Diyatsah, Matinya Kecemburuan dan Lumpuhnya Kepekaan Terhadap Islam

Manusia memiliki fitrah, yaitu tabiat dasar yang cenderung pada kebaikan. Merasa malu, hidup bersosial, suka kebersihan, ingin memiliki keturunan, adalah beberapa contohnya. Islam datang membimbing manusia agar tetap berada pada fitrah sucinya dan membawanya menuju kebaikan yang sempurna.

Salah satu fitrah manusia adalah memiliki rasa cemburu. Dalam bahasa Arab disebut ghirah. Ghirah adalah ketidaksukaan hati pada orang yang dipandang merebut hak dan sesuatu yang dimiliki. Istilah ini identik pada hubungan lelaki dan wanita, yaitu saat mana salah satu dari keduanya merasa bahwa ada pihak ketiga yang berusaha menggoda atau bahkan merebut pasangannya. Ghirah sangatlah manusiawi. Oleh karenanya, dalam Islam rasa cemburu tidak dikekang, hanya dibatasi agar tidak berlebihan.

Rasa ini justru dijaga dan dipelihara karena merupakan pilar penjaga hubungan bahkan penanda cinta yang paling transparan. Baca saja hadits-hadits yang mengisahkan kecemburuan istri-istri Nabi dan respon bijak nan lemah lembut Beliau kepada para isterinya yang tengah cemburu. Aisyah bahkan pernah memukul gelas yang dibawa oleh seorang budak wanita karena cemburu sampai pecah berkeping. Luar biasanya, respon Nabi tak lebih dari memunguti pecahan sembari menenangkan sang budak wanita dengan berkata, “Ibunda kalian sedang cemburu.” Itu saja. Tidak ada hardikan atas kecemburuan Aisyah.

Baca Juga: Ghirah, Cemburu Karena Allah

Bahkan tidak hanya manusia saja yang cemburu, ternyata dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Allah pun cemburu. Cemburunya Allah adalah ketika hamba yang beriman: orang-orang yang menyatakan diri cinta kepada-Nya, dan Allah pun cinta pada mereka, melakukan kemaksiatan. Allah cemburu karena maksiat adalah kosongnya hati dari Allah dan terisi oleh nafsu dan bisikan setan hingga lebih menuruti keduanya daripada syariat-Nya.

Jadi, cemburu atau ghirah memang baik asal proporsional. Sebaliknya, hilangnya rasa cemburu adalah petaka. Dalam bahasa Arab musnahnya rasa cemburu disebut diyatsah. Pelakunya disebut Dayuts. Dayuts adalah orang yang tak lagi cemburu pada pasangan atau pada apapun yang dilakukan orang pada pasangannya. Dan diyatsah adalah tanda paling kentara dari musnahnya rasa cinta. Hilangnya rasa cinta bukan ditandai dengan benci, tapi dengan tidak lagi peduli. Berapa banyak orang membenci namun masih menyisakan ruang untuk cinta di hati. Namun, jika sudah tak peduli, hati telah tertutup dan telinga ta mau lagi mendegar apapun yang terjadi. Inilah klimaks dari kosongnya cinta.

Rasulullah ﷺ bersabda,

ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ، وَالدَّيُّوثُ

Dari Salim bin Abdullah (bin Umar), dari bapaknya, dia (Abdullah) berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, “Tiga orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak sudi melihat mereka pada hari kiamat: anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang menyerupai laki-laki, dan dayuts.” (HR. Ahmad)

Lihatlah, balasan bagi dayuts adalah Allah tidak peduli padanya bahkan memadang pun tak sudi. Persis sama dan setimpal dengan ketidakpeduliannya pada orang atau sesuatu yang seharusnya dia pedulikan. Lantas bagaimanakah orang yang sudah tidak lagi dipedulikan oleh Allah? Wal iyadzu billah. Semoga kita dijauhkan dari tiga dosa dalam hadits ini.

 

Diyatsah yang Mengerikan

Pada tataran praktik,diyatsah memang mengerikan. Rasa cemburu yang harusnya ada pada seseorang yang memang seharusnya dicemburui, musnah sama sekali dari hati. Suami tak lagi cemburu melihat istrinya bersama orang lain, atau sebaliknya. Apa yang tersisa dari cinta dan hubungan jika seperti ini? Kasus paling parah, dikisahkan dalam sebuah berita bahwa ada isteri yang rela bahkan membiarkan suaminya berzina dengan pelacur asal tidak nikah lagi atau menceraikan dirinya. Naudzubillah min dzalik.

Seorang ayah tak cemburu saat anaknya digoda atau bahkan dipermainkan laki-laki yang entah bakal jadi suaminya atau tidak. Atau seorang saudara tak ambil pusing manakala saudari atau bahkan ibunya sendiri, diganggu dan diseret ke dalam maksiat oleh orang tak bertanggung jawab. Subhanallah, akan seperti apa sebuah hubungan tanpa kecemburuan? akan seperti apa keluarga jika penanggungjawabnya sudah tak lagi peduli?

 

Skala Lebih Luas

Diyasath akan lebih mengerikan jika diseret pada skala yang lebih luas dari hubungan suami isteri dan keluarga, menuju hubungan antar mukmin kepada mukmin lain dan hubungan mukmin dengan agamanya.

Cemburunya seorang mukmin kepada saudaranya adalah rasa tidak rela saat saudaranya dihina, dizhalimi apalagi ditindas. Kecemburan ini muncul dari rasa cinta kepada sesama mukmin. Cinta melahirkan cemburu, cemburu menggerakkan jiwa dan raga untuk melakukan pembelaan. Bagaimana jika rasa ini mati?

Saat rasa cemburu mati dan diyatsah menggantikan posisinya di hati, kepedulian akan sirna. Seperti apapun derita yang menimpa saudara mukmin, hati tidak lagi peka. Diyatsah seperti kaca pembatas hati yang telah buram dan tebal hingga menghalangi suara. Sebenarnya masih bisa terlihat, namun karena tidak jelas, apa yang tampak tak mengundang perhatian. Sebenarnya masih terdengar, namun jeritan hanya terdengar seperti teriakan kecil hingga hati pun tak terpanggil.

Saat rasa cemburu mati dan diyatsah menggantikan posisinya di hati, kepedulian akan sirna. Seperti apapun derita yang menimpa saudara mukmin, hati tidak lagi peka.

Seperti apapun bombardir media menginformasikan bagaimana penderitaan saudara seiman di Palestina, Suriah, atau Rohingya, semuanya hanya disikapi dengan dingin. Dinding diyatsah dalam hati telah diblok stiker berbunyi, “Itu urusan bangsa dan negara lain, bukan urusan bangsa dan negaraku.” Atau slogan yang sepertinya indah nan bijaksana, namun sebenarnya menunjukkan matinya rasa cinta dan ukhuwah, yang berbunyi, “Kita harus netral dalam menyikapi apapun yang terjadi di negara lain.” Jika netral berarti diam, maka netral adalah bebal. Inti cinta dan ukhuwah bukanlah sekadar kata yang diucapkan atau senyum yang disunggingkan melainkan pembelaan dan keberpihakan.

Baca Juga: Taubat yang Batal dan Hijrah yang Gagal

Kasus pelecehan terhadap Islam, Syiar islam, kalimat tauhid, syariat dan al-Quran akan memunculkan banyak wajah-wajah dayuts. Oknum-oknum yang dianggap tokoh Islam namun ghirahnya kepada al-Quran malah layak dipertanyakan. “Allah Maha Kuat, tidak butuh dibela”, katanya. Kalimat yang benar tapi ditujukan pada konteks yang salah. Allah memang Maha Kuat, Allah juga tidak pernah butuh pada pembelaan siapapun. Namun, pembelaan umat Islam pada Allah dan syariat-nya bukan karena kasihan dan menganggap lemah tapi karena cinta dan kecemburuan. Kalimat itu justru menjadi penghinaan Bagi Dzat Yang Maha Kuasa.

 

Nahi Mungkar adalah Ekspresi Kasih Sayang

Nahi mungkar atau gerakan pemberantasan kemaksiatan juga lahir dari rahim cinta kepada Islam dan kecemburuan kepada sesama muslim. Seorang muslim tidak rela saudaranya dibelenggu setan dan dijerumuskan ke dalam kemaksiatan. Oleh karenanya, muslim lain pun berusaha memberantas semua sarana yang digunakan setan untuk menjebak seorang muslim. Sayangnya, kepekaan ini tidak dimiliki oleh dayuts. Dia justru menganggap nahi mungkar sebagai arogansi dan intoleransi, meski nahi mungkar sudah dilakukan dengan hati-hati. Wajar, hati dayuts memang tak pernah terusik oleh maksiat. Dalam pikirannya, biarlah manusia memilih apa yang diinginkan asal tidak terjadi konfrontasi.

Demikian juga yang terjadi saat peristiwa pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid di Jawa Barat beberapa waktu lalu. Kaum muslimin berbondong-bondong mengecam dan tidak mentolelir perbuatan tersebut karena telah merendahkan simbol islam dan kaum muslimin. Namun, sangat disayangkan ternyata banyak juga umat islam yang kecemburuannya sudah tumpul dan sudah tersemai benih dayuts dalam jiwanya, hingga ia mencari pembenaran dan pembelaan atas kasus tersebut. Wal iyadzubillah.

Bahkan saat merebaknya fenomena LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat, fitrah manusia bahkan norma masyarakat pun, para dayuts tetap bebal hatinya untuk bisa tergerak. Propaganda yang justru mampu merasuk dalam hati dan pikirnya adalah propaganda setan yang menyatakan bahwa LGBT adalah hak asasi setiap manusia yang tidak perlu diributkan. Dan dengan itu, dirinya merasa paling bijaksana. Adapun orang-orang yang dengan keras menentang, dicitrakan sebagai barbar yang intoleran, tidak memiliki kedewasaan berpikir dan kebijakan kultural, padahal semua itu adalah indikasi bahwa iman di hatinya telah mati. Penentangan orang-orang beriman adalah wujud hidupnya hati dan kasih sayang mereka serta ketidakrelaan mereka jika saudara-saudara mereka menjadi karib setan dan dimurkai Allah. Lantas siapakah di antara keduanya yang lebih pengasih, lebih toleran dan lebih bijaksana? Wal iyadzu billah wallahul musta’an. 

 

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Telaah

Ghirah Cemburu Karena Allah

Di jaman Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. dulu pernah ada juga kejadian dahsyat yang berawal dari suatu peristiwa yang mungkin dianggap kecil saja. Seorang perempuan datang membawa perhiasannya ke seorang tukang sepuh Yahudi dari kalangan Bani Qainuqa’. Selagi tukang sepuh itu bekerja, ia duduk menunggu. Datanglah sekelompok orang Yahudi meminta perempuan itu membuka penutup mukanya, namun ia menolak. Tanpa sepengetahuanny a, si tukang sepuh diam-diam menyangkutkan pakaiannya, sehingga auratnya terbuka ketika ia berdiri. Jeritan sang Muslimah, yang dilatari oleh suara tawa orang-orang Yahudi tadi, terdengar oleh seorang pemuda Muslim. Sang pemuda dengan sigap membunuh si tukang sepuh, kemudian ia pun dibunuh oleh orang-orang Yahudi. Perbuatan yang mungkin pada awalnya dianggap sebagai candaan saja, dianggap sebagai sebuah insiden serius oleh kaum Muslimin. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. pun langsung memerintahkan pengepungan kepada Bani Qainuqa’ sampai mereka menyerah dan semuanya diusir dari kota Madinah.

Itulah ghirah, yang diterjemahkan oleh Buya Hamka sebagai “kecemburuan”, yakni cemburu karena Allah.

Siapapun yang menempuh jalan sebagai penghamba Allah, pasti mengalami fase tumbuhnya ghirah (rasa cemburu) seiring dengan bertambahnya cinta kepada Allah. Karena kecemburuan adalah konsekuensi logis dari cinta. Tak ada cemburu, mustahil ada cinta.

Sebelum memahami seperti apa cemburu yang semestinya dimiliki seorang hamba, perlu dipahami bahwa Allah pun memiliki sifat cemburu.

Allah Cemburu Terhadap Hamba-Nya

Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Madaarijus Saalikin berkata, ghirah itu ada dua; ghairatul Haq Ta’ala ala ‘abdihi (kecemburuan Allah atas hamba-Nya) dan ghairatul abdi Lirabbihi (kecemburuan hamba karena Allah).

 

Baca Juga: 5 Alasan Mengapa Negeri Palestina Begitu Mulia dan Harus Dibela

 

Adapun kecemburuan Allah atas hamba-Nya yakni Allah tidak mau disekutukan dengan makhluk dan makhluk hanya boleh beribadah kepada-Nya semata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، فَلِذَلِكَ حَرَّم الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَر مِنْهَا وَمَا بَطن

“Tiada yang lebih besar cemburunya daripada Allah, dan di antara kecemburuan-Nya adalah Dia mengharamkan perbuatan yang keji; baik yang tampak maupun yang tersembunyi.” (HR Muslim)

Firman Allah Ta’ala,

“Katakanlah, “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi,” (QS al-A’raf 33)

Seorang mukmin memahami, bahwa Allah memiliki sifat cemburu, Dia tidak ingin disekutukan dengan selain-Nya, dan tidak ingin ada yang lebih diutamakan oleh seorang hamba dari-Nya.

Jika kita takut kecemburuan atasan kita yang kita khawatiri akan marah melihat kita malas-malasan dalam bekerja, lantas bagaimana kita berani bermalas-malasan saat beribadah kepada Allah? Padahal ketika Allah marah, Dia Kuasa untuk berbuat apapun yang Dia kehendaki.

Pengetahuan akan ghirah Allah terhadap kemaksiatan yang dilakukan oleh hamba-Nya juga menjadikan orang mukmin takut berbuat maksiat meskipun dalam keadaan sendirian, karena di manapun kemaksiatan dilakukan oleh seorang hamba, maka bagi Allah itu adalah maksiat terang-terangan di hadapan-Nya. Karena tak ada yang tersembunyi sedikitpun dari Allah.

Bagaimana orang berani berzina ketika ingat kecemburuan Allah. Takkan pula seseorang nekad menjamah yang haram karena takut Allah cemburu kepadanya. Karena ia tahu, ketika ia membuat Allah cemburu maknanya mengundang kemurkaan Allah terhadapnya. Bisa saja Allah mencabut semua nikmat seketika, dan alangkah mudah bagi Allah untuk membalikkan keadaan seseorang dalam waktu sekejap mata.

Cemburu Karena Allah

Adapun kecemburuan hamba karena Allah ada dua, yakni cemburu terhadap diri sendiri dan cemburu terhadap orang lain.

Adapun cemburu terhadap diri sendiri adalah ketika seseorang tidak menjadikan perbuatan, perkataan, perilaku, waktu dan jiwanya untuk selain Allah. Inilah pengertian ghirah yang biasa diartikan dengan bersemangat dalam kebaikan. Karena ia tidak ingin terlihat cacat di hadapan Allah, dan berharap Allah memandang ridha kepadanya. Bahkan, ia berharap dan berusaha untuk menjadi orang yang paling dekat dengan Allah. Karena itulah ia siap berlomba dalam sebagala bentuk kebaikan, “wa fie dzaalika fal yatanaafasul mutanaafisuun,” dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. (QS al-Muthaffifin 26)

Ghirah akan membuat seorang hamba bersungguh untuk terus mendekat dan mencari perhatian Allah. Ia menyadari bahwa Allah senantiasa melihat gerak gerik ia dalam ibadah, maka ia berusaha melakukan yang terbaik dan tak ingin terlihat Allah dalam keadaan lalai hatinya atau malas gerak geriknya. Firman Allah Ta’ala

“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk salat), dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (QS asy-Syu’ara 218-219)

Imam al-Harawi menyebutkan di antara contoh ghirah adalah ghirahnya seorang ahli ibadah yang kecewa tatkala kehilangan suatu amal sehingga dia akan berusaha mengganti amal yang setara dengan apa yang ia tinggalkan atau berusuha menyusul apa yang ia terlambat mengerjakannya.

Seperti ghirahnya Umar bin Khathab radhiyallahu anhu menyedekahkan kebun yang menjadi sebab terlambatnya beliau dari shalat berjamaah. Atau seperti putera beliau, Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma yang menghdiupkan malam dengan shalat semalam suntuk lantaran tertinggal satu rekaat shalat Isyak.

Itulah ghirah karena Allah yang berhubungan dengan diri sendiri.

Adapun cemburu terhadap orang lain adalah ia akan marah ketika apa-apa yang dilarang oleh Allah dilanggar oleh manusia dan hak-hak-Nya disepelekan dan dan dilecehkan oleh manusia.

 

Baca Juga: Bila Mengaku Islam Buktikan

 

Ghirah dalam hal ini berarti kepekaan jiwa untuk menolak hal-hal yang membahayakan stabilitas keimanann seseorang. Maknanya, ketika seseorang memiliki ghirah karena Allah, jiwanya akan berontak ketika nafsu membujuk untuk maksiat. Jiwanya juga akan terusik ketika penyimpangan itu dilakukan oleh orang-orang dekatnya. Ia akan tersinggung dan bahkan marah ketika Allah, Rasul-Nya, Islam maupun kaum muslimin dilecehkan. Jiwanya juga tidak suka jika suatu kemungkaran itu tampak di hadapan mata, meskipun pelakunya bukan orang-orang dekatnya.

Inilah ghirah yang merupakan ruh atau nyawa yang menghidupi agama seseorang dan menangkis dari segala penyakit yang hendak menyerangnya. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “bara dan panasnya ghirah ini akan menyaring kejelekan dan sifat tercela, sebagaimana emas dan perak dibersihkan dari kotoran yang mencampurinya. Orang-orang mulia dan tinggi harga dirinya pasti memiliki ghirah yang besar terhadap dirinya dan orang-orang yang dekat dengannya, juga terhadap orang lain secara umum.”

Maka orang yang tidak memiliki ghirah dalam hal ini, sebenarnya ia telah kehilangan agamanya. Karena itulah Buya Hamka menuliskan, “Dan apabila ghirah telah tak ada lagi, ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh ummat Islam itu. Kocongkan kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan.” Ya, karena hakikatnya ia telah mati ketika tak memiliki kecemburuan dan kepedulian.

Sebelum beliau, Ibnul Qayyim rahimahullâh menyebutkan dalam kitabnya ad-Da’u wad Dawa’, “Pokok agama adalah ghairah (cemburu). Siapa saja yang tidak memiliki rasa cemburu, maka nyaris tidak ada agama untuknya.”

Orang yang tak memiliki cemburu,, ia tak merasa memiliki, tak ada pembelaan dan tak ada kepekaan terhadap apa-apa yang membahayakan agamanya. Ini menjadi penanda akan redupnya iman di hatinya. Dan jika iman tak ada, maka jasadnya seakan menjadi kuburan baginya sebelum matinya.

Bagaimana seseorang memiliki iman ketika tak ada kecemburuan sedikitpun di hatinya. Tak ada penolakan hatinya terhadap  kemungkaran, tak ada amarah ketika agamanya dilecehkan dan tak ada pembelaan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pernah bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِّهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ

Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan. Apabila tidak sanggup, maka dengan lisan. Jika tidak bisa, maka dengan hati. Dan itulah (mengubah dengan hati) selemah-lemahnya iman” (HR Muslim)

Maka pertanyakan iman kita tatkala tidak terusik melihat kemungkaran di depan mata, tidak tersinggung ketika Allah dan Rasul-Nya dihina, dan tidak pula marah ketika Islam dinodai dan dicela, wallahu a’lam bishawab.

 

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Motivasi

Anjing pun Tak Rela Nabi Dihina

Suatu kali sekelompok orang dari kalangan pembesar Nashrani menghadiri sebuah perayaan seorang pemimpin Mongol yang murtad dari agamanya (menjadi Nashrani). Maka ada waktu itu ada seorang pendeta yang menghina Nabi Muhammad, bertepatan disana ada seekor anjing pemburu yang diikat.

Pada saat pendeta yang dengki itu mulai mencela Nabi, anjing tersebut menyalak dengan keras, kemudian menerkam si pendeta itu dan mencakar wajahnya dengan sadis. Maka orang-orang pun berusaha menyelamatkannya. Sebagian orang yang hadir disitu berseloroh “itu pasti karena celaanmu tentang Muhammad” orang itu malah berkata, “Tidak! anjing ini hanya kaget, dia bereaksi saat melihat isyarat tanganku, disangkanya aku ingin memukulnya.

Lalu si Nashrani ini mengulang kembali celaannya terhadap Nabi Muhammad dengan kata-kata keji. Maka anjing tadi pun meronta dan berhasil lepas dari ikatannya dan langsung saja menerkam leher si Nashrani itu dan merobek hingga bagian dadanya bagian atas. Orang tersebut mati seketika. Karena kejadian ini ada sekitar 40.000 orang mongol masuk Islam. Wal Izzatulillahi.

Andai anjing tidak rela, bagaimana dengan kita sebagai seorang muslim yang melihat agama kita dihina dan dinista? Apa kita diam saja dan menunggu untuk dimangsa, atau kita melolong agar orang yang menghina gentar dan jera. Wallahu a’lam