Begini Islam yang Toleran

Syaikh Abdullah al-Mohaisini menulis perang narasi tentang toleransi dalam telegramnya. Islam adalah agama yang toleran. Islam memiliki prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran yang mengatur seluruh lini kehidupan manusia.

Rasulullah ﷺ telah mengajarkan kepada kita cara untuk bersikap toleran terhadap orang-orang kafir, tanpa mengorbankan Aqidah, tanpa menjilat. Salah satu toleransi yang Rasulullah ajarkan adalah ketika beliau menghapus beberapa kalimat dari perjanjian Hudaibiyah.

Hari ini toleransi itu banyak disalaharti. Perang narasi digaungkan untuk merusak pemahaman kaum Muslimin. Terutama karena musuh-musuh Islam terus memaparkan lewat media bahwa, “jika umat Islam ingin dicap sebagai umat yang toleran, maka umat Islam harus mengorbankan aqidah mereka.”

Di antara syubhat yang dipaparkan oleh media untuk mencoba menyesatkan para pemuda Muslim adalah ungkapan bahwa agama Islam adalah agama toleransi dan menyimpulkan bahwa kaum Muslimin tidak memiliki masalah dengan orang Yahudi dan Nasrani, masalah kita dengan mereka muncul hanya karena mereka menjajah tanah kita. Seandainya mereka tidak menjajah tanah kita, maka tidak ada masalah antara kita dengan mereka.

Baca Juga:Siapa Yang Intoleran?

Masalah antara kita dengan orang Yahudi dan Nasrani adalah bahwa mereka telah menyakiti Allah, karena mereka menisbatkan anak kepada Allah (Nasrani), dan menyatakan bahwa tangan Allah terbelenggu (Yahudi). Adapun toleransi dengan menganggap bahwa Yahudi dan Nasrani adalah agama samawi, maka sesungguhnya mereka telah menyimpang dari ajaran agama mereka yang benar. Karena jika seandainya mereka mengikuti ajaran agama mereka yang benar, maka hal tersebut akan menunjukkan mereka kepada Islam.

Oleh karena itu, Allah ﷻ berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُم مِّنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ ۙ أَن تُؤْمِنُوا بِاللَّـهِ رَبِّكُمْ إِن كُنتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي ۚ تُسِرُّونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنتُمْ ۚ وَمَن يَفْعَلْهُ مِنكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ ﴿١﴾

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia sehingga kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal mereka telah ingkar kepada kebenaran yang disampaikan kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan kamu sendiri karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu.” (QS. Al-Mumtahanah: 1).

Maka jangan sampai ungkapan-ungkapan dan slogan-slogan yang terus digemakan oleh media seperti itu membuat kita menjadi ragu-ragu. Begitu pula jangan sampai kita tertipu oleh orang-orang yang terus menggaungkan slogan-slogan tadi dan mengaitkannya dengan ayat-ayat al-Qur’an, padahal mereka mengingkari sebagian ayat al-Qur’an yang lain.

Ketika sebagian dari kaum Muslimin berusaha menjilat orang-orang kafir dengan cara mengorbankan Aqidah mereka agar dicap sebagai ‘Islam yang Toleran’, maka sesungguhnya permusuhan mereka kepada umat Islam tidaklah berkurang. Mereka tidak mengurangi pembantaian yang mereka lakukan di Afghanistan, Irak, Yaman, Suriah, dan lainnya. Toleransilah dalam sikap dan tingkah laku, bukan dalam permasalahan aqidah.

 

Oleh: Ust. Muhtadawan/Terkini

Indahnya Adzan di Mata Generasi Pilihan

Adzan adalah syiar yang agung, tiada yang membencinya selain setan dan orang-orang rendahan yang mengikuti jejak setan yang anti terhadap adzan. Allah menyebut kurang akal siapapun yang memperolok adzan, sebagaimana firman-Nya.

“Dan apabila kalian menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) salat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.” (QS: al-Maidah 58)

Dan beberapa waktu ini makin banyak orang yang berani meremehkan adzan; tidak menyambutnya, ada yang mengaku muslim tapi merasa terusik dengan mendengarnya bahkan ada yang secara ugal-ugalan memperolok-oloknya.

Adapun orang-orang shalih di kalangan generasi terbaik sangat mengistimewakan panggilan adzan. Karena mereka memahami maknanya dan menghayatinya, hingga sangat tampak sekali respek mereka terhadap adzan.

Di zaman sahabat misalnya, Ibnu Katsier rahimahullah dalam tafsirnya menyebutkan, bahwa suatu kali sahabat Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu melihat apa yang dilakukan oleh orang-orang sewaktu di pasar. Di mana tatkala adzan untuk shalat dikumandangkan, serta merta mereka tinggalkan perniagaan mereka, dan mereka berbondong-bondong mendatangi undangan shalat. Melihat pemandangan ini, Abdullah bin Mas’ud bergumam, “Mereka inilah yang dimaksud oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat.Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. an-Nuur: 37).

Abu Hurairah radhiallahu’anhu meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki buta datang dan bertanya kepada Rasulullah Shallallahua’alaihi Wasallam, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorang yang menuntunku ke masjid (untuk shalat berjama’ah).” Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk diijinkan shalat di rumah. Maka (di awalnya) Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membolehkannya, kemudian ketika orang itu akan pulang, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memanggilnya dan bertanya kepadanya: “Apakah kamu mendengar seruan adzan untuk shalat (berjama’ah)?”. Orang itu menjawab: Iya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Kalau begitu datanglah ke masjid.” (HR. Muslim)

Demikian pula para Shahabat lainnya radhiallahu’anhum, memberikan teladan yang sempurna dalam masalah ini, seperti ucapan ‘Adi bin Hatim ath-Tha’i radhiallahu’anhu: “Tidaklah dikumandangkan shalat sejak aku masuk Islam, kecuali aku dalam keadaan sudah berwudhu”.(Siyaru a’lam)

Kemudian generasi tabi’in yang datang setelah para Shahabat Shallallahua’alaihi Wasallam, mereka juga menampilkan sebaik-baik teladan dalam menyambut seruan adzan. Bagi mereka, adzan adalah panggilan mulia yang mengetuk hati dan menggugah nurani. Ada kebahagiaan tersendiri bagi orang yang beriman ketika dimudahkan untuk menyahut dan menyambut panggilan adzan.

Seperti yang dialami oleh Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah yang sering menangis haru di masjid ketika mendengar adzan hingga lantai di hadapannya basah oleh air matanya. Betapa tidak, hakikatnya adzan adalah ‘undangan’ dari Sang Pencipta, Maha Pemberi Karunia. Adapun muadzin hanyalah penyampai ‘undangan’ dan bukan Pemilik undangan. Bukankah suatu kehormatan ketika seseorang bisa hadir mendatangi undangan dari Yang Mahamulia? Undangan yang jauh lebih bergengsi dari undangan resepsi para pejabat maupun raja.

[bs-quote quote=”‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah dikumandangkan shalat sejak aku masuk Islam, kecuali aku dalam keadaan sudah berwudhu”.” style=”default” align=”left” color=”#1e73be”][/bs-quote]

Sa’id bin Musayyib rahimahullah, imam ternama dari generasi tabi’in sangat menghargai undangan ini, memprioritaskannya dari sekian banyak undangan, hingga beliau hadir lebih awal, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hibban rahimahullah daam ats-Tsiqaat, “Beliau termasuk pemuka para tabi’in dalam pemahaman agama, sifat wara’, ilmu, ibadah dan kemuliaan. Selama empat puluh tahun, tidaklah dikumandangkan adzan shalat kecuali Sa’id bin al-Musayyab telah berada di masjid menanti shalat berjama’ah.”

Hilal bin Isaf bercerita saat dia bersama Mundzir Ats-Tsauri menjenguk Rabi’ bin Khutsaim radiyallahu ‘anhu yang sedang sakit, “Setelah lama berbincang-bincang, terdengar lantunan adzan Dzuhur. Bersamaan dengan itu puteranya datang, lalu Syeikh berkata kepadanya, “Mari kita sambut panggilan Allah.” Puteranya berkata kepada kami, “Tolong bantu saya untuk memapah beliau ke masjid. Semoga Allah Ta’ala membalas kebaikan kepada kalian.” Kemudian kami memapahnya bersama-sama sehingga beliau bisa bergantung di antara aku dan puteranya pada saat berjalan. Mundzir berkata,”Wahai Abu Yazid, bukankah Allah Ta’ala memberi rukhshah (keringanan) bagi Anda untuk shalat di rumah?” Beliau menjawab, “Memang benar apa yang Anda katakan, akan tetapi aku mendengar seruan, “Marilah menuju keberuntungan!” Barangsiapa mendengar seruan itu hendaknya mendatanginya walaupun harus dengan merangkak.”

Benar apa yang beliau katakan, selain panggilan shalat, adzan juga merupakan ajakan untuk menjadi orang yang sukses, bahagia, menang dan beruntung. Seluruh pengertian ini terkandung dalam kata “al-falaah’ ketika diserukan ”hayya ’alal falaah”, marilah menuju keberuntungan. Alangkah agung ajakan ini. Tak ada orang berakal yang layak meremehkan ajakan ini. Seruan keberuntungan inilah yang mendorong seorang ulama tabi’in untuk tetap menyambut seruan adzan, meskipun harus dipapah puteranya karena sakit. Bahkan meskipun harus datang dengan merangkak.

Berlanjut ke generasi tabi’ut tabi’in. Mereka juga menyambung estafet kemuliaan dalam menyambut seruan adzan. Sebut saja Ibrahim bin Maimun Ash-Sha’igh, seorang shalih dari generasi tabi’ut tabi’in selalu menghentikan aktivitasnya begitu mendengar adzan. Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengisahkan biografi beliau dalam Tahdzib at-Tahdzib, bahwa pekerjaan beliau adalah tukang menempa logam. Setiap kali beliau telah mendengar seruan adzan untuk shalat, maka meskipun beliau telah mengangkat palu, beliau tak lagi mengayunkannya. Beliau segera meninggalkan pekerjaannya untuk melaksanakan shalat. Karena bagi beliau, adzan adalah panggilan dari Dzat yang memiliki kuasa segalanya atas dirinya. Bagaimana mungkin ia berani menundanya?

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Kisah Salaf