Milyarder Muslim Yang Membuat Iri Semua Kaum Muslimin

Kekuatan kaum muslimin mulai membuat Romawi tidak tenang. Kaisar Heraklius melihat ancaman besar jika kaum muslimin Madinah tidak segera digulung. Apalagi beberapa kabilah Arab mulai bergabung dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam setelah sebelumnya mereka tunduk di bawah kekuasaan Romawi. Akhirnya mereka memutuskan untuk segera menyerang kota Madinah.

Berita tersebut segera direspon Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau tidak ingin kedahuluan, maka beliau segera mengadakan mobilisasi persiapan pasukan untuk menyongsong musuh di Tabuk.

Tetapi cuaca kemarau yang panjang, dan kesulitan ekonomi merupakan satu kendala tersendiri untuk menyiapkan pasukan. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan kaum muslimin, naik mimbar memuji Allah dan menghasung mereka untuk mengeluarkan hartanya dengan ganti jannah baginya.

 

Baca Juga: Khalid bin Said, Pejuang Assabiqunal Awwalun

 

Saat itulah milyarder muslim, Utsman bin ‘Affan yang juga menantu Rasulullah berdiri dan berkata,”Saya sumbangkan seratus onta dan perbekalannya ya Rasulullah.”

Rasulullah kemudian turun dari mimbar, lalu naik lagi menghasung manusia untuk berinfak. Lagi-lagi Utsman bin Affận berdiri dan menyumbangkan seratus onta dan perlengkapannya. Setelah itu Rasulullah  menghasung lagi dan sekali lagi Utsman menjawab hasungan dengan menambah seratus onta lagi, sehingga genaplah sumbangannya menjadi tiga ratus onta. Sekiranya satu onta seharta 20.000.000, maka sekali menyumbang, milyader dermawan ini menyumbang sekitar enam milyar rupiah.

Pantaslah sehingga wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berbinar karenanya seraya bersabda, “Tidak ada sesuatupun perbuatan Utsman yang membahayakannya setelah hari ini”

Tidak hanya itu saja. Beliau kemudian pulang dan mengambil seribu dinar hartanya dan diserahkan kepada Rasulullah. Tahukah anda berapa nilai satu dinar emas? Ia setara dengan 4 ¼ gram emas. Jadi jika satu gram emas dihargai lima ratus ribu, maka ia telah menambah sumbangannya sejumlah 2,25 milyar. Rasulullah bertambah gembira dengan kedermawanan Utsman sehingga beliau bersabda,”Semoga Allah mengampunimu ya Utsman, baik dosa yang tersembunyi ataupun yang kelihatan, baik yang telah lalu ataupun yang kemudian sampai hari kiamat”

Bahkan dalam riwayat lain disebutkan bahwa Utsman senantiasa menambah jumlah sumbangannya untuk persiapan perang tersebut sehingga total bantuan ontanya mencapai sembilan ratus ekor onta.

Itulah salah satu kiprah besar ‘Dzu Nuraini ‘(julukan Utsman) yang mendapat kemulian menjadi suami dua puteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kedermawanan Utsman bin Affan tidak hanya sekali saja, melainkan berkali kali dan memang telah menjadi karakter hidup beliau. Diantaranya adalah saat kaum muslimin Madinah kesulitan dalam memenuhi kebutuhan air. Satu-satunya sumber air yang melimpah airnya dimiliki seorang Yahudi tua yang tamak. Orang-orang yang mengambil air dari sumurnya dikenakan biaya yang tinggi sekali sehingga mencekik leher kaum muslimin. Utsman bin ‘Affan tidak tega melihat keadaan ini. Beliau lantas menemui si Yahudi dan menawar harga sumur tersebut. Si Yahudi tamak tadi memanfaatkan keadaan, ia menawarkan separo sumber airnya dengan harga di luar kewajaran sebanyak dua belas ribu dirham. Meskipun mahal tetapi Utsman bin Affan tetap membelinya.

Kemudian kaum muslimin dapat mengambil air tersebut pada hari berikutnya dengan gratis. Sebab oleh sahabat Utsman sumur itu diwakafkan untuk kaum muslimin. Setelah itu jatah air si Yahudi tidak ada yang mau membeli lagi sehingga akhirnya semuanya ia jual kepada sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.

 

Baca Juga: Shofiyah binti Huyay Putri Tercantik Khaibar

 

Satu lagi contoh kedermawanan sahabat ini. Ketika masa pemerintahan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, pernah terjadi tahun kekeringan dan paceklik, sehingga penduduk Madinah terancam kelaparan. Pada saat yang menegangkan tersebut, datanglah kafilah dagang Utsman bin Affận radhiyallahu ‘anhu dari Syam yang terdiri dari seribu onta dengan membawa bahan makanan.

Para pedagang pun segera bergegas untuk membeli bahan makanan yang sangat dibutuhkan tersebut. Para pedagang berkata,”Ya Abu Amr, juallah bahan makanan tersebut kepada kami. Beliau menjawab, “Baik, tetapi berapa kalian berani memberi untung kepadaku?” Mereka menjawab, ”Kami berani membelinya dua kali lipat.”  Utsman bin Affan berkata, ” Ada yang berani membelinya lebih dari itu.”

Para pedagang pun meningkatkan harganya. Tetapi Utsman mengatakan ada yang berani membeli lebih besar lagi. Mereka pun meningkatkan lagi harganya. Tetapi lagi-lagi Utsman bin Affan mengatakan ada yang berani lebih tinggi lagi.

Akhirnya setelah mereka merasa tidak mampu lagi menjangkau harganya, mereka bertanya, ”Ya Abu Amru, di Madinah ini tidak ada pedagang selain kami, dan tidak ada seorangpun yang mendahului kami untuk menawar dagangan anda. Lantas siapakah yang berani memberimu harga lebih tinggi lagi daripada harga yang kami tawarkan?”

Beliau berkata, ”Sesungguhnya Allah memberi harga padaku setiap dirham dilipatkan sepuluh kali. Apakah kalian berani memberinya lebih tinggi lagi?”

Mereka menjawab,”Tidak wahai Abu Amru.”

Beliau berkata,”Saya persaksikan kepada Allah ta’ala, bahwa apa yang dibawa onta-onta tersebut saya jadikan sedekah bagi kaum muslimin yang fakir. Saya tidak mengharap balasan dari seorangpun juga, melainkan saya hanya mengharap pahala dan keridhaan Allah.”

Selain kedermawanan sang milyarder muslim pertama ini, ada lagi amal besar beliau yang dirasakan manfaatnya oleh seluruh kaum muslimin sampai hari ini. Yaitu inisiatif beliau untuk menyatukan mushaf. Hal ini terjadi karena keprihatinan sahabat Hudzaifah al-Yamani yang melihat perselisihan sebagian muslimin dalam membaca Al Qur’an dan masing masing berbangga dengan gaya bacaannya. Padahal sebenarnya Al Qur’an memang boleh dibaca dengan tujuh qiro’at.

Kemudian beliau menyampaikan permasalahan ini kepada Utsman bin Affan yang saat itu telah menjabat sebagai khalifah. Khalifah Utsman merespon permasalahan tersebut, lalu memerintahkan sahabat Zaid bin Tsabit memimpin proses penulisan ulang mushaf yang dulu pernah dikumpulkan sahabat Abu Bakar as Siddiq, lalu terakhir disimpan oleh Hafshah bin Umar salah satu Ummahatul Mukminin.

Dengan tekun tim Zaid bin Tsabit berhasil menulis mushaf yang kemudian masing-masing dikirimkan ke wilayah wilayah kaum muslimin yang semakin meluas. Lantas Utsman bin Affan atas kesepakatan para sahabat memerintahkan untuk membakar semua mushaf selain mushaf yang ditulis ulang dari mushaf susunan zaman Abu Bakar as-Siddiq. Dengan demikian persatuan kaum muslimin dalam membaca mushaf pun terjaga.

 

Oleh: Redaksi/Kisah Sahabat

 

Bayar Hutang, Bolehkah Pinjam dari Bank?

Apakah dibenarkan ketika dililit hutang meminjam uang ke Bank untuk membayar hutang tersebut? Apakah hal tersebut bisa dikategorikan kondisi darurat? Sekian, terimakasih Jazaakumullah khairan.

Ma’ruf, Bumi Allah

………….

Allah telah mengancam hamba-Nya yang melakukan transaksi riba, termasuk di dalamnya meminjam uang dengan riba. Allah ta’ala berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 276)

Sebelumnya, kita perlu terlebih dahulu memahami definisi dharurat. Yaitu sebuah kondisi yang akan mendatangkan bahaya, kesulitan yang memuncak hingga ditakutkan mengalami bahaya pada jiwa, atau anggota badan, atau kehormatan, atau akal, atau juga harta. Bila kondisi seperti demikian maka dibolehkan melanggar yang haram, meninggalkan yang wajib atau menundanya. Seperti kondisi orang sakit yang harus segera diobati karena akan mengancam jiwanya, dan tidak mendapatkan pinjaman. Maka dibolehkan meminjamnya sebatas kebutuhan berobat. Tapi perlu dipahami, bahwa tidak semua dharurat membolehkan yang haram, seperti tidak boleh membunuh orang muslim dengan alasan dharurat atau alasan terpaksa, demikian dengan zina tidak ada alasan dharurat.

Baca Juga: Apakah Sisem Kredit Ada Ribanya?

Adapun hutang, menurut Dr. Abdullah Faqih tidak termasuk hal dharurat, Allah ta’ala telah memerintahkan kepada yang dihutangi agar menunggu hingga mampu dibayar, bahkan kalau bisa hingga memaafkan dan mensedekahkan padanya bila kondisi teramat susah. ”Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:280)

Walau demikian, memang kondisi hutang bisa beragam, sehingga kondisi tersebut bisa dilihat apakah akan mengancam jiwa, harta atau lainnya. Yang terpenting hendaknya seorang mukmin berusaha maksimal untuk membayar semua hutangnya dengan jalan yang dibenarkan oleh syari’at, lalu bertawakkal pada Allah, karena tentu Ia akan memberikan jalan keluar dari semua kesulitan tersebut. ”Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (Ath-Thalaq: 2). WaAllahu ’Alam Bissawaab (Redaksi/Konsultasi

 

Tema Lainnya: Riba, Muamalah, Harta 

Hartamu Milik Bapakmu

Abdullah bin Amru bin ‘Ash menuturkan bahwa Rasulullah pernah didatangi seorang lelaki lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku punya harta dan juga anak, namun ayahku membutuhkan hartaku.” Beliau kemudian bersabda:

“Dirimu dan hartamu adalah milik milik ayahmu. Dan sesungguhnya anak-anakmu adalah bagian dari hasil upayamu yang terbaik, maka makanlah dari hasil upaya anak-anakmmu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

Dalam riwayat Abu Hanifah, dari Aisyah ra bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya anak-anakmu adalah bagian dari upayamu dan juga hibah Allah yang diberikan kepadamu. Allah menganugerahkan anak perempuan kepada siapa yang dikehendaki oleh-Nya dan juga memberikan anak laki-laki siapa saja yang Ia kehendaki.”

BACA JUGA : BERSIH JIWA BERSIH HARATA

Rasulullah juga pernah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah, “Sesungguhnya makanan terbaik yang kamu makan adalah dari hasil jerih payahmu, dan sesungguhnya anak-anakmu adalah bagian dari jerih payahmu pula.”

Ada satu kisah menarik tentang seorang tua dengan anaknya yang dikisahkan oleh Imam Qurthubi. Diriwayatkan secara bersambung dari Jabir bin Abdillah ra bahwa ia berkata: Seseorang datang menghadap Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku mengambil hartaku.”
Nabi kemudian berkata kepada lelaki itu, “Datangkan ayahku ke sini.”

Jibril kemudian turun untuk menemui Nabi dan berkata, “Allah Azza wa Jalla menyampaikan salam kepadamu serta berfirman: “Jika datang orang tua itu kepadamu, maka tanyakanlah mengenai sesuatu yang ia katakan dalam hatinya sebagaimana yang didengar oleh kedua telinganya.”

Ketika orang tua itu telah datang, maka beliau bertanya: “Ada apa gerangan dengan anakmu yang mengadukanmu? Apakah kamu hendak mengambil hartanya?”

Ia menjawab: “Tanyakanlah kepadanya, ya Rasulullah, apakah aku akan membelanjakannya keculai untuk kepentingan salah satu dari bibinya dari pihak ayah atau bibinya dari pihak ibu atau untuk diriku sendiri.”

Rasulullah kemudian berkata: “Tinggalkan hal itu, dan sekarang beritahukan kepadaku mengenai sesuatu yang engkau katakan dalam hatimu sendiri yang hanya bisa didengar oleh kedua telingamu.”
Orang tua itu berkata: “Demi Allah, ya Rasulullah, Allah masih saja terus menambahkan kepada kami keyakinan kepadamu. Sungguh aku telah mengucapkan di dalam hatiku apa yang hanya didengar oleh kedua telingaku.”

Nabi berkata: “Katakanlah, dan saya akan mendengarnya.” Ia berkata: “Aku katakan dalam hatiku:

Wahai anakku, telah kuberi engkau makan sejak kecil
dan kunafkahi dirimu hingga tumbuh dewasa seperti ini
serta dari air yang kuberikan enkau minum
Yang telah kukatakan adalah apabila kau ditimpa kahancuran
dan jiwaku pun tahu bahwa suatu saat maut akan pasti datang
Dan kini, setelah engkau menjadi besar sebagaimana yang kucita-citakan sejak dahulu
kau balas semua ini dengan kekerasan
Seakan engkau pemberi segala nikmat itu
Maka sesungguhnya bila engkau tidak menunaikan hak-hakku sebagai ayahmu
Perlakukanlah aku sebagai tetangga yang mempunyai hak atas dirimu
Tetapi engkau telah menyia-nyiakan hak tetangga
Engkau kikir membelanjakan hartamu kepadaku

Saat itu pula Nabi saw mengambil kerah baju anak tersebut dan bersabda: “Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.” (Tafsir Al-Qurthubi: X/245)

Orangtua juga mempunyai hak untuk menarik kembali pemberian yang sebelumnya telah diberikan kepada anak-anaknya.

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw bersabda: “Tidak dihalalkan bagi seorang pun untuk memberikan suatu pemberian, lalu ia menarik kembali pemberiannya itu kecuali (pemberian) seorang ayah kepada anaknya.” Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqi.
Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Baihaqi, dan Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ra bahwa Nabi saw bersabda: “Tidak dihalalkan seseorang untuk memberikan suatu pemberian, atau memberikan hibah, kemudian ia menariknya kembali, kecuali seorang ayah yang memberikan sesuatu kepada ayahnya. Perumpamaan orang yang melakukan hal itu adalah seperti seekor anjing yang makan. Jika ia kenyang, maka ia memuntahkannya, kemudian ia kembali menjilati muntahannya itu.”

Muhammad bin Sirin berkata: “Pada zaman Utsman bin Affan ra, pohon kurma naik harganya hingga mencapai seribu dirham. Namun Usamah bin Zaid rela mencocoknya dan mengeluarkan (mengambil) sarinya. Seseorang kemudian bertanya kepadanya. “Apa yang menyebabkanmu berbuat seperti ini, sedangkan engkau sendiri tahu bahwa harga satu pohon kurma mencapai harga seribu.” Ia menjawab: “Sesungguhnya ibuku memintanya, dan tidaklah ia meminta sesuatu kepadaku yang aku mampu melainkan pasti akan aku beri.” Diriwayatkan oleh Hakim dalam Mustadrak-nya (3/597) tanpa memberi komentar. Sedangkan Dzahabi mengatakan: Ibunya meninggal para zaman Abu Bakr As-Shiddiq sehingga hadits ini mursal.

Membayar Utang Orang tua

Di zaman dahulu, ketika masih ada perbudakan, terkadang ada seorang anak yang merdeka dan kaya, sedangkan ayah atau ibunya masih menjadi budak dan tidak punya harta untuk menebus dan membebaskan dirinya. Adapun bentuknya yang serupa pada zaman sekarang adalah adanya orangtua yang mempunyai banyak utang karena adanya suatu sebab. Lalu bagaimana sikap Rasulullah saw terhadap keadaan seperti ini? “Tidaklah seorang anak akan bisa membalas (kebaikan) seorang ayah kecuali jika sang anak mendapati ayahnya sebagai seorang budak lalu ia membeli dan membebaskannya.”

Dengan demikian yang menjadi kewajiban anak dalam keadaan seperti itu adalah segera mengorbankan harta demi memerdekakan ayahnya atau membayarkan utang-utangnya. Sebab, sebagaimana yang dinyatakan oleh hadits di atas: “Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda:
“Siapa yang berhaji untuk kedua orangtuanya, atau melunasi utang-utangnya, maka pada hari kiamat nanti Allah akan membangkitkannya bersama dengan golongan orang-orang yang baik.” (HR. Daruquthni: II/260).