Hukum Daging Gelonggongan

Pengertian Daging Gelonggongan
Daging gelonggongan adalah daging dari jenis sapi yang diberi air sebanyak-banyaknya sebelum disembelih, dengan tujuan menambah berat badan binatang tersebut, sehingga ketika dijual harganya lebih mahal dan akan mendapatkan keuntungan lebih.

Salah satu cara mengisi air ke dalam perut sapi adalah dengan memasukkan selang ke mulut sapi sampai kedalaman kira-kira 1,5 meter kedalam perut sapi, kemudian selang tersebut dialiri air. Setelah perut sapi penuh dengan air, maka sapi dibiarkan sejenak agar air yang di dalam perut sapi meresap ke seluruh tubuh sapi.
Daging gelonggongan ini mempunyai beberapa ciri diantaranya : warnanya pucat, kandungan airnya sangat tinggi dan kelihatan lembek, biasanya harganya lebih murah.

Hukum Daging Gelonggongan
Hukum Daging Gelonggongan bisa lihat dari tiga sisi :
Sisi Pertama : Hukum Menjual Daging Gelonggongan
Jual beli daging gelonggongan termasuk jual beli yang diharamkan di dalam syariat, karena termasuk bentuk penipuan dalam jual beli, maka hukumnya haram. Hal ini berdasarkan dalil – dalil sebagai berikut :

Dalil Pertama : Firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” ( Qs An-Nisa’ :29 )

Dalil Kedua : hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا تَصُرُّوا اَلْإِبِلَ وَالْغَنَمَ, فَمَنِ اِبْتَاعَهَا بَعْدُ فَإِنَّهُ بِخَيْرِ اَلنَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْلُبَهَا, إِنْ شَاءَ أَمْسَكَهَا, وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْرٍ

“Janganlah menahan susu unta dan kambing ( dengan mengikatnya ). Barangsiapa membelinya ia boleh memilih dari dua hal : – setelah memeras susunya- , ia boleh tidak mengembalikannya, atau ia boleh mengembalikannya dengan satu sho’ kurma.” ( HR Bukhari dan Muslim )

Berkata Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim ( 10/ 162) :
“ Ketahuilah bahwa at-Tashriyah ( menahan susu ) adalah perbuatan haram, baik pada binatang unta, kambing, kuda, keledai maupun yang lainnya, karena itu adalah perbuatan manipulasi dan penipuan. Tetapi jual belinya sah, walaupun haram. Bagi pembeli boleh tidak mengembalikannya. Hadist di atas juga menunjukkan keharaman manipulasi di dalam segala hal. Dan bahwa jual beli yang terdapat manipulasinya sah. “

Berkata al-Muhallab- sebagaimana disebutkan Ibnu Baththal di dalam Syar Shahih al-Bukhari ( 6/ 276 ) :
: “ Hadist ini merupakan dasar hukum bolehnya mengembalikan barang yang dibeli jika terdapat cacat atau ada unsur penipuan di dalamnya. Karena susu jika ditahan di dalam tetek binatang beberapa hari lamanya dan tidak diperas, maka pembeli akan menyangka bahwa keadaannya seperti itu setiap harinya,maka dia menjadi tertipu . “

Dalil Ketiga : Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu :

أنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ، فَأدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا، فَنَالَتْ أصَابِعُهُ بَلَلا، فَقَالَ: «مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ؟» قال: أصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ الله! قال: «أفَلا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ؟ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي

Bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati sebuah tumpukan makanan. Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan tersebut, tiba-tiba jari-jarinya basah. Maka beliau bertanya: “Apa ini wahai penjual makanan?”. Ia menjawab: Terkena hujan wahai Rasulullah. Beliau bersabda: “Mengapa tidak engkau letakkan di bagian atas makanan agar orang-orang dapat melihatnya? Barangsiapa menipu maka ia bukan termasuk golonganku.” ( HR Muslim ) .

Berkata Imam al-Baghawi di dalam Syarhu as-Sunnah ( 8/ 167 ) : “ Bukan dari golonganku” , maksudnya bukan keluar dari Islam, tetapi dia adalah orang yang tidak mau mengikutiku, karena perbuatan seperti ini bukanlah termasuk akhlaqku dan perbuatanku, atau bukan kebiasaanku dan caraku di dalam bermuamalah dengan saudaranya. “
Berkata Muhammad Syamsul al-Haq Abadi di dalam ‘Aun al-Ma’bud ( 9/231 ) : “ Hadist di atas menunjukkan keharaman manipulasi dan itu menjadi kesepakatan ulama “

Sisi Kedua : Hukum Mengkonsumsi Daging Gelonggongan
Daging Gelonggongan dibagi menjadi dua jenis :
Jenis Pertama : Daging Gelonggongan Murni. Yaitu daging yang berasal dari sapi atau sejenisnya yang dipaksa minum sebanyak-banyaknya hingga mati. Jenis daging seperti ini haram untuk dimakan karena sudah menjadi bangkai. Ini berdasarkan firman Allah :

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” ( Qs Al-Baqarah : 173 )

Jenis Kedua : Daging Semi Gelonggongan, yaitu daging dari sapi yang dipaksa minum sebanyak-banyaknya hingga sekarat, sebelum mati, sapi tersebut disembelih terlebih dahulu. Ini boleh dimakan karena bukan bangkai, tetapi sebaiknya ditinggalkan karena termasuk daging yang tidak berkwalitas.

Sisi Ketiga : Bahaya Daging Gelonggongan bagi Kesehatan.
Mengkonsumsi daging gelonggongan bisa berakibat buruk bagi kesehatan. Hal itu dikarenakan beberapa sebab :
Pertama : Daging gelonggongan sudah tidak mengandung protein lagi, karena sudah membusuk. Memakannya menyebabkan mual, muntah, diare sampai keracunan yang berefek pada kematian.
Kedua : Daging gelonggongan sangat mudah sekali ditempati bakteri, virus dan hewan bersel satu seperti protozoa, jika kita memakannya sangat rentan menimbulkan berbagai macam penyakit.
Ketiga : Daging gelonggongan sangat rentan terkena penyakit sapi gila. Penyakit sapi gila dapat menular kepada manusia.
Keempat : Pemberian air minum kepada sapi secara berlebihan akan melemahkan daya tahan sapi. Ini menyebabkan kuman yang masuk melalui air akan diserap darah dan daging. Ini lebih berbahaya jika air yang digunakan tercampur insektisida.
Kelima : Daging dari sapi yang stress karena diminumkan air dalam jumlah yang berlebihan akan menularkan pengaruh buruk pada perilaku konsumennya.

Hukuman Bagi Penjual Daging
Bagi Pedagang yang menjual daging gelonggongan bisa dijerat dengan UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku diberikan sanksi pidana maksimal 5 tahun penjara, dan denda sampai Rp 2 miliar. Para pelaku penyembelihan, distributor, dan penjual daging gelonggongan juga bisa dijerat dengan Undang-undang Kesehatan Nomor : 6 Tahun 1967.

Keharaman daging gelonggongan telah ditetapkan dalam Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Jawa Tengah Nomor: 03/Musda/VII/MUI/Jateng/II/2006
Wallahu A’lam,
Pondok Gede, 14 Jumadal Akhir 1435 / 14 April 2014

Syarat Dalam Jual Beli

 

Pengertian Syarat Dalam Jual Beli
Syarat dalam jual beli adalah syarat yang disepakati oleh kedua pihak yang sedang melakukan akad jual beli, seperti sang pembeli mensyaratkan bahwa pembayarannya dicicil dan penjual meminta jaminan tertentu dari pembeli, atau si pembeli meminta waktu tiga hari untuk mempertimbangkan pembelian barang tertentu.

Perbedaan Antara Istilah “Syarat Dalam Jual Beli” dan “Syarat Jual Beli.”
Ada beberapa perbedaan antara dua istilah tersebut, di antaranya adalah :
Pertama: Syarat jual beli ditentukan oleh syariat Islam. Sedangkan syarat dalam jual beli yang menentukan adalah salah satu dari dua pihak yang melakukan transaksi.
Kedua: Syarat jual beli merupakan syarat sahnya suatu akad, berbeda dengan syarat dalam jual beli yang bukan merupakan syarat sahnya suatu akad tetapi hanya syarat yang mewajibkan salah satu dari dua pihak yang bertransaksi.
Ketiga: Syarat jual beli tidak bisa digugurkan, sedangkan syarat dalam jual beli bisa digugurkan menurut kesepakatan kedua belah pihak.
Keempat: Syarat jual beli semuanya benar dan berlaku, karena berasal dari syariah, berbeda dengan syarat dalam jual beli, yang sebagiannya sah dan sebagian lainnya tidak sah serta tidak berlaku, karena yang meletakkan adalah manusia yang bisa benar dan salah. (Ibnu al-Utsaimin, asy-Syarhu al-Mumti’: III/ 485).

Macam-macam Syarat Dalam Jual Beli

Syarat dalam jual beli dibagi menjadi dua: syarat yang sah dan syarat yang batil

1. Syarat Yang Sah
Al-Mardawaih di dalam Al-Inshof ( 4/ 245) membagi syarat dalam jual beli yang sah menjadi tiga macam :
Pertama: Syarat yang sesuai dengan tujuan jual beli, seperti mensyaratkan bahwa barang harus bisa diambil, dan pembayaran harus tunai.
Kedua: syarat yang di dalamnya terdapat maslahat akad, seperti orang yang mensyaratkan untuk menjual barangnya dengan cara kredit, atau meminta jaminan dalam pembayarannya, atau pembeli mensyaratkan barangnya harus yang bagus.
Ketiga : syarat tertentu yang bermanfaat bagi penjual atau pembeli, seperti seseorang menjual rumah dengan syarat ditempati terlebih dahulu selama sebulan. ( lihat juga al-Bahuti dalam ar-Raudh al-Murabi’:1/215)
Dalil kebolehan syarat–syarat di atas adalah hadist Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah bersabda kepadanya:

بِعْنِيهِ بِأوقِيَّةٍ ، قُلْتُ: لَا، ثُمَّ قَالَ: بِعْنِيهِ فَبِعْتُهُ بأِوقِيَّةٍ, وَاشْتَرَطْتُ حُمْلَانَهُ إِلَى أَهْلِي

“Juallah untamu padaku dengan satu uqiyyah.” Aku berkata, “Tidak.” Beliau bersabda lagi, “Juallah ia padaku.” Lalu aku menjualnya dengan satu uqiyyah, namun aku memberikan syarat agar unta itu membawa barang-barang yang di atasnya dahulu pada keluargaku. (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Syarat Yang Batil
Syarat yang batil ini dibagi pula menjadi tiga macam:
Pertama: Syarat yang bertentangan dengan tujuan akad jual beli, seperti mensyaratkan adanya akad lain (sewa-penyewa atau akad utang piutang) dalam akad jual beli. Sebagai contoh, seseorang berkata: “Saya menjual rumah kepadamu dengan harga sekian tapi syaratnya kamu harus membeli mobil saya dengan harga sekian.”
Kedua: Syarat yang bertentangan dengan tujuan jual beli, tetapi tidak membatalkan akad, seperti seseorang yang menjual suatu barang dengan mensyaratkan agar tidak rugi dalam jual belinya, atau seseorang yang menjual mobil tetapi mensyaratkan kepada pembelinya agar tidak menjualnya atau memberikannya kepada orang lain.
Syarat –syarat di atas bertentangan dengan tujuan jual beli, karena seseorang yang sudah membeli barang dari orang lain, maka dia berhak memperlakukan barang tersebut sesuai dengan kehendaknya. Kalau hal itu disyaratkan oleh penjual, maka syarat itu adalah syarat yang batil.

Ini berdasarkan hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah bersabda :

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ , وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

“ Setiap syarat yang tidak terdapat di dalam Kitab Allah adalah batil, walaupun seratus syarat.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ketiga: Mensyaratkan jual beli dengan sesuatu yang belum terjadi. Syarat seperti ini batil dan jual belinya juga batil dan tidak sah. Seperti penjual mobil berkata: “Saya jual mobil ini kepadamu jika bapak saya rela, atau saya jual mobil ini, jika saya pergi ke luar kota.”

Hukum Akad dalam Akad Lain
Para ulama sepakat bahwa tidak boleh seseorang membuat akad jual beli yang disyaratkan di dalamnya pinjaman, atau sebaliknya tidak boleh meminjamkan sesuatu kepada orang lain dengan mensyaratkan adanya jual beli.
Larangan ini berdasarkan hadist Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah bersabda :

لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Tidak halal menjual sesuatu dengan syarat memberikan hutang, dan tidak halal dua syarat dalam satu transaksi, dan tidak halal keuntungan menjual sesuatu yang belum engkau jamin, serta tidak halal menjual sesuatu yang bukan milikmu.” ( Berkata Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram (232) : Hadist diriwayatkan oleh al-Khomsah, dan disahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Huzaimah serta Hakim )

Tetapi para ulama berbeda pendapat tentang syarat akad dalam akad selain jual beli yang disyaratkan pinjaman di dalamnya ;
Pendapat Pertama: tidak boleh sama sekali mensyaratkan suatu akad dalam akad lain. Ini pendapat mayorita ulama.
Tetapi mereka sendiri masih berbeda pendapat apakah syarat yang batil, akan mempengaruhi keabsahan akad.
Syekh Al-Bahuti salah satu ulama al-Hanabilah berpendapat bahwa jika syaratnya batil, maka akadnya secara otomatis juga batil.
Sedangkan riwayat lain dari madzhab Hanabilah mengatakan bahwa walaupun syaratnya batil, tetapi akadnya tetap sah, artinya syarat yang batil tidak mempengaruhi keabsahan suatu akad. Disini mereka membedakan antara akad dan syarat.
Dalilnya adalah hadist Barirah, ketika Aisyah ingin memerdekakan Barirah dari perbudakan dengan tebusan sejumlah uang, majikan Barirah tidak mengijinkannya, kecuali dengan syarat bahwa wala’nya untuk mereka. Syarat ini adalah batil, yang benar bahwa wala’nya untuk yang memerdekakannya, yaitu untuk Aisyah.

Karena mereka memaksakan syarat yang batil tersebut, maka Rasulullah menyarankan kepada Aisyah untuk menyetujui syarat yang batil tersebut, tetapi nantinya tidak dianggap, dan akadnya tetap sah. Beliau bersabda :

خُذِيهَا وَاشْتَرِطِي لَهُمُ اَلْوَلَاءَ, فَإِنَّمَا اَلْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ , فَفَعَلَتْ عَائِشَةُ

“Ambillah dan berilah persyaratan wala’ itu kepada mereka, sebab wala’ itu hanya bagi orang yang memerdekakan.” Lalu Aisyah melakukan hal itu. ( HR Bukhari dan Muslim )

Pendapat kedua : tidak boleh berkumpul tujuh akad lain dengan akad jual beli yang teringkas dalam kata : Jusho Musyniq (Ju’alah, Shorof, Musaqoh, Syirkah, Nikah, dan Qiradh).

Pendapat Ketiga : dibolehkan mensyaratkan adanya akad dalam akad selama tidak menyebabkan adanya riba dan penipuan. Ini pendapat Malikiyah, Ibnu al-Arabi, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim.

Mereka beralasan bahwa pada asalnya suatu akad dan persyaratan adalah hal yang dibolehkan, kecuali apa yang telah diharamkan dalam syariat. Ini berdasarkan keumuman firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“ Wahai orang-orang beriman tunaikanlah janji-janjimu. “ ( Qs. al-Maidah : 1 )

Wallahu A’lam,

Pondok Gede, 18 Rabi’ul Awal 1435 H / 20 Januari 2014 M

Hukum Rokok Herbal

Sekarang ini, banyak bermunculan rokok jenis herbal yang konon mengandung banyak manfaat bagi kesehatan, dan tidak memberikan dampak negatif bagi para perokok. Pertanyaannya adalah apa hal itu sudah teruji dan terbukti secara empiris dan medis? Seandainya hal itu benar, lantas apa hukumnya mengkomsumsi rokok herbal? Apakah tetap haram sebagaimana hukum mengkomsumsi rokok non herbal?  Tulisan di bawah ini menjelaskan hal tersebut.

Pengertian Rokok Herbal

Rokok Herbal adalah sebuah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm yang berisi ramuan tembakau dan beberapa bahan aktif yang memiliki zat dan efek farmakologi yang bermanfaat untuk tubuh. (rokokherbal.com)

Dalam rokok non herbal ditemukan bahwa zat kimia yang dikandung asap rokok tersebut, menyimpan lebih dari 4000 elemen senyawa kimia, sebagian besarnya merupakan zat yang berbahaya bagi kesehatan tubuh, terutama apa yang disebut dengan Tar dan Nikotin.

Di dalam Rokok Herbal terdapat ramuan yang diolah menjadi bahan campuran tembakau pilihan. Campuran inilah yang diklaim mampu menetralkan kandungan Tar dan Nikotin. Ramuan ini juga bermanfaat untuk melancarkan peredaran darah, membersihkan racun dalam tubuh terutama pada saluran pernafasan, tenggorokan dan paru-paru.

Bahan campuran ini memiliki komposisi alami yang tidak menimbulkan efek ketergantungan seperti yang sering dijumpai di produk-produk lainnya. Begitupun dengan kandungan Nikotin yang terdapat di dalam Rokok Herbal dinyatakan sangat rendah. Katanya, hasil uji Laboratorium resmi menunjukkan fakta presentase kandungan Nikotin dalam produk Rokok Herbal sangat rendah bahkan hampir mencapai 0%, sedangkan hasil uji laboratorium untuk nilai Tar dalam Rokok Herbal menunjukkan angka yang tinggi. Tingginya angka Tar dalam produk Rokok Herbal ini bukan diukur berdasarkan berat material asap rokok serta kandungan racun yang terdapat dalam Rokok Herbal, seperti standar pengukuran internasional, melainkan diukur dari kandungan herbal yang menjadi komposisi baku Rokok Herbal itu sendiri.

Hukum Rokok Herbal

Sebelum menentukan hukum mengkomsumsi rokok herbal, perlu dijelaskan beberapa hal di bawah ini:

Pertama: Rokok herbal yang sementara ini diklaim oleh sebagian orang tidak menimbulkan efek negatif sama sekali, ternyata belum semuanya benar, karena terbukti secara ilmiyah bahwa rokok herbal masih menyisakan beberapa hal yang bisa mengganggu kesehatan. Hasil uji analisis laboratorium tetap menganggap keberadaan rokok herbal memiliki dampak tidak baik bagi tubuh. Apalagi, kualiti kontrol kadar tar dan nikotin yang tidak jelas untuk setiap produksi rokoknya.

Walaupun terdiri atas berbagai bahan herbal yang bermanfaat bagi tubuh, keberadaan radikal bebas dari rokok tetap ada. Ini jelas membahayakan karena radikal bebas bisa menyebabkan kegagalan metabolisme tubuh.

 

Teknologi terbaru telah menemukan cara menghilangkan radikal bebas dari rokok. Yaitu, sebagaimana dikembangkan di negara Jepang, menggunakan sakrul atau arang yang dibakar dan diletakkan dekat filter pada rokok. Namun, teknologi ini tidak digunakan pada rokok herbal sehingga selain kebermanfaatan yang dimilikinya, rokok herbal tetap mempunyai dampak negatif seperti rokok nonherbal.  (anneahira.com)

Jika dampak negatif rokok herbal bagi kesehatan tubuh masih ada, maka harus dihindarkan.  Di dalam kaidah fiqhiyah disebutkan:

“Tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh menyebabkan bahaya bagi orang lain”

Kedua: Sebenarnya rokok bukan sekedar kandungan materi di dalamnya, tetapi juga menyangkut gaya hidup. Bisa saja suatu produksi materi atau kandungannya halal, tetapi menjadi haram atau makruh karena faktor lain. Seperti berhala, mungkin saja materinya halal, karena terbuat dari batu yang bersih, tetapi menjadi haram karena dijadikan sesembahan selain Alloh. Pakaian khusus untuk wanita, bahannya dari kain yang bersih dan halal, tetapi menjadi haram jika dipakai oleh laki-laki. Pakaian-pakaian yang menjadi seragam khusus orang-orang kafir  atau menjadi ciri khas mereka, mungkin saja terbuat dari bahan yang halal, tetapi menjadi haram jika dipakai oleh orang-orang yang beriman, karena mereka dilarang untuk menyerupai orang-orang kafir.

Rokok herbalpun demikian, jika memang terbukti bahwa rokok tersebut tidak mengandung efek negatif bagi kesehatan tubuh, bahkan katanya bermanfaat, maka tetap saja hukumnya menjadi makruh atau haram, karena akan mengubah gaya hidup seseorang dan berpengaruh jelek bagi penghisapnya, khususnya jika masyarakat awam belum mengetahui adanya jenis rokok herbal  tersebut. Jika seorang ustadz senior yang selama ini terkenal dengan alim, zuhud, berwibawa tiba-tiba merokok dengan rokok herbal di depan umum, bagaimana tanggapan para penuntut ilmu, santri dan anggota majlis-majlis taklim?

Ketiga: Para produsen rokok telah membuat iklan yang besar dan dengan biaya yang begitu mahal, itu semua hanya untuk mengenalkan kepada masyarakat bahwa merokok adalah tanda kegagahan, keberanian, serta kejantanan. Seakan-akan orang-orang yang kuat dan pemberani hanyalah orang-orang yang merokok sedangkan orang-orang yang tidak merokok adalah orang-orang yang banci, penakut dan lemah. Padahal rokok sama sekali tidak membuat seseorang menjadi pemberani dan tangguh. Singkatnya bahwa merokok bisa membuat seseorang menjadi sombong, congkak dan angkuh serta merasa paling kuat dan jagoan. Iklan-iklan tersebut sedikit banyak mempengaruhi cara berpikir masyarakat terhadap rokok.

Para produsen rokok herbalpun sedikit banyak telah terpengaruh dengan  iklan-iklan tersebut. Paling tidak dengan produksi rokok herbal tersebut  mereka membidik pasaran yang lebih luas dengan memanfaatkan iklan-iklan tersebut. Dan secara tidak sadar, walaupun rokoknya sudah diganti dengan rokok herbal, tetapi sifat-sifat yang sering melekat pada para perokok seperti yang disebutkan di atas, belum sepenuh berganti dan hilang, atau bahkan sama sekali tidak berubah.

Kesimpulan:

Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa rokok herbal belum sepenuhnya bebas dari efek-efek negatif yang mempengaruhi kesehatan. Sebagian kalangan masih meragukan hal tersebut. Oleh karenanya sebaiknya, seseorang tidak tergesa-gesa untuk mengkonsumsinya atau mencobanya, hendaknya tetap hati-hati terhadap rokok herbal ini. Seandainya telah terbukti khasiatnya dan bebas dari efek-efek negatif yang membahayakan tubuh, maka juga harus dihindari gaya hidup yang sering dilakukan oleh para perokok seperti sifat sombong dan angkuh, maka jangan sekali-kali merokok di depan umum, karena akan membawa fitnah bagi anda dan kaum muslimin. Wallohu A’lam.

Hukum Hadiah dalam Produk

Sekarang ini, banyak produsen gencar menyelipkan hadiah dalam poduk-produknya guna meningkatkan volume penjualan. Tentunya tidak sedikit yang lantas membeli karena menginginkan hadiahnya. Padahal, benarkah setiap hadiah dari sebuah produk hukumnya halal? mari kita bahas.

 

Bentuk-bentuk Hadiah

Pertama: Hadiah Melalui Perlombaan, Kuis, atau Undian

Bentuk hadiah yang pertama ini mempunyai bentuk yang bermacam-macam, diantaranya adalah :

1.       Hadiah Yang Diberikan Produsen Melalui Registrasi

Undian semacam ini hukumnya haram, karena termasuk dalam perjudian yang dilarang dalam Islam. Kenapa masuk dalam katagori perjudian? Karena peserta membayar sejumlah uang melebihi dari harga biasa, padahal ia belum tentu mendapatkan apa yang diharapkan. Mungkin dia untung ketika mendapatkan hadiah dan mungkin juga bisa rugi jika tidak mendapatkan hadiah tersebut. Jika peserta undian jumlahnya banyak, maka yang meraup keuntungan adalah pihak penyelenggara. Hadiah yang diberikan peserta hanyalah bagian kecil dari keuntungan tersebut.

2.       Hadiah Dengan Cara Membeli Barang

Produsen menawarkan hadiah kepada konsumen dengan syarat dia harus membeli produk-produknya. Di dalam produk tersebut terdapat kupon hadiah yang nanti dikumpulkan untuk diundi, yang namanya keluar dalam undian tersebut, maka dialah yang berhak mendapatkan hadiah.

Bagaimana hukum undian hadiah dalam bentuk seperti ini? Untuk menjawabnya, perlu dirinci terlebih dahulu sebagai berikut:

Pertama: Hadiah yang diberikan kepada konsumen berpengaruh kepada harga produk tersebut. Artinya jika tidak disertai hadiah, maka harga produk tersebut menurun, jika ada hadiahnya – dengan melalui undian- , maka harga produknya akan naik sebesar jumlah hadiah yang akan diberikan. Maka undian hadiah seperti ini hukumnya haram, karena termasuk bentuk perjudian. Dikatakan masuk dalam bentuk perjudian, karena pembeli telah membayar uang diluar harga produk yang sesungguhnya, padahal dia belum tentu mendapatkan hadiah tersebut. Adapun yang mendapatkan hadiah, sebenarnya dia telah mendapatkan sesuatu di atas kerugian para pembeli yang lain.

Kedua: Hadiah yang diberikan kepada konsumen tidak berpengaruh pada produk. Hadiah diberikan dari anggaran promosi yang bertujuan agar para konsumen tertarik untuk membeli produk tersebut.

Bagaimana status hukumnya? Para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan status hukumnya.

Pendapat Pertama: Harus dirinci terlebih dahulu; jika konsumen membeli produk tersebut karena memang ia membutuhkannya, bukan karena hadiah, yaitu dia akan membeli produk tersebut, baik ada hadiahnya, maupun tidak ada hadiahnya. Maka hal ini dibolehkan. Sebaliknya, apabila dia membeli produk tersebut karena ada hadiahnya, yaitu jika tidak ada hadiahnya dia tidak akan membeli, karena  sebenarnya dia tidak membutuhkan barang tersebut, dia membelinya sekedar untuk mengejar hadiahnya. Maka hal ini tidak dibolehkan, karena pada hakekatnya dia berjudi dengan membayar sejumlah uang dalam bentuk barang yang tidak dibutuhkan untuk meraih hadiah atau keuntungan yang belum jelas.

Pendapat Kedua:  Hukumnya tetap haram, karena akan mendorong seseorang untuk membeli barang-barang yang tidak diperlukan, karena hanya sekedar mengejar hadiah tersebut. Ini adalah sifat berlebih-lebihan di dalam berbelanja.

Hukum di atas juga berlaku untuk hadiah yang diberikan kepada konsumen yang membeli barang dalam jumlah banyak atau dalam jumlah tertentu, seperti kalau konsumen membeli barang dan produk pada toko tertentu seharga Rp.100.000,- ke atas, maka akan mendapatkan hadiah piring dan gelas.

Kedua: Hadiah Langsung Pada Barang

Hadiah langsung pada barang ini mempunyai tiga bentuk :

Bentuk Pertama: Jika seseorang membeli barang, kemudian dia mendapatkan hadiah, baik berbentuk barang tertentu, seperti ketika dia membeli meja belajar, penjual memberikannya hadiah buku tulis.  Atau berbentuk jasa, seperti ketika dia membeli mobil, maka dia mendapat hadiah atau bonus mencuci mobil gratis di tempat tersebut selama satu bulan penuh. Hadiah seperti ini dibolehkan selama tidak ada syarat tertentu ketika membeli barang tersebut.

Bentuk Kedua:  Hadiah tersebut jelas bisa dilihat oleh konsumen di dalam barang yang akan dibeli. Setiap orang yang membeli barang tersebut pasti mendapatkan hadiah itu.  Dalam hal ini, hukumnya halal.

Bentuk Ketiga:  Hadiah terdapat dalam sebagian produk. Artinya orang yang membeli barang tersebut untung-untungan, kadang dapat, kadang pula tidak dapat. Maka hukumnya boleh jika hadiah yang ditawarkan tersebut tidak mempengaruhi harga produk, tetapi diberikan dengan tujuan menarik pembeli. Dan pembelinya membeli produk tersebut karena kebutuhan, bukan karena hadiah, sebagaimana yang telah diterangkandi atas.

Ketiga : Kupon Undian Berhadiah

Produsen atau toko memberikan kupon kepada para pembeli produk mereka. Kupon tersebut akan diundi pada akhir bulan umpamanya, barang siapa yang namanya keluar dalam undian tersebut, maka akan mendapatkan hadiah. Apa perbedaan masalah ini dengan masalah sebelumnya? Perbedaannya adalah pada masalah sebelumnya produsen menawarkan hadiah terlebih dahulu, tetapi dengan syarat harus membeli produknya, sehingga setiap pembeli mengetahui hadiah sebelum membeli produk, bahkan kadang dia membeli produk tersebut, karena ada hadiahnya. Adapun pada masalah ini produsen tidak menawarkan hadiah, tetapi memberikan kupon langsung bagi setiap pembeli produknya. Pembeli belum tentu tahu kalau di dalam produk yang akan dibelinya terdapat kupon berhadiah.

Bagaimana hukumnya? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :

Pendapat Pertama: Hukumnya boleh, tetapi dengan dua syarat; yang pertama hadiah tersebut tidak mempengaruhi harga produk, dan yang kedua konsumen membelinya karena kebutuhan.

Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari yang pernah dialami penulis adalah ketika membeli bensin di SPBU, setiap pembelian satu liter maka akan dapat kupon satu, dan kupon tersebut diundi. Dalam kasus ini hukumnya boleh, karena hadiah tersebut tidak mempengaruhi harga produk, karena harga bensin tetap sama dengan harga di tempat lain, kemudian konsumen membeli bensin tadi karena kebutuhan.

Pendapat Kedua : Hukumnya tidak boleh, karena mendorong orang berbuat berlebih-lebihan dalam belanja dan membeli barang-barang yang kadang tidak dibutuhkan demi mengejar kupon hadiah yang akan diundi.

.Cipayung, Jakarta Timur, 18 Sya’ban 1432 H / 20 Juli 2011 M

Hukum Koperasi Simpan Pinjam

Koperasi simpan pinjam adalah koperasi yang khusus bertujuan melayani atau mewajibkan anggotanya untuk menabung, di samping dapat memberikan pinjaman kepada anggotanya.

Sebagian kalangan mendefinisikan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) adalah sebuah koperasi yang modalnya diperoleh dari simpanan pokok dan simpanan wajib para anggota koperasi. Kemudian modal yang telah terkumpul tersebut dipinjamkan kepada para anggota koperasi dan terkadang juga dipinjamkan kepada orang lain yang bukan anggota koperasi yang memerlukan pinjaman uang, baik untuk keperluan konsumtif maupun modal usaha. Kepada setiap peminjam, koperasi simpan pinjam menarik uang administrasi setiap bulan sejumlah sekian prosen dari uang pinjaman.

Pada akhir tahun, keuntungan yang diperoleh koperasi simpan pinjam yang berasal dari uang administrasi tersebut yang disebut Sisa Hasil Usaha (SHU) dibagikan kepada anggota koperasi. Adapun jumlah keuntungan yang diterima oleh masing-masing anggota koperasi diperhitungkan menurut intensitas anggota yang meminjam uang dari Koperasi. Artinya, anggota yang paling sering meminjamkan uang dari Koperasi tersebut akan mendapat bagian paling banyak dari SHU, dan tidak diperhitungkan dari jumlah simpanannya, karena pada umumnya jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib dari masing-masing anggota adalah sama.(www.kosipa.com)

 

Hukum Operasi Simpan Pinjam

Dalam menyimpulkan hukum koperasi, tidak lepas dari praktik akad atau transaksi yang dijalankan dalam badan usaha tersebut. Dengan demikian, jika model transaksi yang dijalankan melanggar prinsip-prinsip muamalah islami, bisa dipastikan hukumnya haram. Jika dilihat dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa koperasi simpan pinjam hukumnya haram. Adapun alasannya sebagai berikut:

Pertama: Dari sisi nama, koperasi simpan pinjam didirikan dengan tujuan orang bisa menyimpan dan meminjam uang di koperasi tersebut. Sehingga tidak tepat dan tidak boleh, jika kemudian koperasi tersebut mengambil keuntungan dari aktifitas pinjam meminjam.

Kedua: Pinjam meminjam di dalam Islam merupakan akad tabarru’ yang bertujuan untuk saling tolong menolong bukan sebagai sarana untuk mencari keuntungan.

Ketiga: Di dalam koperasi simpan pinjam terdapat unsur riba yang diharamkan dalam Islam, karena koperasi ini menarik dari setiap peminjam uang administrasi setiap bulan sejumlah sekian persen dari uang pinjaman.

Uang administrasi yang dibolehkan adalah uang yang memang dipakai untuk kepentingan administrasi bukan untuk mencari keuntungan, sehingga besarnya harus disesuaikan dengan biaya administrasi seperti surat-menyurat, arsip dan sarana-sarana lain yang dibutuhkan di dalam pencatatan hutang.

Keempat: Uang administrasi tidak boleh ditentukan berdasarkan besarnya jumlah pinjaman, apalagi ditarik setiap bulan. Ini sama dengan bunga dari pinjaman alias riba. Walaupun diganti namanya dengan uang administrasi, tetapi pada hakekatnya adalah bunga dari pinjaman.

 

Beberapa Pandangan Yang Salah

Pertama: Ada sebagian kalangan yang ingin menghindari praktek riba dengan cara menjual formulir pinjaman yang harganya disesuaikan dengan jumlah uang yang akan dipinjam. Umpamanya, untuk pinjaman uang sebesar Rp. 100.000 formulirnya berwarna putih dengan harga Rp. 5.000 Untuk pinjaman uang sebesar Rp. 500.000 formulirnya berwarna merah dengan harga Rp. 25.000 Untuk pinjaman sebesar Rp. 1.000.000 formulirnya berwarna kuning dengan harga Rp. 50.000

Apakah dengan cara seperti itu, koperasi tersebut telah terhindar dari praktek riba dan dinyatakan boleh ?

Jawabannya adalah bahwa koperasi simpan pinjam dengan tidak. Harga formulir yang disesuaikan dengan jumlah pinjaman pada hakekatnya adalah bunga pinjaman, seperti halnya meminjam sejumlah uang dan harus mengembalikannya dengan menambah bunganya 5% atau 10% dan seterusnya, tidak ada perbedaan antara keduanya, kecuali hanya nama saja, dan formulir sekedar untuk kamuflase.

Kalau ingin terhindar dari riba, maka harga formulirnya harus disamakan, dan harganya tidak boleh disesuaikan dengan besar kecilnya jumlah uang pinjaman. Karena fungsi dari kertas formulir sekedar untuk memberikan keterangan tentang data-data peminjam, jadi tidak ada alasan untuk menaikan harganya dari harga selembar kertas.

Kedua: Sebagian orang mengatakan bahwa penjualan formulir dengan harga sesuai dengan besar kecilnya pinjaman sama dengan penjualan prangko yang harganya disesuaikan dengan jenis prangko, sehingga hukumnya halal.

Jawabannya adalah tidak sama antara keduanya, karena dalam penjualan perangko, tidak ada unsur pinjam meminjam, tetapi yang ada adalah akad jual beli barang, dan harga barang tersebut disesuaikan dengan kwalitas dan manfaat barang. Jika kwalitas dan manfaatnya lebih banyak, maka harganya lebih mahal, sebaliknya jika kwalitas dan manfaatnya lebih sedikit, maka harganya lebih murah. Begitu juga dengan prangko, jika dipakai untuk mengirim surat yang lebih cepat dan jarak tempuhnya lebih jauh, tentunya harga prangkonya lebih mahal, sebaliknya jika surat yang dikirim tidak kilat dan jarak tempuhnya dekat, maka harganya tentunya lebih murah. Seperti itu juga harga tiket bis, kereta, maupun pesawat. Dan semuanya itu adalah boleh dan halal.

Adapun formulir yang harganya berbeda-beda berdasarkan jumlah pinjaman, pada hakekatnya koperasi hanya ingin mencari untung mengambil manfaat lewat hutang, dan ini diharamkan dalam Islam, sebagaimana sabda Rasulullah shallahu ‘alahi wassalam:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا

“Setiap hutang yang mengambil manfaat (komersil )adalah riba” (HR. Baihaqi)

Ketiga: Sebagian kalangan mengatakan bahwa koperasi simpan pinjam hukumnya boleh, karena pada dasarnya dalam mu’amalah adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya. Sedangkan bunga dari pinjaman anggota bukan untuk mencari keuntungan, tetapi akan dikembalikan kepada anggota koperasi itu juga.

Jawabannya adalah bahwa dalam koperasi simpan pinjam terdapat unsur riba yang diharamkan dalam Islam. Adapun bunga pinjaman yang dibebankan kepada setiap peminjam akan kembali juga kepada anggota koperasi adalah tidak benar. Sebagai contoh, jika anggota meminjam uang sebesar Rp. 1.000.000, maka dia harus mengembalikan kepada koperasi tersebut sejumlah uang yang dipinjam ditambah 5 % nya, yaitu sebesar Rp. 1.050.000 Dari tambahan 5 % tersebut, yang kembali kepada anggota tersebut hanya sekitar 3 % nya saja, sedangkan yang 2 % nya akan masuk kas koperasi. Ini menunjukan bahwa secara nyata bahwa koperasi simpan pinjam tetap mengambil keuntungan dari aktifitas pinjam meminjam dan ini diharamkan dalam Islam, karena termasuk riba.

 

Cara Yang Sesuai Syariat

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar koperasi simpan pinjam sesuai syariat dan terhindar dari riba, diantaranya adalah:

Cara Pertama: Koperasi membeli barang-barang dari uang yang terkumpul dari anggota dan menjual barang-barang tersebut kepada para anggota atau kepada masyarakat umum. Keuntungan dari hasil penjualan dibagi kepada para anggota berdasarkan jumlah uang yang ditabung ke koperasi tersebut.

Cara Kedua: Koperasi ini juga bisa meminjamkan uang kepada anggota yang membutuhkan untuk keperluan konsumtif, tanpa dipungut bunga sedikitpun. Tetapi jika anggota memerlukan uang untuk keperluan usaha, maka koperasi bisa menerapkan system bagi hasil sesuai kesepakatan bersama. Tetapi akad ini tidak dinamakan pinjaman, tetapi disebut dengan mudharabah.

Cipayung, Jakarta Timur, 24 Sya’ban 1432 H/ 26 Juli 2011 M