkan menjadi tambahan beban suami yang sudah terlihat berat.

 

Baca Juga: Kisah Pasangan Harmonis Paling Tragis

 

Dengan bahaya isyarat dan pertanda, para istri ingin agar para suami bisa mengerti dan memahami posisi mereka. Namun seringkali hal itu tidak mudah karena berbagai hal. Sehingga momen kajian dengan tema seperti ini menjadi ajang untuk memahamkan kepada para suami tentang siapa sebenarnya para perempuan yang kini menjadi para istri itu. Tentang perbedaan mereka dengan para lelaki, harapan dan keinginan, hingga sikap seperti apa yang mereka rindukan dimunculkan para suami dalam kehidupan berumah tangga.

Dalam situasi seperti inilah, seringkali saya merasa menjadi juru bicara para istri kepada para suami untuk bisa menyampaikan berbagai persoalan itu. Mereka berharap saya bisa berbicara dengan jelas dan runtut, lengkap dengan dalil-dalil tanggung dibutuhkan, sedang saya berharap para suami yang mendengarkan menemukan pencerahan. Apalagi dengan pendekatan amanah yang harus dipertanggungjawabkan di sisi Allah kelak. Agar kita tidak menjadi arogan dan sensitif ketika diingatkan akan tanggung jawab sebagai suami atau istri, untuk kemudian marah-marah secara emosional.

Sebab pernikahan tidak bisa kita klaim sebagai milik kita sendiri, sehingga mengabaikan batasan syar’i tentang hak dan kewajiban dengan alasan ini rumah tangga saya, dan melarang orang lain untuk ikut campur. Tetapi pernikahan adalah ibadah yang jika syarat penerimaannya diabaikan, maka akan sangat melelahkan bagi pelakunya tanpa jaminan penerimaan dari Allah sebagai amal shalih kita.

 

Baca Juga: Ujian Keimanan Pasangan Beriman

 

Berbagai kajian ini adalah upaya saling menasihati dan mengingatkan agar kita melakukan semua tindakan kita dengan sadar dan bertanggung jawab, berdasarkan ilmu yang cukup dan keikhlasan hati agar menjadi tambahan amal shlih kita di sisi Allah, dan bukan menjadi ajang eksploitasi pasangan dengan berlindung di balik dalil-dalil syar’i. Juga sebagai alat bantu untuk melihat posisi pasangan kita secara lebih adil. Bahwa kita tidak bisa mengabaikan perasaan pasangan dalam hidup berumah tangga sebab dia juga bekerja keras untuk kebahagiaan keluarga dan berharap hasil yang setimpal. Di sisi lain, harapan mewujudkan keluarga yang bahagia, yang samara, betul-betul merupakan kerja ta’awun yang melibatkan seluruh anggota keluarga sehingga menjadi ringan dan melegakan.

Saya berdoa agar diberi kesehatan agar upaya menghidupkan kajian-kajian keluarga bisa memberi manfaat yang maksimal. Karena saya rindu melihat keluarga-keluarga yang bahagia dalam arti yang sebenarnya. Kententraman batin yang kuat, komunikasi yang sehat, hingga output berpa anak-anak shalih sebagai tabungan akhirat benar-benar bisa terwujud. Semoga!