Hukum Berkali-Kali Bilang Cerai

Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Ustadz yang budiman, selama pernikahan kami yang baru 5 tahun dan dikaruniai Allah 2 anak, saya termasuk orang yang cuek dalam urusan rumah tangga. Saya memiliki kebiasaan buruk sering mengucapkan kata ‘cerai’ kepada istri hanya karena masalah kecil yang membuat saya merasa tidak nyaman. Dan kalau saya hitung telah lebih dari seratus kali.

 

Beberapa hari yang lalu istri mengingatkan status pernikahan kami setelah berkonsultasi dengan seorang Ustadz. Saya jadi sadar dan ketakutan. Bagaimana status pernikahan kami dan apakah kami perlu melakukan nikah ulang?

 

Atas nasihat Ustadz saya haturkan jazakumullah khairan.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Abu Hana di bumi Allah

Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Abu Hana yang budiman, lafazh cerai ada dua macam, yaitu sharih (jelas) dan kina’i. Lafazh sharih adalah ucapan yang maknanya tidak bisa ditafsirkan selain talak. Ia tetap jatuh sebagai talak meski tidak diniatkan karena jelasnya arti ucapan itu. Biasanya dengan kata kerja lampau (fi’il madhi), atau menyebutkan status isteri bahwa dirinya adalah wanita yang terceraikan. Sedang lafazh kina’i adalah ucapan yang hukumnya dikembalikan kepada niat atau ‘urf (kebiasaan) masyarakat setempat, jadi tidak bisa langsung dihukumi telah jatuh talak.

 

Bca Juga: Nafkah Istri yang Diceraikan

 

Abu Hana yang baik, terlepas dari berapa kali Anda mengucapkan cerai, sebaiknya segera menemui Ustadz bersangkutan untuk memperjelas hukum ucapan Anda. Jangan bermain-main dengan syariat, agar tidak terjadi hal-hal yang lebih buruk di kemudian hari. Sebab di dalam Islam, batas kebolehan seorang suami menceraikan istrinya adalah 3 kali, sehingga banyaknya kata cerai yang Anda ucapkan memang berpotensi telah melewati batas itu. Dan hal ini berarti Anda dan istri secara syariat sudah talak ba’in kubra, alias sudah batal pernikahan Anda berdua.

Untuk itu, ceritakanlah kepada Ustadz itu apa yang terjadi secara detail agar beliau bisa memberikan penjelasan yang benar tentang status pernikahan Anda berdua. Bertanyalah sebaik mungkin agar Anda tidak menolak kebenaran dan dilanda keraguan. Belajarlah berlapang dada tentang apapun hukum yang nanti beliau putuskan. Jika memang pernikahan Anda berdua sudah batal, semoga Anda bisa menerima keputusan ini dengan baik. Jagalah hubungan dengan mantan secara baik, banyaklah bertaubat dan segeralah menyelesaikan legal formalnya.

 

Demikian nasihat saya, semoga bermanfaat.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh

 

 

Nafkah Istri yang Diceraikan

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Ustadz yang dirahmati Allah, saya seorang istri yang telah bercerai dari suami. Apakah istri yang sudah bercerai dari suaminya seperti saya masih berhak menerima nafkah? Kalau masih, berapa besarannya dan sampai kapan si istri berhak menerimanya?

Atas jawabannya ana sampaikan Jazakumullah khaira jazaa’

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Hamba Allah, Solo

Wa’alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh  

Hamba Allah yang shalihah, salah satu kewaiban suami terhadap istrinya adalah menafkahinya. Hal itu berlangsung selama mereka terikat dalam perkawinan yang sah. Adapun wanita yang sudah bercerai dari suaminya, maka dia masih berhak atas nafkah selama berstatus menjalani iddah raj’i (masih bisa rujuk dengan mantan suaminya) atau iddah hamil.

Allah berfirman, “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian, dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.” (QS. At-Thalaq 6).

 

Baca Juga: Hukum Berkali-kali Bilang Cerai

 

Selama menjalani masa iddah raj’i, yaitu selama 3 kali suci bagi yang masih mengalami haidh, dan 3 bulan bagi yang sudah menopause, seorang wanita berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah materi sesuai dengan kemampuan suami. Semisal dengan apa yang dia dapatkan dari suaminya selama menjalani pernikahannya kemarin.

Tentang berapa besarnya jumlah nafkah yang harus diberikan suami,para ulama berbeda pendapat. Adapun wujudnya bisa berupa sembako, pakaian, obat-obatan, atau sejumlah uang sebagai penggantinya. Dalam hal ini syariat tidak menetapkan besarannya secara pasti, sehingga ia bisa berubah sesuai keadaan yang mengikutinya. Intinya pada kebutuhan istri secara makruf, kelaziman yang ada di masyarakat sesuai status sosial si suami, serta jangan sampai memberatkan suami dalam menunaikannya.

Allah berfirman, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. At-Thalaq 7).

Demikian yang bisa saya sampaikan dan semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.