Hukum Jual Beli di Masjid

Masjid adalah tempat yang digunakan untuk shalat, dzikir, dan membaca al-Qur’an. Tetapi kita dapatkan juga Rasulullah bermusyawarah dan menerima tamu di dalam masjid. Apakah dibolehkan melakukan transaksi jual beli di dalam masjid?

Para ulama berbeda pendapat di dalam masalah ini. Hal ini terkait dengan perbedaan pendapat di dalam memahami hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِى الْمَسْجِدِ فَقُولُوا : لاَ أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَنْشُدُ فِيهِ ضَالَّةً فَقُولُوا : لاَ رَدَّهَا اللَّهُ عَلَيْكَ

“Jika kamu melihat orang menjual atau membeli di mesjid maka katakanlah : “Semoga Allah tidak memberi keuntungan pada daganganmu.” Dan jika kamu melihat orang mencari barang yang hilang di masjid, maka katakanlah :“Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu” (HR Tirmidzi ( 1231) , Ibnu Huzaimah ( 1305), Baihaqi ( 4518))

Para ulama berbeda pendapat di dalam memahami hadits di atas yang keterangannya sebagai berikut:
Pendapat Pertama: jual beli di masjid hukumnya makruh. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan sebagian Hanabilah seperti IbnuTaimiyah.

Berkata Sulaiman al- Bujairmi asy-Syafi’I, “Dimakruhkan untuk jual beli di masjid dan seluruh transaksi sejenis jual beli. Kecuali pernikahan maka disunnahkan dilakukan di dalamnya. Begitu juga dimakruhkan untuk mencari barang yang hilang.” (Tuhfatu al-Habib ‘ala al-Khatib: III/666).

Pendapat Kedua: jual beli di masjid hukumnya haram. Ini pendapat sebagian ulama Hanabilah. Alasannya:
Pertama, hadits dari Abu Hurairah di atas menunjukkan larangan, dan pada asalnya setiap larangan menunjukkan keharaman.

Kedua, masjid tidak dibangun untuk keperluan jual beli, tetapi untuk berdzikir, shalat dan membaca al-Qur’an.

Ketiga, diriwayatkan bahwa Imran al-Qashir ketika melihat seseorang berdagang di masjid, beliau langsung menegurnya dan mengatakan, “Ini adalah pasar akherat. Jika Anda ingin berdagang maka keluarlah ke pasar dunia.” (lihat al-Mughni: IV/337).

Pendapat Ketiga: jual beli di masjid hukumnya boleh. Ini pendapat sebagian asy-Syafi’iyah sebagaimana disebutkan an-Nawawi di dalam al-Majmu’: II/203.

Sebagian ulama Hanafiyah membolehkan jual beli jika tidak dalam jumlah yang besar dan ramai sehingga menyerupai pasar. Berkata ath-Thahawi, “Begitu juga larangan jual beli (di masjid) maksudnya adalah jual beli dalam bentuk yang besar, sehingga masjid seperti pasar. Hal itu karena beliau (Rasulullah) tidak melarang Ali menjual jasa perbaikan sandal, padahal kalau perbaikan sandal ini menjadi ramai hukumnya menjadi makruh. Hukum ini berlaku pada jual beli, membacakan syair, dan membuat halaqah sebelum shalat (Jumat). Kalau ini menjadi ramai maka dimakruhkan. Jika tidak ramai maka tidak apa-apa.” (lihat Hasyiatu Ibnu Abidin: I/660).

Berkata al-Marghiyani tentang orang i’tikaf.
“Dibolehkan bagi yang iktikaf untuk melakukan jual beli di masjid tanpa boleh membawa barang-barang dagangan, karena kadang orang yang i’tikaf membutuhkan barang tersebut, sedangkan tidak ada orang yang bisa membantunya di dalam mendapatkan kebutuhan tersebut.” (al- Hidayah: I/133).

Maksudnya dibolehkan membeli barang-barang yang dibutuhkan orang yang i’tikaf seperti makanan dan pakaian. Adapun jual beli dengan tujuan berdagang maka hukumnya makruh, apalagi bagi yang sedang i’tikaf.

Di dalam beberapa riwayat dari Imam Malik dijelaskan bahwa transaksi yang bentuknya kecil dan remeh boleh dilakukan di masjid tetapi transaksi yang besar, apalagi sampai membawa barang dagangan ke dalam masjid maka hukumnya makruh . Al-Baji berkata, “Diriwayatkan dari al-Qasim dari Imam Malik di dalam al-Majmu’ah, ‘Tidak apa-apa seseorang membayar utang kepada temannya di dalam masjid’.” (al- Muntaqa Syarh al-Muwatho’: I/ 342).

Disebutkan juga di dalam kitab yang sama, “Adapun seseorang yang menawar baju yang sedang dipakai orang lain, atau barang yang pernah dia lihat sebelumnya dan telah mengetahuinya kemudian ingin membelinya, maka tidak apa-apa.”

Apakah Jual Belinya sah?

Mayoritas ulama mengatakan jual belinya sah, bahkan tidak sedikit yang menyebutkan kesepakatan ulama dalam hal ini. Di antara ulama yang menukil kesepakatan tersebut adalah Ibnu Bathal, al-Mawardi, al-Iraqi, dan Ibnu Muflih.

Berkata Ibnu Qudamah, “Jika seseorang berjualan di masjid, maka jual belinya sah, karena jual belinya telah memenuhi rukun dan syaratnya, serta tidak ada hal yang menyebabkan rusaknya jual beli tersebut. Adapun kemakruhan untuk berjualan di masjid tidak secara otomatis menyebabkan jual beli tersebut rusak (tidak sah). Sebagaimana kecurangan dan penipuan serta manipulasi susu kambing di dalam jual beli. Ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah (Maka katakanlah, “Semoga Allah tidak memberi keuntungan pada daganganmu.”) tanpa mengatakan bahwa jual beli tersebut rusak. Hal ini menunjukkan keabsahan jual beli tersebut. (al- Mughni: IV/337).

Al-Mardawai, salah seorang ulama Hanabilah di dalam kitab al- Inshaf (III/347) menyebutkan bahwa Ibnu Habirah mengatakan jual beli yang dilakukan di masjid hukumnya tidak sah. Tentunya pendapat ini sangat lemah dan menyelesihi mayoritas ulama, sebagaimana yang disebutkan Ibnu Qudamah di atas.
Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA
Pondok Gede, 30 Sya’ban 1435/ 28 Juni 2014

Hukum Hadiah dalam Produk

Sekarang ini, banyak produsen gencar menyelipkan hadiah dalam poduk-produknya guna meningkatkan volume penjualan. Tentunya tidak sedikit yang lantas membeli karena menginginkan hadiahnya. Padahal, benarkah setiap hadiah dari sebuah produk hukumnya halal? mari kita bahas.

 

Bentuk-bentuk Hadiah

Pertama: Hadiah Melalui Perlombaan, Kuis, atau Undian

Bentuk hadiah yang pertama ini mempunyai bentuk yang bermacam-macam, diantaranya adalah :

1.       Hadiah Yang Diberikan Produsen Melalui Registrasi

Undian semacam ini hukumnya haram, karena termasuk dalam perjudian yang dilarang dalam Islam. Kenapa masuk dalam katagori perjudian? Karena peserta membayar sejumlah uang melebihi dari harga biasa, padahal ia belum tentu mendapatkan apa yang diharapkan. Mungkin dia untung ketika mendapatkan hadiah dan mungkin juga bisa rugi jika tidak mendapatkan hadiah tersebut. Jika peserta undian jumlahnya banyak, maka yang meraup keuntungan adalah pihak penyelenggara. Hadiah yang diberikan peserta hanyalah bagian kecil dari keuntungan tersebut.

2.       Hadiah Dengan Cara Membeli Barang

Produsen menawarkan hadiah kepada konsumen dengan syarat dia harus membeli produk-produknya. Di dalam produk tersebut terdapat kupon hadiah yang nanti dikumpulkan untuk diundi, yang namanya keluar dalam undian tersebut, maka dialah yang berhak mendapatkan hadiah.

Bagaimana hukum undian hadiah dalam bentuk seperti ini? Untuk menjawabnya, perlu dirinci terlebih dahulu sebagai berikut:

Pertama: Hadiah yang diberikan kepada konsumen berpengaruh kepada harga produk tersebut. Artinya jika tidak disertai hadiah, maka harga produk tersebut menurun, jika ada hadiahnya – dengan melalui undian- , maka harga produknya akan naik sebesar jumlah hadiah yang akan diberikan. Maka undian hadiah seperti ini hukumnya haram, karena termasuk bentuk perjudian. Dikatakan masuk dalam bentuk perjudian, karena pembeli telah membayar uang diluar harga produk yang sesungguhnya, padahal dia belum tentu mendapatkan hadiah tersebut. Adapun yang mendapatkan hadiah, sebenarnya dia telah mendapatkan sesuatu di atas kerugian para pembeli yang lain.

Kedua: Hadiah yang diberikan kepada konsumen tidak berpengaruh pada produk. Hadiah diberikan dari anggaran promosi yang bertujuan agar para konsumen tertarik untuk membeli produk tersebut.

Bagaimana status hukumnya? Para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan status hukumnya.

Pendapat Pertama: Harus dirinci terlebih dahulu; jika konsumen membeli produk tersebut karena memang ia membutuhkannya, bukan karena hadiah, yaitu dia akan membeli produk tersebut, baik ada hadiahnya, maupun tidak ada hadiahnya. Maka hal ini dibolehkan. Sebaliknya, apabila dia membeli produk tersebut karena ada hadiahnya, yaitu jika tidak ada hadiahnya dia tidak akan membeli, karena  sebenarnya dia tidak membutuhkan barang tersebut, dia membelinya sekedar untuk mengejar hadiahnya. Maka hal ini tidak dibolehkan, karena pada hakekatnya dia berjudi dengan membayar sejumlah uang dalam bentuk barang yang tidak dibutuhkan untuk meraih hadiah atau keuntungan yang belum jelas.

Pendapat Kedua:  Hukumnya tetap haram, karena akan mendorong seseorang untuk membeli barang-barang yang tidak diperlukan, karena hanya sekedar mengejar hadiah tersebut. Ini adalah sifat berlebih-lebihan di dalam berbelanja.

Hukum di atas juga berlaku untuk hadiah yang diberikan kepada konsumen yang membeli barang dalam jumlah banyak atau dalam jumlah tertentu, seperti kalau konsumen membeli barang dan produk pada toko tertentu seharga Rp.100.000,- ke atas, maka akan mendapatkan hadiah piring dan gelas.

Kedua: Hadiah Langsung Pada Barang

Hadiah langsung pada barang ini mempunyai tiga bentuk :

Bentuk Pertama: Jika seseorang membeli barang, kemudian dia mendapatkan hadiah, baik berbentuk barang tertentu, seperti ketika dia membeli meja belajar, penjual memberikannya hadiah buku tulis.  Atau berbentuk jasa, seperti ketika dia membeli mobil, maka dia mendapat hadiah atau bonus mencuci mobil gratis di tempat tersebut selama satu bulan penuh. Hadiah seperti ini dibolehkan selama tidak ada syarat tertentu ketika membeli barang tersebut.

Bentuk Kedua:  Hadiah tersebut jelas bisa dilihat oleh konsumen di dalam barang yang akan dibeli. Setiap orang yang membeli barang tersebut pasti mendapatkan hadiah itu.  Dalam hal ini, hukumnya halal.

Bentuk Ketiga:  Hadiah terdapat dalam sebagian produk. Artinya orang yang membeli barang tersebut untung-untungan, kadang dapat, kadang pula tidak dapat. Maka hukumnya boleh jika hadiah yang ditawarkan tersebut tidak mempengaruhi harga produk, tetapi diberikan dengan tujuan menarik pembeli. Dan pembelinya membeli produk tersebut karena kebutuhan, bukan karena hadiah, sebagaimana yang telah diterangkandi atas.

Ketiga : Kupon Undian Berhadiah

Produsen atau toko memberikan kupon kepada para pembeli produk mereka. Kupon tersebut akan diundi pada akhir bulan umpamanya, barang siapa yang namanya keluar dalam undian tersebut, maka akan mendapatkan hadiah. Apa perbedaan masalah ini dengan masalah sebelumnya? Perbedaannya adalah pada masalah sebelumnya produsen menawarkan hadiah terlebih dahulu, tetapi dengan syarat harus membeli produknya, sehingga setiap pembeli mengetahui hadiah sebelum membeli produk, bahkan kadang dia membeli produk tersebut, karena ada hadiahnya. Adapun pada masalah ini produsen tidak menawarkan hadiah, tetapi memberikan kupon langsung bagi setiap pembeli produknya. Pembeli belum tentu tahu kalau di dalam produk yang akan dibelinya terdapat kupon berhadiah.

Bagaimana hukumnya? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :

Pendapat Pertama: Hukumnya boleh, tetapi dengan dua syarat; yang pertama hadiah tersebut tidak mempengaruhi harga produk, dan yang kedua konsumen membelinya karena kebutuhan.

Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari yang pernah dialami penulis adalah ketika membeli bensin di SPBU, setiap pembelian satu liter maka akan dapat kupon satu, dan kupon tersebut diundi. Dalam kasus ini hukumnya boleh, karena hadiah tersebut tidak mempengaruhi harga produk, karena harga bensin tetap sama dengan harga di tempat lain, kemudian konsumen membeli bensin tadi karena kebutuhan.

Pendapat Kedua : Hukumnya tidak boleh, karena mendorong orang berbuat berlebih-lebihan dalam belanja dan membeli barang-barang yang kadang tidak dibutuhkan demi mengejar kupon hadiah yang akan diundi.

.Cipayung, Jakarta Timur, 18 Sya’ban 1432 H / 20 Juli 2011 M