Bekerja Keras di Dunia, Sengsara di Neraka

Kita pantas salut melihat orang yang kerja keras mengais rezeki, membanting tulang dan memeras keringat. Tapi, rasa salut itu akan berbalik menjadi belas kasihan, ketika kita tahu, bahwa ternyata ia adalah orang yang tidak memperhatikan urusan akhiratnya. Tidak shalat, tidak taat dan bahkan uang yang tidak seberapa banyak ia hasilkan dari kerja kerasnya digunakan untuk bermaksiat.  Betapa tidak, hasil dari jerih payahnya bukan kebahagiaan, tapi kepayahan yang lebih dahsyat dari kepayahan yang dia alami di dunia,

 عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ ﴿٣ تَصْلَىٰ نَارًا حَامِيَةً 

“Bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka),”. (QS. al-Ghasyiyah 3-4)

 

Kerja Keras di Akhirat

Banyak variasi pendapat para ulama dalam menafsirkan firman Allah, “bekerja keras lagi kepayahan.” Apakah itu terjadi di dunia, ataukah di akhirat, yakni neraka. Al-Fakhrur Razi dalam tafsirnya menyebutkan tiga pendapat, “Bisa jadi segala kerja keras dan kepayahan yang dimaksud semua dialami di dunia, bisa jadi semuanya terjadi di akhirat, dan bisa jadi pula sebagian kepayahan itu dialami di dunia, sebagian lagi dialami di akhirat.” Beliau tidak memberikan keterangan manakah yang lebih rajih di antara tiga pendapat tersebut.

Namun, tak ada ulama yang membantah, bahwa di neraka, penghuninya akan mengalami kerja keras dan kepayahan. Dan tak ada yang lebih payah dari kepayahan yang dialami oleh penduduk neraka.

Hasan al-Bashri Rahimahullah mengatakan bahwa, “mereka dibuat kerja keras dan lelah di neraka oleh rantai dan belenggu.”

Berbeda dengan kepayahan di dunia yang berjeda dan ada kesempatan untuk istirahat. Di neraka, kepayahan akan berlangsung selamanya. Sementara makanannya duri yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan rasa lapar. Tak ada pula minuman selain air mendidih yang amat sangat panasnya.

 

Kerja Keras di Dunia untuk Dunia

Meskipun makna yang sudah pasti masuk dalam ayat tersebut adalah kepayahan di hari Kiamat sebagaiamana diindikasikan ayat sebelum dan sesudahnya, namun tidak dipungkiri, bahwa yang mereka alami di neraka itu karena ulahnya di dunia. Sehingga banyak ulama mengkaitkan kerja keras dan kepayahan di akhirat itu sebagai balasan atas tindakan mereka yang sesat di dunia. Ibnu Abbas berkata, “Yakni, ia telah bekerja keras dan kepayahan di dunia, lalu pada hari Kiamat dia masuk ke dalam Neraka yang sangat panas.”

Kerja keras di dunia yang dimaksud bisa bermakna orang yang hanya mencari kenikmatan dunia semata. Mereka bersusah payah, membanting tulang, sekedar untuk mencari makan dan kebutuhan hidup semata. Pada saat yang bersamaan, mereka enggan untuk mengabdi kepada Allah, meninggalkan amal yang bisa membuat mereka bahagia dan selamat di akhirat. Atau bahkan kerja kerasnya dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Inilah pendapat yang diutarakan oleh Ikrimah dan as-Suddi, “Di dunia mereka kerja keras di jalan maksiat, sehingga merasakan kepayahan di neraka dengan adzab dan kesengsaraan.”

Alangkah mengenaskan nasib mereka. Di dunia menderita, di akhirat sengsara selamanya. Lantas kapan mereka bisa mendapatkan kebahagiaan? Penderitaan mana yang lebih berat dan kekal daripada penderitaan ini?

Islam menghasung kita untuk kerja keras. Jika kemudian hasil jerih payah yang diapatkan belum mencukupi kebutuhan, jangan sampai membuat kita berputus asa, apalagi putus asa untuk mendapatkan kenyamanan di akhirat. Bahkan, bagi orang yang beriman, ketika mendapatkan dirinya hidup dalam kemiskinan dan penderitaan, dia terhibur dengan keyakinan, bahwa kemiskinan itu hanyalah sementara, kelak di jannah takkan lagi terasa bekasnya. Berganti dengan kenikmatan tiada tara. Dengan motivasi ini, mereka akan memperhatikan urusan akhiratnya. Bersabar dalam menghadapi cobaan, sabar dalam menjalani ketaatan, dan bersabar untuk tidak tergiur dengan cara-cara maksiat untuk mendapatkan rejeki.

Mereka itulah orang-orang yang cerdas, bahkan lebih cerdas daripada orang-orang kaya yang menjadikan dunia yang begitu singkat sebagai tujuan akhirnya. Mereka memakmurkan dunia mereka dengan cara merusak akhiratnya. Mereka memilih untuk menderita selamanya, asalkan bisa sesaat bersenang-senang di dunia. Sungguh merupakan pilihan yang picik dan tak sesuai dengan nalar yang sehat.

 

Kerja Keras untuk Akhirat, Tapi Sesat

Penafsiran lain dari ‘kerja keras dan kepayahan’ dalam Surat al-Ghasyiyah ini adalah kerja keras untuk mendapatkan pahala, namun berangkat dari keyakinan yang sesat, atau cara yang salah. Syeikh asy-Syinqithi menukil sebagian penafsiran, bahwa maksud ayat itu adalah, “Mereka kerja keras dan kelelahan dalam menjalankan ibadah yang sesat, seperti para pendeta dan uskup, begitupun dengan para pelaku bid’ah.”

Kelompok ini juga sangat memprihatinkan. Betapa tidak, mereka merasa telah menjalankan ibadah, bersusah payah untuk berbuat baik dalam persangkaannya, namun ternyata sesat.

“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”  (QS. al-Kahfi 103:-104)

Mereka salah dalam berkeyakinan, keliru pula dalam menjalankan, sementara mereka menyangka di atas kebenaran. Karena itulah, ketika Umar bin Khattab melewati seorang pendeta yang sedang ‘khusuk beribadah’, beliau berhenti sejenak dan memperhatikannya. Lalu, beliau menangis sembari membaca firman Allah, ‘amilatun naashibah, tashla naaran haamiya, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka).” Karena apa yang dilakukan pendeta itu adalah kekhusyukan dalam kekafiran.

[bs-quote quote=”Ketika Umar bin Khattab melewati seorang pendeta yang sedang ‘khusuk beribadah’, beliau berhenti sejenak dan memperhatikannya. Lalu, beliau menangis sembari membaca firman Allah, ‘amilatun naashibah, tashla naaran haamiya, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka).” Karena apa yang dilakukan pendeta itu adalah kekhusyukan dalam kekafiran.” style=”default” align=”center” color=”#2476bf”][/bs-quote]

Termasuk dalam kategori ini, mereka yang beribadah, baik shalat, dzikir dan amalan lain yang tidak mengikuti sunnah. Mereka yang tertarik dengan bid’ah yang diada-adakan. Syeikh asy-Syinqithi mengingatkan tatkala menafsirkan ayat ini, “Hendaknya takut akan ayat ini, orang yang beramal tanpa dasar ilmu, tapi beramal di atas bid’ah dan kesesatan.”

Umumnya, orang yang melakukan bid’ah memiliki prasangka akan mendapatkan pahala lebih dengan menjalaninya. Padahal, bukan itu amal yang dikehendaki Allah. Syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan benar. Ikhlas adalah beramal untuk Allah, sedangkan benar adalah sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu alam bish shawab.

 

Oleh: Abu Umar Abdillah/ Muhasabah

Islam Adalah Darah Daging Kita, Takkan Hidup Manusia Tanpanya

Ada nasihat indah dari seorang ulama tabi’in yang tak asing di telinga, Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Wahai saudaraku, sesungguhnya Islam adalah darah dagingmu…”

Betapa tepatnya perumpamaan beliau tentang agama sebagaimana darah dan daging, karena agama yang benar adalah ruh manusia dan intinya. Apabila Islam itu lenyap dari diri seseorang, maka ia seperti bukan lagi manusia yang hidup. Sebagaimana jika manusia telah hilang darah dan dagingnya, dapatkah ia disebut sebagai manusia?

Seorang muslim yang telah menjadikan Islam sebagai darah dagingnya, hidupnya tak bisa dipisahkan dari Islam. Seluruh aktivitasnya tak bisa lepas dari bimbingan Islam. Ini sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Ra’sul amri al-Islam, pokok dari segala urusan adalah Islam.” Memandang apapun, melihat dari sudut pandang Islam, bukan yang lain. Baik baginya adalah apa yang dianggap baik oleh Islam. Buruk baginya adalah apa yang buruk dalam sudut pandang Islam, meksipun kebanyakan manusia berpendapat sebaliknya.

Baca Juga: Cara Allah Menjaga Iman Hamba-Nya

Siapa yang dianggap saudara atau kawan menurut Islam, itulah saudara ataupun kawan. Siapa yang menjadi musuhnya adalah siapapun yang memusuhi Islam dan dianggap musuh oleh Islam.

Jika dia mencari maisyah (pendapatan), Islam menjadi pedoman; mana yang halal dan mana yang haram. Jika ingin berkeluarga, maka Islam juga menjadi panduan memulai dan bagaimana mendidik keluarga. Ringkasnya, segala hal dipandang dari sudut pandang Islam.

Jika setiap muslim menggunakan sudut pandang ini, kemuliaan umat Islam akan terwujud, dan ukhuwah Islamiyah akan terjalin dengan baik. Bagaimana ukhuwah tegak jika yang sebagian menjadikan Islam sebagai pijakan dan sebagian lagi menjadikan selain Islam sebagai patokan?

Lagi pula, Islam adalah jaminan keselamatan, komplit pula mengatur segala urusan, jalan hidup terbaik yang telah Pencipta gariskan. Adakah yang lebih paham tentang kita, dunia dan akhirat kita selain dari Sang Pencipta?

Baca Juga: Yang Menyenangkan Belum Tentu Membuat Bahagia

Sangat disayangkan, ketika sebagian yang menisbahkan dirinya muslim lalu terprovokasi oleh para libearlis maupun atheis, hingga merendahkan martabat Islam, melecehkan orang-orang yang berpegang teguh dengannya.

Sekali-kali umat Islam ini tidak akan kembali berjaya, tegak, berkuasa dengan lurus bagi manusia melainkan jika mereka kembali mengambil pelajaran sebagaimana yang dikatakan oleh Imam ini, menguatkan ikatannya terhadap Islam dan meletakkannya pada tempat yang semestinya dalam rangka membina pribadi dan mengatur masyarakat.

Maka tak ada alasan untuk mengelak dari aturan-Nya, apa-apa yang belum Islam dari bagian hidup kita, segera kita sempurnakan agar makin semurna pula kebahagiaan kita dan jaminan akhir kita. Wallahu a’lam bishawab.

 

Oleh: Abu Umar Abdillah/Muhasabah