Urus Saja Dirimu Sendiri!

Menjadi perkara yang maklum dalam Islam tentang kewajiban mengajak yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, membenarkan yang benar dan membathilkan yang bathil. Namun banyak kasus di mana orang-orang yang mencegah kemungkaran  menjadi salah tingkah saat menghadapi respon yang tidak menyenangkan dari orang yang didakwahi. Seperti ucapan, “Urus saja dirimu sendiri!”

Inilah respon yang sering membuat para da’i tercekat, terdiam seketika saat berusaha meluruskan kesalahan orang lain atau mengajak saudaranya muslim untuk melaksanakan perkara kebaikan. Kadang kalimat ini keluar langsung dari obyek dakwah, dan kadang pula muncul dari orang lain yang merasa risih dengan dakwah kita. Atau justru kita pernah merespon dengan ungkapan itu saat di tegur oleh saudara kita yang muslim.

Ucapan yang Dibenci Allah

Selayaknya ungkapan itu tidak muncul dari lisan seorang muslim siapapun dia. Karena sesama muslim itu saudara, dan di antara hak bersaudara adalah saling menasehati. Setiap saudara kita punya hak atas nasehat dari kita. Begitu pula kita, punya hak atas nasehat dari saudara-saudara kita. Sedangkan ungkapan ini adalah respon untuk berkelit dari nasihat dan berpotensi memangkas hak persaudaraan. Itulah di antara hikmah kenapa Allah sangat membenci ungkapan tersebut sebagaimana hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam,

وَإِنَّ أَبْغَضَ اْلكَلَامِ إِلَى اللهِ أَنْ يَقُوْلَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ اتَّقِ اللهَ فَيَقُوْلُ عَلَيْكَ نَفْسَكَ

“Kalimat yang paling dibenci oleh Allah, seseorang menasehati temannya, ’Bertaqwalah kepada Allah’, tapi ia menjawab,”Urus saja dirimu sendiri.” (HR. Baihaqi dan Nasa’i).

Setidak suka apapun kita atas nasehat yang teman atau saudara kita sampaikan kepada kita, sekuat mungkin tahan mulut untuk tidak berkomentar yang menunjukkan kesombongan. Jangan sampai keluar dari mulut kita kalimat “Urus saja dirimu sendiri” atau yang serupa dan senada dengan itu.

Baca Juga: Siapa Yang Intoleran? 

Lebih utama lagi jika kita berlapang dada menerima nasihat baik dengan kalimat sami’na wa atha’na, kami mendengar dan kami taat.

Jawaban “urus saja dirimu sendiri!” adalah respon yang menunjukkan rasa tidak suka terhadap nasihat dan kesombongannya dengan menampik nasihat. Dan sikap ini menjadi cirikhas orang-orang munafik sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.” (QS. al-Baqarah: 206)

Kalimat “dikatakan”, tidak disebut secara definitif siapa yang berkata atau memberi nasihat menunjukkan tuntutan siapapun yang memberi nasihat, kita tidak boleh merespon dengan sombong dan merendahkan orang yang mengingatkan atau memberi nasihat kebaikan. Karena sikap ini menyerupai orang munafik dan pelakunya terancam dengan neraka, wal iyadzu billah.

Maka sebagai obyek yang ditegur, diingatkan atau dinasihati pantang bagi kita mengucapkan kalimat itu.

Adapun jika kita sebagai orang yang mengingatkan atau menyampaikan dakwah, janganlah berkecil hati dan jangan pula berhenti dari memberi nasihat saudaranya saat diperlukan, karena agama itu adalah nasihat. Tentu Dengan terus berusaha memperbaiki diri sendiri, juga memperbaiki cara menasihati agar ajakan bisa diterima dengan ijin Allah.

Ada yang berdiam diri atas kemungkaran yang dilakukan saudaranya, dengan alasan yang penting dirinya tidak ikut-ikut. Ia merasa sikapnya ini sebagai sikap yang dewasa dan toleran, lalu menyandarkan pada firman Allah Ta’ala,

Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian. Tiadalah orang yang sesat itu akan memberikan mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk.” (QS. al-Maidah: 105)

Ayat ini kemudian dimaknai agar mengurus diri sendiri, tak perlu merisaukan kemungkaran yang dilakukan orang lain. Pemaknaan ini disebut oleh Abu Bakar ash-Shidiq dengan menyalahgunakan ayat atau meletakkan ayat tidak pada tempatnya.

Baca Juga: Islam Nusantara dan Islam Arab 

Ayat ini sama sekali tidak mengandung pengertian yang membolehkan meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah bahwa suatu kali Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq berkhutbah; ia memulainya dengan memanjatkan puja dan puji serta syukur kepada Allah, kemudian menyerukan kepada orang-orang, “Hai manusia, sesungguhnya kalian membaca ayat ini, ”( yaitu firman-Nya) Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk, “ tetapi kalian meletakkan pengertiannya tidak pada tempatnya. Dan sesungguhnya aku (Abu Bakar radhiyallahu anhu) pernah mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya manusia itu apabila melihat kemunkaran; lalu mereka tidak mencegahnya, maka hampir-hampir Allah akan menurunkan siksa-Nya kepada mereka semua.”

Penempatan yang Benar

Lantas bagimana penempatan ayat yang benar? Allah berfirman, memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin agar mereka memperbaiki diri dan mengerjakan kebaikan dengan segala kemampuan dan kekuatan yang mereka miliki. Allah memerintahkan agar mereka berbuat demikian seraya memberitahukan kepada mereka bahwa “barang siapa yang memperbaiki urusannya, maka kerusakan yang dilakukan orang lain tidak akan membahayakannya, baik dia sebagai kerabatnya ataupun orang yang jauh darinya.”

Termasuk kebaikan adalah mengajak yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Selagi seseorang beruasaha berbuat baik, lalu juga mengajak yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, maka keburukan orang yang tidak mau mengikuti ajakan yang ma’ruf dan tidak pula berhenti dari kemungkaran setelah diberi peringatan tidak akan mengenai orang yang menyeru. Tugasnya adalah menyeru semampunya, sedangkan hidayah adalah kekuasaan Allah, wallahu a’lam bishawab. (Abu Umar A/Syubhat/Kajian

 

Tema Terkait: Syubhat, Amar Ma’ruf, Kemungkaran 

Kekuasaan, penopang kebaikan atau senjata kejahatan?

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ ,أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Kita bersyukur kepada Allah atas limpahan nikmat dan karunia-Nya. Semoga, nikmat dan karunia dari Allah dapat kita gunakan untuk bermala shalih.

Shalawat dan Salam semoga tercurah kepada nabi Muhmmad Shallallahua ‘alai wa sallam, kepada keluarganya, para pengikut sunah dan seluruh umatnya sampai hari kiamat.

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Pada zaman Khalifah al Mutawakkil, terjadi peristiwa menyakitkan berupa kriminalisasi orang shalih dengan fitnah keji. Ahmad bin Nashr, orang yang sebenarnya shalih harus menerima hukuman mati gegara fitnah yang ditujukan padanya. Dia dihukum mati oleh Al Wastiq, khalifah sebelum al Mutawakkil.

Salah seorang pejabat al Mutawakkil melaporkan hal itu kepada Khalifah al Mutawakil. Dia menyatakan, ada yang aneh dengan vonis mati Ahmad bin Nashr. Ahmad bin Nashr selalu membaca al Quran bahkan hingga akhir hayatnya. Mendengar ini, sang Khalifah pun mulai gusar.

Saat seorang pejabat bernama Muhammad bin Abdul Malik datang, Khalifah bertanya, “Wahai putra Abdul Malik, ada yang mengganjal hatiku mengenai kematian Ahmad bin Nashr.” Namun entah karena motif apa, Muhammad bin Abdul Malik berdusta dengan mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, Allah pasti membakar aku jika aku bohong, yang dibunuh al Watsiq (Ahmad bin Nashr) itu orang kafir!”

Lalu datang lagi seorang pejabat bernama Hartsamah dan khalifah mengungkapkan hal serupa. Anehnya, pejabat ini juga berdusta dan mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, Allah memotong jari-jariku apabila aku bohong, yang dibunuh al Watsiq (Ahmad bin Nashr) itu orang kafir!”

Dan datang lagi Ahmad bin Abi Duad. Khalifah pun menyatakan hal serupa. Ternyata, Ahmad bin Duad setali tiga uang dengan dua pejabat sebelumnya. Dia berdusta dengan mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, Allah akan menghukumku dengan lumpuh sebelah jika aku bohong, yang dibunuh al Watsiq (ahmad bin Nashr) itu orang kafir!”

Sayangnya, kebohongan ketiga orang ini dapat dibongkar oleh Khalifah. Khalifah pun menghukum Muhammad bin Abdul Malik dengan vonis bakar. Adapun Hartsamah berhasil kabur dari sanksi khalifah. Namun malang, ketika melewati kabilah Khuza’ah, seorang penduduk mengenalinya dan tahu bahwa Ahmad bin Nashr mati karena persengkokolannya dahulu. Penduduk Khuza’ah pun mengamuk dan memutilasi Hartsamah, persis seperti sumpahnya. Dan adapun Ahmad bin Duad terkena lumpuh sebelah dan membuatnya terpenjara seumur hidup.

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Demi mendapat atau mempertahankan jabatan, orang sering menghalalkan segala cara. Ada yang mencurangi saingannya, memfitnah, menyebarkan berita bohong, menjebaknya dalam tindakan melanggar hukum, atau mengungkit kesalahan kecil hingga dapat menurunkan citra baiknya di hadapan publik.

Dalam kisah di atas, ketiga pejabat tersebut bisa jadi takut kasus lama terkait Ahmad bin Nashr menganggu jabatan mereka. Mereka pun berdusta dengan menuduh Ahmad bin Nashr sebagai orang kafir yang memang layak dihukum mati. Pada akhirnya, kedustaan mereka dibayar tunai oleh Allah sesuai sumpah paslu yang mereka ucapkan.

Allah berfirman,

وَقَدْ خَابَ مَنِ افْتَرَىٰ

 “Dan sesungguhnya telah merugi orang yang mengada-adakan kedustaan.”  (QS. Thaha: 21)

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Jabatan memang merupakan kekuatan yang besar. Kekuasaan adalah power, energi luar biasa dan senjata yang bisa digunakan untuk kebaikan atau keburukan. Mengingat besarnya kekuatan ini, setan-setan yang bermain dan menggoda para penguasa sangat mungkin merupakan setan-setan level atas yang lihai dan ahli dalam menjerumuskan manusia dalam dosa. Iblis tentu harus memastikan bahwa kekuasaan manusia harus dipegang oleh para pendukungnya. Jika tidak, kekuasaan akan digunakan untuk menegakkan syariat Allah dan itu akan sangat merugikan proyek Iblis dalam menyesatkan manusia.

Oleh karenanya, dunia jabatan dan kekuasaan senantiasa dikelilingi tipudaya setan berupa kejahatan, kedustaan, konspirasi licik nan jahat, fitnah keji, kemunafikan, kepura-puraan, dan berbagai dosa besar; zina, pembunuhan, dusta, suap, korupsi dan makar jahat. Dan yang paling jahat dari maksiat itu sendiri adalah ketika jabatan digunakan untuk melindungi pelaku maksiat dan mengkriminalkan ulama dan orang shalih yang tidak bersalah.

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Hari ini kita lihat, para ulama dan orang-orang shalih menjadi korban fitnah dusta dan konspirasi jahat oknum-oknum pemegang kuasa yang berhasil dikuasai setan. Mereka tak segan berdusta, mencari-cari masalah atau menjebak korbannya dalam tipudaya dan makar licik agar dijatuhi vonis penjara.

Hal yang salah dianggap benar dan dibiarkan, adapun yang benar justru dipermasalahkan dan diburu. Orang yang jujur dikriminalkan sementara yang tukang bohong dan korup dibiarkan begitu saja. Bahkan hasil dan penyaluran infaq umat dianggap korupsi dan kejahatan, sementara dana-dana tak jelas yang jumlahnya lebih besar justeru diabaikan bahkan ditutup-tutupi.

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Itulah dunia kekuasaan. Kita tidak heran karena memang seperti itulah adanya sejak jaman dahulu kala. Oleh karenanya, Islam sangat berhati-hati dalam memberikan kekuatan berupa jabatan dan kekuasaan ini. Para ulama sepakat bahwa kepemimpinan dalam Islam harus mengedepankan keshalihan baru kemudian kemampuan leadership. Orang yang rusak moral dan imannya, sepintar apapun dalam mengelola urusan manusia, tidak layak diberi jabatan tinggi. Masalahnya, kemashalahatan umat, kesejahteraan dan kebaikan mereka bukan hanya tertumpu pada kepiawaian pemimpinnya dalam leadership tapi tertumpu pada ridha Allah.

Jika Allah ridha, bahkan seorang pemimpin sederhana akan diberi kelancaran dan kemudahan dalam mengatur urusan manusia. Para ahli akan membantunya untuk menyelesaikan tugas dengan baik. Tapi sebaliknya, jika Allah tidak ridha, sepintar apapun pemimpinnya, sebjitu apapun programnya, Allah akan gagalkan itu semua.

Apalagi para pemimpin yang memusuhi Allah dengan cara memusuhi para wali-Nya. Tega berdusta dan memfitnah mereka agar masuk penjara. Dan siapakah wali Allah? Orang-orang beirman dan para ulama. Allah berfirman,

مَنْ عَادَى لِـيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْـحَرْبِ

“Siapa memusuhi wali-wal-Ku, berarti dia telah menantang perang kepada-Ku….” (HR. Bukhari)

  Jamaah Jumat Rahimakumullah

Jika kita adalah pemimpin, pejabat atau penguasa, hendaknya kita camkan firman Allah dalam hadits qudsi di atas. Orang-orang beriman, di hadapan Allah sangat mahal nilainya melebihi dunia dan seisinya. Memusuhi mereka karena keimanan dan keteguhan mereka di atas kebenaran hanya akan membawa kepada kehancuran diri.

Dan jika kita adalah rakyat, maka berhati-hatilah dalam memilih pemimpin. Lihatlah keshalihan dan ketakwaan-Nya serta ketundukannya kepada syariat karena hal itulah yang akan membuat rahmat Allah turun. Waspadailah orang-orang yang begitu berambisi memimpin padahal keshalihan dan akhlaknya nihil. Dia tidak akan membawa kebaikan apapun. Kalaupun ternyata dari segi pembangunan infrasturktur maju, pasti tidak akan demikian dengan moral dan iman. Orang-orang tidak taat pada syariat pasti akan membiarkan tindakan maksiat. Dan itu adalah awal dari kehancuran umat.

 

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ اْلعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُهُ يَغْفِرْلَكُمْ إِنَِّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Kedua

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْن، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِمَامُ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

(Ust. Taufik Anwar)