Hari Raya Idul Adha Bertepatan Dengan Hari Jumat

Rasanya baru kemarin menggemakan takbir kemenangan setelah berpuasa Ramadhan satu bulan lamanya. Besuk lusa kaum muslimin kembali lagi memekikkan takbir di masjid-masjid guna menyambut hari raya yang agung dalam Islam dan puncaknya menyembelih hewan kurban.

Hari Raya kedua umat Islam sudah tiba di depan mata. Apalagi kalau bukan Idul Adha atau sebagian menyebutnya Idul Qurban. Seperti biasanya, kaum muslimin akan sibuk mempersiapkan alat asah dan goloknya guna menyembelih hewan ternak selepas menjalankan shalat Idul Adha.

Baca Juga: Jika Masbuk Shalat Ied

Namun Idul Adha tahun 1438H kali ini terasa lebih istimewa, karena bertepatan dengan hari raya mingguan Umat Islam yaitu hari Jumat. Hari Jumat sendiri bernilai istimewa dan penuh dengan keutamaan, apalagi ditambah keistimewaan yang dibawa Idul Adha, sangat berlipat-lipat keutamaan padanya.

Lalu, bila dalam satu hari ada dua hari raya, apakah kaum muslimin tetap menunaikan shalat jumat di siang harinya? Atau cukup dengan menjalankan shalat dzuhur seperti biasa?

Di Zaman Nabi Juga Pernah Terjadi 

Hal seperti ini pernah juga terjadi di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat. Yaitu Hari Raya ‘Ied  yang bertepatan di hari Jumat. Ada beberapa hadits yang dan atsar yang menjelaskan hal ini. Diantaranya,

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ia berkata,

اجتمع عيدان على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلى بالناس ثم قال: من شاء أن يأتي الجمعة فليأتها ، ومن شاء أن يتخلف فليتخلف

“Pernah terjadi dua hari raya di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maka beliau Shalat dengan para manusia paginya dan berkata, “Siapa yang hendak mendatangi shalat Jumat maka datangilah, dan siapa yang tidak menghadiri silahkan tidak menghadirinya.”  (HR. Ibnu Majah & Thabrani)

Dalam Mu’jam Kabir ditambahkan, “Pernah terjadi dua hari raya di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Hari Raya Idul fitri dan Hari Raya Jumat.  Maka paginya beliau shalat Idul fitri bersama manusia lalu berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah diberi kebaikan dan pahala di hari ini. Kita telah berkumpul, maka siapa yang hendak menunaikan shalat Jumat lakukanlah dan siapa yang hendak balik ke rumahnya silahkan ia kembali.”

Begitu juga Hadits dari Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah bersabda,

اجتمع عيدان في يومكم هذا فمن شاء أجزأه من الجمعة ، وإنا مجمعون إن شاء الله

“telah berkumpul dua hari raya di hari kalian ini, maka siapa yang hendak mencukupkan (untuk tidak shalat Jumat) silahkan , dan Kami akan melaksanakannya Insyaallah.” (HR. Ibnu  Majah)

Dan satu atsar dari Atha’ bin Abi Rabbah Ia berkata, “Ibnu Zubair shalat bersama kami di pagi Idul fitri yang bertepatan pada hari Jumat, saat menjelang siang dan kami menunaikan shalat Jumat Ia tidak hadir shalat bersama kami. Lalu setelah kepulangan sahabat Ibnu Abbas dari Thaif, saya bertanya tentang yang demikian dan Ia menjawab, “Ia mengerjakan hal yang Sunnah.”

Dan masih banyak lagi riwayat hadits dan juga atsar yang redaksinya hampir mirip dengan ketiga hadits diatas.

Para Ulama Menyimpulkan Demikian 

Dengan begitu ada beberapa poin sebagaimana yang dijelaskan oleh para Ulama di Lajnah Daimah,

Pertama, siapa yang menghadiri shalat ‘Ied di pagi harinya, ia boleh untuk tidak shalat Jumat dan menggantinya dengan shalat dzuhur seperti pada hari biasa. Namun bila ingin tetap menjalankan shalat Jumat maka hal tersebut lebih utama.

Kedua, siapa yang tidak menghadiri shalat Ied (Idul fitri/Idul Adha) maka dia tetap berkewajiban menjalankan shalat Jumat dan tidak jatuh rukhsah.

Ketiga, Kepada Takmir Masjid untuk tetap mengadakan shalat Jumat, bila Jamaah yang datang sudah mencukupi syarat shalat Jumat maka dilaksanakan Shalat Jumat, bila tidak maka dilaksanakan shalat dzuhur seperti biasa.

Pada hari ini juga tidak disyariatkan mengumandangkan adzan dzuhur kecuali di masjid-masjid yang mengadakan shalat Jumat.  Sebagai tanda diadakannya shalat Jumat.

Baca Juga: Hari Raya, Syiar dan Identitas Keyakinan

Parahnya, ada orang yang berpendapat bahwa siapa yang sudah menjalankan shalat ‘Ied pagi harinya, ia mendapat rukhsah untuk tidak shalat Jumat dan shalat Dzuhur. Jelas sekali ini pendapat yang keliru. Karena menyimpang dari ajaran Nabi dan meninggalkan kewajiban untuk shalat Dzuhur.

Demikian tiga poin penting mengenai hukum shalat Jumat yang bertepatan pada hari Raya ‘Idul Fitri maupun ‘Idul Adha. Semoga kita tidak keliru dan mengikuti hawa nafsu dalam beramal. Wallahu a’lam. (Islamqa/Nurdin/Idul Adha)

 

Tema Terkait: Ibadah, Idul Adha, Shalat Jumat

 

 

Hari Raya, Syiar dan Identitas Keyakinan

Hari raya bukan sekadar tradisi. Dalam islam, mungkin juga dalam agama lain, merupakan identitas, syiar, panji. Event besar yang menandai eksistensi umat dan pengagungan kepada sumber kyakinannya. Sebuah ahri raya didesain berdasarkan keyakinan dan makna-makna yang merujuk pada dali. Tanggal pelaksanaanya, ritualnya, juga makna-makna yang terkandung di dalamnya. Tidak boleh diubah atau disesuaikan secara serampangan berdasarkan logika, perasaan apalagi kira-kira.

Jadi, dalam Islam,  hari raya bukan sekadar tradisi. Bukan pula sekadar urusan muamalah sesama manusia yang memiliki range toleransi luas. Hal ini merupakan unsur keyakinan dan wujud penghormatan pada ketentuan-ketentuan Islam. Oleh karenanya, ikut merayakan hari raya agama lain haram hukumnya karena mencederai keyakinan sendiri.Sekecil apapun bentuk partisipasi akan menunjukkan identitas agama lain dan pengakuan dan penghormatan atas keyakinan mereka meskipun tak terlisankan.

Ikut merayakan natal misalnya, berarti kita ikut merasa bahagia, suka, hormat pada keyakinan Kristen mengenai segala hal tentang natal. kecondongan hati semacam ini berbahaya karena ranahnya telah melanggar wilayah akidah. Wilayah yang membatasi antara benar dan salah secara hitam putih. Kecenderungan dan ketertarikan kan menarik warna abu-abu yang mengacaukan warna putih.

Jadinya aneh, secara keyakinan kita menyangkal semua keyakinan kristen, tapi kenyataanya kita ikut merayakan syiar mereka.

La Yashaduna az zuur

وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً

”Dan orang – orang yang tidak menghadiri kebatilan, dan apabila mereka bertemu dengan orang –orang yang mengerjakan perbuatan – perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya “(al-furqan:72)

Ayat ini berada dalam list tanda-tanda hamba ar rahman (ibadurrahman) sejati. Salah satunya tidak menyaksikan az zur (kebatilan dan kedustaan). Dalam tarjamah al Quran bahasa Indonesia, kalimat “la yashaduna az Zur” diartikan dengan tidak memberikan kesaksian palsu. Ibnu Taimiyah (Iqtidha’ Shirathal Mustaqim Juz I/181) memberikan koreksi, arti kalimat itu adalah tidak menghadiri perayan hari raya agama lain atau perayan jaihilyah secara umum.

Menurut Beliau, “la yashhaduunaz zuur”seharusny diartikan tidak menyaksikan az zuur, adapun tidak memberi kesaksian palsu, kalimatnya adalah “la yashhaduna bi az zuur”. Makna yang Beliau maksud selaras dengan penafsiran beberapa ulama tafsir. Ibnu Sirin memaknai az zuur dengan Syani’in yaitu hari raya orang musyrik. Demikian juga penafsiran adh Dhahak, az zuur adalah berbagi hari raya orang-orang musyrik.

Menghadiri perayaan hari raya umat beragama lain berarti mengadiri kebatilan dan perkataan dusta. Demikian pula mengucapkan selamat atas hari raya yang tengah mereka laksanakan. Itu sama saja mengucapkan selamat atas kebatilan dan perkataan dusta. Dan mengenakan atribut hari raya mereka berarti mengenakan atribut kebatilan dan kedustaan. Bukankah kita menganggap semua yang mereka yakin batil dan dusta karena kitab mereka telah diedit oleh manusia sedemikian rupa?

Sudah diganti

Seluruh hari raya jahiliyah dan hari raya umat lain telah dihapus dan diganti dengan hari raya islam. Semua syariat agama sebelum islam telah dihapus dengan Islam, termasuk hari rayanya. Turut merayakan hari raya agama lain atau sekadar mengucapkan selamat, berarti masih meridhai adanya syariat yang seharusnya tak diyakini lagi.

قَدَمَ رَسُوْلُ الله اَلْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَا اْليَوْمَانِ؟ قَالُوْا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ رَسُوْلُ الله: إنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْراً مِنْهُمَا: يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ

 

“Rasulullah saw. tiba di Madinah, sementara mereka (penduduk Madinah) mempunyai dua hari, dimana mereka sedang bermain pada hari-hari tersebut, seraya berkata, ‘Dua hari ini hari apa?’ Mereka menjawab, ‘Kami sejak zaman Jahiliyyah merayakan hari-hari tersebut.’ Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan hari yang lebih baik: Hari Raya Idul Adhha dan Hari Raya Idul Fitri.” (Hr. Abu Dawud, Ahmad dan an-Nasa’i)

Sikap Tegas Umar

Umar bin Khattab berkata:

إِيَّاكُمْ وَرِطَانَةَ الأَعاَجِمِ، وَأَنْ تَدْخُلُوْا عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ يَوْمَ عِيْدِهِمْ فِيْ كَنَائِسِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمْ

“Tinggalkanlah bahasa kaum ajam (non-Arab). Janganlah kalian memasuki (perkumpulan) kaum Musyrik dalam hari raya mereka di gereja-gereja mereka. Karena murka Allah akan diturunkan kepada mereka.” (Hr. al-Baihaqi)

Ibn Taimiyah berkata, “Umar melarang belajar bahasa orang-orang kafir bahkan sekadar memasuki gereja mereka pada Hari Raya mereka. Lalu, bagaimana dengan mengerjakan perbuatan mereka? Atau mengerjakan apa yang menjadi tuntutan agama mereka. Bukankah melakukan tindakan mereka jauh lebih berat lagi? Bukanlah merayakan hari raya mereka lebih berat ketimbang hanya sekedar mengikuti mereka dalam hari raya mereka? Jika murka Allah akan diturunkan kepada mereka pada hari raya mereka, akibat tindakan mereka, maka siapa saja yang terlibat bersama mereka dalam aktivitas tersebut, atau sebagiannya pasti akan merasakan adzab tersebut.”(Iqtidha’ Shirathal Mustaqim).

Umar bin Khattab berusaha membentengi umat Islam agar tidak terjebak pada perasaan condong kepada keyakinan mereka melalui hal-hal tersebut. Akidah penting dijaga karena itulah sumber keyakinan. Sedikit kecondongan hati akan berakibat fatal karna akidah haruslah murni.

Hari raya adalah syariat sebagaimana shalat, puasa dan kiblat dan berbagi syariat lain. Bahkan ahri raya merupakan syariat utama karena merupakan syiar terbesar suatu umat. Allah berfirman:

Merayakannya berarti ikut merayakan kekufuran. Merayakan sebagian, berarti merayakan bagian kekufuran. Umar sang Khalifah dan para ulama khawatir, sedikit perasaan ridha pada kekufuran pada akhirnya berubah menjadi kekufuran itu sendiri. Orang-orang awam yang mulanya ikut-ikutan mengucapkan selamat natal misalnya, dikhawatirkan akhirnya akan benar-benar turut merayakan.

Diam sudah lebih dari cukup

Sebagai bentuk toleransi, diam dan membiarkan umat lain merayakan hari raya adalah toleransi yang lebih dari cukup. Lantas apa salahnya sekadar mengucapkan selamat kepada umat lain yang merayakan?

Beberapa ulama seperti DR Yusuf al Qaradhawi dan DR musthafa Ahmad Zarqa berpendapat sekadar ucapan selamat tidak masalah. Hal itu hanyalah salah satu bentuk muhasanah (brbuat baik) kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi umat Islam. Landasannya, mereka menyatakan tidak ada dalil eksplisit yang melarang ucapan selamat.

Namun, beberapa ulama lain seperti Inul Qayim al Jauziyah, Syaikh Shalihal Utsaimin dan Majelis Ulama Indonesia tahun 1981 saat diketuai Buya hamka memberikan fatwa haram. Hanya saja, MUI hari ini tidak bersikap tegas dan membiarkan umat memilih dalam perbedaan pendapat.

Ibnul Qayim berkata, “Adapun mengucapkan “Selamat” kepada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi mereka hukumnya haram sesuai kesepakatan. Seperti mengucapkan selamat tas hari raya mereka atau shiyam mereka dengan berkata, “Semoga hari rayamu diberkahi”. Ucapan ini, meskipun yang mengucapkan selamat dari kekufuran tapi ucapan semacam itu jelas haram hukumnya. Hukumnya sama dengan mengucapkan selamat saat seorang kristen sujud kepada salib. Bahkan dosanya lebih besar daripada mengucapkan selamat kepada peminum khamr dan ucapan selamat kepada pelaku bunuh diri dan zina. Banyak orang awam yang terjerumus perbuatan ini. Barangsiapa yang mengucpakan selamat tas perbuatan bid’ah, makiat atau kekufuran maka dia berhak mendapat murka Allah.” (Ahkamu ahli Dzimah I/441).

BACA JUGA : 5 Hal yang Meneguhkan Akidah

Mengacu pada ucapan Ibnul Qayim di atas, kesalahan mengucapkan selamat terletak pada makna ucapan dan tujuan pengucpaan. Selamat mengandung doa agar selamat, lancar atau diberkahi. Apakah kita kan mendoakan agar perayaan kelahiran Tuhan yang mereka jadikan sekutu bagi Allah agar berjalan lancar dan diberkahi? Dan tujuan apa yang ingin kita raih dari ucapan selamat itu selain hanya sekadar ridha dari orang-orang yang kufur kepada Allah dan rasul-Ny dan masih meyakini Yesus adalah anak tuhan yang lahir di hari natal? Wal’iyadzubillah.

Adanya Perbedaan pendapat ulama bukanlah legitimasi untuk memilih pendapat manapun tanpa mengkaji terlebih dabulu. Apalagi, pendapat itu bukan datang dari ulama yang memiliki derajat mujtahid muthlaq. Memilih pendapat ulama juga harus dengan ilmu dan pertimbangan, mana yang lebih sesuai dengan kebenaran. Emoga Allah melindugi kita dari kekufuran, sekecil apapun.