Kunci Meraih Nikmatnya Ibadah

Ibadah merupakan tujuan utama penciptaan manusia. Puncak dari segala urusan dan kepentingan di dunia fana ini. Meskipun disebut taklif atau beban, namun di dalam ibadah juga terdapat kenikmatan luar biasa. Sebuah kenikmatan yang jauh melebihi segala bentuk kenikmatan yang ada di dunia. Seperti kata Imam Abu Sulaiman, “Kenikmatan yang dirasakan ahlu tha’at (orang yang rajin melakukan ketaatan) jauh lebih lezat daripada kenikmatan yang dirasakan ahlu syahwat (budak syahwat) saat menuruti nafsu mereka.”(Hilyatul Auliya’ IV/181).

[bs-quote quote=”“Kenikmatan yang dirasakan ahlu tha’at (orang yang rajin melakukan ketaatan) jauh lebih lezat daripada kenikmatan yang dirasakan ahlu syahwat (budak syahwat) saat menuruti nafsu mereka.”(Hilyatul Auliya’ IV/181).” style=”default” align=”left”][/bs-quote]

Sesiapa yang mampu merasakan nikmatnya ibadah, berarti dia telah mendapatkan anugerah terindah dari  Allah. Ia telah meraih sebuah maqam (kedudukan) yang tinggi di antara manusia. Dari milyaran manusia, hanya sedikit yang mau beribadah, dari yang mau beribadah hanya sedikit yang beribadah dengan sungguh-sungguh, dan dari yang sudah bersungguh-sungguh, hanya sedikit yang benar-benar bisa merasakan nikmatnya pengabdian kepada Allah. Mereka adalah manusia-manusia yang istimewa. Ibadah bagi mereka bukan lagi beban tapi kesenangan, rehat dan aktivitas yang penuh kenikmatan.

Nah, bagaimanakah cara meraih kenikmatan dalam ibadah?

Tentunya, kita tidak mungkin mendapatkan caranya tanpa mencoba mencari tahu dari orang-orang yang pernah merasakannya, yakni para ulama dan shalihin. Jika kita pelajari berbagai keterangan para ulama, akan ada banyak tips dan cara agar kita bisa meraih kenimatan dalam ibadah. Hanya saja, wallahu a’lam, kiranya  ada satu hal fundamental dalam semua tips dan cara meraih kenikmatan dalam ibadah yang disarankan. Yaitu, kuatnya rasa ta’zhim (pengagungan) kepada Allah.

Baca Juga: Nikmat Beribadah Bersama Keluarga

Semakin besar dan kuat pengagungan seorang hamba akan kebesaran dan kuasa Rabbnya, semakin mudah baginya merasakan nikmatnya mengabdi kepada Rabbul Izzati. Sebuah pengagungan yang menjadikan Allah satu-satunya Dzat yang diharap, ditakuti, dicintai dan disegani atas segala kuasa dan kemuliaan-Nya. Sebuah pengagungan yang membuat segala hal selain Allah menjadi kecil nilainya dan benar-benar layak dikesampingkan; tidak begitu diharapkan, tak ditakuti dan dikhawatirkan dan tak layak mendapat cinta sedalam cinta kepada-Nya.

Dalam ibadah, kuatnya ta’zhim akan membuat ibadah semakin nikmat dirasa. Segala perintah Allah akan terasa ringan bahkan menyenangkan. Begitu pula saat menghadapi godaan maksiat. Kuatnya ta’zhim akan membuat hati mudah meninggalkan perbuatan dosa dan tak gampang tergiur untuk melakukannya.

 

Ta’zhim Membuat Ibadah Semakin Indah

Ambil satu contoh ibadah; shalat. Pengagungan terhadap Allah dan ayat-ayat-Nya menjadikan dalam shalat membuat ibadah ini benar-benar terlihat menakjubkan. Lebih dari itu, shalat sendiri seakan-akan merupakan ibadah yang disetting agar unsur ta’zhim kita kepada Allah benar-benar diperhatikan.

Coba kita renungkan, di dalam shalat ucapan yang mengawali dan menandai setiap gerakan adalah takbir, “Allahu akbar”, Allah Mahabesar. Wallahua’lam, seakan-akan dalam setiap gerakan shalat kita diingatkan dan ‘diprogram’ untuk selalu mengingat keagungan dan kebesaran Allah. Dalam setiap gerakan seakan-akan kita diarahkan agar hanya Allahlah yang besar, paling mulia, paling layak dicari perhatian-Nya, sedang selain Allah itu remeh, kecil dan tidak penting. Tak hanya ucapannya, bahkan seluruh gerakan shalat pun mengilustrasikan pengagungan dan ketundukan kepada Dzat Yang Maha Besar.

Baca Juga:Wisata Ke Rumah Ibadah Agama Lain

Karenanya, tidaklah mengherankan jika saat shalat, orang-orang shalih seperti terbius oleh syahdunya munajat kepada Allah. Mereka begitu menikmati ibadah ini. Tentu kita sudah pernah mendengar kisah Ali bin Abi Thalib yang menjadikan kenikmatan ibadah shalat sebagai anestesi saat lukanya hendak dioperasi. Subhanallah.

Atau puncaknya adalah seperti yang dirasakan Nabi kita Muhammad ﷺ.  Bagi beliau, shalat adalah rohah, istirahat, jeda dari segala aktivitas yang melelahkan. Shalat bukan beban tapi justru rehatnya badan, hati dan pikiran dari segala kelelahan. Beliau bersabda,

يَا بِلاَلُ أَرِحْنَا بِالصَّلاَةِ

“Wahai Bilal, istirahatkan kami dengan shalat.”(HR. Ahmad)

Itulah arti sebuah pengagungan. Ketika Allah benar-benar menjadi yang paling agung di mata dan hati kita, semua menjadi remeh. Pertemuan dan momen-momen yang mendekatkan diri kepada-Nya pun menjadi momen paling indah dan membahagiakan.

 

Maksiat Mudah Ditinggalkan Karena Ta’zhim

Tak hanya dalam ibadah, kuatnya rasa ta’zhim kepada Allah akan membuat seorang hamba dengan mudahnya menangkis godaan maksiat. Bukankah yang namanya ketaatan itu bukan hanya melaksanakan perintah (fi’lul ma`mur) tapi juga meninggalkan maksiat (tarkul mahdzur)?

Senikmat apapun hidangan yang disajikan nafsu dan setan, rasa pengagungan kepada Allah yang kuat akan dengan mudah memusnahkan fatamorgana syahwat. Hati benar-benar tak sudi mengkhianati-Nya. Pengawasan-Nya terasa nyata, jauh lebih terasa dari pengawasan kamera bahkan supervisor di ruang kerja. Kenikmatan yang dijanjikan-Nya jauh lebih diingini meski masih ba’da kiamat nanti, daripada kenikmatan yang sudah ada dihadapanny kini. Ancaman-Nya jauh lebih terasa menyengsarakan daripada sengsaranya hati jika harus meninggalkan kesempatan mencicipi maksiat yang terlihat begitu nikmat. Dan harapan akan cinta dan kasih-Nya telah membuatnya putus asa dari mengharap cinta dari selain-Nya. Allah benar-benar akbar dalam hati dan akalnya.

Tentu kita tidak lupa dengan kisah Juraij yang urung berzina karena mengingat Allah. Padahal sajian haram itu telah terhidang pasrah dihadapannya. Juga kisah-kisah orang shalih yang lain, yang dengan mudahnya meninggalkan ajakan maksiat karena teringat akan kebesaran Rabbnya.

Dan memang, Allah berhak atas pengagungan dari seluruh hamba-Nya. Allah berfirman;

وَلَهُ الْكِبْرِيَاءُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Dan bagi-Nyalah keagungan di langit dan di bumi, Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Jatsiyah: 37)

Itulah makna ta’zhim. Memang, bukan hal mudah untuk memupuk rasa ini dalam hati. Kadangkala, meski sudah tahu ilmu dan bagaimana seharusnya, tetap saja hati kita sering lemah. Pada akhirnya, ibadah sering terasa hambar dan bahkan memberatkan. Garis dosa pun demikian mudah dilanggar seakan-akan pasti mendapat permakluman.

Ya Allah, tumbuhkanlah ta’zhim kami akan kebesaran-Mu. Tambahkan iman kami, besarkan harapan kami akan kasih-Mu, kuatkan takut kami akan siksa-Mu dan rekatkan cinta kami kepada-Mu. Jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang Engkau beri nikmat dapat merasakan lezatnya berkhidmat kepada-Mu. Aamiin. Wallahua’lam.

 

Oleh: Redaksi/Ibadah 

Khutbah Jumat: Mengubah Misi Hidup dari Main-main Menjadi Bukan Main

 

MATERI KHUTBAH JUMAT

Mengubah Misi Hidup dari Main-main Menjadi Bukan Main

Oleh: Majalah ar-risalah

 

إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِالله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى الله عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً

يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِوَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

أَمَّا بَعْدُ؛

فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

 

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Marilah senantiasa kita panjatkan syukur kita kepada Allah atas setiap nikmat yang dikaruniakan kepada kita. Syukur secara lisan dengan mengucapkan alhamdulillah dan menyebut-nyebut bahwa nikmat tersebut dari Allah, maupun secara amal. Caranya dengan menggunakan seluruh karunia Allah untuk kebaikan dan menjalankan syariatnya sebaik-baiknya. Bukan untuk melanggar larangan-Nya. Itulah hakikat syukur yang sempurna.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi agung Muhammad SAW, juga kepada keluarga, para shahabat dan orang-orang yang senantiasa mengikuti sunah beliau. Kita mengucapkan shalawat dan salam atas beliau, bukan karena beliau membutuhkan doa keselamatan dari kita dan agar beliau selamat dan sejahtera, tapi doa kesejahteraan dan keselamatan dalam shalawat itu akan kembali kepada kita. Rasulullah bersabda, “ Barangsiapa membaca shalawat untukku satu kali, Allah akan memberikan shalawat (kesejahteraan dan keselamatan) untuknya 10 kali.” (HR. Muslim).

Selanjutnya, marilah kita tingkatkan ketakwaan dan ketaatan kita kepada Allah Ta’ala. Karena takwa adalah nilai yang akan menentukan kedudukan kita di sisi Allah. Takwa bukan sekadar takut, tapi kekuatan, kesemangatan dan keikhlasan dalam menjalankan perintah-perintah-nya dan menjauhi larangan-Nya.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Ada sebuah kisah yang menggugah jiwa dari kelalaian, dari seoang ahli ibadah terkenal bernama Ibrahim bin Adham. Ibrahim bin Adham termasuk keturunan orang terpandang. Ayahnya dikenal kaya, memiliki banyak pembantu, kendaraan dan kemewahan. Ia terbiasa menghabiskan waktunya untuk menghibur diri dan bersenang-senang. Hidup penuh kesenangan hingga lupa sebuah hakikat “untuk apa sebenarnya diciptakan”?

Ketika ia sedang berburu, tak sengaja beliau mendengar suara lantunan firman Allah Ta’ala,

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثاًوَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاتُرْجَعُونَ

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami. “(QS. al-Mukminun: 115)

Serasa disambar petir. Ayat itu betul-betul menyentak beliau. Menggugah kesadaran, betapa selama ini telah bermain-main dalam menjalani hidup. Padahal hidup adalah pertaruhan, yang kelak akan dibayar dengan kesengsaraan tak terperi, atau kebahagiaan tak tertandingi. Yakni saat di mana manusia dikembalikan kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuat. Sejak itulah beliau tersadar, dan itulah awal beliau meniti hidup secara semestinya, hingga saksi sejarah mencatat beliau sebagai ahli ibadah dan ahli ilmu yang ‘bukan main’.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Rasa-rasanya, ayat ini seperti belum pernah diperdengarkan di zaman kita ini. Meski tidak terungkap kata, tetapirealitamemberi buktinya; banyak manusia yang menganggap dan menjadikan hidup ini tak lebih dari  iseng dan main-main. Berpindah dari satu hiburan ke hiburan lain, dari satu kesenangan menuju kesenangan lain, seakan hanya untuk itulah mereka diciptakan.

Ayat ini menjadi peringatan telak bagi siapapun yang tidak serius menjalani misi hidup yang sesungguhnya. Kata ‘afahasibtum’, ( maka apakah kamu mengira), ini berupa istifham inkari, kata tanya yang dimaksudkan sebagai sanggahan. Yakni, sangkaan kalian, bahwa Kami menciptakan kalian hanya untuk iseng, main-main atau kebetulan itu sama sekali tidak benar. Dan persangkaan kalian, bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami, adalah keliru.

Allah tidak akan membiarkan manusia melenggang begitu saja, bebas berbuat, menghabiskan jatah umur, lalu mati dan tidak kembali,

”Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS. Al-Qiyamah: 36)

Persangkaan yang keliru itu, membuat manusia liar dalam menjalani hidup. Berjalan tanpa panduan arah yang jelas, terseok dan tertatih di belantara kesesatan.

Hanya ada tiga ’guide’ (penunjuk) yang mungkin akan mereka percaya untuk memandu jalan. Pertama adalah hawa nafsu. Dia berbuat dan berjalan sesuai petunjuk nafsu. Apa yang diingini nafsu, itulah yang dilakukan. Kemana arah nafsu, kesitu pula dia akan berjalan. Padahal, nafsu cenderung berjalan miring dan bengkok, betapa besar potensi ia terjungkal ke jurang kesesatan.

Pemandu jalan kedua adalah setan. Ketika seseorang tidak secara aktif mencari petunjuk sang Pencipta sebagai rambu-rambu jalan, maka setan menawarkan peta perjalanan. Ia pun dengan mudah menurut tanpa ada keraguan. Karena sekali lagi, dia tidak punya ’kompas’ yang bisa dipertanggungjawabkan dalam menentukan arah perjalanan. Sementara, peta yang disodorkan setan itu menggiring mereka menuju neraka yang menyala-nyala,

”Sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni naar yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6)

Rambu-rambu ketiga adalah tradisi orang kebanyakan. Yang ia tahu, kebenaran itu adalah apa yang dilakukan banyak orang. Itulah kiblat dan barometer setiap tingkah laku dan perbuatan. Padahal,

1.

” Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya.” (QS. al-An’am: 116)

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Allah menciptakan manusia untuk tugas yang sangat agung; agar mereka beribadah kepada-Nya. Untuk misi itu, masing-masing diberi tenggat waktu yang sangat terbatas di dunia. Kelak, mereka akan mempertanggungjawabkan segala perilakunya di dunia, adakah mereka gunakan kesempatan sesuai dengan misi yang diemban? Ataukah sebaliknya; lembar catatan amal dipenuhi dengan aktivitas yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang diperintahkan.

Di hari di mana mereka dinilai atas kinerja mereka di dunia, tak ada satu episode pun dari kehidupan manusia yang tersembunyi dari Allah. Bahkan semua tercatat dengan detil dan rinci, hingga manusiapun terperanjat dan keheranan, bagaimana ada catatan yang sedetil itu, mereka berkata,

2.

”Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis).” (QS. al-Kahfi: 49)

Sebelum peluang terlewatkan, hendaknya kita bangun motivasi, untuk menjadikan hidup lebih berarti. Mudah-mudahan, fragmen singkat di bawah ini membantu kita untuk membangkitkan semangat itu.

Suatu kali Fudhail bin Iyadh bertanya kepada seseorang, “Berapakah umur Anda sekarang ini?” Orang itu menjawab, “60 tahun.” Fudhail berkata, “Kalau begitu, selama 60 tahun itu Anda telah berjalan menuju perjumpaan dengan Allah, dan tak lama lagi perjalanan Anda akan sampai.”

“Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un,” tukas orang itu.

Fudhail kembali bertanya, ”Tahukah Anda, apa makna kata-kata yang Anda ucapkan tadi? Barangsiapa yang mengetahui bahwa dirinya adalah milik Allah, dan kepada-Nya pula akan kembali, maka hendaknya dia menyadari, bahwa dirinya kelak akan menghadap kepada-Nya. Dan barangsiapa menyadari dirinya akan menghadap Allah, hendaknya dia juga tahu bahwa pasti dia akan ditanya. Dimintai pertanggungjawaban atas tindakan yang telah dilakukannya. Maka barangsiapa mengetahui dirinya akan ditanya, hendaknya dia menyiapkan jawaban.”

Orang itu bertanya, ”Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang? Sedangkan kesempatan telah terlewat?”

Fudhail menjawab, ”Hendaknya Anda berusaha memperbagus amal di umur yang masih tersisa, sekaligus memohon ampunan kepada Allah atas kesalahan di masa lampau.”

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Demikianlah. Hidup ini bukanlah kehidupan yang sia-sia, hanya main-main dan kebetulan belaka. Ada hari pembalasan, ada masa pertanggungjawaban. Yang menyia-nyiakan kehidupan, bencanalah yang ia dapatkan. Tapi yang mempersiapkan dan menggunakan untuk kebaikan, dialah yang berhak mendapat keberuntungan. Kita berdoa, semoga kita mampu mengubah hidup kita, dari main-main, menjadi bukan main. Amien.

وَالْعَصْرِ {1} إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ {2} إِلاّ َالَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ }

 

Khutbah Kedua

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ الْكَرِيْمِ الْمَنَّانِ الرَّحِيْمِ الرَّحْمَنِ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى حَمْدًا يَدُوْمُ عَلَى الدَّوَامِ، وَأَشْكُرُهُ عَلَى الْخَيْرِ وَاْلإِنْعَامِ، وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ مِنَ الذُّنُوْبِ.أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ

 

اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مَحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ صَلاَةً وَسَلاَمًا دَائِمَيْنِ مَتُلاَزِمَيْنَ عَلَى مَمَرِّ اللَّيَالِيْ وَالزَّمَانِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا

 

إِنَّ الله َوَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَىالنَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ  وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأصْحَابِهِوَمَنْ تَبِعَهُ بِإحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ  مُجِيْبُ  الدّعَوَاتِ

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

اَللَّهُمَّ لاَتُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ

اَللَّهُمَّ اغْفِر لَناَ وَلِوَالِديْناَ وَلِلمُؤمِنِينَ يَومَ يَقُومُ الحِسَابُ

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّبُ الرَّحِيْمِ

 رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ

عِبَادَ الله،إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ. فَاذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُاللهِ أَكْبَرُ

 

Download versi Pdf Khutbah Jumat di sini: KHUTBAH JUMAT

Hukum Shalat Di Atas Sajadah Bergambar Ka’bah dan Gambar Lainnya

Pertanyaan:

Apakah menginjak Ka’bah dan tempat-tempat suci yang ada dalam sajadah shalat itu haram? Ada propoganda yang mengajak embargo tidak membeli sajadah shalat yang ada gembar tempat-tempat suci agar tidak menginjaknya dengan kaki. Apa pendapat syar’i dalam masalah ini? Terimakasih

 

Jawaban:

Alhamdulillah

Menggambar yang tidak ada ruh baik benda mati atau tumbuhan serta semisalnya tidak mengapa. Termasuk dalam hal ini Ka’bah dan tempat-tempat suci selama tidak ada gambar orangnya. Akan tetapi hendaknya jamaah shalat tidak shalat di hadapan gambar atau di sajadah yang ada gambarnya agar tidak mengganggunya.

Telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Aisyah sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam mempunyai kelambu yang ada gambarnya, maka beliau melihat sepintas gambar tersebut, lalu ketika selesai beliau mengatakan,

 

اذْهَبُوا بِخَمِيصَتِي هَذِهِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَأْتُونِي بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلَاتِي وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُنْتُ أَنْظُرُ إِلَى عَلَمِهَا وَأَنَا فِي الصَّلَاةِ فَأَخَافُ أَنْ تَفْتِنَنِي

“Pergilah kalian dengan kain ini ke Abu Jahm dan datangkan kain kasar Abu Jahm. Karena ia barusan melenakan dalam shalatku. Hisyam bin Urwah mengatakan dari ayahnya dari Aisyah, Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Saya barusan melihat gambarnya, sementara saya dalam shalat, saya khawatir menggangguku.”

Kata ‘Khomishoh’ adalah baju bergaris dari sutera atau wol

Kata ‘Al-A’lam’ adalah ukiran dan hiasan

Kata ‘Anbajaniyah adalah kain tebal tidak ada gambar dan ukiran.

Dimakruhkan shalat di atas sajadah yang bergambar dan ada ada hiasannya karena dapat mengganggu dan melalaikan jamaah shalat. Bukan seperti yang disebutkan dalam pertanyaan yaitu karena ada penghinaan tempat suci dengan menginjaknya. Yang nampak hal itu tidak ada penghinaan dalam hal ini. Bahkan sajadah-sajadah ini sangat dijaga oleh pemiliknya dan biasanya menjadikan ruang kosong untuk tempat pijakan kaki.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya tentang sajadah yang ada gambar masjid apakah shalat di atasnya?

Maka beliau menjawab, “Pendapat kami, hendaknya tidak menaruh sajadah untuk Imam yang ada gambar masjidnya. Karena terdakang mengganggu dan memalingkan pandangannya dan ini mengurangi kekhusyukan shalat. Oleh karena itu ketika Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam shalat dengan kain yang ada gambarnya, beliau melihat selintas gambarnya. Ketika selesai beliau mengatakan, “Pergi dengan kain bergambar ini ke Abu Jahm. Dan datangkan kepadaku dengan kain kasar yang  tidak bergambar karena ia berusan melalaikan shalatku.” Muttafaq ‘alaihi dari hadits Aisyah radhiallahu anha.

Kalau seorang Imam shalat di atas sajadah bergambar sedangkan ia tidak tergangu dengan hal itu, karena buta atau karena hal ini seringkali dilewati sehingga tidak ada perhatian dan tidak mengalihkan pandangannya, maka kami berpendapat tidak mengapa shalat di atasnya. Wallahu muwafiq. Selesai dari ‘Majmu Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, (12/362).

 

Oleh: Ust. Taufik al-Hakim/Fatwa

 

Baca Fatwa Lainnya Tentang:

Hukum Menjadikan Bekam Sebagai Pekerjaan Tetap, Hukum Mengucapkan “al-marhum” Bagi Orang Meninggal, Gaya Rambut Terlarang

Ukuran Mengangkat Tangan Saat Takbir dalam Shalat

Pertanyaan:

Assalaamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh Ustadz, saya anak SMA yang ingin tahu lebih tentang shalat, Takbir yang benar itu tangan diangkat sampai mana? Karena saya sering lihat banyak orang yang berbeda-beda cara takbirnya?

Demikian pertanyaan dari saya, apabila kata yang tidak berkenan saya mohon maaf sebesarnya. Atas perhatian ustadz saya ucapkan terima kasih. Wassalaamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Hamba Allah, Semarang

 

Jawaban:

Mengenai posisi tangan ketika takbir dalam shalat, ada perbedaan pendapat diantara para ulama. Mereka berbeda pendapat karena adanya hadits yang berbeda dalam menerangkan masalah ini. Diriwayatkan Salim dari ayahnya, Abdullah bin Umar, ia berkata,

 

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِىَ مَنْكِبَيْهِ

Aku telah melihat Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam bila memulai shalat dengan iftitah beliau mengangkat tangannya hingga berada di hadapan dua pundaknya.” (HR. Muslim)

Dan dalam riwayat Wa’il bin Hijr,

 

فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَكَبَّرَ فَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا أُذُنَيْهِ

Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan menghadap kiblat, lalu takbir dan mengangkat kedua tangannya hingga berada di hadapan kedua telinganya.” (HR. Abu Daud)

Menyikapi kedua hadits yang zhahirnya berbeda ini, Imam An-Nawawi berkata, “Dalam madzhab kami dan kebanyakan madzhab lain, teknisnya yaitu mengangkat tangan di depan pundak, yaitu posisi ujung jari di depan telinga bagian atas, dan ibu jari berada di bawah telinga, di atas dua pundak. Ini yang disebut dengan posisi depan dua pundak. Dalam hal ini Imam Asy-Syafi’i telah mengkompromikan kedua hadits tersebut.”

Ada juga pendapat yang membenarkan keduanya, sebagaimana menurut sebagian ahli hadits, “Orang yang shalat dibolehkan memilih, boleh mengangkatnya hingga pundaknya, boleh juga mengangkat hingga kedua telinganya.” Menurut Ibnu Mundzir seperti ini adalah pendapat yang terbaik.

Dan ada juga yang lebih menguatkan riwayat dari Abdullah bin Umar. Ibnu Abdul Bar berkata, “Hadits Ibnu Umar lebih kuat dalam masalah ini, sebagaimana pendapat kebanyakan ulama tabi’in, Ahli fiqih dan Ahli hadits.” WaAllahu A’lam Bissawaab

(Lihat: Syarhu Al-Bukhari Ibnu Baththal: 3/436, Aunul Ma’bud: 2/257, Shahih fiqh sunnah: 1/343)

 

Oleh: Redaksi/Konsultasi

 

Baca Juga: 

Tak Shalat Berjamaah Karena Sibuk Bekerja

Yang Dilakukan Makmum Masbuk Saat Shaf Sudah Penuh

Hukum Menjalin Jari-jemari Saat Shalat

Saya Rajin Beribadah, Tapi Mengapa Jodoh Tak Kunjung Datang?

 

Pertanyaan: 

Saya seorang gadis yang rajin mendirikan shalat, tapi saya tidak kunjung mendapatkan jodoh. Apakah tidak kunjung mendapatkan jodoh ada kaitannya dengan qadha dan qadar Allah, atau karena saya seorang yang berdosa hingga Allah murka kepada saya?

 

jawaban:

Ukhti yang baik, Al-Qur’an, Sunnah yang shahih dan ijama’ generasi ulama salaf telah menunjukkan akan kewajiban beriman dengan takdir baik dan buruk, hal tersebut sudah menjadi bagian dari rukun iman yang enam dan tidak dianggap sempurna keimanan seorang hamba kecuali rukun keenam tersebut, Allah –Ta’ala- berfirman:

”Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. Al Hadid: 22)

 

Baca Juga: Orangtua Belum Mengizinkan Menikah

 

Majunya atau mundurnya waktu pernikahan, mudah dan sulitnya semua itu adalah takdir Allah. Semua musibah yang telah ditakdirkan oleh Allah –Ta’ala- kepada seorang hamba, akan menjadi baik bagi seorang mukmin jika dia bersabar dengan musibah itu dan mengambil pelajaran, sebagaimana sabda Nabi,

“Urusan orang mukmin itu menakjubkan, sungguh semua urusannya adalah baik, dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin, jika dia sedang berbahagia dia bersyukur, maka hal itu lebih baik baginya, dan jika dia tertimpa musibah dia bersabar, maka hal itu lebih baik baginya”. (HR. Muslim: 2999)

Musibah yang terjadi bisa jadi sebagai akibat dari maksiat yang telah dilakukan, namun hal tersebut tidak menjadi sebuah keharusan, bisa jadi untuk meninggikan derajat seorang mukmin, dan menambah kebaikannya jika dia bersabar dan ridho atau ada banyak lagi hikmah yang agung dibalik musibah tersebut.

 

Baca Juga: Bila Wanita Melamar Pria

 

Selama anda menolak para peminang anda karena Allah dan disebabkan karena mereka tidak istiqamah dalam agama, maka Allah –Ta’ala- akan menggantikan dengan yang lebih baik insyaallah. Allah berfirman:

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya”. (QS. ath Thalaq: 2-3)

Maka dekatkanlah diri kepada Allahdengan berdo’a dan beribadah, dan jangan mengeluh karena rahmat Allah begitu dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.

 

Oleh: Redaksi/ Konsultasi

 

Atas Nama Nikah, Zina Dianggap Ibadah

Di akhir bulan September yang lalu, sebuah situs pernikahan dengan nama nikahsirri.com yang didirikan oleh Aris wahyudi pada tanggal 19 September 2017 menjadi isu hangat di masyarakat. Dengan mengusung tagline “Nikah Sirri, Mengubah Zina Menjadi Ibadah” dan tertulis juga di laman awalnya, “Virgin wanted” , sudah ada lima ribuan orang yang menjadi anggota website tersebut. Cukup dengan mahar seratus ribu ia telah menjadi member web tersebut dan masa aktifnya tidak terbatas.

Pendiri website ini menegaskan bahwa websitenya menyediakan jasa bagi muda-mudi daripada mereka jatuh kedalam perzinahan, maka lebih baik nikah siri ala website tersebut. Lagipula menurutnya, praktek nikah siri di website tersebut berbeda dengan zina atau macam prostitusi pada umumnya. Bila prostitusi yang menyepakati maharnya adalah si mucikari atau bosnya, dalam web tersebut mahar ditentukan oleh kedua belah pihak yang sudah saling cocok, kemudian dipotong 10-20% untuk biaya admin web.

 

Baca Juga: Tanda Akhir Zaman, Aparat Berbuat Sewenang-wenang

 

Menurutnya juga, banyak mahasisiwi yang dropped out karena biaya kuliah yang sangat tinggi, dengan menjadi member nikahsirri.com ia akan berpeluang mendapat income dan bisa membantu pemasukan keluarga, meskipun kelak akan putus juga dengan klien yang sudah membayarnya.

Intinya, website ini memberikan fasilitas bagi orang yang ingin menjalin hubungan kasih-sayang hanya dengan memberikan mahar yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, antara mitra sebagai anggota yang telah terdaftar di website dank lien sebagai pengunjung web dan penikmat jasanya.

 

Bukan Nikah Sirri, tapi Prostitusi

Menikah adalah ibadah mulia yang akan menggenapi separuh agama sesorang. Menikah tidak hanya dengan lafal, tapi ada syarat dan ketentuan yang mengharuskan, seperti; ijab. qabul, adanya wali, mahar dan saksi.

Nikah siri pada dasarnya sudah menetapi persyaratan agama, hanya saja disembunyikan dari khalayak masyarakat dan tidak melalui jalur resmi Negara yang dicacat oleh KUA. Jumhur ulama berpendapat sah menurut agama, karena sudah terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Hanya saja ada yang berpendapat makruh karena bisa menimbulkan fitnah dan gunjingan di masyarakat.

Adapun praktek yang terjadi di website nikahsirri.com sangat jauh dari kata sah.  Justru jasa yang disediakan lebih dekat pada tindak prostitusi dan perzinahan. Demikian prosesi melamarnya disebut dengan istilah lelang perawan. Dari maknanya saja sudah terendus kemana arah tujuan pernikahan ini.  Mudahnya, masuk website kemudian melihat ada foto profil yang disuka tentukan harga, sepakat dan bisa menjalin hubungan dalam waktu yang disepakati.

 

Zina bercasing Ibadah ala Syiah

Bila dirunut secara detail, praktek dan prosesi pernikahan dalam laman web tersebut lebih mengarah pada nikah kontrak. Menikah dengan memberikan upah (mahar) kepada pihak wanita dan berpisah pada waktu yang sudah ditentukan. Mirip seperti tren nikah mut’ah yang dilakukan orang-orang Syiah. Mereka membayar mahar sekian uang dan bisa menikmati wanita mana saja  yang ia suka.

Di Iran, praktik menjajakan wanita untuk dinikahkan mut’ah sangat mudah dijumpai. Cukup mudah seorang pria untuk menyalurkan nafsu biologisnya, tinggal datang ke masjid terdekat, disana ada bilik khusus yang  menyediakan beberapa wanita yang siap dinikahi mut’ah dalam durasi yang bervariasi tergantung mahar yang dibayarkan dan dikehendaki.

Nikah kontrak hukumnya haram dan semua ulama sepakat bahwa tindakan tersebut melampaui batas dan menerjang syariat. Allah berfirman,

“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” [QS. al Maarij : 29-31]

Adapun wanita yang dinikahi dengan cara mut’ah bukanlah isteri sungguhan dan bukanpula ia budak yang boleh digauli.

Nikah mut’ah adalah haram sampai hari kiamat meskipun pada awalnya diperbolehkan. sebagaimana Nabi bersabda,

 “Wahai, sekalian manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian melakukan mut’ah dengan wanita. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka , maka biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan”.(HR. Muslim)

Hal ini senada dengan penuturan MUI yang menyamakan praktek yang ada di nikhasirri.com dengan nikah wisata dan telah difatwakan sesat dan dilarang oleh MUI pada tahun 2010 silam. Nikah wisata sendiri sama dan serupa dengan nikah mut’ah yang dilakukan orang-orang syiah. Yaitu menikah dengan niatan hanya selama berwisata alias sementara waktu pada waktu yang telah disepakati. 

 

Baca Juga: Penggiringan Opini Umat

 

Bila demikian adanya, apa boleh dikata bila nikahsirri.com justru mengundang orang untuk bebuat zina dan mengemas kata prostitusi yang terdengar buruk agar lebih nyaring didengar orang. Sebagaimana hal tersebut merupakan hobi setan yang memoles kebathilan dengan hal yang terdengar baik.

Bila pun pendirinya beralasan untuk menjauhkan orang agar tidak berzina dan memilih kawin siri menurut versinya, mengapa tidak memberikan fasilitas yang sesuai dengan tuntunan syariat Islam berupa; ta’aruf yang semestinya, mendatangkan wali dan mengikrarkan pernikahan didepan para saksi agar pernikahan tersebut bernilai sah dan berpahala. Lagipula dalam mendorong klien agar terpikat dan mau mengakses, si pendirinya menampilkan gambar-gambar vulgar dan kata-kata yang mengundang perzinahan di laman awal webnya. Memang hal ini disengaja.

Sungguh sangat keji praktek seperti ini. Kaum wanita direndahkan sedemikian rupa, dijual-belikan harga dirinya dan menabrak syariat agama seenak perutnya.

Untungnya portal ini sudah resmi ditutup aksesnya. Bila tidak, berapa banyak para wanita dan pria yang terjerumus dalam  mencari pelampiasan syahwatnya dengan kedok nikah siri ini. Para member mendapatkan dosa dan si pendirinya jangankan untung, justru ia akan memikul semua dosa dari para klien dan anggotanya. Waliyadzubillah.

 

Oleh: Nurdin AJ/Syubhat

 

Cara Menepis Godaan Kemaksiatan

Mujahid bin Jabr menceritakan bahwa seseorang menulis pertanyaan yang ditujukan kepada Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu, “Wahai Amirul mukminin, ada seseorang yang tidak tertarik dengan suatu maksiat lalu dia tidak melakukanya, dan satunya lagi seseorang yag tertarik terhadap suatu maksiat, namun ia tidak melakukannya, manakah yang lebih utama? Maka Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab dengan tulisan, “Sesungguhnya orang yang tertarik kepada kemaksiatan namun ia tidak melakukannya (lebih utama, karena), lalu beliau membaca ayat,

 

أُولئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوى

“Mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa”. (QS. al-Hujurat: 3)

Ujian berat itu adalah ketika seseorang berhadapan dengan jenis kemaksiatan yang disukainya, lalu ia memilih meninggalkannya karenatakutnya kepada Allah. Maka sesuai tatangannya itu didapatkan pahala yang besar.

Seperti orang yang menundukkan pandangan mata, tetu berbeda tingkat tantangannya antara berhadapan dengan wanita yang cantik dan mnarik dengan wanita yang biasa saja. Pada saat seseorang tetap menundukkan pandangan mata terhadap wanita cantik yang sangat ingin ia lihat maka pahalanya lebih besar.

 

Baca Juga: Ulama’ Penghamba Dunia Dipermisalkan Seperti Anjing

 

Ini berbeda dengan propaganda para pengumbar syahwat yang menganggap tindakan menahan diri dari kesenangan yang haram sebagai kemunafikan. Mereka sering memperolok-olok orang yang mengingkari maksiat dengan kata-kata, “tidak usah munafik, tidak usah menipu diri sendiri, paling-paling kamu juga suka!” Inilah syiar pengumbar hawa nafsu.

Memang benar  bahwa beberapa jenis atau bahkan banyak dari jenis kemaksiatan itu disukai, karena memang neraka itu dihiasi dengan berbagai hal yang disukai oeh hawa nafsu sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,

“Jannah itu dihiasi dengan berbagai hak yang disukai syahwat.”

Justru ketika seseorang yang berhadapan dengan maksiat yang disukai nafsunya ia mampu menahan diri, dialah orang yang kuat atas ujian iman yang berada di hadapannya. Justru inilah yang disebut dengan ash-shabru ‘anil ma’shiyah, sabar dalam menghadapi maksiat, yakni dengan meninggalkannya meski nafsu menginginkannya.

Karena itulah Maimun bin Mahran rahimahullah berkata, “Sabar itu ada dua macam; sabar dalam menghadapi maksiat itu baik, dan yang lebih utama dari itu adalah sabar dalam usaha menjauhi maksiat.”

Sisi beratnya adalah dari sisi kuatnya dorongan untuk melakukan maksiat pada saat ia mampu melakukannya, namun rasa takutnya menghalanginya dari berbuat maksiat.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Beratnya kesabaran tergantung pada kekuatan dorongan untuk melakukan suatu perbuatan, dan tergantung pula pada kemudahan perbuatan tersebut untuk dilakukan seorang hamba. Jika terkumpul dua kondisi tersebut pada sebuah kondisi, maka kesabaran untuk mengahadapinya adalah hal terberat bagi orang yang bersabar.

Oleh karena itu, kesabaran seorang penguasa untuk tidak melakukan kezaliman padahal ia punya kekuasaan, kesabaran seorang pemuda mencegah syahwatnya padahal ia punya peluang atau kesabaran seorang yang kaya untuk tidak menghamburkan hartanya demi kesenangan, di sisi Allah lebih mendapatkan nilai dan kedudukan. Karena kuatnya dorongan berbarengan dengan terbukanya kesempatan sehingga kesabaran yang dibutuhkan lebih besar.

Ada beberapa kiat untuk menguatkan dorongan kesabaran terhadap bujukan kemaksiatan yang disukai syahwat,

Pertama,

hendaknya selalu mengagungkan Allah sembari menghadirkan kesadaran bahwa Allah selalu melihat dan mendengar. Orang yang hatinya selalu mengagungkan Allah, hatinya tidak akan terdorong untuk maksiat.

Kedua,

selalu menanamkan rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika cinta telah tumbuh, maka seseorang akan meninggalkan maksiat karena cintanya itu.

 

Baca Juga: Warisan Terbaik Itu Bernama Islam

 

Ketiga,

menanamkan rasa kemenangan pada diri pribadi; menang dalam melawan hawa nafsu dan menang dalam menaklukkan godaan setan. Barang siapa bertekad kuat, ia akan mendapatkan manisnya iman, kebahagiaan, dan kemudahan. Kemenangannya melawan nafsu dan godaan setan lebih hebat daripada kemenangannya melawan musuh-musuhnya dari kalangan manusia. Dengan demikian, lebih manis dan lebih sempurna pula kebahagiaan di saat berhasil meninggalkan kemaksiatan.

Keempat,

menyibukkan diri dengan ketaatan untuk mengalihkan nafsu dari kemaksiatan. Karena nafsu itu jika tidak disibukkan dalam ketaatan, maka ia akan condong kepada kemaksiatan.  

Kelima,

hendaknya seorang hamba menyadari dirinya berada di antara dua arah tarikan yang saling bertentangan. Ia diuji di antara dua daya tarik tersebut; satu daya tarik akan menariknya menuju Allah dan menjadikannya orang yang mulia. Sementara itu, daya tarik lainnya menariknya ke jurang kenistaan dan menjadikannya orang yang hina. Setiap kali mengikuti daya tarik pertama, ia akan naik ke suatu derajat sedikit demi sedikit hingga tiba di suatu tempat tertinggi yang layak baginya. Sebaliknya, jika tunduk pada daya tarik kenistaan, ia pun akan jatuh terjerembab dalam kehinaan.

Rasa takut dan rasa malu juga bisa mencegah dari jurang kemaksiatan. Yakni rasa takut terhadap balasan atau hukuman yang timbul karena maksiat, dan rasa malu untuk menggunakan nikmat-Nya untuk bermaksiat kepada-Nya. Ia juga tidak berani bermaksiat karena nantinya ia malu hendak memohon pertolongan kepada Dzat yang telah didurhakainya. Semoga Allah menjauhkan kita dari maksiat yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, aamiin.

 

Oleh: Abu Umar Abdillah

Menghamba Separuh Jiwa

Sempat heboh pernyataan seorang tokoh dan pejabat yang menghasung masyarakat untuk tidak terlalu serius dalam beragama. Kontan saja ini mengusik nurani keislaman kaum muslimin. Karena konsekuensi kalimat itu sama dengan mengatakan bahwa shalat itu tidak perlu terlalu khusyuk, puasa itu tidak usah terlalu sungguh-sungguh atau bahkan terhadap surga dan neraka itu jangan terlalu yakin.

Tapi bagi sebagian kalangan, pernyataan seperti ini menjadi hiburan dan dukungan. Karena secara hawa nafsu memang beragama separuh-separuh ini lebih banyak diminati, terutama bagi orang yang menjadikan keuntungan duniawi sebagai prioritas tujuan hidupnya.  

 

Beribadah Setengah-Setengah

Menurut mereka, beragama secara murni dan konsekuen itu membatasi kebebasan, mengurangi kesenangan dan memenjarakan kebebasan berekspresi. Satu sisi mereka juga tidak ingin dikatakan sebagai orang yang tidak beragama sama sekali, tidak relijius, bukan orang  shalih dan sebutan lainnya.

Maka pilihannya, mereka beragama setengah-setengah, atau ibadah di tepian. Dengan kata lain pula menjadi hamba separuh jiwa, tidak sepenuh raga dan jiwanya.

Karena kepentingan duniawi menjadi nomer satu, maka ketika mereka mendapatkan keuntungan duniawi dengan menjalankan sebagian syariat Islam, ia melakukannya dan memuji Islam karenanya. Namun jika terjadi kemadharatan dalam urusan duniawi atau kerugian suatu materi, maka yang dipersalahkan dan dianggap biangnya adalah karena melaksanakan syariat Islam sepenuhnya, apa adanya, atau ‘saklek’ dalam bahasa sindiran mereka.

Inilah golongan yang disebut Allah dalam firman-Nya,

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi ; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang . Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.”  (QS. al-Hajj: 11)

Tentang sebab turunnya ayat ini, Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dahulu ada orang yang datang ke Madinah lalu masuk Islam. Kemudian jika setelah itu istrinya melahirkan bayi laki-laki dan kudanya beranak, ia mengatakan, “Ini agama yang baik.” Tapi kalau istrinya tidak melahirkan bayi laki-laki dan kudanya tidak beranak, ia berucap, “Ini agama yang buruk.” Maka Allah menurunkan ayat, “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi;…”

Baca Juga: Gila Hormat, Hina Didapat

Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari jalur Athiyyah dari Ibnu Mas’ud bahwa seorang lelaki Yahudi masuk Islam, lalu setelahnya matanya menjadi buta, harta bendanya habis, dan anaknya mati, sehingga dia menimpakan kesalahan kepada Islam. Katanya, “Aku tidak mendapat kebaikan apa-apa dari agama ini. Mataku malah jadi buta, hartaku habis, dan anakku mati!” Lalu turunlah ayat, “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi;…”

Maka peringatan ayat ini berlaku untuk semua orang yang beribadah setengah-setengah, yang diambil hanya apa yang dia suka. Dan ini menjadi bukti akan kelemahan imannya.

Syeikh as-Sa’di menjelaskan bahwa, “sebagian manusia yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang yang lemah imannya, di mana iman belum merasuk ke dalam hatinya, belum bercampur dengan sumsum tulangnya. Mungkin karena takut atau mengikuti kebiasaan. Ia tidak tegar ketika menghadapi cobaan. Jika rejeki tetap lancar dan tidak menghadapi sesuatu yang tidak disukai, maka dia tetap melakukan bagian dari ajaran Islam itu, tapi ia melakukanya bukan karena keimanannya.”

Sedangkan Ibnu Katsier menambahkan, perumpamaan orang yang beragama hanya mengambil di pinggiran, tidak sampai ke tengah atau intinya. Ini sebagai perumpamaan akan sifat labilnya mereka dalam beragama. Tidak konsisten dengan seluruh ajaran berikut konsekuensinya. Ia seperti tentara yang sengaja berada di pinggiran (ujung belakang barisan) mencari aman, ketika ada tanda-tanda akan mendapatkan rampasan perang dia akan turut serta, namun jika tidak maka dia punya kesempatan untuk menghindar dan lari. Beliau juga menjelaskan bahwa orang hanya bisa g konsisten dengan agamanya jika yang menjadi visinyaadalah menepati kebenaran, mentaati Allah dan takut akan adzab-Nya. Tapi ketika yang menjadi visinya adalah kesengan yang instan,maka dia akan menampakkan sebagai agamis di saat mendapat kesenangan dan mundur menjau ketika mengalami kesulitan, dan ini tidak terjadi kecuali atas orang munafik yang tercela.

Agama bagi mereka seperti prasmanan, seakan mereka bebas mengambil yang mereka suka, lalu meninggalkan menu lain yang tidak mereka suka. Mereka sangka sikap seperti ini akan menguntungkan mereka. Padahal Allah menyebut sikap ini sebagai sifat orang yang merugi dunia dan akhirat.

 

Kisah Tentang Manusia Berwajah Dua

Allah menyebutkan kisah panjang dan gamblang tentang mereka yang berwajah dua, separuh wajah bersama orang beriman dan wajah aslinya bersama kekafiran,

“Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu”. Dikatakan (kepada mereka), “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)”. Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.

Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: “Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?” Mereka menjawab: “Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah;dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (syaitan) yang amat penipu.

Baca Juga: Dikira Kawan, Ternyata Lawan

Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempat kamu ialah neraka. Dialah tempat berlindungmu. Dan dia adalah sejahat-jahat tempat kembali”. (QS. al-Hadid: 13-15)

Begitulah kerugian yang mereka alami. Tak ada yang lebih bahagia dari orang yang menjadi hamba Allah sepenuh jiwa. Karena kita bukan setengah manusia, dan kita juga tdak ingin setengah bahagia, sepantasnya totalitas penghambaan kita tertuju hanya kepada Pencipta, wallahul muwaffiq. 

 

Oleh: Abu Umar Abdillah/Telaah

 

Tauhid Rububiyyah Saja Tidak Cukup

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menuliskan dalam kitabnya “Al Qowa’idul Arba’” tentang kaedah memahami syirik. Beliau membuka kitabnya dengan menjelaskan tentang al-Hanifiyah yang merupakan agama Nabi Ibrahim. Yaitu beribadah kepada Allah dengan memurnikan ibadah hanya untuk-Nya saja.

Dengan agama al-hanifiyah inilah Allah memerintahkan semua manusia dan untuk tujuan inilah Allah menciptakan mereka, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku (saja)” (QS.Adz-Dzaariyaat: 56).

Jika kita telah mengetahui bahwa Allah menciptakan kita untuk beribadah kepada-Nya, maka ibadah harus disertai dengan tauhid, sebagaimana shalat, tidak akan sah tanpa bersuci. Oleh karena itulah, jika syirik mencampuri ibadah, rusaklah ibadah itu, sebagaimana hadats bila mencampuri kesucian.

Jika sudah mengetahui kalau syirik bercampur dengan ibadah, maka akan merusaknya, menyebabkan gugurnya semua amalan pelakunya dan menyebabkan pelakunya menjadi orang yang kekal di dalam Neraka, tentulah Anda akan mengetahui bahwa perkara yang paling penting bagi Anda adalah mempelajari masalah ini (kesyirikan), semoga dengannya Allah berkenan membebaskan Anda dari jaring kesyirikan ini, yaitu kesyirikan kepada Allah, yang Allah Ta’ala telah berfirman tentangnya:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang berada di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (QS.An-Nisaa`: 116).

Pengetahuan tentang syirik bisa didapatkan dengan memahami empat kaidah yang telah Allah Ta’ala sebutkan dalam Kitab-Nya.

Kaidah pertama:

القَاعِدَةُ الأُوْلَى: أَنْ تَعْلَمَ أَنَّ الْكُفَّارَ الَّذِيْنَ قَاتَلَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ يُقِرُّوْنَ بِأَنَّ اللهَ تَعَالَى هُوَ الخَالِقُ المُدَبِّرُ، وَأَنَّ ذٰلِكَ لَمْ يُدْخِلْهُمْ في الإسْلامِ، والدَّلِيْلُ: قَوْلُهُ تَعَالَى﴿قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنْ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنْ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنْ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ﴾[يونس:31

Hendaknya engkau mengetahui bahwa orang-orang kafir yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perangi, mereka semua mengakui bahwa Allah Ta’ala adalah Pencipta dan Pengatur Alam Semesta. Namun, pengakuan mereka ini tidaklah dapat memasukkan mereka ke dalam Islam. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup serta siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka Katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa  (kepada-Nya)?” (QS. Yunus [10] : 31 )

Baca Juga: Islam, Nama dan Esensi

Orang-orang kafir yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perangi, mereka semua mengakui tauhid rububiyah (mengakui Allah sebagai pencipta dan pemberi rezeki). Namun pengakuan mereka ini tidaklah memasukkan mereka ke dalam islam, tidaklah diharamkan darah dan harta mereka.

Hal ini menunjukkan bahwa  tauhid bukanlah pengakuan dalam perkara rububiyah saja dan syirik bukanlah syirik dalam perkara rububiyah saja. Bahkan tak ada seorangpun yang mengingkari tauhid rububiyah kecuali makhluk yang penuh dengan keragu-raguan. Setiap orang pasti mengakui tauhid yang satu ini.

Tauhid rububiyah adalah mengakui bahwa Allah adalah Pencipta, Pemberi rizki, Yang Menghidupkan, Yang Mematikan, Pengatur (Alam Semesta). Defenisi lainnya, tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam perbuatan-Nya.

Tidaklah seorang makhluk pun yang mengakui bahwa ada pencipta selain Allah,  Pemberi rizki selain Allah, atau Yang menghidupkan dan mematikan selain-Nya. Bahkan orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah adalah Pencipta, Pemberi rizki, Yang Menghidupkan, Yang Mematikan, dan Pengatur (Alam Semesta ). Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

”Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” tentu mereka akan menjawab: “Allah“.(QS. Luqman [31] : 25 ).

Allah Ta’ala juga berfirman,

قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (86) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ

“Katakanlah: “Siapakah yang Empunya langit yang tujuh dan yang Empunya ‘Arsy yang besar?”. Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. (QS. Al Mu’minun [23] : 86-87 ). Bacalah akhir surat Al Mu’minun, niscaya engkau akan dapati bahwa orang-orang musyrik mengakui tauhid rububiyah. Demikian juga halnya dalam surat Yunus, Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنْ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنْ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنْ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka Katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa  (kepada-Nya)?” (QS. Yunus [10] : 31 ). Mereka (orang-orang musyrik) telah mengakui sifat-sifat rububiyah ini.

Ingatlah, tauhid bukanlah hanya tauhid rububiyah saja, sebagaimana yang diyakini oleh ahli kalam dan ahli logika yang mereka nyatakan sebagai aqidah mereka. Orang-orang semacam ini hanya mengakui tauhid adalah pengakuan bahwa Allah adalah Pencipta, Pemberi rizki, Yang Menghidupkan, dan Yang Mematikan. Di antara perkataan mereka adalah “Allah itu Esa dalam Dzat-Nya dan tidak terbagi. Allah itu Esa dalam sifat-Nya dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. Allah itu Esa dalam perbuatan-Nya dan tidak ada sekutu bagi-Nya”. Semua ini yang disebutkan oleh mereka (ahli kalam) adalah sebatas pada tauhid rububiyah saja. Kalian silakan merujuk pada kitab-kitab mereka. Kalian akan mendapati bahwa definisi mereka terhadap tauhid tidaklah lepas dari tauhid rububiyah saja.

Baca Juga: Janji Sebelum Segala Janji

(Perlu diketahui bahwa) tauhid rububiyah bukanlah tauhid yang Allah minta untuk disampaikan melaui pengutusan Rasul. (Juga perlu diketahui bahwa) pengakuan terhadap tauhid ini semata tidak akan bermanfaat bagi pelakunya. Karena pengakuan semacam ini juga diakui oleh orang musyrik dan orang kafir. Dan hal ini tidak mengeluarkan mereka (orang-orang musyrik) dari kekafiran lalu memasukkan mereka dalam Islam. Mengenai tauhid ini saja termasuk kesalahan yang besar.

Barangsiapa yang hanya meyakini tauhid rububiyyah semata, maka itu tidak lebih dari aqidah Abu Jahal dan Abu Lahab. Namun sayang, inilah yang diyakini oleh para intelektual muslim saat ini, mereka hanya mengakui tauhid rububiyah saja dan tidak sampai beranjak kepada tauhid uluhiyah. Ini adalah kekeliruan yang sangat besar dalam pendefenisian tauhid.

Adapun syirik, mereka (ahli kalam) mengatakan, “Syirik adalah meyakini adanya pencipta dan pemberi rizki selain Allah“. Maka kita katakan , “Ini adalah perkataan Abu Jahal dan Abu Lahab.” Pembesar musyrik Quraisy ini tidaklah mengatakan, ”Sesungguhnya ada pencipta dan pemberi rizki selain Allah.” Bahkan yang mereka akui yaitu : Allah adalah Pencipta, Pemberi rizki, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan. (Redaksi/Akidah)

 

Tema Terkait: Akidah, Tauhid, Rububiyyah

 

Tanda Haji Kita Diterima

Haji, adalah panggilan Allah bagi hamba-Nya yang beriman lagi mampu, setidaknya sekali seumur hidup. Tentu bagi yang diberi rejeki berkesempatan haji, ini merupakan momen yang super istimewa dalam hidupnya. Bagaimana tidak, ia datangi undangan Allah di tempat dan waktu yang disepakati. Selama prosesi itu hati, lisan dan anggota badan senantiasa fokus dan menikmati ‘hidangan’ sebagai tamu Allah. Hidangan yang pastinya menyehatkan hati dan memperbaiki perilaku bagi yang menikmati. Yang diharapkan, saat ia kembali ke tanah air menjadi pribadi yang sehat jiwanya, lebih matang kepribadian baiknya dan lebih rajin ibadahnya. Dan dalam waktu yang bersamaan, ia makin jauh dari dosa dan kemaksiatan.

Baca Juga: Memakai Obat Penunda Haid Saat Haji dan Umrah 

Imam Hasan al-Bashri menjelaskan indikasi keberhasilan haji seseorang, “Haji mabrur adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat.” Beliau juga mengatakan, “Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji.” Senada dengan beliau, Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan, “Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti kegiatan-kegiatan yang melalaikan menjadi majlis dzikir dan kesadaran.”

Tapi bagi yang tidak berhaji tahun ini, jangan sampai lupa bahwa hakikatnya ia juga mendapat undangan dari Allah, bahkan lima kali dalam sehari. Agar ia datang di tempat dan waktu yang telah ditetapkan. Bagaimana kita mimpi mendatangi undangan Allah ke tempat yang jauh, biaya yang besar, antri yang lama sementara kita abaikan panggilan ke tempat yang dekat, murah dan mudah.

Dituntut pula kita fokus dan khusyuk saat menjadi tamu Allah di lima waktu. Pun juga diharapkan sepulang dari ‘bertamu’ kita kepada Allah akan tampak bekas yang dibawa. Dan bekas yang paling tampak dari shalat adalah hendaknya ia meninggalkan dosa dan maksiat. Sebagaimana firman Allah,

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. al-Ankabut: 45)

Maka jika kita dapati diri begitu mudah terjerumus ke dalam maksiat, kurang peka terhadap dosa dan berkali-kali melanggar syariat-Nya, kita periksa kembali shalat kita, karena pasti ada yang tidak beres padanya.

Baca Juga: Haji dan Jihad Syariat Sampai Hari Kiamat

Sebagaimana pengharapan utama setelah mendatangi undangan Allah yang seumur hidup sekali, dan yang lima kali sehari adalah terhapusnya dosa dan maksiat, maka itu pula yang kita harapkan saat kita dipanggil untuk terakhir kali. Yakni ketika Allah memanggil kita di sisi-Nya, takkan kembali lagi ke dunia, semoga dalam keadaan baik dan bersih dari noda dan dosa. Agar masuk dalam bilangan orang yang difirmankan Allah, “(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salamun ‘alaikum (keselamatan sejahtera bagimu)”, masuklah ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. An Nahl: 32)

Aamiin. 

Oleh: Abu Umar Abdillah 

 

Tema Lainnya: Haji, Shalat, Ibadah

 

Hari Raya Idul Adha Bertepatan Dengan Hari Jumat

Rasanya baru kemarin menggemakan takbir kemenangan setelah berpuasa Ramadhan satu bulan lamanya. Besuk lusa kaum muslimin kembali lagi memekikkan takbir di masjid-masjid guna menyambut hari raya yang agung dalam Islam dan puncaknya menyembelih hewan kurban.

Hari Raya kedua umat Islam sudah tiba di depan mata. Apalagi kalau bukan Idul Adha atau sebagian menyebutnya Idul Qurban. Seperti biasanya, kaum muslimin akan sibuk mempersiapkan alat asah dan goloknya guna menyembelih hewan ternak selepas menjalankan shalat Idul Adha.

Baca Juga: Jika Masbuk Shalat Ied

Namun Idul Adha tahun 1438H kali ini terasa lebih istimewa, karena bertepatan dengan hari raya mingguan Umat Islam yaitu hari Jumat. Hari Jumat sendiri bernilai istimewa dan penuh dengan keutamaan, apalagi ditambah keistimewaan yang dibawa Idul Adha, sangat berlipat-lipat keutamaan padanya.

Lalu, bila dalam satu hari ada dua hari raya, apakah kaum muslimin tetap menunaikan shalat jumat di siang harinya? Atau cukup dengan menjalankan shalat dzuhur seperti biasa?

Di Zaman Nabi Juga Pernah Terjadi 

Hal seperti ini pernah juga terjadi di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat. Yaitu Hari Raya ‘Ied  yang bertepatan di hari Jumat. Ada beberapa hadits yang dan atsar yang menjelaskan hal ini. Diantaranya,

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ia berkata,

اجتمع عيدان على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلى بالناس ثم قال: من شاء أن يأتي الجمعة فليأتها ، ومن شاء أن يتخلف فليتخلف

“Pernah terjadi dua hari raya di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maka beliau Shalat dengan para manusia paginya dan berkata, “Siapa yang hendak mendatangi shalat Jumat maka datangilah, dan siapa yang tidak menghadiri silahkan tidak menghadirinya.”  (HR. Ibnu Majah & Thabrani)

Dalam Mu’jam Kabir ditambahkan, “Pernah terjadi dua hari raya di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Hari Raya Idul fitri dan Hari Raya Jumat.  Maka paginya beliau shalat Idul fitri bersama manusia lalu berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah diberi kebaikan dan pahala di hari ini. Kita telah berkumpul, maka siapa yang hendak menunaikan shalat Jumat lakukanlah dan siapa yang hendak balik ke rumahnya silahkan ia kembali.”

Begitu juga Hadits dari Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah bersabda,

اجتمع عيدان في يومكم هذا فمن شاء أجزأه من الجمعة ، وإنا مجمعون إن شاء الله

“telah berkumpul dua hari raya di hari kalian ini, maka siapa yang hendak mencukupkan (untuk tidak shalat Jumat) silahkan , dan Kami akan melaksanakannya Insyaallah.” (HR. Ibnu  Majah)

Dan satu atsar dari Atha’ bin Abi Rabbah Ia berkata, “Ibnu Zubair shalat bersama kami di pagi Idul fitri yang bertepatan pada hari Jumat, saat menjelang siang dan kami menunaikan shalat Jumat Ia tidak hadir shalat bersama kami. Lalu setelah kepulangan sahabat Ibnu Abbas dari Thaif, saya bertanya tentang yang demikian dan Ia menjawab, “Ia mengerjakan hal yang Sunnah.”

Dan masih banyak lagi riwayat hadits dan juga atsar yang redaksinya hampir mirip dengan ketiga hadits diatas.

Para Ulama Menyimpulkan Demikian 

Dengan begitu ada beberapa poin sebagaimana yang dijelaskan oleh para Ulama di Lajnah Daimah,

Pertama, siapa yang menghadiri shalat ‘Ied di pagi harinya, ia boleh untuk tidak shalat Jumat dan menggantinya dengan shalat dzuhur seperti pada hari biasa. Namun bila ingin tetap menjalankan shalat Jumat maka hal tersebut lebih utama.

Kedua, siapa yang tidak menghadiri shalat Ied (Idul fitri/Idul Adha) maka dia tetap berkewajiban menjalankan shalat Jumat dan tidak jatuh rukhsah.

Ketiga, Kepada Takmir Masjid untuk tetap mengadakan shalat Jumat, bila Jamaah yang datang sudah mencukupi syarat shalat Jumat maka dilaksanakan Shalat Jumat, bila tidak maka dilaksanakan shalat dzuhur seperti biasa.

Pada hari ini juga tidak disyariatkan mengumandangkan adzan dzuhur kecuali di masjid-masjid yang mengadakan shalat Jumat.  Sebagai tanda diadakannya shalat Jumat.

Baca Juga: Hari Raya, Syiar dan Identitas Keyakinan

Parahnya, ada orang yang berpendapat bahwa siapa yang sudah menjalankan shalat ‘Ied pagi harinya, ia mendapat rukhsah untuk tidak shalat Jumat dan shalat Dzuhur. Jelas sekali ini pendapat yang keliru. Karena menyimpang dari ajaran Nabi dan meninggalkan kewajiban untuk shalat Dzuhur.

Demikian tiga poin penting mengenai hukum shalat Jumat yang bertepatan pada hari Raya ‘Idul Fitri maupun ‘Idul Adha. Semoga kita tidak keliru dan mengikuti hawa nafsu dalam beramal. Wallahu a’lam. (Islamqa/Nurdin/Idul Adha)

 

Tema Terkait: Ibadah, Idul Adha, Shalat Jumat

 

 

Pertolongan Pertama dengan Ruqyah

أَعُوذُ بِاللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ

“Aku berlindung kepada Allah dan kekuatan-Nya, dari keburukan rasa sakit yang aku rasakan dan –akibat buruk- yang aku khawatirkan.”

Ini adalah salah satu ta’awudzat yang diajarkan oleh Nabi. Fungsinya sebagai ruqyah jika ada bagian tubuh yang terasa sakit. karena ruqyah bukan hanya berfungsi untuk mengusir jin (kesurupan) tapi juga sebagai obat ilahiyah untuk mengobati penyakit. Dalam riwayat yang masyhur, saat disengat kalajengking, seorang shahabat memberikan pertolongan pertama (first aid) dengan ruqyah surat al fatihah.

Nah, doa ini diajarkan Nabi kepada shahabat Utsman untuk meruqyah rasa sakit yang dikeluhkan. Kita simak riwayat lengkapnya;

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِى الْعَاصِ الثَّقَفِىِّ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَجَعًا يَجِدُهُ فِى جَسَدِهِ مُنْذُ أَسْلَمَ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِى تَأَلَّمَ مِنْ جَسَدِكَ وَقُلْ بِاسْمِ اللَّهِ. ثَلاَثًا. وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ أَعُوذُ بِاللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ ».

Dari Utsman bin Abu al Ash ats Tsaqafi, beliau mengadukan kepada Rasulullah rasa sakit yang ia rasakan semenjak masuk Islam. Nabi pun bersabda, “Letakkan tanganmu di atas bagian tubuhmu yang sakit lalu ucapkan “Bismillah” tiga kali lalu ucapkan sebanyak tujuh kali “Audzubillahi wa qudratihi min syarri ma ajidu wa uhadziru.” (Aku berlindung kepada Allah dan kekuatan-Nya dari keburukan rasa sakit yang aku rasakan dan –akibat buruk- yang aku khawatirkan.” (HR. Muslim) –dalam riwayat lain Utsman menambahkan, “lalu aku laksanakan dan Allahpun menyembuhkanku, seterusnya aku selalu menghimbau keluargaku dan orang-orang yang mengikutiku untuk mengamalkannya. (HR.at Tirmidzi)

Di dalam Kitab Faidhul Qadir, I/366 dijelaskan, mengapa disuruh meletakkan tangan di atas bagian yang sakit? penulis menjelaskan itu menandakan sunahnya membaca kalimat tersebut meski sakit yang dirasakan tidak parah. Al alam atau rasa sakit, seperti yang dijelaskan Imam ar Raghib memang bermakna “sakit parah”. Tapi jika makna itu yang dimaksud, maka ada pembatasan bahwa doa ini hanya disyariatkan untuk sakit yang parah, bukan yang ringan.

Jadi saat merasa sakit pada suatu bagian tubuh, kita baca basmalah, lalu usap bagian tubuh yang sakit sambil membaca doa ini. Caranya, tempelkan telapak tangan –sebaiknya tangan kanan- atau usapkan pada bagian yang sakit sembari membaca doa ini  sebanyak tujuh kali. Jadi, tujuh kali doa dengan tujuh kali usapan, sebagai mana dijelaskan dalam referensi diatas. Dan, doa ini bisa juga digunakan untuk meruqyah anak kecil yang belum mampu menghafal doa.

Masih dalam kitab yang sama dijelaskan, doa ini adalah ath thib al ilahi, pengobatan ilahiyah. Ampuh tidaknya sangat dipengaruhi keyakinan dan kejujuran hati untuk benar-benar bergantung pada Allah. Keyakinan akan membuahkan keikhlasan dalam mengharap pertolongan dari Allah. Dan keikhlasan akan memudahkan turunya pertolongan. Allah maha berkuasa untuk menghilangkan sakit, sebagaimana Allah juga berkuasa untuk mendatangkannya. Sangat mudah bagi Allah untuk menghilangkan sakit yang kita rasakan, dengan atau tanpa perantara obat atau pijat.

Kandungan makna

Dari segi lafadz, doa ini cukup simple hingga mudah dihafal. Tapi dari sisi makna, doa yang diajarkan Nabi senantiasa mengandung makna yang sangat mendalam. Coba kita telisik lebih detail.

Dalam hadits di atas, Nabi memerintahkan untuk memulai dengan basmalah sebanyak tiga kali. Ucapan basmalah disunahkan dalam berbagai urusan. Nabi bersabda, “ Segala hal yang baik, yang tidak dimuali dengan basmalah akan menjadi tak bernilai.” (HR.)

“Aku berlindung kepada Allah” merupakan kalimat ta’awudz, permohonan perlindungan kepada Allah. Memohon perlindungan kepada sesuatu berarti menganggap atau meyakini sesuatu tersebut mampu melindungi dan jauh lebih kuat dari ancaman yang ada. Berlindung kepada Allah berarti meyakini bahwa kekuasaan Allah ada di atas segalanya. Dibanding kebesaran-Nya, sakit yang kita rasakan sangatlah remeh.

“Min syarri ma ajidu” secara makna artinya “dari keburukan –rasa sakit- yang aku rasakan”. Dalam gramatika Arab (nahwu), syarrun merupakan isim nakirah, yaitu bentuk kata yang menunjukkan makna general, umum. Sehingga, makna dari kata syarrun tersebut mencakup seluruh keburukan dari apa yang dirasa. Karena seringnya kita tidak mampu mengidentifikasi secara akurat apa sebenarnya rasa sakit yang muncul. Apakah cuma rasa sakit biasa atau gejala penyakit parah? Gejalanya mungkin cuma sakit pinggang, padahal ada gangguan pada ginjal, yang terasa cuma sedikit ngilu, padahal penyakit asam urat tengah mengancam.

Sedangkan kalimat “wa uhadzir” artinya “dan –akibat buruk- yang aku khawatirkan”. Saat merasakan sakit, pikiran akan menerka-terka, sakit apakah gerangan? kekhawatiran yang ‘tidak-tidak’ pun mucul. Adakah ini merupakan gejala awal penyakit ganas dengan segala dampak buruknya?

Saat merasakan sakit di telinga, muncul kekhawatiran, apakah akan berdampak buruk pada pendengaran? Atau seorang wanita misalnya, saat merasakan sakit di daerah dada, muncul kekhawatiran, adakah ini adalah gejala kanker payudara? Padahal kanekr adalah salah satu penyakit ganas yang sulit disembuhkan. Berbagai kekhawatiran akan muncul dan akan menguat jika sakit yang dirasakan semakin mengarah pada indikasi suatu penyakit.

Nah, dengan lafadz pilihan Nabi, ruqyah ini menjadi doa yang mencakup permohonan yang menyeluruh. Tidak hanya memohon perlindungan dan pertolongan dari keburukan rasa sakit yang diderita, tapi juga dari berbagai kekhawatiran dan dampak buruk yang dikhawatirkan terjadi.

Pemenuhan sunah kauniyah berupa obat atau pijat, memang tidak boleh dilupakan. Tapi sekali lagi, ruqyah ini bisa menjadi pertolongan pertama yang kita berikan saat sakit. Dengan begitu, kita akan terbiasa untuk langsung kembali kepada Allah jika merasakan sakit. Allahlah yang pertama kita ingat, baru kemudian obat atau pijat. Wallahua’lam. (anwar)